Tiga Orang Perempuan Karya Maria A. Sardjono

54

3.1.5 Tiga Orang Perempuan Karya Maria A. Sardjono

Tiga Orang Perempuan digarap Maria A. Sardjono pertama kali pada tahun 1983 dan diterbitkan kembali oleh Gramedia Pustaka Utama pada Juni 2002 dan mengalami cetak ulang yang kedua pada Mei 2003. Walaupun digarap pada tahun 1983, tema yang diangkat tak pernah meredup hingga sekarang. Novel yang mengisahkan tiga perempuan berbeda generasi ini memiliki konflik yang kompleks mengenai posisi wanita di masyarakat. Mengangkat sosok tiga orang perempuan berbeda generasi yang memiliki pandangan hidup berbeda tentang posisi wanita dan pria, novel ini menggugat budaya patriarkat. Pada tahun 2003, Multivision Plus menggarap Tiga Orang Perempuan menjadi sinetron yang ditayangkan SCTV dengan pemeran Ade Irawan sebagai Eyang Putri, Christine Hakim sebagai Ratih, anaknya, dan Vira Yuniar sebagai Gading, cucunya. Melalui Gading, tokoh utama dengan sudut pandang orang pertama aku-an, Maria A. Sardjono mengungkap pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca. Sudut pandang sebagai aku memudahkan pengungkapan pemikiran secara mendetail. Percakapan antara Gading sebagai tokoh sentral dengan tokoh lainnya menjadi media untuk memaparkan ketidaksetujuan Gading terhadap nilai yang ada di masyarakat. Masyarakat yang tata nilainya masih bersifat patriarkat menjadi hal utama dalam novel ini sekaligus bentuk penolakan terhadapnya. 55 Di pembuka cerita, pembaca disuguhi percakapan antara Gading dengan Eyang Putri di kota Solo, tempat tinggal neneknya. Bagian pertama yang diberi judul “Perempuan Pertama” berisi banyak petuah dan penokohan watak nenek sebagai perempuan pada generasi yang paling tua. Generasi pertama ini diwakili oleh Eyang Putri, tokoh nenek berumur 84 tahun, seorang istri bangsawan Solo yang berpoligami. Pada masanya, seorang laki-laki ningrat wajib memiliki selir atau istri lebih dari satu. Hal itu merupakan pembuktian kekuasaan seorang laki-laki dengan gelar bangsawan. Percakapan yang menghabiskan hingga seratus sembilan halaman ini memaparkan idealisme sang nenek sebagai istri kaum bangsawan pada masanya. Eyang Putri menganggap wanita sebagai pengemong lelaki. Dalam percakapan itu, muncul konflik antara ketidaksetujuan Gading yang dijodohkan dengan Hari dan sikap Eyang Putri yang tetap bergeming. Gading tak memiliki perasaan cinta pada Hari. Satu-satunya lelaki yang dicintainya hanya Yoyok, kekasih yang meninggalkannya pergi ke London untuk melanjutkan studi di sana. Namun, Eyang Putri merasa yakin dengan pilihannya karena Hari dianggap sederajat dan bibit, bebet, bobotnya tak perlu diragukan lagi. Hari, lelaki keturunan bangsawan yang memiliki selir tersebut mempertajam pemarjinalan kedudukan perempuan dalam tradisi budaya patriarkat yang mengesahkan adanya selir bagi kaum bangsawan. Eyang Putri beranggapan perempuan yang baik selalu bersifat nrimo sebagaimana seharusnya perempuan Jawa yang bersifat kompromistis. 56 Sesungguhnya, watak dan karakter Eyang Putri telah dapat terbaca walau tidak memakan seratus halaman lebih. Memang, Maria A. Sardjono memaparkan karakter, idealisme, tradisi pada zaman itu, dan petuah yang njawani dari Eyang Putri kepada Gading secara mendetail. Bagian yang diberi judul “Perempuan Kedua” memaparkan kehidupan Ratih, ibu Gading. Pada generasi kedua ini, Ratih belajar dari kedudukan wanita dalam kehidupan rumah tangga kedua orangtuanya. Ratih menyaksikan Ayahnya memiliki banyak selir dan istri. Karena itu, Ratih merasa harus menjadi superior dalam kehidupan rumah tangganya. Ia tidak mau kedudukan wanita dalam sistem patriarkat menjadikannya seperti ibunya. Dibandingkan dengan suami, Ratih dominan dalam mengatur kehidupan rumah tangga. Ia sangat menjunjung tinggi emansipasi. Namun, ternyata suaminya berselingkuh. Ayah Gading mencari sosok wanita lembut yang dapat memanjakannya. Konflik batin yang mendera ayah Gading membuat ia mencari sebuah pengakuan sebagai kepala keluarga. Prinsip hidup yang dipegang teguh oleh Ratih menjadikan suaminya mengalami krisis eksistensi karena Ratih sangat mendominasi kehidupan rumah tangga. Bagian ketiga yang berjudul “Perempuan Ketiga” memaparkan kehidupan Gading sebagai wanita yang hidup di kota Jakarta. Latar tempat menggambarkan kesenjangan pola pikir mengenai posisi wanita di kota Solo dan Jakarta. Solo tempat tinggal Eyang Putri, sebagai kota yang mewakili budaya kaum ningrat bangsawan dengan sistem patriarkat, 57 disandingkan dengan kota Jakarta tempat tinggal Gading dan ibunya, yang telah memiliki pluralitas pemikiran kedudukan wanita yang lebih modern. Konflik hubungan Gading dengan Yoyok disebabkan oleh perbedaan pendapat mengenai wanita karier dan ibu rumah tangga. Keinginan Yoyok untuk menjadikan Gading sebagai ibu rumah tangga setelah menikah, menjadi salah satu cermin hierarki perempuan dan laki- laki, yang menempatkan perempuan di bawah dominasi laki-laki. Gading memiliki keinginan untuk menjadi wanita karier yang memiliki penghasilan sendiri. Bagian keempat yang berjudul “Perempuan Pertama, Kedua, dan Ketiga” memaparkan konflik yang semakin menajam. Dari kedua generasi di atasnya, Gading harus bergulat mencari jati diri di tengah pengaruh watak ibu dan nenek yang sangat berbeda. Kisah berakhir dengan restu Eyang Putri terhadap hubungan Gading dan Yoyok sehingga menjadi klimaks yang happy ending. Alur maju dengan sisipan masa lalu mengenai berbagai pengalaman kehidupan ketiga orang perempuan tersebut menyiratkan banyak nilai sosial yang menjadi pola pikir dan mengakar pada sendi- sendi kehidupan masyarakat.

3.1.6 Lupus: Makhluk Manis Dalam Bis Karya Hilman Hariwijaya