Novel Populer dan Novel Serius

27 serta menggunakan cara pandang dan bahasa yang lebih baik dibandingkan novel sebelumnya. Selain itu, tema percintaan yang digarap tidak berakhir pada eksploitasi seks.

2.3 Novel Populer dan Novel Serius

Sampai saat ini novel sering diklasifikasi menjadi dua kategori, yaitu novel serius dan novel populer. Novel serius adalah penamaan pada novel yang dianggap memiliki kualitas sastra yang baik atau novel serius. Sementara itu, novel populer dilekatkan pada novel yang berpretensi sebagai bacaan hiburan semata. Klasifikasi ini, menurut Waluyo 1994: 40, mulai mencuat pada tahun 1980-an. Menurut Waluyo, pada masa itu, penerbitan novel sangat banyak. Hal itu membuat para ahli sastra mencoba mengklasifikasikan novel-novel tersebut ke dalam dua jenis, yaitu novel serius dan novel populer. Klasifikasi novel tersebut sesuai dengan definisi yang dikemukakan Waluyo di bawah ini. Novel serius adalah novel yang dipandang bernilai sastra tinggi sedangkan novel pop adalah novel yang nilai sastranya diragukan rendah karena tidak ada unsur kreativitas. Yang digarap maupun teknik penggarapannya mengulang-ulang problem dan teknik yang sudah ada 1994: 40. Dalam kaitannya dengan kemunculan istilah novel pop atau novel populer, Jakob Sumarjo memprediksi bahwa istilah tersebut sudah muncul sejak tahun 1970-an ketika penerbitan karya-karya novel hiburan berjalan dengan sangat intensif. Pendapat ini sejalan dengan pernyataan 28 Nurgiyantoro yang mengatakan bahwa terbitnya novel Karmilla dan Cintaku di Kampus Biru sebagai pemicu lahirnya istilah tersebut. Sementara itu, klasifikasi yang dibuat oleh Waluyo di atas sejalan dengan pengertian yang dikemukakan oleh Jakob Sumarjo. Menurut Sumarjo, perbedaan antara novel populer dan novel serius lebih dikaitkan pada kreativitas atau kebaruan karya. Novel populer cenderung mengikuti kenginan masyarakat pembaca. Apa yang sedang digemari pembaca, jenis karya seperti itulah yang akan diproduksi. Karena memiliki kecenderungan seperti di atas, pembaruan jarang terjadi pada novel populer. Justru yang sering terjadi bentuk-bentuk peniruan pada karya yang sudah ada sebelumya epigon. Hal ini berbeda dengan novel serius yang lebih berpretensi untuk menciptakan sebuah karya yang baru dan unik. Mengenai hal di atas, lebih jauh Sumarjo memberikan penjelasan seperti di bawah ini. Novel populer disebut demikian karena karya itu baik tema, cara penyajian, teknik, bahasa maupun gaya meniru pola yang sedang digemari masyarakat pembacanya. Hal ini agak bertentangan dengan karya-karya novel sastra yang lebih menitikberatkan pada keunikan karya, kebaruan, dan kedalam 1980: 18. Lebih lanjut, Yudiono 1986: 117 mencoba menyimpulkan pandangan Sumarjo 1979: 22 mengenai perbedaan novel serius dan novel populer hiburan dengan mengemukakan ciri-ciri sebagai berikut. Ciri-ciri novel serius: 1. dibaca untuk penyempurnaan diri; 2. berfungsi sosial, membuat orang lain lebih tahu dan 29 memahami kehidupan manusia lain; 3. bisa dibaca berkali-berkali, yang berakibat bahwa orang harus membelinya sendiri, menyimpan, dan diabadikan; 4. isinya dapat menantang sikap hidup dan kepercayaan pembaca; 5. jenis novel ini: semua novel baik; 6. diperhatikan oleh para kritikus dan biasanya direkomendasikan oleh mereka untuk dibaca oleh masyarakat. Ciri-ciri novel hiburan: 1. dibaca untuk kepentingan hiburan semata-mata; 2. berfungsi personal: untuk hiburan sendiri saja; 3. dibaca sekali saja novel sekali baca atau throw away novels; 4. isinya hanya kenyataan semu atau fantasi pengarangnya saja; 5. isinya bermacam-macam dan menurut tipenya, seperti: a. novel detektif b. novel percintaan sentimentil c. novel misteri d. novel gothik setan-setanan e. novel kriminal f. novel science fiction 6. tidak diulas oleh para kritikus sastra. Kerana selain dianggap kurang penting bagi kesusastraan, juga lantaran jumlahnya sangat banyak Yudiono K.S., 1986: 117-118 Meskipun membuat klasifikasi novel populer dan novel serius, Sumarjo memandang bahwa kedua jenis novel di atas memiliki kedudukannya sendiri sehingga tidak perlu diperbandingkan satu dengan yang lain. Novel pop sekarang ini telah menduduki tempatnya yang benar dalam struktur budaya kota. Orang tak perlu merasa terhina hanya karena ia digolongkan pada deretan penulis populer. Apa yang dikategorikan sastra maupun populer mempunyai kedudukan sendiri dan jasanya sendiri pula Sumarjo, 1982: 32 Terkait dengan kedua pandangan di atas terhadap novel populer, ada pula pandangan berbeda yang dikemukakan oleh Aprinus Salam. 30 Dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Posisi Fiksi Populer di Indonesia”, Salam mengatakan bahwa novel populer adalah teks sastra atau paling tidak satu di antara genre sastra. Mengacu pada teori Roland Barthes 1981, Salam menyampaikan pendapatnya seperti di bawah ini. Sebuah teks tetaplah teks. Ia layak mendapat penafsiran sebagai teks sastra dalam perspektif apapun. Sebagai sebuah teks, ia tidak ditempatkan sebagai bermutu atau tidak, asli atau tidak, sahih atau tidak. Di samping sebagai teks, istilah populer mensyaratkan satu konteks sosiologis. Dengan demikian, di sini fiksi populer ditempatkan sebagai gejala sosiologis. Jelaslah di sini bahwa Salam berbeda pendapat dengan Waluyo dan Sumarjo. Jika Waluyo dan Sumarjo menyoroti novel populer dalam konteks bermutu atau tidaknya dalam kaitannya dengan novel serius sastra, Salam menyoroti novel populer lebih pada kaitannya dalam konteks sosiologis. Artinya, sebagai sebuah gejala sosiologis, novel populer diyakini memiliki relasi dengan konteks sosiologis dan karena itu layak diiterpretasi sebagai sebuah teks. Nenden Lilis dalam artikelnya yang berjudul “Sastra: Adakah Perlukah Periodisasi Sastra Populer?” Pikiran Rakyat, Sabtu, 12 April 2008 memandang bahwa kategori atau klasifikasi tersebut lahir dari cara pandang filsafat modern yang berkembang di dalam ilmu sastra. Menurut Lilis, cara pandang modernisme ini telah menyebabkan hal yang dianggap sebagai sastra, hanyalah misalnya, sastra elit tinggiadiluhung, sastra nasional, dan sastra-sastra yang sebelumnya telah ditahbiskan sebagai sastra utama. Cara pandang ini telah menyebabkan sastra-sastra di luar itu, semisal sastra populer, sastra lokal, dan sastra perempuan, dianggap 31 bukan sastra dan terabaikan dalam penyusunan sejarah sastra. Terkait sastra populer, menurut Lilis, sejarah sastra Indonesia termasuk yang seolah meniadakan keberadaannya. Dalam kaitannya dengan kualitas novel populer, Sumarjo mencoba bersikap objektif dengan tidak melakukan penilaian terhadap novel populer secara general generalisasi. Meskipun pada umumnya novel populer memiliki kualitas yang lebih rendah dibandingkan dengan novel serius sastra, diakui pula oleh Sumarjo bahwa tidak tertutup kemungkinan novel populer memiliki kualitas sastra yang baik meskipun menggarap tema umum yang sedang laris dengan gaya dan bahasa tertentu pula. Pandangan Sumardjo di atas memiliki kesamaan dengan pandangan Nurgiyantoro. Menurut Nurgiyantoro 2007: 17, meskipun pada umumnya tema yang diusung novel populer berkecenderungan pada selera pasar dan selera zaman, namun tidak jarang novel-novel yang dikategorikan sebagai novel populer memiliki kualitas literer yang tinggi. Pernyataan di atas menandakan bahwa novel populer secara kualitas tidak selalu bernilai rendah. Beberapa novel populer bahkan sampai saat ini diakui oleh para ahli sastra memiliki kualitas sastra tinggi. Dua di antaranya yang layak disebutkan sebagai contoh adalah novel Arjuna Mencari Cinta dan Raumanen. Arjuna Mencari Cinta adalah karya Yudhistira A.N. Massardi, sedangkan Raumanen adalah karya Marianne Katoppo. Novel Raumanen meskipun diklasifikasikan sebagai novel 32 populer, novel ini berhasil memenangi Sayembara Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1975. secara kualitas, Raumanen juga banyak dipuji. Sebuah artikel yang ditulis Sihar Ramses Simatupang berjudul ‘Memorabilia” Novelis Marianne Katoppo Menelisik ”Raumanen” sampai ”Anggrek tak Pernah Berdusta”’ Sinar Harapan, edisi 24 Novemver 2007 mengutip pendapat Meilani Budianta tentang tentang kelebihan Raumanen. Menurut Budianta: ”Dia Raumanen berbeda dengan struktur novel populer lainnya, cara penceritaan di mana tokoh Monang dan Manen, diungkap bergantian. Di teks sastra dunia, penceritaan dua tokoh, yang menghadirkan pola back tracking jalan cerita bolak-balik jelas bukan hal yang baru. Namun di antara novel pop, bahkan di novel sastra Indonesia masa itu, eksperimen struktur tergolong sedikit. Sinar Harapan, 24 Agustus 2004 Pernyataan Budianta di atas menandakan bahwa eksperimentasi struktur novel Raumanen telah melampaui zamannya, bahkan dibandingkan dengan novel berkualitas sastra sekalipun. Begitu pula dengan novel Arjuna Mencari Cinta. Meskipun tergolong sebagai novel populer, seperti diakui oleh Sumarjo 1982: 160, novel ini pantas mendapatkan pujian.

2.4 Sejarah Novel Populer