20
2.1.1 Paradigma Konstruktivis
Peneliti menggunakan paradigma konstruktivisme dalam penelitian ini. Paradigma konstruktivisme ialah paradigma dimana kebenaran suatu realitas sosial dilihat
sebagai hasil konstruksi sosial, dan kebenaran suatu realitas sosial bersifat relatif. Paradigma konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan kritik terhadap
paradigma positivis. Menurut paradigma konstruktivisme, realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang, seperti
yang biasa dilakukan oleh kaum positivis. Konsep mengenai konstruksionis diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif, Peter L. Berger bersama Thomas
Luckman. Dalam konsep kajian komunikasi, teori konstruksi sosial bisa disebut berada diantara teori fakta sosial dan definisi sosial Eriyanto, 2004 : 13
K. Bertens 1993 menyatakan bahwa di dalam aliran filsafat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Sokrates menemukan jiwa dalam tubuh
manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan ide. Gagasan itu lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilahinformasi, relasi, individu, substansi,
materi, esensi dan sebagainya. Ia juga mengatakan bahwa manusia adalah mahluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan dengan kebenarannya, bahwa kunci
pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta. Ada tiga macam konstruktivisme seperti yang diungkapkan oleh Suparno 1997:
pertama, konstruktivisme radikal; kedua, realisme hipotesis; ketiga, konstruktivisme biasa. Konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang
dibentuk oleh pikiran. Bentuk itu tidak selalu representasi dari dunia nyata. Pengetahuan adalah refleksi suatu realitas objektif, namun sebuah realitas yang
dibentuk oleh pengalaman seseorang. Dalam pandangan realisme hipotetis, pengetahuan adalah sebuah hipotesis dari struktur realitas yang mendekati realitas
dan menuju kepada pengetahuan yang hakiki. Sedangkan untuk konstruktivisme biasa memandang bahwa pengetahuan individu dipandang sebagai suatu
gambaran yang dibentuk dari realitas objek dalam dirinya sendiri.
Universitas Sumatera Utara
21
Sehingga dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme dapat dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi
relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya. Konstruktivisme semacam inilah yang oleh Berger dan Luckmann 1990 disebut
dengan konstruksi sosial Bungin, 2011:14. Pendekatan paradigma konstruksionis mempunyai penilaian tersendiri bagaimana
media, wartawan dan berita dilihat, yaitu: 1. Faktaperistiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas itu
bersifat subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika
realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan berbeda Gans, dalam Eriyanto, 2002:19
2. Media adalah agen konstruksi. Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan bias dan
pemihakannya. Lewat bahasa yang dipakai, media dapat menyebut mahasiswa sebagai pahlawan dapat juga menyebutnya sebagai perusuh.
3. Berita bukan refleksi dari realitas, ia hanya konstruksi dari realitas. Berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalis, bukan kaidah
baku jurnalistik 4. Berita bersifat subjektifkonstruksi atas realitas opini tidak dapat dihilangkan
karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif.
5. Wartawan bukan pelapor, ia agen konstruksi realitas. Wartawan sebagai partisipan yang menjembatani keragaman subjektifitas pelaku sosial.
6. Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral dalam produksi berita. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya, apa
yang dia lihat. Etika dan moral yang dalam banyak hal berarti keberpihakan satu kelompok atau nilai tertentu umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu, adalah
bagian yang integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas.
Universitas Sumatera Utara
22
7. Khalayak mempunyai penilaian tersendiri atas berita. Khalayak bukan dilihat sebagai subjek yang pasif, yang mempunyai tafsiran sendiri yang bisa saja
berbeda dari pembuat berita Zamroni, 2009:95
2.2 Kajian Pustaka