Sintaksis Artikel 2 Analisis Framing Artikel 2

75 Mau baju longgar satu potong baju kurung seperti tradisi masyarakat Arab, atau mau baju atasan dan bawahan, seperti tradisi masyarakat Indonesia. Biarkanlah jilbab dan busana muslimah dipilih karena cinta. Biarlah jilbab menjadi pakaian luar muslimah penanda takwa, yang dengannya muslimah terbimbing menuju pakaian “luar-dalam” yang sejati dan terindah, yaitu takwa QS Al-A’raf7 : 26. Amin.

4.3.1 Sintaksis Artikel 2

Headline artikel ini adalah Evolusi Jilbab di Indonesia Sejak 1980-an. Evolusi memiliki arti perubahan secara berangsur-angsur. Ini menunjukkan bahwa keberadaan jilbab di Indonesia bukanlah melalui proses yang tanpa hambatan, namun terjadi perubahan yang berlangsung secara perlahan.Tahun 1980 dipilih karena penggunaan istilah jilbab sebagai kerudung yang menutup kepala, rambut, leher dan dada baru populer pada saat itu. Sedangkan jilbab di masa kini sudah mudah ditemui dan sudah umum dikenakan. Lead yang digunakan dalam artikel ini mengungkapkan fakta bahwa 9 dari 10 muslimah di Indonesia kini sudah mengenakan busana muslimah berikut jilbabnya. Ini menunjukkan sisi fantastis perbandingan jumlah muslimah yang sudah berjilbab dan belum berjilbab saat ini. Namun Noor masih mempertanyakan apakah jumlah pengguna busana muslimah ini karena berdasarkan ketakwaan atau sekedar terbawa arus gaya. Lead ini berusaha mengkritisi sekaligus mengajak pembaca untuk berpikir bahwa melonjaknya pengguna busana muslimah tidak bisa dipastikan sebagai penanda ketakwaan atas perintah berjilbab yang tertera di dalam Al-Qur’an. Ada indikasi lain bahwa jumlah pengguna busana muslimah ini bisa saja didorong oleh arus tren. “...9 dari 10 muslimah Indonesia saat ini mengenakan busana muslimah termasuk kerudungnya. Penanda takwa atau sekedar terbawa arus gaya?” Latar informasi yang digunakan adalah perubahan pemakaian jilbab dan pergeseran makna jilbab dari awal era tahun 1980-an hingga sekarang. Pada awalnya jilbab hanya digunakan oleh santri yang mengenyam pendidikan di pesantren. Sepanjang 1980-an negara masih mempersulit muslimah Indonesia untuk memakai jilbab, sehingga pada masa ini jilbab tidak hanya merupakan Universitas Sumatera Utara 76 simbol ketakwaan, tetapi juga merupakan simbol keberanian dan perlawanan terhadap pemerintah, karena pada masa tersebut muslimah yang memakai jilbab dianggap sebagai ‘Islam garis keras’. Setelah reformasi 1998 jilbab mulai dipakai secara massif oleh muslimah Indonesia. Saat ini institusi pemerintah bahkan mulai membuat aturan untuk mengakomodasi muslimah untuk dapat memakai jilbab dalam institusinya, seperti Polri yang menyediakan anggaran bagi polisi wanita yang ingin menggunakan jilbab. Jilbab juga sudah menjadi trend fashion dan lifestyle muncul yang kemudian memunculkan dua istilah yang justru saling bertentangan dikarenakan perbedaan tafsir mengenai menutup aurat bagi muslimah. Istilah ‘Jilboobs’ yang digunakan untuk menyebut busana muslimah yang menutup aurat tetapi masih menampakkan bentuk tubuh dan keseksian pemakai. Kemudian ‘Jilbab Syar’i’ yang merupakan antithesis dari jilboobs, busana muslimah menjadi satu model yaitu baju gamis longgar yang menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, ditutup oleh kerudung longgar yang menutup dada dan punggung, serta tidak menjadikan busana muslimah sebagai fashion. Artikel ini tidak memiliki kutipan dan pernyataan karena berasal dari pemikiran wartawan. Namun terdapat satu sumber yang digunakan dalam artikel ini yaitu UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sumber ini dijadikan landasan bagi daerah-daerah yang memiliki kultur dan penduduk Muslim yang kuat untuk menjadikan jilbab sebagai pakaian wajib di daerah tersebut. Noor menggunakan UU ini sebagai landasan kuat yang berasal dari kebijakan pemerintah dan negara tentang kuatnya Perda tentang jilbab sebagai pakaian wajib. Ini tidak hanya membuktikan bahwa jilbab adalah perintah agama namun dijadikan pula sebagai peraturan daerah sesuai dengan kebijakan masing-masing daerah. “...Seiring dengan berlakunya otonomi daerah pasca disahkannya UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, di wilayah tertentu yang kultur dan penduduk muslimnya kuat, seperti Aceh, beberapa daerah di Sulawesi Selatan, Sumatera Barat dan Kalimantan Selatan, desakan politik untuk menjadikan jilbab sebagai pakaian yang diwajibkan oleh Perda menguat. Perda yang mengatur jilbab pun muncul.” Universitas Sumatera Utara 77 Artikel ditutup dengan harapan kepada para muslimah untuk memilih jilbab dan busana muslimah karena cinta. Jika berjilbab dipilih karena cinta maka pakaian itu akan membimbing muslimah menuju pakaian “luar-dalam” yang meliputi jiwa dan raga yaitu sebaik-baik pakaian adalah pakaian takwa. Ini merujuk kepada surat Al-A’raf ayat 26 dalam Al-Qur’an yang berbunyi, “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik.” Jilbab seyogyanya digunakan sebagai tanda ketakwaan atas perintah menutup aurat. Itulah sebaik-baik pakaian. “...Biarkanlah jilbab dan busana muslimah dipilih karena cinta. Biarlah jilbab menjadi pakaian luar muslimah penanda takwa, yang dengannya muslimah terbimbing menuju pakaian “luar-dalam” yang sejati dan terindah, yaitu takwa QS Al-A’raf7 : 26. Amin.”

4.3.2 Skrip Artikel 2