44
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Proses Penelitian
Peneliti terlebih dahulu mengumpulkan artikel dari majalah Noor edisi Fashion Trend 2015. Peneliti membaca keseluruhan isi edisi majalah Noor ini kemudian
memilih artikel yang berkaitan dengan konstruksi nilai jilbab. Artikel tersebut merupakan artikel yang fokus membahas tentang jilbab dan busana muslimah.
Terdapat 4 artikel yang membahas tentang jilbab dalam majalah ini. Berikut daftar artikel yang peneliti pilih sebagai objek penelitian.
Tabel 2 Daftar Objek Penelitian
Majalah Noor Vol. XII 2015 Rabiul Awal 1436 H Edisi
Fashion Trend 2015 No. Judul
Rubrik Halaman
1 Menilik Gaya Berbusana Muslim Fashion Issue
32-35 2
Evolusi Jilbab di Indonesia Sejak 1980-an
Gaya Hidup 36-37
3 Nasaruddin Umar : Ribuan
Tahun Lalu Jilbab Sudah Ada Gaya Hidup
38
4 Ada Apa dengan Trend?
Mirror 91
Sumber : Majalah Noor Vol. XII 2015 Rabiul Awal 1436 H Edisi Fashion Trend 2015 diolah oleh peneliti
Universitas Sumatera Utara
56
4.2 Analisis Framing Artikel 1
Tabel 3 Detail Artikel 1
MENILIK GAYA BERBUSANA MUSLIM
Mencari, temukan, dan sesuaikan gaya berbusana muslim dengan lingkungan dan kondisi cuaca sekitar... sulitkah?
Busana muslim di Indonesia tersedia dengan semakin banyak pilihan. Mulai dari koleksi desainer ternama, hingga koleksi busana muslim dari unit usaha kecil
menengah, semua menyediakan ragam pilihan gaya dan model busana. Apa pertimbangan Anda saat memilih busana muslim?
Menurut Restu Anggraini, seorang desainer busana muslim, sejak 2010 gaya perempuan muslim berbusana menyesuaikan dengan karakter personalnya.
Baginya setiap pribadi memang harus memiliki karakter khas. Busana muslim pun tidak harus tipikal, terbatas hanya model gamis saja misalnya.
Ia menambahkan, busana muslim yang mengandalkan kreatifitas tinggi pun dikembangkan kalangan perempuan muda berkerudung untuk memenuhi gaya
personal ini. Konsep busana muslim padu padan dan menonjolkan gaya personal memang menjadi tren belakangan. Hal ini diakui dua perancang beda generasi
Irna Mutiara, perancang yang dikenal dengan gaya classic-feminine ini mengaku pelanggannya menyukai konsep busana muslim padu padan, yang tak sekali
pakai. Jenahara Nasution, desainer muda dan salah satu pendiri Hijabers
Judul Menilik Gaya Berbusana Muslim
Rubrik Fashion Issue
Halaman 32-35
Jumlah Halaman 4 halaman
Universitas Sumatera Utara
57
Community juga mengakui, konsep padu-padan masih menjadi tren terutama di kalangan muslimah muda.
“Busana muslim lebih kepada model two-pieces, namun tetap longgar. Soal warna fleksibel sesuai daerah. Beda daerah beda selera warnanya. Di luar Jawa, busana
muslim terang mencolok lebih disukai, sementara di Jawa suka warna kalem seperti coklat, marun, kuning kunyit,” jelasnya.
Selain model dan warna busana, pemilihan bahan juga jadi pertimbangan. “Karena kita di negara tropis, pemilihan bahan baku penting, yakni yang
menyerap keringat seperti rayon dan katun,” ungkap Irna Mutiara, pemilik label Irna La Perle dan Up2Date ini.
Pada kesempatan terpisah, Jenahara mengatakan, karakter personal lebih menonjol dalam pemilihan gaya busana muslim. Busana muslim tak harus model
abaya, tapi juga bisa asimetris, kotak-kotak, busana yang tidak hanya dikenakan oleh perempuan berjilbab tapi juga bisa dikenakan siapa saja.
“Karakter setiap orang berbeda-beda, cara berbusana dan berjilbab pun beda. Ini masih menjadi tren dan akan bertahan hingga tahun depan. Konsep padu-padan
masih kuat dalam berbusana muslim. Kita harus pintar padu-padan dan pilih busana, agar tetap enak dilihat. Muslimah juga semakin pintar memadumadankan
busana, karena tren fashion sudah menyebar luas dengan segala aliran dan pilihan,” jelasnya.
Busana muslim konsep padu-padan, memenuhi kebutuhan perempuan untuk tampil seusai pakem namun tetap gaya, serta desain yang kreatif dan inovatif
menjadi ciri khas busana muslim kekinian. Bagaimana dengan Anda? Apa yang menjadi pertimbangan anda untuk bergaya dengan busana muslim? Untuk
Indonesia yang hanya memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan hujan, jilbab yang dikenakan tentunya perlu penyesuaian dengan kondisi cuaca yang ada.
Jilbab untuk Musim Kemarau
Musim kemarau di Indonesia identik dengan udara panas dan terik matahari. Tentu keadaan ini membuat produksi keringat meningkat. Bagi seorang
muslimah, keadaan ini akan semakin menyiksa karena harus mengenakan
Universitas Sumatera Utara
58
kerudung dan pakaian panjang. Tapi, niat karena Allah S.W.T tentu akan membuat udara panas itu menjadi sejuk. Untuk mengurangi rasa panas dan gerah,
Anda bisa mengikuti tips berikut ini.
Kerudung Paris dan Katun
Kerudung dari kain paris cocok dikenakan di musim panas atau kemarau. Kain Paris ini tipis dan dingin sehingga proses produksi keringat bisa ditekan. Selain
itu, kain Paris juga terbukti dapat menyerap keringat dengan baik. Kerudung dari kain katun menjadi pilihan kedua setelah kain paris. Beberapa muslimah kurang
menyukai kain paris karena terlalu menerawang. Untuk itu, pilihan katun lebih baik. Kerudung musim kemarau dari katun ini juga dapat menyerap keringat.
Hindari Warna Gelap
Warna gelap bersifat menyerap panas sehingga suhu tubuh Anda semakin meningkat bila mengenakannya di musim kemarau, apalagi bila kerudung anda
berwarna hitam. Untuk itu, pilihlah kerudung dengan warna-warna yang lebih cerah, minimal untuk siang hari.
Teknik Pemakaian
Angin bertiup kencang saat musim kemarau tiba, untuk itu perlu teknik khusus untuk mengenakan kerudung. Anda bisa tetap mengenakan kerudung paris yang
tipis tanpa takut terbawa angin. Pertama, pasang kerudung dengan peniti di dagu. Setelah itu tarik salah satu sisi ke bagian atas kepala. Sisi yang lain ditarik ke
belakang bahu. Dengan begitu kerudung Anda lebih melekat di kepala dan tidak mudah terbawa angin.
Kerudung pashmina juga bisa dijadikan pilihan. Cara mengenakannya adalah dengan memasang kerudung yang dikaitkan di dagu. Kemudian salah satu sisi
yang panjang diputar hingga ke bagian yang lain. Sedangkan sisi pendeknya ditarik ke bahu lawan.
Pakaian
Bukan hanya kerudungnya saja yang harus menyerap keringat dan tipis tapi, juga busana yang Anda kenakan. Ketika musim kemarau tiba, pilihlah bahan katun
Universitas Sumatera Utara
59
yang terbukti menyerap keringat dengan baik. Kain katun yang kini banyak dipasarkan juga memberikan rasa dingin pada penggunanya.
Pilihan lain adalah kain tisu yang tipis atau kain sutera. Sekarang sudah ada kain sutera semi sintetik yang harganya cukup terjangkau dan tidak membuat diri anda
merasa gerah. Memadukan kerudung dengan baju berbahan dingin di musim kemarau akan membuat Anda merasa nyaman berkerudung meskipun udaranya
panas. Dengan begitu keluarnya keringat juga bisa ditekan.
Jilbab untuk Musim Hujan
Saat musim hujan datang, Anda tentu mulai akrab lagi dengan jaket atau sweater tebal yang biasa digunakan untuk menahan hawa dingin. Bagaimana kombinasi
fashion yang pas dan tetap terlihat fashionable saat musim hujan? Berikut ini adalah model kombinasi kerudung dengan pakaian yang cocok dikenakan saat
musim hujan.
Pakaian
Udara dingin yang berhembus saat musim hujan dapat ditahan dengan menggunakan cardigan, jaket tebal, sweater, atau jenis pakaian tebal lainnya.
Anda dapat terlihat lebih chic dan stylish bila ditambah dengan long coat.
Celana dan Legging
Bawahan tentu juga harus diperhatikan untuk menahan suhu tubuh dari dingin, namun harus juga tetap nyaman saat dikenakan. Anda bisa mengenakan celana
jeans tebal namun tidak ketat. Penggunaan rok maxi juga bisa asalkan mengenakan legging sebagai inner. Pilihlah yang berbahan tebal, sehingga suhu
dingin tidak sampai masuk.
Memilih Sepatu
Universitas Sumatera Utara
60
Sepatu yang pas digunakan saat musim hujan adalah sepatu boots. Anda dapat memilih sepatu boots yang berbahan kulit untuk menghindari basah saat berada di
jalan yang berair. Saat ini sepatu boots mudah sekali didapat dan memiliki model- model yang sangat menarik.
Tambahan Syal
Bagi muslimah berkerudung, udara dingin saat musim hujan sebenarnya tidaklah terlalu menyengat karena bagian leher sudah tertutupi, namun untuk menambah
kehangatan tidak ada salahnya menambahkan syal di leher. Selain menambah indah penampilan, syal juga bisa memberikan kenyamanan saat dikenakan.
4.2.1 Sintaksis Artikel 1
Headline dari artikel ini adalah “Menilik Gaya Berbusana Muslim”. Menurut KBBI, menilik berarti melihat dengan sungguh-sungguh atau mengamat-amati.
Wartawan mengajak pembaca untuk mengamati gaya berbusana muslim yang ada saat ini. Hal ini berkaitan dengan melonjaknya pengguna busana muslim yang
diiringi dengan pesatnya perkembangan mode busana muslim. “...Mencari, temukan, dan sesuaikan gaya berbusana muslim dengan
lingkungan dan kondisi cuaca sekitar... sulitkah?” Untuk lead, wartawan terlebih dahulu melemparkan gagasan tentang bergaya
dengan busana muslim, yaitu memilih busana muslim yang dapat disesuaikan dengan lingkungan dan kondisi cuaca sekitar. Kemudian wartawan memberikan
pertanyaan, apakah sulit bergaya dengan busana muslim seperti itu? Question Lead yang digunakan dalam artikel ini berusaha memancing minat pembaca untuk
mengikuti saran yang diberikan Noor bagi pembacanya tentang cara memilih busana muslim.
Pada bagian kedua, wartawan menuliskan lead yang berbeda untuk masing- masing musim. Pada tips berpakaian untuk musim kemarau, wartawan
menyatakan bahwa menggunakan baju panjang dan jilbab pada saat kemarau itu menyiksa karena panas. Wartawan kemudian ingin memberikan tips untuk
membuat sejuk. Pada lead ini, wartawan berpendapat bahwa busana muslim itu sebenarnya panas, apalagi jika digunakan saat cuaca panas. Sedangkan untuk tips
Universitas Sumatera Utara
61
berpakaian di musim hujan, wartawan menyatakan bahwa pada musim hujan sulit untuk bergaya. Ini disebabkan cuaca dingin yang membuat muslimah harus
menggunakan sweater sehingga sulit untuk bergaya. Fashion masih menjadi aspek yang menonjol dalam setiap lead tersebut.
Latar informasi yang digunakan dalam artikel ini terbagi menjadi dua bagian besar. Bagian pertama membahas tentang kondisi busana muslim di Indonesia
saat ini. Busana yang dipilih biasanya menonjolkan karakter dari pemakainya. Selain itu kultur dan cuaca ikut mempengaruhi mode serta bahan yang digunakan
dalam memilih busana muslim. Bagian kedua memfokuskan pada tips dalam memilih pakaian yang sesuai dengan kondisi negara tropis seperti Indonesia. Tips
tersebut mencakup pemilihan jilbab, baju, sepatu hingga aksesoris yang sesuai dengan musim kemarau dan musim hujan. Musim kemarau identik dengan panas,
sumpek dan berkeringat. Sedangkan musim hujan identik dengan dingin dan basah.
Wartawan menggunakan kutipan yang dikutip langsung dari narasumber. Ini menunjukkan bahwa wartawan menggunakan informasi langsung dari
narasumbernya tentang pemilihan busana muslimah. Terdapat dua kutipan dalam artikel ini. Pertama, salah seorang desainer busana muslim, Restu Anggraini
menyebutkan bahwa sejak tahun 2010, gaya berbusana muslim disesuaikan dengan karakter penggunanya. Setiap pribadi memiliki gaya yang khas, ini
menjadikan busana muslim tampil dengan banyak mode bukan hanya gamis saja. “...Menurut Restu Anggraini, seorang desainer busana muslim, sejak 2010
gaya perempuan muslim berbusana menyesuaikan dengan karakter personalnya. Baginya setiap pribadi memang harus memiliki karakter
khas. Busana muslim pun tidak harus tipikal, terbatas hanya model gamis saja misalnya.”
Yang kedua, wartawan mengutip pernyataan Jenahara bahwa pemilihan busana muslim lebih menonjolkan karakter personal. Busana muslim tidak terbatas pada
model abaya namun juga bisa berupa model lain. Busana seperti ini tidak hanya dikenakan oleh perempuan berjilbab namun juga bisa dikenakan oleh perempuan
yang belum berjilbab.
Universitas Sumatera Utara
62
“...Pada kesempatan terpisah, Jenahara mengatakan, karakter personal lebih menonjol dalam pemilihan gaya busana muslim. Busana muslim tak
harus model abaya, tapi juga bisa asimetris, kotak-kotak, busana yang tidak hanya dikenakan oleh perempuan berjilbab tapi juga bisa dikenakan
siapa saja.”
Wartawan menampilkan kutipan senada dari kedua narasumber tersebut untuk menonjolkan aspek pemilihan busana muslim berdasarkan karakter penggunanya.
Karakter tersebut akan menentukan mode yang cocok. Karena setiap orang memiliki kepribadian yang berbeda, maka muncullah ragam busana muslim yang
tidak ada habisnya. Untuk sumber, wartawan memilih tiga orang narasumber yang semuanya berasal
dari dunia fashion. Pertama, Restu Anggraini yang berprofesi sebagai desainer busana muslim. Kedua, Irna Mutiara, desainer busana sekaligus pemilik dua label
Irna La Perle dan Up2Date. Ketiga, Jenahara, desainer busana yang juga pendiri Hijabers Community. Pemilihan ketiga narasumber tersebut menunjukkan bahwa
jilbab berkaitan erat dengan dunia fashion. Karena itu pendapat para perancang busana tersebut sangat ditonjolkan dalam artikel ini.
Untuk pernyataan, wartawan mencantumkan dua pernyataan langsung dari satu narasumber yang sama yaitu Jenahara. Jenahara menyatakan bahwa saat ini
busana muslim lebih mengarah kepada model two pieces yang longgar. Ini merujuk kepada pakaian dua potong atasan dan bawahan, bukan gamis, jubah,
atau sejenisnya. Selain itu kultur daerah juga mempengaruhi pemilihan warna. Di pernyataan lainnya Jenahara menyatakan bahwa karakter yang berbeda dari setiap
orang akan memunculkan cara berbusana dan berjilbab yang berbeda pula. Konsep yang masih bertahan saat ini adalah konsep padu-padan. Muslimah saat
ini juga semakin mahir memadumadankan busana karena dipengaruhi oleh tren fashion yang semakin beragam.
“...Busana muslim lebih kepada model two-pieces, namun tetap longgar. Soal warna fleksibel sesuai daerah. Beda daerah beda selera warnanya. Di
luar Jawa, busana muslim terang mencolok lebih disukai, sementara di Jawa suka warna kalem seperti coklat, marun, kuning kunyit,” jelasnya.”
“...Karakter setiap orang berbeda-beda, cara berbusana dan berjilbab pun beda. Ini masih menjadi tren dan akan bertahan hingga tahun depan.
Konsep padu-padan masih kuat dalam berbusana muslim. Kita harus pintar
Universitas Sumatera Utara
63
padu-padan dan pilih busana, agar tetap enak dilihat. Muslimah juga semakin pintar memadumadankan busana, karena tren fashion sudah
menyebar luas dengan segala aliran dan pilihan,” jelasnya.”
Sedangkan pernyataan lain dikutip dari Irna Mutiara yang menyatakan bahwa pemilihan bahan sangatlah penting terutama untuk negara tropis seperti Indonesia.
Bahan yang dipilih sebaiknya yang menyerap keringat. Ini menunjukkan bahwa faktor iklim dan cuaca ikut mempengaruhi pemilihan bahan untuk busana muslim.
“Karena kita di negara tropis, pemilihan bahan baku penting, yakni yang menyerap keringat seperti rayon dan katun,” ungkap Irna Mutiara, pemilik
label Irna La Perle dan Up2Date ini.”
Wartawan menutup tulisan bagian pertama dengan kesimpulan bahwa konsep padu-padan masih sangat kekinian. Konsep ini masih sesuai dengan pakem
busana yang menutup aurat namun masih tetap gaya. Pada bagian ini wartawan lebih menonjolkan busana muslim sebagai bagian dari tren sehingga muslimah
bebas bergaya dengan pakaiannya. Kreasi busana juga sangat dibutuhkan untuk tampil gaya. Wartawan menanyakan kepada pembaca faktor apakah yang menjadi
pertimbangan dalam memilih busana? Kemudian wartawan menawarkan satu solusi yaitu memilih busana berdasarkan iklim dan cuaca di daerah tropis seperti
Indonesia. Pada bagian ini, wartawan mengantarkan pembaca kepada bahasan selanjutnya yaitu tips memilih pakaian saat musim hujan dan musim kemarau.
“...Busana muslim konsep padu-padan, memenuhi kebutuhan perempuan untuk tampil seusai pakem namun tetap gaya, serta desain yang kreatif dan
inovatif menjadi ciri khas busana muslim kekinian. Bagaimana dengan Anda? Apa yang menjadi pertimbangan anda untuk bergaya dengan
busana muslim? Untuk Indonesia yang hanya memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan hujan, jilbab yang dikenakan tentunya perlu
penyesuaian dengan kondisi cuaca yang ada.”
Sedangkan penutup artikel bagian kedua adalah penggunaan syal bagi muslimah berjilbab di musim hujan. Penggunaan syal ini berguna untuk menghangatkan
leher yang tidak hanya nyaman dikenakan namun juga menambah indah penampilan. Pada bagian ini, wartawan lebih menonjolkan aspek fungsi pakaian
yang tidak hanya sesuai dengan cuaca namun juga mempercantik penampilan. “...Bagi muslimah berkerudung, udara dingin saat musim hujan
sebenarnya tidaklah terlalu menyengat karena bagian leher sudah tertutupi, namun untuk menambah kehangatan tidak ada salahnya menambahkan
Universitas Sumatera Utara
64
syal di leher. Selain menambah indah penampilan, syal juga bisa memberikan kenyamanan saat dikenakan.”
4.2.2 Skrip Artikel 1
Artikel ini memiliki kelengkapan unsur berita yang mencakup 5W+1H. Unsur What adalah unsur yang paling menonjol dalam artikel ini. Unsur What
menggambarkan jenis dan bentuk busana muslim yang masih disukai sampai saat ini. Busana tersebut berbentuk model two pieces atasan dan bawahan yang bisa
dipadupadankan dan tidak hanya sekali pakai. Busana muslim juga dipilih terkait dengan karakter penggunanya. Setiap orang memiliki karakter yang berbeda
sehingga akan memilih busana yang berbeda pula. Pada artikel bagian kedua, unsur How adalah unsur yang sangat dominan
digunakan karena tulisan ini berjenis tips. Artikel bagian kedua ini memaparkan cara berbusana yang diseusaikan dengan negara tropis yang memiliki dua musim,
yakni musim kemarau dan musim hujan. Paragraf dibuka dengan dominasi unsur What. Wartawan banyak memaparkan
bentuk-bentuk busana muslim dalam setiap paragrafnya. Ini menunjukkan bahwa busana muslim memiliki bentuk yang sangat beragam dan dipengaruhi pula oleh
banyak faktor sehingga menimbulkan variasi busana.
4.2.3 Tematik Artikel 1
Detail artikel ini sangat baik pada bagian kedua yang menjelaskan tips memilih busana muslim berdasarkan cuaca di negara tropis, yaitu musim kemarau dan
musim hujan. Wartawan memaparkan detail yang baik dalam menggambarkan model, bahan, warna hingga cara pemakaian jilbab, baju, bawahan, sepatu hingga
aksesoris yang bisa dikenakan. Koherensi paragraf dalam artikel ini kurang tersusun rapi. Wartawan tidak
menulisnya secara runut sehingga cukup membingungkan pembaca. Hal ini dapat dilihat pada :
- Penyebutan narasumber yang tidak runut. Tulisan dibuka dengan pendapat Restu Anggraini, selanjutnya pernyataan Irna Mutiara digabung dengan pendapat
Universitas Sumatera Utara
65
Jenahara dalam paragraf yang sama. Setelah itu muncul pernyataan dari Jenahara, namun setelahnya dimunculkan lagi pendapat Irna Mutiara. Di akhir tulisan
wartawan menggunakan lagi pendapat Jenahara yang diakuinya didapatkan pada kesempatan terpisah. Dengan pola seperti ini, wartawan menyulitkan pembaca
untuk berpikir secara runut. - Penyebutan konsep busana muslimah yang juga tidak teratur. Awalnya,
wartawan menyebutkan konsep busana muslimah yang sesuai dengan cuaca sekitar. Kemudian dipaparkan pendapat Restu Anggraini tentang busana
muslimah yang sesuai dengan karakter personalnya. Konsep ini sebenarnya sudah diperkuat dengan pernyataan Irna Mutiara yang juga memiliki pendapat sejenis.
Namun pada paragraf yang sama, wartawan menambahkan pendapat Jenahara tentang konsep padu-padan. Setelah itu wartawan menambahkan pendapat
Jenahara yang justru menyebut model two pieces. Tidak hanya bicara model, Jenahara juga bicara tentang pemilihan warna sesuai daerah. Pembahasan ini
dilanjutkan dengan pendapat Irna Mutiara tentang memilih bahan baju sesuai iklim negara tropis. Setelah dibawa jauh kepada pemilihan warna dan bahan,
wartawan ternyata mengembalikan pembaca kepada konsep busana yang telah dibahas di awal yaitu busana yang menonjolkan karakter personalnya. Setelah itu
wartawan menyebut kembali busana padu padan yang juga telah disebut sebelumnya. Akhirnya wartawan menutup tulisan dengan paparan mengenai
memilih busana muslim yang sesuai dengan cuaca. Hal ini sudah disebutkan pada lead sebelumnya. Pola tidak runut seperti ini akan menyulitkan pembaca untuk
berpikir dan mencerna pesan secara teratur. Namun pada artikel bagian kedua, koherensi paragraf justru tersusun rapi. Ini
terlihat dari cara wartawan memaparkan tips berbusana yang dimulai dari pemilihan jilbab, pakaian, bawahan, sepatu lalu aksesoris. Urutan ini bisa dinilai
dari posisi anggota tubuh yaitu dimulai dari yang paling atas sampai ke bawah. Di sisi lain, urutan ini juga disusun berdasarkan nilai kepentingannya. Jilbab masih
dimunculkan sebagai yang utama kemudian diakhiri dengan aksesoris sebagai item yang tidak terlalu penting.
4.2.4 Retoris Artikel 1
Universitas Sumatera Utara
66
Dalam menekankan fakta, wartawan menggunakan idiom yang berasal dari dunia fashion seperti classic-feminine untuk menyebut gaya berbusana yang dipengaruhi
oleh gaya berbusana zaman dahulu, sederhana, namun tetap menunjukkan sisi feminim dari pemakainya. Two pieces adalah istilah untuk menyebut pakaian dua
potong yang terbagi menjadi atasan dan bawahan, pakaian ini tidak merujuk kepada gamis, jubah, abaya dan sejenisnya. Pada artikel bagian kedua juga
disebutkan beberapa item yang berasal dari dunia fashion seperti : Kerudung paris, kerudung katun, pashmina, sweater, jeans, rok maxi, legging, boots dan
syal. Penyebutan item dari dunia fashion ini menonjolkan busana muslim sebagai bagian dari fashion dan tren.
Wartawan juga melakukan penekanan pada pengulangan kata-kata seperti : “Gaya” disebut sebanyak 8 kali, “Tren” sebanyak 4 kali dan “Model” sebanyak 4
kali. Wartawan melakukan penekanan terhadap kata gaya sehingga busana muslim berkaitan erat dengan aspek gaya dan bergaya.
Dilihat dari unsur grafisnya, artikel ini tidak banyak melakukan penonjolan. Terlihat dari font yang sama besar, tidak ada eye catcher maupun tulisan yang di-
bold untuk melakukan penegasan. Headline juga hanya ditulis dengan huruf serif berwarna hitam dan biru.
Noor melakukan penegasan pada foto. Artikel ini banyak menggunakan foto sebagai pendukung tulisan. Pada halaman pertama, terdapat sebuah foto dua orang
model permepuan yang menggunakan busana model two piece. Model yang berada di sebelah kanan menggunakan pashmina tidak menutup dada,
mengenakan baju lengan panjang berwarna hitam dan rok satin berwarna abu-abu dengan sepatu berwarna coklat. Model yang berada di sebelah kiri menggunakan
pashmina yang juga tidak menutup dada. Mengenakan baju berwarna biru terang dengan bawahan berwarna cokelat dan sepatu berwarna hitam. Pada halaman ini,
Noor menonjolkan sisi fashion busana muslim dengan model pakaian two piece. Dilihat dari ukurannya, foto ini berdimensi 19.5 cm x 11.5 cm. Luas foto adalah
224.25 cm
2
. Satu halaman majalah Noor memiliki dimensi 27.2 cm x 21 cm sehingga luas keseluruhannya adalah 571.2 cm
2
. Perbandingan foto dengan teks
Universitas Sumatera Utara
67
adalah 224.25 cm
2
: 346.92 cm
2
yaitu sebesar 1 : 1.5. Pada halaman ini Noor lebih menonjolkan isi tulisan dibandingkan foto.
Pada halaman kedua, hanya terdapat sebuah foto perempuan menggunakan busana muslimah satu potong berwarna biru dengan corak dan motif yang ramai. Model
menggunakan jilbab berwarna biru gelap namun tidak menutup dada. Perbandingan dimensi foto dengan teks pada halaman ini adalah 381.45 cm
2
: 189.75 cm
2
yaitu sebesar 2 : 1. Pada halaman ini, Noor lebih menonjolkan foto dibandingkan dengan isi teks.
Pada halaman ketiga terdapat 5 buah foto yang menjadi penjelas gaya berbusana untuk musim kemarau mencakup bahan baju, bahan jilbab, gaya berjilbab hingga
sepatu. Dilihat dari dimensinya, kelima foto ini seluruhnya berukuran 178.92 cm
2
. Perbandingan foto dengan teks pada halaman ini adalah 178.92 cm
2
: 392.28 cm
2
yaitu sebesar 1 : 2. Pada halaman ini Noor lebih menonjolkan isi teks. Pada halaman keempat terdapat 5 buah foto yang menjadi penjelas gaya
berbusana untuk musim hujan mencakup bahan baju, gaya berbusana, gaya berjilbab serta sepatu. Tidak terdapat foto penjelas untuk aksesoris berupa syal.
Dilihat dari dimensinya, seluruh foto pada halaman ini berukuran 285.84 cm
2
. Perbandingan foto dengan teks adalah 285.84 cm
2
: 285.36 cm
2
yaitu sebesar 1 : 1. Pada halaman ini Noor tidak menonjolkan salah satu aspek. Foto dan teks
memiliki porsi yang sama. Dilihat dari rubriknya, artikel ini diletakkan di rubrik Fashion Issue yang berarti
Noor menempatkan busana muslimah sebagai isu fashion. Ditinjau dari halamannya, artikel ini terletak pada halaman 32-35 dari total 130 halaman isi.
Dengan jumlah total 4 halaman, Noor menempatkan artikel ini sebagai pembahasan penting.
Tabel 4 Analisis Framing Artikel 1 “Menilik Gaya Berbusana Muslim”
Universitas Sumatera Utara
68
No. Elemen yang diteliti Analisis
1 Sintaksis
Dilihat dari struktur sintaksisnya, Noor
mengangkat headline untuk mengajak pembaca melihat dengan teliti gaya berbusana muslim.
Pada lead, Noor menawarkan salah satu cara dalam memilih gaya busana yang disesuaikan
dengan musim dan cuaca. Ini terkait dengan tips yang diberikan Noor pada tulisan bagian kedua
tentang kesulitan bergaya dengan busana muslim di musim kemarau dan hujan. Musim kemarau
identik dengan panas dan berkeringat sehingga busana muslim yang tertutup akan menambah
panasnya sedangkan pada musim hujan yang dingin dan identik dengan sweater akan
menyulitkan untuk bergaya. Keduanya masih menonjolkan busana muslim sebagai gaya. Latar
informasi yang digunakan adalah model-model busana muslim yang digemari saat ini dan cara
memilih busana muslim sesuai dengan musim di negara tropis seperti Indonesia. Untuk kutipan dan
pernyataan, Noor mengambil langsung dari ketiga narasumbernya yang semuanya berprofesi sebagai
desainer busana. Ini menunjukkan bahwa busana muslim sangat berkaitan dengan fashion. Noor
menutup artikel ini dengan pemaparan bahwa busana muslim kekinian dapat memenuhi
kebutuhan perempuan untuk tampil gaya.
2
Skrip Dilihat dari struktur skripnya, artikel ini memiliki
kelengkapan unsur berita yang mencakup 5W+1H. Unsur What adalah unsur yang paling
Universitas Sumatera Utara
69
menonjol dalam artikel ini. Unsur What menggambarkan jenis dan bentuk busana muslim
yang masih disukai sampai saat ini. Pada artikel bagian kedua, unsur How adalah unsur yang
sangat dominan digunakan karena tulisan ini berjenis tips. Artikel bagian kedua ini
memaparkan cara berbusana yang disesuaikan dengan negara tropis yang memiliki dua musim,
yakni musim kemarau dan musim hujan. Paragraf dibuka dengan dominasi unsur What. Wartawan
banyak memaparkan bentuk-bentuk busana muslim dalam setiap paragrafnya. Ini
menunjukkan bahwa busana muslim memiliki bentuk yang sangat beragam dan dipengaruhi pula
oleh banyak faktor sehingga menimbulkan variasi busana.
3 Tematik
Dilihat dari struktur tematiknya, artikel ini memiliki detail yang sangat baik dalam
menggambarkan model dan konsep busana muslim kekinian. Begitu pula dalam
menggambarkan detail busana yang cocok dipakai pada musim kemarau dan hujan mulai dari jilbab,
baju, bawahan, sepatu hingga aksesoris. Koherensi paragraf tidak tersusun rapi baik dalam
mengurutkan pendapat narasumber maupun dalam memaparkan konsep busana muslim yang
diulang-ulang secara tidak runut. Namun pada tulisan bagian kedua, koherensi paragraf justru
sangat rapi. Noor mengurutkan tips berpakaian mulai dari anggota tubuh paling atas hingga
paling bawah dan mengurutkan sesuai
Universitas Sumatera Utara
70
kepentingan yaitu mulai dari jilbab sampai ke aksesoris tambahan yang tidak terlalu penting.
4 Retoris
Dilihat dari struktur retorisnya, Noor banyak menggunakan istilah dari dunia fashion. Ini
menunjukkan bahwa busana muslim menjadi bagian dari fashion. Pada artikel ini kata “Gaya”
disebutkan sebanyak 8 kali. Noor melakukan penekanan pada kata gaya sehingga busana
muslim adalah sarana untuk bergaya. Dilihat dari grafisnya, Noor tidak melakukan penekanan pada
bagian tertentu. Namun pada artikel ini terdapat banyak foto dengan dimensi yang besar dan
jumlah yang cukup banyak. Satu halaman majalah Noor memiliki luas 571.2 cm
2
maka total luas dari 4 halaman artikel ini adalah sebesar 2284.8 cm
2
. Sedangkan dimensi foto yang digunakan pada
empat halaman tersebut seluruhnya berukuran 1070.46 cm
2
. Perbandingan antara teks dengan foto adalah 2284.8 cm
2
: 1070.46 cm
2
yaitu sebesar 2 : 1. Noor lebih menonjolkan isi tulisan
dibandingkan dengan foto. Ditinjau dari posisinya, artikel ini terletak pada rubrik Fashion
Issue yang terletak pada halaman 32-35 dengan jumlah 4 halaman. Noor memberikan porsi yang
cukup besar kepada rubrik ini dan dianggap penting karena diletakkan di bagian depan dari
total 130 halaman isi. Sumber : Hasil Penelitian
4.3 Analisis Framing Artikel 2
Tabel 5
Universitas Sumatera Utara
71
Detail Artikel 2 Judul
Evolusi Jilbab di Indonesia Sejak 1980-an Rubrik
Gaya Hidup Halaman
36-37 Jumlah Halaman
2 halaman
EVOLUSI JILBAB DI INDONESIA SEJAK 1980-AN
9 dari 10 muslimah Indonesia saat ini mengenakan busana muslimah termasuk kerudungnya. Penanda takwa atau sekedar terbawa arus gaya?
Sejak Islam datang ke Indonesia, penggunaan kerudung oleh muslimah Indonesia, sudah terjadi. Namun penggunaan istilah jilbab sebagai kerudung yang menutup
kepala, rambut, leher dan dada di Indonesia baru populer di tahun 1980-an. Mulai saat itu, jilbab mengalami proses evolusi yang relatif cepat dan signifikan, di
mana situasi politik ikut mempengaruhi evolusi tersebut.
Simbol Ketaatan dan Perlawanan
Awal era 1980-an, jilbab belum banyak dikenakan muslimah. Jilbab identik dengan kalangan santri, kelompok usroh dan tarbiyah. Meski sama-sama
berjilbab, perbedaan jilbab kalangan pesantren tradisional dan kelompok usrohtarbiyah bisa dikenali. Pada era ini, penggunaan jilbab di sekolah negeri
memerlukan perjuangan dan pengorbanan, Siswi SMP dan SMA negeri yang berjilbab dianggap melanggar aturan berseragam yang secara nasional ditentukan
berupa rok pendek dan kemeja lengan pendek. Banyak perempuan dari kalangan santri terpaksa tidak bisa melanjutkan ke sekolah umum negeri karena aturan ini,
termasuk penulis. PNS perempuan yang mengenakan jilbab sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan, termasuk tidak mendapat promosi jabatan.
Jilbab saat itu tak sekedar simbol ketaatan beragama. Ia juga simbol keberanian dan bahkan perlawanan. Masih banyak orang takut mengenakannya, karena
pandangan umum yang merupakan cerminan dari cara pandang pemerintah,
Universitas Sumatera Utara
72
mencurigai jilbab sebagai perlawanan terhadap pemerintah dan “Islam garis keras”.
Peralihan Massif
Sejak pertengahan 1980-an, seiring dengan situasi politik yang lebih akomodatif terhadap segala sesuatu yang menampakkan Islam dan bangkitnya gerakan Islam
secara massif khususnya di kampus-kampus umum, fenomena muslimah berjilbab semakin marak. Para guru madrasah yang sebelumnya mengenakan kerudung
panjang beralih menggunakan jilbab yang menutup rambut, leher dan dada. Di kampus-kampus Islam, hal yang sama juga terjadi. Akhir 1980-an, seluruh
mahasiswi di kampus-kampus Islam sudah tidak ada lagi yang mengikuti kegiatan kuliah di kampus tanpa mengenakan jilbab.
Kran Kebebasan Terbuka
Reformasi 1998 yang diikuti dengan terbukanya kran kebebasan berpendapat dan berekspresi serta penghormatan kepada hak asasi manusia telah menjadi jalan
yang lapang bagi muslimah Indonesia untuk mengekspresikan identitas dirinya, termasuk cara berpakaiannya. Tak ada lagi kendala politis apapun untuk
mengenakan jilbab. Muslimah Indonesia bebas berjilbab tanpa rasa takut atau malu, sekaligus bebas berekspresi dan berkreasi secara leluasa. Jilbab dan busana
muslimah pun memasuki era baru karena dikenakan secara massif dengan beragam model dan kreasi. Jilbab model A,B,C,D, sebagian menggunakan nama
artis pun membanjiri pasaran. Minat muslimah mengenakan jilbab meningkat drastis.
Peran media, pendakwah, perkumpulan keagamaan, majelis taklim kaum ibu dan keputusan artis-artis terkenal untuk mengenakan jilbab sangat berpengaruh
terhadap cepat dan massifnya penggunaan jilbab oleh muslimah Indonesia. Jilbab pun menjadi pakaian yang tak sekedar simbol ketaatan, melainkan juga simbol
lifestyle muslimah modern. Karena fashionable, busana muslim langsung mampu menjadi kompetitor pakaian terbuka yang sebelumnya dianggap sebagai simbol
orang modern. Busana muslim pun dipakai oleh beragam kalangan, tak hanya kaum santri dan aktivis Islam. Profesional, artis, ibu rumah tangga, karyawati, dan
Universitas Sumatera Utara
73
bahkan anak-anak perempuan mengenakan jilbab dimana-mana. Komunitas jilbab dan hijab pun bermunculan.
Peran Majalah NooR
Pada titik ini, majalah NooR yang terbit pertama tahun 2003, sejak berdirinya menjadi salah satu majalah lifestyle muslimah yang secara sistematis dan
berkesinambungan mengampanyekan busana muslimah yang memiliki citarasa dan sentuhan Indonesia; busana muslimah yang sesuai tuntunan syariat, nyaman
bagi yang memakai dan orang lain yang berinteraksi, indah, bisa mendukung aktivitas dan mobilitas perempuan modern, sekaligus dikenali keindonesiannya.
Pemikiran itu kemudian terinstitusionalisasi melalui Lomba Rancang Busana Muslimah LRBM yang setiap tahun menjadi ajang lahirnya desainer perempuan
berbakat Indonesia. Kini, banyak nama besar di dunia busana muslim Indonesia yang pernah
berproses dalam kawah candradimuka LRBM NooR. Ketika hari ini masyarakat penggiat fashion busana muslim Indonesia dengan percaya diri mencanangkan
“Indonesia Kiblat Busana Muslim Dunia tahun 2020”, maka dengan penuh syukur majalah NooR dapat menyatakan bahwa majalah ini menjadi salah satu bagian
yang tidak terpisahkan dari proses dan dinamika yang terjadi.
Era Otonomi Daerah
Seiring dengan berlakunya otonomi daerah pasca disahkannya UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, di wilayah tertentu yang kultur dan penduduk
muslimnya kuat, seperti Aceh, beberapa daerah di Sulawesi Selatan, Sumatera Barat dan Kalimantan Selatan, desakan politik untuk menjadikan jilbab sebagai
pakaian yang diwajibkan oleh Perda menguat. Perda yang mengatur jilbab pun muncul. Perda-perda ini selalu diiringi oleh tarik menarik dua kepentingan.
Pertama, kepentingan politik yang ingin menunjukkan kekuatan menerapkan syariat Islam, dan kedua kepentingan perempuan yang tidak setuju negara ikut
campur terlalu jauh pada wilayah privat perempuan. Terlepas dari pro-kontra yang terjadi, kita bisa simpulkan bahwa pandangan politik terhadap jilbab mengalami
perubahan 180 derajat. Jika di era 1980-an pelarangan dilakukan begitu rupa
Universitas Sumatera Utara
74
hingga pemakai jilbab harus berjuang dalam mempertahankan hak asasinya, pasca 2000 desakan pewajiban terjadi begitu rupa hingga mencemaskan perempuan
yang tidak mengenakan jilbab.
Hijab, Jilboobs, Jilbab Syar’i
Awal 2010-an, istilah hijab dalam arti busana muslimah mulai populer. Adanya komunitas Hijabers di Jakarta dan berbagai daerah yang eksis di dunia nyata,
maya, maupun media, memberikan andil besar dalam dakwah penggunaan busana muslimah di kalangan remaja dan ibu-ibu muda karena Hijabers mampu
memberikan citra busana muslimah sebagai pakaian yang indah. Dipakainya jilbab oleh berbagai kalangan rupanya mendorong institusi Polri
untuk mengakomodasi kebutuhan polwan yang ingin mengenakannya. Mulai 2013, wacana ini mulai bergulir. Jilbab pun dianggarkan sebagai salah satu
komponen seragam Polwan. Hingga akhir 2014, Peraturan Kapolri tentang hal itu masih disusun.
Di tahun 2014 ini, mencuat dua istilah populer terkait jilbab. Pertama, “jilboobs” yang digunakan untuk menyebut busana muslimah yang menutup aurat tetapi
masih menampakkan bentuk tubuh dan keseksian pemakai. Kedua, “jilbab syar’i” yang merupakan antithesis dari jilboobs. Istilah jilbab syar’i sebetulnya sudah
lama, namun menjadi lebih populer dan gencar disosialisasikan seiring dengan fenomena jilboobs. Kecenderungan terakhir menunjukkan istilah jilbab syar’i
makin eksklusif karena mengarahkan busana muslimah menjadi satu model : baju gamis longgar yang menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan,
ditutup oleh kerudung longgar yang menutup dada dan punggung, serta tidak menjadikan busana muslimah sebagai fashion. Pakaian ala muslimah Arab
menjadi rujukan. Selayaknya kita tidak terjebak pada perdebatan yang saling menegasikan ini.
Jilbab dalam surat al-Ahzab ayat 59 adalah firman Allah yang mutlak kebenarannya. Namun tafsir jilbab itu sendiri tidak tunggal dan tidak mutlak.
Apalagi bentuk, model dan bahan. Itu adalah ranah budaya dan kreasi manusia.
Universitas Sumatera Utara
75
Mau baju longgar satu potong baju kurung seperti tradisi masyarakat Arab, atau mau baju atasan dan bawahan, seperti tradisi masyarakat Indonesia.
Biarkanlah jilbab dan busana muslimah dipilih karena cinta. Biarlah jilbab menjadi pakaian luar muslimah penanda takwa, yang dengannya muslimah
terbimbing menuju pakaian “luar-dalam” yang sejati dan terindah, yaitu takwa QS Al-A’raf7 : 26. Amin.
4.3.1 Sintaksis Artikel 2
Headline artikel ini adalah Evolusi Jilbab di Indonesia Sejak 1980-an. Evolusi memiliki arti perubahan secara berangsur-angsur. Ini menunjukkan bahwa
keberadaan jilbab di Indonesia bukanlah melalui proses yang tanpa hambatan, namun terjadi perubahan yang berlangsung secara perlahan.Tahun 1980 dipilih
karena penggunaan istilah jilbab sebagai kerudung yang menutup kepala, rambut, leher dan dada baru populer pada saat itu. Sedangkan jilbab di masa kini sudah
mudah ditemui dan sudah umum dikenakan. Lead yang digunakan dalam artikel ini mengungkapkan fakta bahwa 9 dari 10
muslimah di Indonesia kini sudah mengenakan busana muslimah berikut jilbabnya. Ini menunjukkan sisi fantastis perbandingan jumlah muslimah yang
sudah berjilbab dan belum berjilbab saat ini. Namun Noor masih mempertanyakan apakah jumlah pengguna busana muslimah ini karena berdasarkan ketakwaan atau
sekedar terbawa arus gaya. Lead ini berusaha mengkritisi sekaligus mengajak pembaca untuk berpikir bahwa melonjaknya pengguna busana muslimah tidak
bisa dipastikan sebagai penanda ketakwaan atas perintah berjilbab yang tertera di dalam Al-Qur’an. Ada indikasi lain bahwa jumlah pengguna busana muslimah ini
bisa saja didorong oleh arus tren. “...9 dari 10 muslimah Indonesia saat ini mengenakan busana muslimah
termasuk kerudungnya. Penanda takwa atau sekedar terbawa arus gaya?” Latar informasi yang digunakan adalah perubahan pemakaian jilbab dan
pergeseran makna jilbab dari awal era tahun 1980-an hingga sekarang. Pada awalnya jilbab hanya digunakan oleh santri yang mengenyam pendidikan di
pesantren. Sepanjang 1980-an negara masih mempersulit muslimah Indonesia untuk memakai jilbab, sehingga pada masa ini jilbab tidak hanya merupakan
Universitas Sumatera Utara
76
simbol ketakwaan, tetapi juga merupakan simbol keberanian dan perlawanan terhadap pemerintah, karena pada masa tersebut muslimah yang memakai jilbab
dianggap sebagai ‘Islam garis keras’. Setelah reformasi 1998 jilbab mulai dipakai secara massif oleh muslimah Indonesia. Saat ini institusi pemerintah bahkan mulai
membuat aturan untuk mengakomodasi muslimah untuk dapat memakai jilbab dalam institusinya, seperti Polri yang menyediakan anggaran bagi polisi wanita
yang ingin menggunakan jilbab. Jilbab juga sudah menjadi trend fashion dan lifestyle muncul yang kemudian memunculkan dua istilah yang justru saling
bertentangan dikarenakan perbedaan tafsir mengenai menutup aurat bagi muslimah. Istilah ‘Jilboobs’ yang digunakan untuk menyebut busana muslimah
yang menutup aurat tetapi masih menampakkan bentuk tubuh dan keseksian pemakai. Kemudian ‘Jilbab Syar’i’ yang merupakan antithesis dari jilboobs,
busana muslimah menjadi satu model yaitu baju gamis longgar yang menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, ditutup oleh kerudung longgar
yang menutup dada dan punggung, serta tidak menjadikan busana muslimah sebagai fashion.
Artikel ini tidak memiliki kutipan dan pernyataan karena berasal dari pemikiran wartawan. Namun terdapat satu sumber yang digunakan dalam artikel ini yaitu
UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sumber ini dijadikan landasan bagi daerah-daerah yang memiliki kultur dan penduduk Muslim yang
kuat untuk menjadikan jilbab sebagai pakaian wajib di daerah tersebut. Noor menggunakan UU ini sebagai landasan kuat yang berasal dari kebijakan
pemerintah dan negara tentang kuatnya Perda tentang jilbab sebagai pakaian wajib. Ini tidak hanya membuktikan bahwa jilbab adalah perintah agama namun
dijadikan pula sebagai peraturan daerah sesuai dengan kebijakan masing-masing daerah.
“...Seiring dengan berlakunya otonomi daerah pasca disahkannya UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, di wilayah tertentu yang
kultur dan penduduk muslimnya kuat, seperti Aceh, beberapa daerah di Sulawesi Selatan, Sumatera Barat dan Kalimantan Selatan, desakan politik
untuk menjadikan jilbab sebagai pakaian yang diwajibkan oleh Perda menguat. Perda yang mengatur jilbab pun muncul.”
Universitas Sumatera Utara
77
Artikel ditutup dengan harapan kepada para muslimah untuk memilih jilbab dan busana muslimah karena cinta. Jika berjilbab dipilih karena cinta maka pakaian itu
akan membimbing muslimah menuju pakaian “luar-dalam” yang meliputi jiwa dan raga yaitu sebaik-baik pakaian adalah pakaian takwa. Ini merujuk kepada
surat Al-A’raf ayat 26 dalam Al-Qur’an yang berbunyi, “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup
auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik.” Jilbab seyogyanya digunakan sebagai tanda ketakwaan atas perintah
menutup aurat. Itulah sebaik-baik pakaian. “...Biarkanlah jilbab dan busana muslimah dipilih karena cinta. Biarlah
jilbab menjadi pakaian luar muslimah penanda takwa, yang dengannya muslimah terbimbing menuju pakaian “luar-dalam” yang sejati dan
terindah, yaitu takwa QS Al-A’raf7 : 26. Amin.”
4.3.2 Skrip Artikel 2
Artikel ini memiliki unsur berita yang lengkap. Unsur Who dan When merupakan unsur yang paling banyak digunakan. Unsur Who digunakan untuk menjelaskan
tentang evolusi para pengguna jilbab. Pada mulanya jilbab hanya dikenakan oleh kalangan santri seperti kelompok usroh dan tarbiyah atau yang sekarang populer
dengan sebutan kelompok mentoring. Sedangkan siswi SMP dan SMA Negeri mengalami kesulitan dalam mengenakan jilbab. PNS perempuan yang berjilbab
juga sering mendapatkan perlakuan tidak adil. Pada pertengahan 1980-an, seiring dengan kebangkitan Islam secara massif maka guru madrasah pun mengganti
kerudungnya dengan jilbab yang menutup rambut, leher dan dada. Mahasiswi muslim di kampus-kampus Islam juga sudah mengenakan jilbab. Setelah
reformasi 1998, muslimah lebih bebas lagi mengenakan jilbab. Pada masa ini jilbab mulai populer dengan bentuk yang kreatif serta dilabeli nama artis. Saat ini
jilbab sudah tidak lagi sulit digunakan. Penggunanya kian bertambah dan memunculkan komunitas-komunitas pengguna jilbab seperti Hijaber Community.
Sedangkan unsur When digunakan untuk menjelaskan evolusi jilbab ke dalam beberapa fase. Dimulai dari tahun 1980, pertengahan 1980-an, pasca reformasi
1998, awal 2010-an sampai tahun 2014. Wartawan membaginya dalam beberapa
Universitas Sumatera Utara
78
fase besar yang menunjukkan evolusi jilbab itu sendiri, dimana jilbab mengalami perubahan secara perlahan-lahan.
Unsur Who dan When juga kerap disandingkan bersamaan. Ini menunjukkan bahwa ada pelaku khas di setiap zaman. Evolusi jilbab ditandai dengan pengguna
jilbabnya. Penyandingan ini terdapat dalam beberapa paragraf, seperti : “...Awal era 1980-an, jilbab belum banyak dikenakan muslimah. Jilbab
identik dengan kalangan santri, kelompok usroh dan tarbiyah.”
“...Pada era ini 1980-an, penggunaan jilbab di sekolah negeri memerlukan perjuangan dan pengorbanan, Siswi SMP dan SMA negeri
yang berjilbab dianggap melanggar aturan berseragam yang secara nasional ditentukan berupa rok pendek dan kemeja lengan pendek.”
“...Akhir 1980-an, seluruh mahasiswi di kampus-kampus Islam sudah
tidak ada lagi yang mengikuti kegiatan kuliah di kampus tanpa mengenakan jilbab.”
“...Awal 2010-an, istilah hijab dalam arti busana muslimah mulai populer. Adanya komunitas Hijabers
Setiap paragraf dibuka dengan dominasi unsur When yang ditandai dengan adanya penjelas waktu seperti tahun dan momen. Wartawan sangat menyesuaikan dengan
headline dimana perubahan jilbab yang terjadi perlahan-lahan berkaitan dengan waktu pula. Perubahan jilbab bisa ditandai dari momen-momen yang ada sejak
tahun 1980 hingga saat ini dan waktu-waktu tersebut juga ikut mendorong perubahan jilbab.
di Jakarta dan berbagai daerah yang eksis di dunia nyata, maya, maupun media, memberikan andil besar dalam dakwah
penggunaan busana muslimah di kalangan remaja dan ibu-ibu muda karena Hijabers mampu memberikan citra busana muslimah sebagai
pakaian yang indah.”
4.3.3 Tematik Artikel 2
Universitas Sumatera Utara
79
Detail dalam artikel ini terkait dengan evolusi jilbab dapat dibagi menjadi beberapa bagian:
Pertama, detail mengenai bagaimana bentuk jilbab yang digunakan pada masa sebelum tahun 1980-an dengan bentuk jilbab yang digunakan pada masa
pertengahan tahun 1980-an dan bentuk jilbab yang digunakan pada masa pasca reformasi yang menjadi pembeda jilbab yang digunakan kalangan pesantren
tradisional dengan kelompok yang dinamakan kelompok usrohtarbiyah, kemudian juga ketika jilbab telah digunakan secara massif dengan berbagai
macam kreasinya. ...Awal era 1980-an, jilbab belum banyak dikenakan muslimah. Jilbab
identik dengan kalangan santri, kelompok usroh dan tarbiyah. Meski sama-sama berjilbab, perbedaan jilbab kalangan pesantren tradisional dan
kelompok usrohtarbiyah bisa dikenali... Para guru madrasah yang sebelumnya mengenakan kerudung panjang beralih menggunakan jilbab
yang menutup rambut, leher dan dada... Jilbab dan busana muslimah pun memasuki era baru karena dikenakan secara massif dengan beragam
model dan kreasi. Jilbab model A,B,C,D, sebagian menggunakan nama artis pun membanjiri pasaran”
“... Di tahun 2014 ini, mencuat dua istilah populer terkait jilbab. Pertama, “jilboobs” yang digunakan untuk menyebut busana muslimah yang
menutup aurat tetapi masih menampakkan bentuk tubuh dan keseksian pemakai. Kedua, “jilbab syar’i” yang merupakan antithesis dari jilboobs.
Istilah jilbab syar’i sebetulnya sudah lama, namun menjadi lebih populer dan gencar disosialisasikan seiring dengan fenomena jilboobs.
Kecenderungan terakhir menunjukkan istilah jilbab syar’i makin eksklusif karena mengarahkan busana muslimah menjadi satu model : baju gamis
longgar yang menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, ditutup oleh kerudung longgar yang menutup dada dan punggung, serta
tidak menjadikan busana muslimah sebagai fashion. Pakaian ala muslimah Arab menjadi rujukan”
Kedua, detail mengenai bagaimana pergeseran makna jilbab yang dimulai dari tahun 1980 kemudian masuk ke masa peralihan dimana jilbab mulai digunakan
secara massif, hingga masa sekarang ini dimana jilbab telah menjadi trend fashion dan lifestyle.
“...Jilbab saat itu tak sekedar simbol ketaatan beragama. Ia juga simbol keberanian dan bahkan perlawanan”
“...Jilbab pun menjadi pakaian yang tak sekedar simbol ketaatan, melainkan juga simbol lifestyle muslimah modern. Karena fashionable,
Universitas Sumatera Utara
80
busana muslim langsung mampu menjadi kompetitor pakaian terbuka yang sebelumnya dianggap sebagai simbol orang modern. Busana muslim pun
dipakai oleh beragam kalangan, tak hanya kaum santri dan aktivis Islam”
“...Selayaknya kita tidak terjebak pada perdebatan yang saling menegasikan ini. Jilbab dalam surat al-Ahzab ayat 59 adalah firman Allah
yang mutlak kebenarannya. Namun tafsir jilbab itu sendiri tidak tunggal dan tidak mutlak. Apalagi bentuk, model dan bahan. Itu adalah ranah
budaya dan kreasi manusia. Mau baju longgar atau potong baju kurung seperti tradisi masyarakat Arab, atau mau baju atasan dan bawahan, seperti
tradisi masyarakat Indonesia.”
Ketiga, detail penggambaran bagaimana posisi politis jilbab dalam perjalanan pemerintahan Indonesia terkait dengan simbol perlawanan mengenai hak asasi
manusia yang kemudian juga berubah menjadi simbol politik kepentingan yang menjadi tarik-menarik dua kelompok yang bertentangan yaitu kelompok yang
ingin ingin menerapkan syariat Islam dan kelompok yang tidak setuju menyatukan antara negara dan agama.
“...Pada era ini, penggunaan jilbab di sekolah negeri memerlukan perjuangan dan pengorbanan, Siswi SMP dan SMA negeri yang berjilbab
dianggap melanggar aturan berseragam yang secara nasional ditentukan berupa rok pendek dan kemeja lengan pendek. Banyak perempuan dari
kalangan santri terpaksa tidak bisa melanjutkan ke sekolah umum negeri karena aturan ini, termasuk penulis. PNS perempuan yang mengenakan
jilbab sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan, termasuk tidak mendapat promosi jabatan...
“...Jilbab saat itu tak sekedar simbol ketaatan beragama. Ia juga simbol keberanian dan bahkan perlawanan. Masih banyak orang takut
mengenakannya, karena pandangan umum yang merupakan cerminan dari cara pandang pemerintah, mencurigai jilbab sebagai perlawanan terhadap
pemerintah dan “Islam garis keras.”
“...Sejak pertengahan 1980-an, seiring dengan situasi politik yang lebih akomodatif terhadap segala sesuatu yang menampakkan Islam dan
bangkitnya gerakan Islam secara massif khususnya di kampus-kampus umum, fenomena muslimah berjilbab semakin marak.”
“...Reformasi 1998 yang diikuti dengan terbukanya kran kebebasan berpendapat dan berekspresi serta penghormatan kepada hak asasi manusia
telah menjadi jalan yang lapang bagi muslimah Indonesia untuk mengekspresikan identitas dirinya, termasuk cara berpakaiannya. Tak ada
lagi kendala politis apapun untuk mengenakan jilbab. Muslimah Indonesia bebas berjilbab tanpa rasa takut atau malu, sekaligus bebas berekspresi dan
berkreasi secara leluasa.”
Universitas Sumatera Utara
81
“...Seiring dengan berlakunya otonomi daerah pasca disahkannya UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, di wilayah tertentu yang
kultur dan penduduk muslimnya kuat, seperti Aceh, beberapa daerah di Sulawesi Selatan, Sumatera Barat dan Kalimantan Selatan, desakan politik
untuk menjadikan jilbab sebagai pakaian yang diwajibkan oleh Perda menguat. Perda yang mengatur jilbab pun muncul.”
“...Terlepas dari pro-kontra yang terjadi, kita bisa simpulkan bahwa pandangan politik terhadap jilbab mengalami perubahan 180 derajat. Jika
di era 1980-an pelarangan dilakukan begitu rupa hingga pemakai jilbab harus berjuang dalam mempertahankan hak asasinya, pasca 2000 desakan
pewajiban terjadi begitu rupa hingga mencemaskan perempuan yang tidak mengenakan jilbab.”
Keempat, detail penyebaran siapa atau kalangan apa saja menggunakan jilbab mulai dari tahun 1980 hingga saat ini jilbab massif digunakan berbagai kalangan.
“...Awal era 1980-an, jilbab belum banyak dikenakan muslimah. Jilbab identik dengan kalangan santri, kelompok usroh dan tarbiyah.”
“...Akhir 1980-an, seluruh mahasiswi di kampus-kampus Islam sudah tidak ada lagi yang mengikuti kegiatan kuliah di kampus tanpa mengenakan
jilbab.”
“...Busana muslim pun dipakai oleh beragam kalangan, tak hanya kaum santri dan aktivis Islam. Profesional, artis, ibu rumah tangga, karyawati,
dan bahkan anak-anak perempuan mengenakan jilbab dimana-mana. Komunitas jilbab dan hijab pun bermunculan.”
“...Dipakainya jilbab oleh berbagai kalangan rupanya mendorong institusi Polri untuk mengakomodasi kebutuhan polwan yang ingin
mengenakannya. Mulai 2013, wacana ini mulai bergulir. Jilbab pun dianggarkan sebagai salah satu komponen seragam Polwan. Hingga akhir
2014, Peraturan Kapolri tentang hal itu masih disusun.”
Untuk koherensi kalimat, wartawan menuliskannya dengan alur yang tersusun rapi. Ini dapat dilihat dari periode waktu yang disusun oleh wartawan beserta
evolusi jilbab yang terjadi baik secara bentuk maupun makna. Dimulai dari tahun 1980 dimana jilbab masih asing dikenakan sehingga para penggunanya
seringkali disulitkan. Jilbab pada masa itu hanya digunakan oleh kalangan santri, kelompok usroh dan tarbiyah. Sedangkan pekerja di instansi negara
maupun pelajar di sekolah negeri mengalami kesulitan menggunakan jilbab. Kemudian pada pertengahan 1980-an seiring dengan situasi politik yang lebih
akomodatif disertai dengan bangkitnya gerakan Islam maka penggunaan jilbab
Universitas Sumatera Utara
82
perlahan-lahan mulai dimudahkan. Pada masa itu, di kampus Islam seluruh mahasiswinya sudah menggunakan jilbab. Setelah reformasi 1998, penggunaan
jilbab kian populer. Pada masa itu sudah banyak figur publik yang menggunakan jilbab, maka muncullah jilbab dengan model beragam biasanya
menggunakan nama artis. Seiring dengan diberlakukannya UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka daerah yang penduduk muslimnya
kuat mengusulkan Perda yang mewajibkan jilbab untuk perempuan. Awal tahun 2010, istilah hijab mulai populer. Hijab merujuk kepada jilbab yang lebih modis
dengan model, corak serta warna yang lebih beragam. Jilbab jadi semakin ramah diterima berbagai kalangan. Hal inipun memunculkan komunitas-
komunitas pengguna jilbab, salah satunya Hijabers Community. Di tahun 2014, muncul dua istilah populer tentang jilbab. Yang pertama, jilboobs yaitu busana
muslimah yang menutup aurat tetapi tetap menampakkan bentuk tubuh dan keseksian pemakainya. Kedua, jilbab syar’i yang merupakan anti-thesis dari
jilboobs. Jilbab syar’i merujuk kepada busana muslimah yang lebih simpel dan longgar. Pakaian khas wanita Arab dijadikan rujukan.
Namun di tengah tulisan, wartawan menyelipkan peranan majalah Noor dalam evolusi jilbab di Indonesia. Berdiri pada tahun 2003, Noor mengklaim telah
mengambil peran dalam perubahan busana muslimah di Indonesia. Salah satunya lewat Lomba Rancang Busana Muslimah LRBM yang berhasil
melahirkan para perancang baju muslimah yang diakui kredibilitasnya kini. Dari 11 paragraf, peranan Noor ini diletakkan pada paragraf kelima dengan
keterangan waktu pada tahun 2003. Ini menunjukkan bahwa Noor berada di tengah-tengah evolusi jilbab di Indonesia. Walaupun tidak berperan dari awal,
namun Noor sudah cukup lama berperan dalam evolusi jilbab di Indonesia. Artikel ini banyak menggunakan paragraf deduktif yaitu menjelaskan dari
umum ke khusus. Wartawan terlebih dahulu menjelaskan tentang waktu dan kondisi Indonesia pada saat itu kemudian secara spesifik menjelaskan kondisi
jilbab dan para pengguna jilbab di masa tersebut. Bentuk tulisan deduktif sangat membantu pembaca untuk fokus pada bahasan khusus atau yang lebih spesifik.
Dalam hal ini, wartawan menggiring pembaca untuk melihat jilbab pada setiap fase beserta perubahannya yang terjadi secara perlahan-lahan.
Universitas Sumatera Utara
83
Wartawan masih menggunakan kata ganti berupa istilah asing yaitu untuk menyebut gaya hidup yang diganti dengan lifestyle.
4.3.4 Retoris Artikel 2
Dalam artikel ini terdapat beberapa idiom yang digunakan. Pertama, kelompok usroh dan tarbiyah. Istilah ini tidak umum digunakan kecuali pada kelompok
usroh dan tarbiyah itu sendiri. Kelompok usroh dan tarbiyah adalah kelompok kecil dengan anggota 15-20 orang dimana kelompok ini berfungsi sebagai forum
kajian agama dan dakwah. Saat ini kelompok usroh dan tarbiyah lebih dikenal dengan istilah mentoring. Kedua, penyebutan jilboobs. Istilah jilboobs hanya
digunakan di Indonesia. Jilboobs berasal dari gabungan kata jilbab dan boobs bahasa Inggris yang ditujukan untuk menyebut busana muslimah yang menutup
aurat namun masih menampakkan bentuk tubuh dan keseksian pemakainya. Ketiga, jilbab syar’i yaitu istilah yang mengarahkan busana muslimah kepada satu
model berupa baju gamis longgar yang menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, ditutup oleh kerudung besar yang menutup dada dan punggung
serta tidak menjadikan busana muslimah sebagai fashion. Dilihat dari grafisnya, hanya terdapat satu penonjolan tertentu yaitu berupa eye
catcher. Eye catcher adalah ringkasan atau kutipan dari bagian tulisan yang menarik. Ditulis dengan huruf besar-besar dan mencolok. Eye catcher yang
digunakan dalam artikel ini adalah : “Meski sama-sama berjilbab, perbedaan jilbab kalangan pesantren
tradisional dan kelompok usrohtarbiyah bisa dikenali” Kalimat ini dikutip dari paragraf kedua pada artikel. Namun posisinya diletakkan
setelah paragraf ketujuh, hampir di akhir tulisan. Wartawan ingin menonjolkan fakta bahwa pada mulanya jilbab hanya dikenakan kalangan tertentu. Saat itu
jilbab identik dengan kalangan santri, kelompok usroh dan tarbiyah. Walau sama- sama menggunakan jilbab namun terdapat perbedaan yang membuatnya keduanya
bisa dikenali lewat jilbabnya. Foto yang digunakan dalam artikel ini adalah gambar ilustrasi berupa kepala
wanita yang menggunakan jilbab. Dilihat dari warnanya yang polos dan termasuk dalam kelompok warna tanah serta modenya yang menutup dahi dan masih
Universitas Sumatera Utara
84
terbuka sedikit di bagian leher, gambar ini sedang mengilustrasikan penggunaan jilbab pada zaman dulu. Di sekitarnya terdapat bermacam-macam gambar bunga
dengan warna yang beragam. Bunga biasanya diidentikkan dengan perempuan. Dalam hal ini Noor menunjukkan keterkaitan jilbab dengan perempuan. Di sisi
kiri bagian bawah gambar terdapat tulisan “20 | Noor Fashions Trend 2014”. Ini menerangkan bahwa gambar ini sebelumnya sudah pernah digunakan pada
majalah Noor Edisi Fashion Trend 2014 di halaman 20. Ditinjau dari ukurannya, dimensi halaman artikel ini memiliki panjang dan lebar 27.2 cm dan 21 cm. Satu
halaman memiliki luas 571.2 cm
2
. Karena artikel ini dimuat dalam dua halaman maka luas keseluruhan adalah 1142.4 cm
2
. Sedangkan dimensi foto memiliki ukuran panjang dan lebar 17 cm dan 13 cm. Luas keseluruhan foto adalah 221
cm
2
. Jika luas teks 921.2 cm
2
dibandingkan dengan luas foto 221 cm
2
maka teks dan foto memiliki perbandingan sebesar 4 : 1. Dengan demikian Noor masih
memberikan porsi yang lebih penting terhadap isi teks dibandingkan dengan foto. Ditinjau dari rubriknya, artikel ini diletakkan pada rubrik Gaya Hidup dimana
Noor masih menjadikan jilbab sebagai bagian gaya hidup pembacanya. Artikel ini terletak di halaman 36 dan 37 dari total 130 halaman isi. Dengan memberikan
porsi 2 halaman penuh untuk artikel ini, Noor masih menjadikan artikel ini bahasan yang penting untuk pembacanya.
Tabel 6 Analisis Framing Artikel 2 “Evolusi Jilbab di Indonesia Sejak 1980-an”
No. Elemen yang diteliti Analisis
1 Sintaksis
Dilihat dari struktur sintaksisnya, Noor
Universitas Sumatera Utara
85
menggunakan headline yang menonjolkan adanya perubahan perlahan-lahan pada jilbab di
Indonesia. Perubahan itu dimulai sejak tahun 1980 dimana jilbab masih dianggap asing.
Sebelumnya, jilbab tidak terlalu memiliki perubahan yang berarti. Pada headline, Noor
memaparkan bukti bahwa 9 dari 10 muslimah di Indonesia kini sudah menggunakan jilbab. Namun
Noor mengajak pembaca untuk kritis mempertanyakan apakah angka tersebut
dikarenakan ketakwaan atau hanya terikut arus mode belaka. Latar informasinya adalah
perubahan jilbab di Indonesia sejak 1980 hingga saat ini. Perubahan tersebut terkait dengan bentuk
jilbab, kondisi para pengguna jilbab, posisi politis jilbab sampai fenomena jilboobs dan jilbab syar’i
sebagai penanda evolusi jilbab itu sendiri. Tidak terdapat kutipan dan pernyataan karena artikel ini
bersumber dari pemikiran wartawan Noor. Sumber yang digunakan adalah UU no 32 tahun
2004 tentang Peraturan Daerah yang menjadi landasan bagi daerah-daerah dengan penduduk
muslim dan kultur Islam yang kuat untuk mewajibkan penggunaan jilbab pada
muslimahnya. Ini juga menunjukkan bahwa evolusi jilbab turut dipengaruhi pula oleh
kebijakan negara bukan hanya berlandaskan agama semata. Artikel ditutup dengan harapan
Noor agar muslimah memilih berjilbab karena berdasarkan cinta. Pilihan berjilbab yang dilandasi
dengan rasa cinta akan membimbing muslimah agar cantik luar dan dalam dan sampai kepada
Universitas Sumatera Utara
86
sebaik-baik pakaian yaitu pakaian takwa. Noor berharap bahwa jangan sampai muslimah itu
berjilbab karena hanya mengikuti tren semata.
2 Skrip
Dilihat dari struktur skripnya, artikel ini memiliki kelengkapan unsur berita yang mencakup
5W+1H. Unsur Who dan When adalah unsur yang paling banyak digunakan. Keduanya juga kerap
disandingkan bersamaan. Ini menunjukkan evolusi jilbab pada setiap masa ditandai dengan
para pengguna jilbabnya. Paragraf dominan dibuka dengan menggunakan unsur When. Noor
menunjukkan bahwa evolusi jilbab di Indonesia terkait dengan waktu. Evolusi itu sendiri terbagi
kepada beberapa fase besar sejak tahun 1980 hingga kini.
3 Tematik
Dilihat dari struktur tematiknya, artikel ini memiliki detail yang baik dalam beberapa
penjelasan. Pertama, detail perubahan bentuk jilbab dari dulu hingga sekarang. Kedua, detail
tentang pergeseran makna jilbab yang awalnya ditandai sebagai bentuk penegasan sekaligus
perlawanan hingga kini dijadikan bagian dari tren dan fashion. Ketiga, detail posisi politis jilbab
yang berkaitan dengan kondisi negara serta kebijakan yang dibuat. Keempat, detail
penyebaran tentang siapa dan kalangan apa saja yang menggunakan jilbab dari zaman dulu hingga
sekarang. Keselarasan isi, hubungan logis antar kalimat tersusun dengan sangat baik.
Penggabungan sejarah evolusi jilbab dengan proses perubahan jilbab di Indonesia tidak hanya
Universitas Sumatera Utara
87
digambarkan dari segi kreasi bentuk jilbab semata tetapi juga dengan sangat jelas digambarkan
posisi politis perjuangan jilbab hingga pada tingkat pembuatan kebijakan terkait kewajiban
menggunakan jilbab bagi muslimah Indonesia di berbagai daerah. Penjelasan mengenai peran
media dalam memassifkan penggunaan jilbab dan menjadikan jilbab sebagai trend fashion dan
lifestyle juga digambarkan dengan baik. Hal ini terkait dengan peranan majalah Noor sebagai
salah satu majalah yang mengampanyekan busana muslimah yang memiliki citarasa dan sentuhan
Indonesia. Artikel ini berbentuk deduktif yang menjelaskan dari umum ke khusus. Noor terlebih
dahulu menjelaskan kondisi Indonesia pada setiap fase kemudian lebih spesifik pada penjelasan
jilbab dan pengguna jilbab.
4 Retoris
Dilihat dari struktur retorisnya, terdapat beberapa idiom yang digunakan dalam artikel ini seperti
usroh dan tarbiyah, jilboobs dan jilbab syar’i. Dilihat dari grafisnya, hanya ada satu eye catcher
yang dikutip dari paragraf kedua dan diletakkan setelah paragraf ketujuh mendekati akhir tulisan.
Eye catcher tersebut menekankan pada mulanya jilbab memang sudah mencirikan kelompok
tertentu. Hal itu dapat dilihat dari perbedaan jilbab kalangan pesantren dengan kalangan
usrohtarbiyah yang menjadi pengguna jilbab pada mulanya. Foto yang digunakan dalam artikel
ini berupa ilustrasi perempuan yang menggunakan jilbab dengan mode jilbab zaman dulu. Ditinjau
Universitas Sumatera Utara
88
dari ukurannya, foto dan teks memiliki perbandingan 1 : 4. Ini menunjukkan bahwa Noor
masih mengedepankan isi tulisan dibandingkan dengan fotoilustrasi. Artikel ini diletakkan di
rubrik Gaya Hidup. Noor masih menganggap bahwa jilbab adalah bagian dari gaya hidup.
Dilihat dari penempatannya, artikel ini berada pada halaman 36 dan 37 dari total 130 halaman isi
dengan jumlah tulisan sebanyak 2 halaman. Noor masih menganggap pembahasan tentang jilbab
merupakan hal yang penting sehingga masih diposisikan di depan.
Sumber : Hasil Penelitian
4.4 Analisis Framing Artikel 3
Tabel 7 Detail Artikel 3
Judul Nasaruddin Umar : Ribuan Tahun Lalu Jilbab Sudah Ada
Universitas Sumatera Utara
89
Rubrik
Gaya Hidup
Halaman 38
Jumlah Halaman 1 halaman
NASARUDDIN UMAR : RIBUAN TAHUN LALU JILBAB SUDAH ADA “...dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa
nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung jilbab ke dadanya...” QS. An-Nur24:31
Ihwal penggunaan jilbab oleh perempuan di beberapa literatur Yahudi disebutkan terkait dengan dosa warisan. Kalau mau dirunut ke belakang, Adam dan Hawa
sudah diwanti-wanti oleh Allah agar mereka tidak mendekati buah kuldi. Alih-alih mendekati, mereka nyatanya malah memakan buah itu. Akibatnya, keduanya jatuh
ke bumi dan terbuka auratnya semua. Adam dan Hawa kemudian mengambil dedaunan yang bisa menutup aurat mereka. “Salah satu sanksi Adam dan Hawa
karena melanggar aturan surga itu, di dalam kitab Talmud Eruvin pasal 100B disebutkan, ada 10 kutukan laki-laki dan 10 kutukan perempuan. Namun kutukan
laki-laki lebih ringan daripada perempuan. Kutukan perempuan lebih berat karena, salah satunya, harus menjalani siklus menstruasi,” kata Prof. Dr. K.H. Nasaruddin
Umar, M.A. “Perempuan yang mengalami menstruasi diyakini sedang berada di dalam situasi
tabu menstrual taboo atau pemali. Darah menstruasi dianggap darah tabu yang menuntut berbagai ritual atau perlakuan khusus. Perempuan harus mengenakan
signal of warning. Tujuannya agar perempuan jangan melakukan sesuatu ketika ada darah menstruasi menstrual blood,” ucap Rektor IIQ Institut Ilmu Al-
Quran, Lebak Bulus, Jakarta Selatan ini. Pasalnya, darah menstruasi ketika itu dianggap sebagai darah kutukan bukan darah biasa. Darah menstruasi dianggap
darah tabu yang menuntut perlakuan khusus. “Begitu juga ketika perempuan menstruasi harus benar-benar diawasi. Mereka tidak boleh membaur dnegan yang
lainnya. Mereka dikucilkan di dalam gua sampai selesai menjalani menstruasinya.
Universitas Sumatera Utara
90
Kalau tidak ada gua, dia harus hidup di dalam tenda menstruasi yang disebut menstrual hut. Dalam perkembangan kekiniannya, menstrual hut ini diabadikan
sebagai nama sebuah resto Western food.” Perempuan ketika menstruasi pun tidak boleh menginjak tanah. Pada zaman
Firaun perempuan yang menstruasi harus memakai alas kaki yaitu selop. Perempuan juga tidak boleh menatap hamparan menstrual gaze karena bisa
mengundang malapetaka. Oleh karena itu pada zaman Mesir kuno tersebut perempuan yang menstruasi harus diberi tanda khusus. Dulu tandanya bibir
perempuan yang menstruasi diolesi dengan darah menstruasinya, tapi kemudian diganti dengan bahan kosmetik sebagai tolak bala. “Selain itu untuk lebih aman,
perempuan yang sedang menjalani menstruasi juga dituntut menggunakan jilbab atau cadar,” jelas wakil menteri agama RI ini pada era pemerintahan SBY.
Pengganti menstrual hut
Mengapa perempuan yang menstruasi harus berhati-hati? Pasalnya, perilaku perempuan menstruasi itu bisa mempengaruhi makrokosmos jagat raya.
“Menurut kepercayaan zaman dahulu, ribuan tahun lalu, perempuan menstruasi sangat berbahaya. Dari tatapan mata hingga kepala, kaki, tangan, mulut, hidung,
telinga. Semua bagian tubuh perempuan itu harus diberi kalung, gelang, cincin berwarna kuning yang berfungsi sebagai kosmetik atau perhiasan untuk menolak
bala. Setan takut dengan warna kuning,” ungkap profesor kelahiran Ujung-Bone, 23 Juni 1959. Masih menurut profesor Nasaruddin, pemakaian berbagai perhiasan
dan kostum-kostum itu tidak dimaksudkan sebagai alat perhiasan kecantikan pada mulanya. Tapi hanya sebagai sarana penolak bala dan signal of warning bagi
orang lain. Dari kisah sejarah di atas, jilbab sesungguhnya telah menjadi bagian dari tradisi
pra-Islam. Belakangan, jilbab menjadi pengganti menstrual hut. Demikian juga dengan chadar cadar sebagai pakaian menstruasi. Dalam perkembangan zaman,
keduanya kemudian menjadi bagian dari mode untuk tampil modis dan bukan lagi sebagai penolak bala, kata jilbab lalu menjadi kosakata baru bahasa Indonesia
ketika terjadi Revolusi Iran pada 1984. Islam sebagai agama yang hadir belakangan tidak mengakui adanya dosa warisan. Terlebih kalau hal itu
Universitas Sumatera Utara
91
disangkutpautkan dengan persoalan menstruasi, termasuk kaitannya dengan kain penutup kepala atau jilbab. “Sejak datangnya Islam, semua perempuan harus
memakai jilbabuntuk menutup kepala rambut dan leher, yang dirangkai dengan baju menutupi tubuh kecuali telapak tangan dan kaki. Tujuannya agar perempuan
tidak dilecehkan. “Pada era kekinian, muncul pula istilah kerudung, khimar, hijab, dll. “Dengan demikian, jilbab memiliki banyak istilah. Terlepas dari berbagai
pandangan mengenai makna, batasan, bentuk dan modelnya. Yang penting, cara muslimah berjilbab tidak menghilangkan esensi jilbab itu sendiri seperti yang
sudah diajarkan oleh agama,” pungkas Nasaruddin.
4.4.1 Sintaksis Artikel 3
Headline dari artikel ini berjudul “Nasaruddin Umar : Ribuan Tahun Lalu Jilbab Sudah Ada” yang mengedepankan penjelasan seorang tokoh agama yaitu
Nasaruddin Umar tentang eksistensi jilbab. Dari headlinenya terlihat adanya penekanan tentang keberadaan jilbab sebelum kemunculan agama Islam. Ini
tentunya mengkonfrontasi pendapat yang menyatakan bahwa jilbab hanya dimiliki oleh orang-orang Islam dan berasal dari budaya Arab.
Noor memilih kutipan ayat Al-Quran surat An-Nur ayat 31 sebagai lead yang berbunyi :
“...dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain
kudung jilbab ke dadanya...” QS. An-Nur24:31
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang dijadikan pedoman dalam setiap urusan. Penggunaan ayat ini sebagai lead menjelaskan perintah berjilbab sebagai
sebuah keharusan bagi muslimah. Larangan untuk tidak menunjukkan perhiasan kecuali yang biasa tampak merujuk kepada kalung dan anting. Sedangkan
perhiasan yang biasa tampak yaitu merujuk kepada cincin dan gelang. Larangan ini masih berkaitan dengan perintah selanjutnya yaitu untuk menutupkan kain
kudung jilbab ke dada yang berarti kalung dan anting adalah perhiasan yang tidak boleh ditampakkan karena harus ditutup dengan jilbab.
Universitas Sumatera Utara
92
Latar informasi yang digunakan adalah sejarah penggunaan jilbab dalam literatur Yahudi salah satunya dikitab Talmud kitab umat Yahudi. Menurut kajian
Nasaruddin Umar, dahulu menstruasi dianggap sebagai salah satu kutukan bagi perempuan. Perempuan yang sedang menstruasi menuntut berbagai ritual dan
perlakuan khusus seperti diasingkan atau memakai penanda tertentu. Perempuan menstruasi dianggap berbahaya, karenanya untuk lebih aman, perempuan yang
sedang menstruasi harus menggunakan jilbab atau cadar. Inilah yang menjadi latar belakang eksistensi jilbab sebelum kemunculan agama Islam.
Untuk kutipan, wartawan menggunakan pernyataan langsung Nasaruddin Umar. Dari lima paragraf, terdapat enam kutipan yang dinyatakan langsung oleh
narasumber. Kutipan disertai dengan profil Nasaruddin yang menunjukkan kredibilitasnya sebagai orang yang memahami pembahasan ini. Penyebutan gelar,
profesi dan jabatan menunjukkan kredibilitas narasumber. “...Kutukan perempuan lebih berat karena, salah satunya, harus menjalani
siklus menstruasi,” kata Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A.” “...Perempuan harus mengenakan signal of warning. Tujuannya agar
perempuan jangan melakukan sesuatu ketika ada darah menstruasi menstrual blood,” ucap Rektor IIQ Institut Ilmu Al-Quran, Lebak
Bulus, Jakarta Selatan ini.”
“...Selain itu untuk lebih aman, perempuan yang sedang menjalani menstruasi juga dituntut menggunakan jilbab atau cadar,” jelas wakil
menteri agama RI ini pada era pemerintahan SBY.”
“...Semua bagian tubuh perempuan itu harus diberi kalung, gelang, cincin berwarna kuning yang berfungsi sebagai kosmetik atau perhiasan untuk
menolak bala. Setan takut dengan warna kuning,” ungkap profesor kelahiran Ujung-Bone, 23 Juni 1959.”
Sumber yang digunakan pada artikel ini didominasi oleh pernyataan dan penjelasan Nasaruddin Umar sebagai narasumber. Sumber lainnya yang menjadi
acuan adalah kitab Talmud Eruvin pasal 100B yang menjelaskan tentang 10 kutukan laki-laki dan 10 kutukan perempuan. Penggunaan kitab Talmud sebagai
sumber tentunya bertujuan untuk menguatkan sejarah eksistensi jilbab sebelum datangnya Islam. Dalam literatur Yahudi sendiri sudah ada sejarah tentang jilbab.
Ini berarti jilbab bukan bersumber dari Islam dan tidak berasal dari budaya Arab.
Universitas Sumatera Utara
93
Artikel ini ditutup dengan kesimpulan bahwa jilbab sudah menjadi bagian tradisi sebelum kedatangan Islam. Jilbab menjadi pengganti menstrual hut tenda
menstruasi saat perempuan haid dalam masa pengasingan. Begitu pula dengan cadar yang dulunya digunakan sebagai pakaian menstruasi. Perintah berjilbab
sudah ada jauh sebelum Islam datang. Kemudian Islam hadir untuk menegaskan penggunaan jilbab kepada para muslimahnya.
Di akhir tulisan, pernyataan Nasaruddin Umar bahwa perbedaan pandangan tentang makna, batasan, bentuk dan model jilbab saat ini, yang paling penting
adalah cara muslimah berjilbab itu tidak menghilangkan nilai utama dari kewajiban berjilbab. Penggunaan jilbab haruslah mengikuti tuntunan agama
seperti yang sudah diajarkan serta tidak menghilangkan esensi jilbab sebagai penutup aurat bagi muslimah.
“...Sejak datangnya Islam, semua perempuan harus memakai jilbab untuk menutup kepala rambut dan leher, yang dirangkai dengan baju menutupi
tubuh kecuali telapak tangan dan kaki. Tujuannya agar perempuan tidak dilecehkan”.
“...Dengan demikian, jilbab memiliki banyak istilah. Terlepas dari berbagai pandangan mengenai makna, batasan, bentuk dan modelnya.
Yang penting, cara muslimah berjilbab tidak menghilangkan esensi jilbab itu sendiri seperti yang sudah diajarkan oleh agama,” pungkas
Nasaruddin.”
4.4.2 Skrip Artikel 3
Artikel ini memiliki kelengkapan unsur berita yang mencakup 5W +1H. Unsur Why adalah yang paling banyak digunakan. Ini menjelaskan kuatnya hubungan
sebab akibat antara eksistensi jilbab pada masa kini dengan sejarah penutup kepala di masa lalu.
Unsur Why yang pertama digunakan adalah saat menjelaskan peristiwa Adam dan Hawa yang pada mulanya dilarang untuk mendekati buah kuldi, namun keduanya
Universitas Sumatera Utara
94
termakan bujuk rayu setan sehingga melanggar larangan tersebut. Akibatnya Adam dan Hawa jatuh ke bumi dan terbuka seluruh auratnya. Keduanya kemudian
mengambil dedaunan yang bisa menutup aurat mereka. Ini adalah permulaan sejarah menutup aurat dalam peradaban manusia.
“...Kalau mau dirunut ke belakang, Adam dan Hawa sudah diwanti-wanti oleh Allah agar mereka tidak mendekati buah kuldi. Alih-alih mendekati,
mereka nyatanya malah memakan buah itu. Akibatnya, keduanya jatuh ke bumi dan terbuka auratnya semua. Adam dan Hawa kemudian mengambil
dedaunan yang bisa menutup aurat mereka.” Unsur Whykedua menjelaskan tentang kepercayaan Yahudi bahwa laki-laki dan
perempuan memiliki 10 kutukan. Kutukan perempuan lebih berat, salah satunya karena mengalami menstruasi. Ini berkaitan dengan kepercayaan terdahulu bahwa
menstruasi adalah kutukan. Sehingga perempuan yang sedang menstruasi harus diasingkan, dijauhi, tidak boleh sembarangan beraktivitas dan harus menggunakan
tanda tertentu untuk peringatan bagi orang lain bahwa ia sedang menstruasi. Diyakini bahwa perempuan menstruasi mengundang bahaya bagi sekitarnya,
karena itulah perempuan menstruasi menuntut perlakuan khusus. “...di dalam kitab TalmudEruvin pasal 100B disebutkan, ada 10 kutukan
laki-laki dan 10 kutukan perempuan. Namun kutukan laki-laki lebih ringan daripada perempuan. Kutukan perempuan lebih berat karena, salah
satunya, harus menjalani siklus menstruasi”
Unsur Why selanjutnya menjelaskan posisi perempuan yang sedang menstruasi di dalam kepercayaan mereka. Pertama, perempuan menstruasi berada dalam situasi
tabu yang berarti banyak larangan baginya. Kedua, mereka tidak boleh berbaur dengan orang lain sehingga harus diasingkan. Ketiga, mereka tidak boleh
menginjak tanah. Pada zaman Fir’aun, perempuan menstruasi harus menggunakan alas kaki. Keempat, perempuan menstruasi tidak boleh menatap hamparan karena
bisa mengundang malapetaka. Ini berkaitan dengan kepercayaan pada zaman dahulu bahwa perilaku perempuan menstruasi dapat mempengaruhi makrokosmos
Universitas Sumatera Utara
95
jagat raya. Seluruh anggota tubuhnya amat berbahaya karenanya harus diberi tanda.
“...Perempuan yang mengalami menstruasi diyakini sedang berada di dalam situasi tabu menstrual taboo atau pemali.”
“...Mereka tidak boleh membaur dengan yang lainnya. Mereka dikucilkan di dalam gua sampai selesai menjalani menstruasinya.”
“...Perempuan ketika menstruasi pun tidak boleh menginjak tanah. Pada zaman Firaun perempuan yang menstruasi harus memakai alas kaki yaitu
selop.”
“...Perempuan juga tidak boleh menatap hamparan menstrual gaze karena bisa mengundang malapetaka.”
Unsur Why yang terakhir adalah terkait dengan fungsi jilbab dalam Islam. Dalam artikel ini dijelaskan bahwa berjilbab berarti menggunakan penutup kepala
rambut dan leher kemudian disempurnakan dengan baju yang menutupi tubuh kecuali telapak tangan dan kaki. Upaya untuk menutup aurat ini bermanfaat bagi
perempuan agar terhindar dari pelecehan. Ini berarti jilbab dan busana muslimah berfungsi sebagai pelindung dan pengaman diri bagi perempuan sesuai dengan
yang termaktub dalam surat Al-Ahzab ayat 59 sebagai dasar kewajiban berjilbab. “.... Sejak datangnya Islam, semua perempuan harus memakai jilbab untuk
menutup kepala rambut dan leher, yang dirangkai dengan baju menutupi tubuh kecuali telapak tangan dan kaki. Tujuannya agar perempuan tidak
dilecehkan.”
Pada headline digunakan unsur When sebagai penjelas waktu bahwasanya jilbab sudah ada ribuan tahun lalu jauh sebelum kedatangan Islam. Kata “Ribuan Tahun
Lalu” menunjukkan betapa lamanya jilbab sudah ada. Jika ditinjau dari hitungan hijriyah lunar system saat ini kita baru berada di tahun ke 1436 Hijriyah. Maka
keberadaan jilbab sudah lebih dulu ada beribu-ribu tahun jauh sebelum Islam datang.
Wartawan membuka tulisan dengan menggunakan unsur What, yaitu tentang penggunaan jilbab oleh perempuan yang sudah disebutkan di beberapa literatur
Yahudi. Ini menjadi penegasan tentang eksistensi jilbab yang telah ada jauh sebelum kedatangan Islam karena literatur Yahudi pun sudah mencatatnya.
Universitas Sumatera Utara
96
Dominasi unsur Who sebagai pembuka paragraf merujuk kepada perempuan sebagai subjek yang berhubungan langsung dengan jilbab. Perempuan menstruasi
adalah orang yang harus diperlakukan secara khusus karena dianggap berbahaya dan tabu. Selain itu unsur Who yang digunakan juga merujuk kepada perempuan
berjilbab masa kini. Masa setelah kedatangan Islam dan diwajibkannya jilbab sebagai bentuk penegasan kepada muslimah.
4.4.3 Tematik Artikel 3
Detail artikel ini sangat baik dalam mendeskripsikan beberapa hal. Salah satunya dalam mendeskripsikan bahaya perempuan menstruasi yang meliputi tatapan mata
hingga kepala, kaki, tangan, mulut hidung dan telinga. Anggota tubuh tersebut harus diberi tanda berupa kalung, cincin dan gelang yang berwarna kuning. Selain
berfungsi sebagai kosmetik dan perhiasan, benda-benda tersebut dijadikan sebagai penolak bala. Karena menurut kepercayaan, setan takut dengan warna kuning.
“...Menurut kepercayaan zaman dahulu, ribuan tahun lalu, perempuan menstruasi sangat berbahaya. Dari tatapan mata hingga kepala, kaki,
tangan, mulut, hidung, telinga. Semua bagian tubuh perempuan itu harus diberi kalung, gelang, cincin berwarna kuning yang berfungsi sebagai
kosmetik atau perhiasan untuk menolak bala. Setan takut dengan warna kuning”
Detail lainnya terlihat pada deskripsi tentang jilbab bagi perempuan muslimah. Jilbab yang dimaksud adalah penutup kepala yang menutupi rambut dan leher.
Kemudian disempurnakan dengan penggunaan pakaian muslimah yang menutupi seluruh tubuh kecuali telapak tangan dan kaki. Detail ini mendeskripsikan busana
muslimah sebagai seperangkat busana yang menutupi tubuh perempuan. Bukan hanya sepotong kain yang dililitkan di atas kepala atau diletakkan begitu saja
seperti halnya kerudung atau songkok namun juga harus menutupi leher. Setelah menggunakan jilbab, perlulah disempurnakan dengan busana yang menutupi
seluruh tubuh. Bukan hanya menggunakan jilbab saja namun pakaiannya tetap terbuka. Semua itu bertujuan agar perempuan terhindar dari pelecehan.
“...Sejak datangnya Islam, semua perempuan harus memakai jilbabuntuk menutup kepala rambut dan leher, yang dirangkai dengan baju menutupi
tubuh kecuali telapak tangan dan kaki. Tujuannya agar perempuan tidak dilecehkan”
Universitas Sumatera Utara
97
Alur pengisahan memang cukup baik. Dimulai dengan pemaparan sejarah jilbab pada literatur Yahudi yang didahului dengan peristiwa Adam dan Hawa yang
jatuh ke bumi lalu mencari dedaunan untuk menutup aurat mereka. Kemudian dilanjutkan dengan kutukan perempuan yang lebih berat karena harus melalui
masa menstruasi. Perempuan yang menstruasi dituntut melakukan berbagai ritual khusus salah satunya diasingkan dalam goa atau tenda yang disebut dengan
menstrual hut. Menstrual hut inilah yang akhirnya diganti dengan jilbab atau cadar. Kini, jilbab tidak hanya kewajiban namun menjadi bagian dari mode untuk
tampil modis dan bukan lagi sebagai penolak bala. Terdapat ketimpangan proporsi kalimat jika ditilik kembaliheadline dan lead
artikel ini. Meskipun lead artikel ini mengutip ayat Al-Qur’an, namun pembahasan tentang penggunaan jilbab dalam beberapa literatur Yahudi lebih
besar proporsinya dibandingkan jilbab menurut kajian Al-Qur’an. Berdasarkan headline, artikel ini terlihat menyajikan literatur lain sebelum datangnya Islam.
Namun terdapat ketidaksinambungan antara headline dan lead yang membahas tentang jilbab dan berasal dari Al-Qur’an dengan isi artikel yang lebih banyak
membahas tentang perempuan menstruasi. Dari paragraf pertama sampai dengan keempat, tulisan ini lebih banyak membahas tradisi perempuan menstruasi dalam
literatur Yahudi. Hanya di paragraf terakhir saja yang membahas tentang jilbab. Secara keseluruhan artikel ini menggunakan paragraf induktif yang membahas
masalah dari khusus ke umum. Wartawan memaparkan sejarah jilbab yang berasal dari tradisi perempuan menstruasi dalam literatur Yahudi. Kemudian di akhir
tulisan, barulah dijelaskan jilbab saat ini merupakan penegasan kepada muslimah untuk menutup auratnya dan menjadi bagian dari mode.
4.4.4 Retoris Artikel 3
Dalam menekankan fakta, wartawan menggunakan banyak istilah asing dalam bahasa Inggris yang menunjukkan bahwa sumber kajian ini bukan berasal dari
Al-Qur’an yang menggunakan bahasa Arab. Idiom yang digunakan seperti menstrual taboo yang merujuk kepada kondisi terlarang bagi perempuan yang
sedang menstruasi, signal of warning yang merujuk kepada tanda yang harus digunakan oleh perempuan menstruasi untuk memberi peringatan bagi orang-
Universitas Sumatera Utara
98
orang disekitarnya, menstrual blood yang merujuk kepada darah menstruasi, menstrual hut yang merujuk kepada tempat pengasingan bagi perempuan
menstruasi berbentuk tenda, menstrual gaze yang merujuk kepada tatapan perempuan menstruasi yang dapat membahayakan sekitarnya.
Pada paragraf kedua terdapat pengulangan kalimat yang sama dalam satu paragraf, yaitu :
“...Darah menstruasi dianggap darah tabu yang menuntut berbagai ritual atau perlakuan khusus”
Ini menunjukkan bahwa wartawan menganggap hal ini penting dalam paragraf tersebut, wartawan berusaha menekankan kondisi perempuan menstruasi dimana
darah menstruasinya dianggap darah yang tidak sama dengan darah lainnya sehingga membutuhkan perlakuan-perlakuan khusus.
Foto yang digunakan dalam artikel ini adalah foto Nasaruddin Umar sebagai narasumber dalam posisi potrait. Nasaruddin menggunakan baju kemeja lengan
panjang berwarna merah marun bercorak liris-liris dengan satu kancing baju paling atas dibuka. Nasaruddin memegang buku berwarna putih dengan sampul
bergambar seorang perempuan dewasa dengan dua anak perempuan sedang membaca Al-Qur’an. Buku tersebut membahas tentang cara menghapal Al-Qur’an
dengan suatu metode. Wajah Nasaruddin terlihat sedang tersenyum dan tampil santai. Penggunaan foto ini lebih menekankan kepada profil Nasaruddin sebagai
narasumber yang kredibel dalam pembahasan tentang jilbab. Ini diperkuat dengan banyaknya kutipan langsung yang bersumber dari pernyataan Nasaruddin di
dalam artikel. Wartawan ingin menonjolkan kredibilitas seorang Nasaruddin dalam menjelaskan sejarah jilbab.
Ditinjau dari ukurannya, dimensi seluruh halaman memiliki panjang dan lebar 21x27.2 cm dengan luas keseluruhan 571.2 cm
2
sedangkan dimensi foto memiliki panjang dan lebar 7.2x11 cm dengan luas 79.2 cm
2
. Jika dibandingkan antara teks dengan foto maka teks memiliki luas sebesar 492 cm
2
. Perbandingan antara teks dan foto adalah sebesar 6 : 1. Dengan demikian isi teks jauh lebih ditonjolkan
dibandingkan dengan profil narasumber.
Universitas Sumatera Utara
99
Ditinjau dari rubriknya, artikel ini dimuat dalam rubrik “Gaya Hidup” yang berarti Noor masih memposisikan jilbab sebagai salah satu bagian gaya hidup. Artikel ini
terletak di halaman 38 dari total 130 halaman isi yang berarti Noor masih menganggap pembahasan ini penting sehingga meletakkannya di bagian depan.
Tabel 8 Analisis Framing Artikel 3 “Nasaruddin Umar : Ribuan Tahun Lalu Jilbab
Sudah Ada” No. Elemen yang diteliti
Analisis 1
Sintaksis Dilihat dari struktur sintaksisnya, headline yang
dipilih Noor menjelaskan eksistensi jilbab jauh sebelum kedatangan Islam. Lead yang digunakan
merupakan kutipan dari ayat Al-Quran surat An- Nur ayat 31 yang menjelaskan perintah berjilbab
terhadap muslimah. Latar informasinya adalah sejarah jilbab yang telah ada ribuan tahun lalu
sebelum kedatangan Islam yang dijelaskan dalam beberapa literatur Yahudi yaitu yang berkaitan
dengan ritual khusus terhadap perempuan menstruasi. Noor memilih Nasaruddin Umar
sebagai narasumber yang ditonjolkan kredibilitasnya dalam pembahasan ini. Hal itu
dapat dilihat dari banyaknya kutipan langsung narasumber yang dicantumkan dalam artikel ini.
Penyebutan gelar, profesi serta jabatan yang menyertai setiap kutipan turut memperkuat
kredibilitas Nasaruddin Umar sebagai narasumber. Noor menutup artikel dengan
kesimpulan bahwa jilbab sudah ada sebelum kedatangan Islam dan kini sudah menjadi bagian
dari mode. Noor juga berharap bahwa cara
Universitas Sumatera Utara
100
muslimah berjilbab saat ini janganlah sampai menghilangkan esensi jilbab itu sendiri,
hendaknya mengikuti ajaran agama.
2 Skrip
Dilihat dari struktur skripnya, artikel ini memiliki kelengkapan unsur berita. Unsur why adalah yang
paling dominan digunakan. Hal ini menjelaskan hubungan sebab akibat antara eksistensi jilbab
saat ini dengan ritual terhadap perempuan menstruasi pada zaman dahulu di beberapa
literatur Yahudi. Dominasi penggunaan unsur who dalam setiap pembuka paragraf menunjukkan
keterlibatan perempuan dalam sejarah jilbab pada zaman dahulu sampai dengan hari ini.
Keterlibatan perempuan menstruasi pada zaman dahulu berkaitan dengan ritual khusus yang
mendasari adanya penggunaan jilbab. Sedangkan keterlibatan perempuan masa kini adalah sebagai
muslimah yang wajib menggunakan jilbab untuk menutup auratnya.
3 Tematik
Dilihat dari struktur tematiknya, artikel ini memiliki detail yang baik dalam menjelaskan
anggota tubuh yang berbahaya bagi perempuan menstruasi dan harus diberikan tanda khusus
sebagai signal of warning untuk orang sekitarnya. Anggota tubuh tersebut harus diberikan tanda
berwarna kuning yang berfungsi sebagai penolak bala karena menurut kepercayaan mereka setan
takut dengan warna kuning. Detail yang baik terdapat pula pada deskripsi bentuk busana yang
harus dikenakan oleh muslimah. Busana itu adalah penutup kepala yang menutup rambut dan
Universitas Sumatera Utara
101
leher serta dirangkai dengan baju yang menutupi tubuh kecuali telapak tangan dan kaki. Artikel ini
menggunakan bentuk induktif karena menjelaskan dari khusus ke umum. Alur penceritaan dimulai
dengan sejarah penggunaan jilbab pada beberapa literatur Yahudi yaitu yang berkenaan dengan
ritual khusus pada perempuan menstruasi. Namun proporsinya lebih banyak bercerita tentang
perempuan menstruasi dibanding eksistensi jilbab itu sendiri. Dari lima paragraf, empat paragraf
awal menceritakan tentang sejarah jilbab pada literatur Yahudi. Sedangkan lead menggunakan
ayat Al-Qur’an. Hanya pada paragraf terakhir saja baru menceritakan tentang jilbab dan kondisi
jilbab saat ini.
4
Retoris Dilihat dari struktur retorisnya, dalam artikel ini
banyak terdapat istilah asing yang berasal dari Bahasa Inggris. Ini menunjukkan bahwa kajian ini
tidak berasal dari Al-Qur’an yang menggunakan Bahasa Arab. Artikel ini juga memberi penekanan
pada sejarah perempuan menstruasi. Dilihat dari tampilannya, tidak ada penekanan khusus pada
artikel ini. Foto pendukung artikel adalah foto potrait narasumber yang menunjukkan
kredibilitasnya sebagai orang yang memahami pembahasan ini. Isi teks juga memiliki porsi yang
lebih dominan dibandingkan dengan foto. Artikel ini terletak pada rubrik “Gaya Hidup” di halaman
38 dari total 130 halaman isi. Dilihat dari posisinya, Noor masih menjadikan artikel ini
bahasan penting yang perlu ditampilkan kepada
Universitas Sumatera Utara
102
pembaca. Sumber : Hasil Penelitian
4. 5 Analisis Framing Artikel 4
Tabel 9 Detail Artikel 4
Judul Ada Apa dengan Trend?
Universitas Sumatera Utara
103
Rubrik
Mirror
Halaman 91
Jumlah Halaman 1 halaman
ADA APA DENGAN “TREND”? Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang jahiliyah yang dahulu QS Al Ahzab33:33
Setiap akhir tahun dunia fashion disibukkan dengan urusan tren tahun yang akan datang. Dari pabrik tekstil, desainer, produsen sepatu dan tas, perajin perhiasan
dan aksesori semua mencari tahu tren warna dan gaya apa yang akan tampil untuk tahun yang akan datang. Pagelaran fashion demi pagelaran fashion diteropong
dengan teliti. Bagaimana sebenarnya kita menyikapi hiruk pikuk ini? Sebagai muslimah yang sudah ada ketentuan dalam berbusananya, masih banyak
peluang berkreasi dan mencari inspirasi. Yang pasti warna mudah disesuaikan dengan gaya busana muslim. Selebihnya kita bebas mengembangkan batasan-
batasan trend tahun yang akan datang sesuai ketentuannya. Secara garis besar muslimah dapat berbusana apa saja, asal syar’i. Selain
ketentuan menutup aurat hal lain yang perlu diperhatikan adalah perlunya berpakaian sederhana dan tidak berlebihan sehingga cenderung menarik perhatian.
Esensi menutup aurat adalah agar tidak membangkitkan syahwat lawan jenis yang melihat.
Agar dapat dibedakan muslimah dari perempuan agama lain. Agar lawan jenis yang melihat merasa segan mengganggu seorang muslimah. Namun sekarang
terlihat marak perkembangan busana muslim yang seringkali amat berlebihan. Dari segi potongan dan penggunaan bahan yang berlapis-lapis, terseret-seret saat
berjalan, sampai penggunaan kerudung yang bombastis. Kepala yang dikerudungi selendang berwarna-warni, berlapis-lapis dan diberi aksesoris rupa-rupa pula.
Universitas Sumatera Utara
104
Akhirnya tujuan menutup aurat seolah dilupakan, bahkan sebaliknya sengaja mengundang perhatian.
Dalam Islam kecantikan yang diutamakan adalah inner beauty, spiritual beauty- kecantikan yang terpancar dari teguhnya keimanan dan ketakwaan. Pakaian yang
sederhanapun akan memantulkan keanggunan pemakainya dimanapun ia berada. Perilaku, tutur kata, adab dan akhlak juga merupakan bagian dari atribut
muslimah yang perlu dijaga dan dipelihara. Di televisi seringkali terlihat muslimah yang menonton acara musik dibagian festival dengan leluasa berjejal
bersama lain jenis. Kereta api saja ada gerbong khusus perempuan. Mudah- mudahan dimasa datang bertambah banyak fasilitas khusus muslimah.
Majalah NooR amat bersyukur bahwa dalam sepuluh tahun terakhir ini pertambahan muslimah yang menutup aurat cukup signifikan. Kami bersyukur
bahwa muslimah berbagai usia dari remaja sampai orang tua memilih berbusana sopan. Memang kita tidak berhak menilai keimanan dan ketakwaan seseorang,
karena hanya ALLAH SWT. yang berhak menilai. Namun besar harapan kita, euphoria berkerudung dan berbusana muslim ini diikuti oleh euophoria mencari
ilmu agar keimanan dan ketakwaan meningkat dan tidak sekedar tampilan luar saja.
4.5.1 Sintaksis Artikel 4
Headline dari artikel ini berjudul Ada Apa dengan “Trend”? dimana Noor mempertanyakan fenomena tren yang setiap tahunnya selalu berubah serta
menjadi incaran informasi masyarakat yang tidak ingin ketinggalan perkembangan tren. Headline menggunakan kata tanya, dimana Noor berusaha
mengajak pembaca untuk kritis mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi dengan tren.
Untuk lead, Noor mencantumkan ayat al-Qur’an dari surat Al-Ahzab ayat 33 yang berbunyi :
“...Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang jahiliyah yang dahulu QS Al
Ahzab33:33”
Universitas Sumatera Utara
105
Penggunaan ayat ini sebagai lead bertujuan untuk mengingatkan pembaca agar tren yang diikuti tidak mencontoh kaum jahiliyah yang terdahulu. Noor memilih
kutipan langsung dari kitab suci al-Qur’an sebagai bukti otentik dan peringatan nyata bagi pengikut tren yang mencontoh kaum jahiliyah. Leadini juga
memberitahukan bahwa dalam Al-Qur’an sudah ada ketentuan tentang tren. Latar informasi yang digunakan dalam artikel ini adalah perkembangan busana
muslimah seiring dengan perkembangan fashion secara global. Kreasi busana muslimah cenderung mengalihkan tujuan menutup aurat yang sebenarnya.
Penggunaan busana muslim bukan hanya sekedar atribut, maka harus dibarengi dengan menjaga diri lewat adab, tutur kata dan akhlak.
Pada artikel ini tidak terdapat kutipan, sumber maupun pernyataan. Ini menunjukkan bahwa artikel murni dari opini dan pandangan wartawan sendiri.
Noor menutup artikel ini dengan kesyukuran bahwa pertambahan muslimah yang menutup aurat kian meningkat. Walaupun kadar keimanan dan ketakwaan tidak
bisa diukur, Noor berharap bahwa pertambahan muslimah yang menutup aurat hendaknya diikuti dengan euforia mencari ilmu untuk meningkatkan keimanan
dan ketakwaan. “...Namun besar harapan kita, euphoria berkerudung dan berbusana
muslim ini diikuti oleh euophoria mencari ilmu agar keimanan dan ketakwaan meningkat dan tidak sekedar tampilan luar saja.”
Pada paragraf penutup sangat terlihat kekhawatiran majalah Noor terhadap serangan tren untuk busana muslimah. Karenanya dibutuhkan ilmu agar muslimah
tidak terjerat serangan tren.
4.5.2 Skrip Artikel 4
Artikel ini tidak memiliki kelengkapan unsur berita, ketiadaan unsur Where menjadi buktinya. Wartawan tidak menjelaskan dimana fenomena tren busana
muslimah ini terjadi. Apakah secara spesifik hanya terjadi di Indonesia atau di seluruh dunia secara global. Apakah hanya menyerang pengguna busana
muslimah di Indonesia yang konon sangat banyak jumlahnya atau terjadi pula pada pengguna busana muslimah di penjuru dunia yang tidak terlalu memiliki
kebebasan tren busana muslimah.
Universitas Sumatera Utara
106
Wartawan memulai tulisan dengan menggunakan unsur When, hal itu berarti tren memang berkaitan dengan waktu. Seiring berjalannya waktu, tren ikut berubah.
Begitu pula yang terjadi dengan tren busana muslim. Walaupun pada headline digunakan kata tanya atau dalam hal ini mengedepankan
unsur Why, namun dalam setiap paragraf, wartawan justru lebih banyak menggunakan unsur Who sebagai pembuka paragraf. Who yang dimaksud adalah
muslimah. Hal ini menunjukkan bahwa muslimah adalah pelaku yang terlibat langsung dalam perkembangan tren busana muslimah.
Muslimah sebagai subjek berkewajiban untuk menutup auratnya serta memiliki ketentuan berbusana yang sudah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Muslimah juga
bebas berekspresi dengan busana muslimah, baik itu kreasi warna maupun mode asal tetap syar’i. Selain itu muslimah juga berkewajiban untuk menambah ilmu
agama agar keimanan dan ketakwaan meningkat sehingga tidak hanya penampilannya saja yang terlihat bagus, namun juga kualitas dirinya.
“...Kami bersyukur bahwa muslimah berbagai usia dari remaja sampai orang tua memilih berbusana sopan. Memang kita tidak berhak menilai
keimanan dan ketakwaan seseorang, karena hanya ALLAH SWT. yang berhak menilai. Namun besar harapan kita, euphoria berkerudung dan
berbusana muslim ini diikuti oleh euophoria mencari ilmu agar keimanan dan ketakwaan meningkat dan tidak sekedar tampilan luar saja.”
Muslimah sebagai objek tetap menjadi pusat perhatian terutama bagi lawan jenis. Perkembangan tren yang sangat cepat menjadikan muslimah seringkali lupa
dengan tujuan utama berbusana muslimah sebagai penutup aurat, sebaliknya justru menarik perhatian dengan penampilan yang berlebihan karena mengikuti
tren. “...Agar dapat dibedakan muslimah dari perempuan agama lain. Agar
lawan jenis yang melihat merasa segan mengganggu seorang muslimah” “...Akhirnya tujuan menutup aurat seolah dilupakan, bahkan sebaliknya
sengaja mengundang perhatian.”
4.5.3 Tematik Artikel 4
Detail artikel ini terpapar jelas ketika mendeskripsikan tren busana muslimah saat ini yang terlihat berlebihan. Tren busana yang dimaksud adalah potongan dan
penggunaan kainnya berlapis-lapis, terseret-seret saat berjalan, sampai
Universitas Sumatera Utara
107
penggunaan kerudung yang bombastis dengan warna yang mencolok dan aksesoris berupa-rupa. Deskripsi seperti ini tentunya merujuk kepada gaya
Hijabers sebagai salah satu yang dominan saat ini namun seringkali dianggap melanggar aturan syariat.
“...Namun sekarang terlihat marak perkembangan busana muslim yang seringkali amat berlebihan. Dari segi potongan dan penggunaan bahan
yang berlapis-lapis, terseret-seret saat berjalan, sampai penggunaan kerudung yang bombastis. Kepala yang dikerudungi selendang berwarna-
warni, berlapis-lapis dan diberi aksesoris rupa-rupa pula”
Sedangkan untuk detail busana muslimah yang syar’i sama sekali tidak dideskripsikan dalam artikel ini. Wartawan hanya mengatakan bahwa muslimah
bebas berekspresi dengan pakaiannya namun harus tetap syar’i. Tidak dijelaskan konsep busana syar’i menurut mode, warna maupun bahannya, yang penting tidak
mencolok. “...Secara garis besar muslimah dapat berbusana apa saja, asal syar’i.
Selain ketentuan menutup aurat hal lain yang perlu diperhatikan adalah perlunya berpakaian sederhana dan tidak berlebihan sehingga cenderung
menarik perhatian”
Detail standar kecantikan dalam Islam juga dipaparkan secara jelas bahwa atribut muslimah yang perlu dijaga dan dipelihara itu meliputi perilaku, tutur kata, adab
dan akhlak. “...Dalam Islam kecantikan yang diutamakan adalah inner beauty, spiritual
beauty- kecantikan yang terpancar dari teguhnya keimanan dan ketakwaan. Pakaian yang sederhanapun akan memantulkan keanggunan pemakainya
dimanapun ia berada. Perilaku, tutur kata, adab dan akhlak juga merupakan bagian dari atribut muslimah yang perlu dijaga dan dipelihara.”
Koherensi antar kalimat dalam artikel ini sudah teratur. Hal ini dapat dilihat dari kesinambungan antar paragraf yang secara runut menceritakan kondisi tren secara
umum lalu diikuti dengan perkembangan tren fashion, aturan dan perkembangan busana muslimah. Kemudian menjadikannya lebih spesifik kepada kesederhanaan
berbusana yang diikuti oleh kecantikan alamiah inner-beauty dan spiritual beauty. Susunan seperti itu tentu saja lebih mudah dipahami oleh pembaca karena
menggiring fokus pembaca untuk sampai pada akhir tulisan yang merupakan pesan utama dalam tulisan ini. Noor menginginkan muslimah mau belajar untuk
Universitas Sumatera Utara
108
meningkatkan keimanan dan ketakwaan agar tidak hanya baik penampilannya namun juga akhlaknya.
Hanya saja jika lead dilihat kembali, maka paragraf pertama terasa kurang berkaitan. Karena dalam keseluruhan artikel, tidak disebutkan apakah gaya
berbusana yang berlebihan itu sudah seperti meniru gaya berbusana kaum jahiliyah yang dilarang dalam Al-Qur’an.
Bentuk kalimat yang digunakan dalam artikel ini bersifat deduktif. Secara garis besar maupun secara spesifik pada setiap paragraf, wartawan memaparkan tulisan
secara umum ke khusus. Gagasan utama selalu diletakkan di awal paragraf kemudian dijelaskan oleh kalimat penjelas sesudahnya.
Wartawan juga mencoba memaparkan kebebasan yang dimiliki oleh muslimah, dimana muslimah bebas berekspresi dan tidak terkekang dengan busana
muslimahnya namun tetap pula mengikuti aturan yang telah ditetapkan. “...Secara garis besar muslimah dapat berbusana apa saja, asal syar’i.”
“...Di televisi seringkali terlihat muslimah yang menonton acara musik dibagian festival dengan leluasa berjejal bersama lain jenis. Kereta api saja
ada gerbong khusus perempuan. Mudah-mudahan dimasa datang bertambah banyak fasilitas khusus muslimah.”
Kata ganti yang digunakan pada artikel ini adalah “lawan jenis” dan “lain jenis” untuk menyebut kaum prialelaki.
“...Agar lawan jenis
“...Di televisi seringkali terlihat muslimah yang menonton acara musik dibagian festival dengan leluasa berjejal bersama
yang melihat merasa segan mengganggu seorang muslimah.”
lain jenis .”
4.5.4 Retoris Artikel 4
Secara leksikon, terdapat inkonsistensi penggunaan kata tren dengan trend. Pada judul dan pada paragraf kedua digunakan kata “trend” sedangkan pada paragraf
pertama digunakan kata “tren”.
Universitas Sumatera Utara
109
Dilihat dari grafisnya, kata “Trend” pada judul diberi tanda kutip, dicetak tebal dan hurufnya berukuran lebih besar. Selain dianggap penting, kata Trend
seharusnya tidak menggunakan tanda kutip karena merupakan makna sebenarnya. Sementara kata pendahulunya- ADA APA DENGAN- dicetak biasa dengan huruf
kapital seluruhnya. Ini menunjukkan bahwa Noor ingin menarik perhatian pembaca kepada tren dan membuat pembaca menganggap artikel ini penting.
Lead dicetak miring, ditebalkan, ukurannya lebih besar dari body text dan diposisikan lebih keluar dibandingkan paragraf lainnya. Ini menunjukkan bahwa
lead menjadi sorotan utama yang cukup penting untuk dibaca sebelum membaca isi aritkel.
Huruf S pada paragraf pertama dicetak besar dan tebal drop cap yang menjadi eye-catcher sebelum membaca artikel ini secara keseluruhan. Tidak semua tulisan
dalam majalah Noor dimulai dengan drop cap. Drop cap digunakan untuk artikel yang membahas hal-hal umum. Berbeda dengan tulisan lainnya pada majalah ini
seperti profil personal atau orang-orang penting, tidak digunakan drop cap pada awal tulisan. Artikel ini salah satu yang menggunakan drop cap pada awal
paragrafnya. Artikel ini dimuat dalam halaman berwarna putih polos dengan dua gambar bunga
berwarna hijau masing-masing di kanan atas dan kiri bawah. Karena gambar bunga yang digunakan cukup ramai, maka sedikit mengganggu keterbacaan di
paragraf kedua, ketiga dan keempat. Tidak ada foto yang disertakan di halaman artikel ini. Tampilan seperti ini menunjukan bahwa artikel ini adalah tulisan
sederhana yang tidak perlu dilengkapi foto sebagai penjelas. Dilihat dari nama rubriknya, Mirror, artikel ini menjadi seperti kaca yang
merupakan cerminan dari kehidupan sehari-hari terutama yang berkaitan dengan busana muslimah. Namun jika ditilik dari penempatannya di halaman 91 dari total
130 halaman isi, maka artikel ini bukanlah artikel penting yang dijadikan bahasan utama.
Tabel 10 Analisis Framing Artikel 4 “Ada apa dengan Trend?”
Universitas Sumatera Utara
110
No. Elemen yang diteliti Analisis
1 Sintaksis
Dilihat dari struktur sintaksisnya, Noor menampilkan busana muslimah termasuk jilbab
sebagai bagian dari perkembangan tren. Perkembangan tren ini dapat dilihat dari
perubahan mode busana muslimah yang belakangan kian berlebihan sehingga jauh dari
tujuan utama yaitu menutup aurat. Noor juga menekankan bahwa kecantikan yang mengikuti
tren bukanlah kecantikan yang utama sebab harus diikuti dengan usaha menambah keimanan dan
ketakwaan. Noor mencantumkan ayat Al-Qur’an pada lead untuk memberikan bukti otentik bahwa
tren yang mengikuti kaum jahiliyah itu dilarang. Karena Islam memiliki aturan tersendiri tentang
tren. Noor menutup artikel dengan harapan agar muslimah mau memperkaya diri dengan ilmu
pengetahuan agar meningkatkan keimanan dan ketakwaan.
2 Skrip
Dilihat dari struktur skripnya, artikel ini tidak memiliki unsur Where yang menunjukkan dimana
fenomena tren ini terjadi. Paragraf dibuka dengan unsur When yang menunjukkan bahwa tren
berkaitan dengan waktu. Unsur yang dominan digunakan dalam artikel ini adalah Who yang
merujuk kepada muslimah sebagai pengguna busana muslimah. Muslimah ikut berperan dalam
perkembangan tren, baik sebagai subjek maupun sebagai objek. Muslimah sebagai subjek adalah
orang yang mengikuti perkembangan tren dan berkewajiban untuk menambah keilmuan untuk
Universitas Sumatera Utara
111
meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Sedangkan muslimah sebagai objek adalah
makhluk yang bisa saja diganggu oleh lawan jenis jika tidak menutup aurat.
3 Tematik
Dilihat dari struktur tematiknya, artikel ini sudah teratur. Ada enam paragraf yang secara runut
menceritakan kondisi tren secara umum kemudian memfokuskannya pada kecantikan alami yang
lebih penting yaitu berupa tutur kata, adab dan akhlak. Detail digunakan dengan sangat jelas
dalam mendeskripsikan tren busana muslimah saat ini yang terkesan berlebihan. Namun untuk
busana syar’i, tidak ada detailnya.Noor banyak menggunakan kalimat deduktif dimana gagasan
utama diletakan pada awal paragraf kemudian dijelaskan lebih rinci pada kalimat penjelas.
Untuk menyebut kaum pria, Noor menggunakan kata “lawan jenis” dan “lain jenis”.
4 Retoris
Dilihat dari struktur retorisnya, Noor tidak terlalu menekankan fakta tentang tren dalam artikel ini.
Tidak banyak penekanan yang diberikan pada tulisan baik itu secara grafis maupun isi. Tidak
ada foto pendukung dalam artikel ini. Tampilan artikel ini juga sederhana. Penempatannya pada
rubrik “Mirror” di halaman 91 dari total 130 halaman isi menjadikan artikel ini bukan bahasan
utama yang dianggap penting. Sumber : Hasil Penelitian
4.6 Rangkuman
Universitas Sumatera Utara
112
Secara garis besar, konstruksi busana muslim dan konstruksi jilbab yang terdapat pada majalah Noor Edisi Fashion Trend 2015 adalah sebagai berikut :
4.6.1 Rangkuman Sintaksis
Noor selalu menggunakan headline yang menjelaskan busana muslim sebagai bagian dari perkembangan zaman. Pada artikel pertama, Noor menjelaskan busana
muslim kekinian. Pada artikel kedua, Noor memaparkan perubahan jilbab di Indonesia mulai tahun 1980 hingga kini. Pada artikel ketiga Noor menjelaskan
tentang keberadaan jilbab ribuan tahun lalu dan pada artikel terakhir Noor menjelaskan jilbab sebagai tren pada masa kini.
Noor menggunakan jenis lead yang berbeda-beda. Artikel pertama dan kedua menggunakan Question Lead yang berfungsi untuk memancing minat pembaca
serta mengajak pembaca untuk kritis. Kedua lead tersebut juga berasal dari fakta kekinian. Artikel ketiga dan keempat, Noor menggunakan kutipan arti dari ayat
Al-Qur’an sebagai leadnya. Ini menunjukkan bahwa Noor masih menganggap ayat al-Qur’an sebagai bahasan yang menarik sebelum masuk kepada isi tulisan.
Noor menampilkannya secara seimbang bahwa busana muslimah dan jilbab adalah bagian dari kekinian juga bagian dari perintah agama.
Latar informasi yang digunakan oleh Noor cukup beragam. Namun latar informasi yang digunakan masih berkaitan dengan waktu. Busana muslim dan jilbab adalah
bagian fashion kekinian yang telah mengalami evolusi dari awal mula kehadirannya. Noor memberikan panduan tentang cara berbusana muslim masa
kini yang sesuai dengan fashion namun tidak melupakan busana muslim dan jilbab sebagai kewajiban atas perintah menutup aurat.
Noor selalu menggunakan kutipan yang berasal dari narasumbernya serta dari instansi resmi. Namun Noor lebih banyak menggunakan kutipan yang berasal dari
pernyataan narasumbernya. Untuk pemilihan narasumber sendiri, Noor selalu memilih narasumber yang seusia dengan bidang yang tengah dibahas. Selain itu
Noor juga kerap kali menonjolkan profil narasumber untuk mengangkat
Universitas Sumatera Utara
113
kredibilitas narasumber. Ini terlihat dari cara Noor menyandingkan nama narasumber dengan profesi maupun jabatan yang menunjukkan kredibilitasnya.
Noor menutup 3 dari 4 artikel dengan harapan bahwa busana muslim dan jilbab haruslah kembali pada asalnya yaitu perintah agama untuk menutup aurat. Pada
artikel kedua, ketiga dan keempat terlihat jelas bagaimana kekhawatiran Noor melihat fenomena berbusana muslimah yang lebih banyak dipahami sebagai tren
dibandingkan sebagai perintah agama. Hal itu menjadi penyebab Noor selalu menutup artikel dengan harapan agar penggunaan busana muslimah dan jilbab
kembali kepada asal hukumnya. Dari penjelasan di atas, peneliti melihat bahwa Noor masih menempatkan jilbab
sebagai perintah agama yang harus dijaga selalu niatannya. Ini sesuai dengan tagline Noor yaitu Yakin – Cerdas – Bergaya. Noor menempatkan jilbab sebagai
keyakinan atas perintah agama.
4.6.2 Rangkuman Skrip
Artikel pada majalah Noor memiliki kelengkapan unsur berita yang baik. Hanya ada satu artikel yang tidak memiliki unsur Where. Ketiga artikel lainnya memiliki
kelengkapan unsur yang mencakup 5W+1H. Unsur Who adalah yang paling dominan digunakan oleh Noor. Who dalam setiap artikelnya merujuk kepada
muslimah sebagai subjek maupun objek. Muslimah sebagai subjek merujuk kepada keputusan dan pilihan muslimah dalam mengenakan busana muslim dan
jilbab. Baik itu untuk menutup aurat maupun untuk mengikuti mode. Muslimah juga pelaku tidak terpisahkan dari perubahan model dan nilai jilbab. Muslimah
sebagai objek adalah korban mode yang seringkali menjadikan muslimah terikut arus fashion dan meninggalkan asal hukum berjilbab yaitu sebagai kewajiban.
What adalah unsur terbanyak kedua yang digunakan dalam majalah Noor. What digunakan untuk menjelaskan jenis busana muslim dan jilbab yang beragam.
Mulai dari model, jenis, bahan, warna hingga nilai historis dari jilbab itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
114
Dari penjelasan di atas, peneliti melihat Noor sudah cukup baik dalam mengisahkan fakta. Ini didasari atas kelengkapan unsur berita pada artikelnya.
Walaupun artikel pada majalah berjenis feature namun Noor tidak mengenyampingkan unsur berita dalam artikelnya.
4.6.3 Rangkuman Tematik
Secara Tematik, Noor memiliki penjelasan detail yang baik dalam setiap artikelnya. Secara spesifik, Noor mampu mendeksripsikan dengan jelas seperti
bentuk dan model busana muslim dan jilbab, nilai perjuangan jilbab beserta posisi politisnya, serta sejarah jilbab sebelum kedatangan Islam. Detail tersembut
digambarkan dengan baik oleh Noor dalam bentuk narasi yang berhasil membuat pembaca membayangkan detail yang dimaksud oleh Noor.
Untuk koherensi paragraf, Noor cukup rapi dalam mengatur paragraf dan menuturkannya dengan runut. Namun seringkali dalam beberapa artikel terdapat
ketidaksinambungan lead dengan isi. Seperti pada artikel pertama yang mengajak pembaca untuk menilik gaya berbusana namun di dalam teks terdapat lonjakan-
lonjakan kata yang diulang-ulang secara tidak beraturan. Ini menyebabkan lead terlihat tidak berhubungan dengan isi.
Artikel didominasi dengan bentuk tulisan deduktif yang menjelaskan dari umum ke khusus. Bentuk artikel seperti ini memudahkan pembaca untuk berpikir runut
dan menyimpulkan hal yang paling penting ada di bagian akhir. Sedangkan di closing sendiri, Noor selalu menyelipkan harapan agar jilbab kembali kepada asal
hukumnya bukan hanya tuntutan mode dan fashion semata. Dilihat dari kata ganti yang digunakan, Noor selalu menggunakan kata muslimah
sebagai pengganti untuk kata wnaita atau perempuan. Muslimah berarti wanita muslim yang dalam hal ini menjadi subjek dan objek yang berkaitan dengan
busana muslim dan jilbab. Dari penjelasan di atas, peneliti melihat Noor memiliki usaha yang baik dalam
memaparkan detail dalam tulisannya. Noor hanya masih kurang dalam menyambungkan lead dengan isi. Namun dilihat dari bentuk tulisannya yang
Universitas Sumatera Utara
115
bersifat deduktif, Noor selalu ingin pembaca membaca artikel sampai selesai karena kesimpulannya diletakkan pada bagian akhir. Dalam hal ini, Noor masih
mengkonstruksi jilbab sebagai perintah agama dan bukan hanya tren.
4.6.4 Rangkuman Retoris
Dalam menekankan fakta, Noor selalu menggunakan idiom yang sesuai dengan pembahasannya. Jika membahas tentang fashion, Noor menggunakan istilah yang
berasal dari dunia fashion. Namun jika membahas tentang sejarah, Noor menggunakan istilah yang berasal dari sumber sejarah itu. Noor menggunakan
idiom tersebut untuk menekankan istilah darimana pembahasan itu berasal. Dilihat dari grafisnya, Noor tidak terlalu memberikan penekanan pada grafis
artikelnya. Ini terlihat dari teks yang hanya menggunakan font sejenis tanpa mengalami penegasan di bagian-bagian tertentu. Begitu pula dengan penampilan
judul setiap artikel yang tidak terlalu mewah. Terlihat biasa saja tanpa ada penonjolan font maupun warna yang mencolok.
Noor lebih cenderung menggunakan foto dalam artikelnya. Foto yang digunakan oleh Noor dominan berbentuk potrait dimana bentuk foto seperti ini biasanya
menonjolkan profil objek, baik itu manusia maupun barang. Noor juga lebih mengedepankan isi tulisan dibandingkan dengan foto.
Dilihat dari nama rubriknya, Noor masih menjadikan busana muslim dan jilbab sebagai bagian dari tren. Ini terlihat pada nama-nama rubrik dimana pembahasan
tentang jilbab dikemukakan, yaitu Fashion Issue, Gaya Hidup dan Mirror. Ketiganya mencerminkan bahwa busana muslim dan jilbab adalah bagian dari
gaya hidup dan tren. Dilihat dari posisinya, artikel pertama hinga ketiga terletak berdampingan pada
bagian awal majalah. Hanya satu artikel yang terletak di bagian akhir majalah. Melihat posisinya, Noor masih mengangap penting persoalan tentang jilbab
sehingga diletakkan pada bagian awal majalah dari total 130 halaman isi.
Universitas Sumatera Utara
116
Dilihat dari jumlah halamannya, Noor memberikan porsi yang besar kepada jilbab sebagai fashion dibandingkan dengan ketiga kajian lainnya. Noor memberikan
porsi 4 halaman untuk jilbab sebagai fashion, dan 4 halaman lainnya yang terpecah kepada tiga artikel yang membahas jilbab dari sisi sejarah, evolusi dan
cerminannya kini. Dengan demikian, pada bagian ini Noor masih menonjolkan sisi fashion yang lebih besar tentang jilbab dibanding aspek-aspek lainnya.
Dari penjelasan di atas, Noor melakukan penekanan fakta bahwa busana muslim dan jilbab masih menjadi bahasan penting pada majalahnya. Namun pembahasan
tentang tren dan fashion sepertinya mendapat tempat yang lebih besar dan dipentingkan dalam majalah Noor.
4.7 Hasil
Berdasarkan hasil analisis penelitian dan pembahasan teks pada artikel tentang jilbab di majalah Noor Edisi Fashion Trend 2015 dengan menggunakan studi
analisis framing model Pan dan Kosicki, maka penulis mendapatkan hasil sebagai berikut :
Dilihat dari struktur sintaksis, keempat artikel tentang jilbab pada majalah Noor Edisi Fashion Trend 2015 mendapatkan bahwa telah berlangsung proses
konstruksi realitas sosial yang melalui tiga tahapan. Wartawan mengkonstruksi fenomena jilbab yang didapati di masyarakat dengan cara
mengeksternalisasikannya lalu mengobjektivasikannya sebagai bagian dari tren dan fashion. Wartawan mendapati fenomena seperti jilboobs, jilbab syar’i,
komunitas hijaber dan fenomena lainnya sebagai proses eksternalisasi. Selanjutnya wartawan mengobjektivasikan fenomena-fenomena tersebut sebagai
arus tren yang sangat kuat sehingga seringkali membuat penggunaan jilbab jauh dari nilai aslinya yaitu perintah agama. Ini juga didukung oleh kurangnya
kemauan belajar agama dari muslimah sehingga kurang ilmu agama dalam
Universitas Sumatera Utara
117
menggunakan jilbab. Lalu wartawan menginternalisasikan berbagai peristiwa yang dilihatnya itu ke dalam tulisan mengenai jilbab pada majalah Noor.
Dilihat dari struktur skrip, keempat artikel yang membahas tentang jilbab di majalah Noor Edisi Fashion Trend 2015 cenderung menonjolkan unsur Who
Siapa dan What Apa. Di dalam artikelnya, Noor banyak melibatkan pembaca muslimah secara langsung sebagai pengguna jilbab. Noor melibatkan muslimah
sebagai subjek yang menggunakan jilbab dan menjadi pelaku perubahan jilbab secara bentuk dan makna. Upaya ini menggiring opini serta mengerucutkan fokus
pembaca kepada satu bahasan penting yaitu kesadaran berhijab sebagai perintah agama dan pentingnya ilmu mengenai jilbab.
Dilihat dari struktur tematik, ragam pembahasan yang dimunculkan pada majalah Noor dihasilkan dari koherensi, detail dan bentuk paragrafnya. Keempat artikel
yang diteliti di majalah Noor selalu menggunakan kata ‘muslimah’ sebagai pengganti kata ‘perempuan’ atau ‘wanita’. Noor juga kerap memulai artikel
dengan ‘hentakan’ baik itu pada headline maupun lead yang memancing pembaca untuk membaca sampai selesai. Hal ini membuat seseorang akan tertarik
membaca dan terbawa ke dalam alur yang dibangun oleh wartawan dalam tulisan. Secara tidak langsung pembaca bersedia dikonstruksi pikirannya oleh media
tersebut. Dilihat dari struktur retoris, penekanan fakta pada majalah Noor terdapat pada
idiom yang digunakan dalam setiap bahasan. Noor menggunakan istilah fashion untuk bahasan jilbab sebagai bagian dari tren, menggunakan istilah asing untuk
bahasan diluar bahasan keagamaan dan menggunakan istilah sejarah untuk bahasan sejarah. Noor memperkuat artikelnya dengan foto untuk bahasan fashion
namun hanya menambahkan ilustrasi saja untuk bahasan diluar fashion. Noor tidak terlalu melakukan penekanan pada tampilan grafis artikelnya. Namun jika
ditilik dari posisinya, Noor masih menjadikan jilbab sebagai bahasan penting di medianya. Namun pembahasan tentang tren dan fashion sepertinya mendapat
tempat yang lebih besar di majalah Noor.
Universitas Sumatera Utara
118
Secara keseluruhan Noor mengkonstruksi jilbab sebagai Realitas Sosial Simbolik yaitu bentuk – bentuk simbolik dari realitas sosial objektif, yang biasanya
diketahui oleh khalayak dalam bentuk karya seni, fiksi serta isi media.
Universitas Sumatera Utara
108
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan