seseorang merasa kemungkinan akan kehilangan pekerjaan di perusahaan sangat tinggi, namun ia tidak merasa cemas atau takut akan masa depan. Hal ini mungkin
disebabkan oleh perbedaan karakteristik seperti strategi coping dan seberapa besar arti pekerjaan mereka sekarang bagi tiap-tiap individu. Oleh karena itu, dimensi
afektif sangat penting untuk mengukur job insecurity yang dirasakan seseorang, terlebih apabila job insecurity didefinisikan sebagai hal yang bukan sukarela dan
hal yang tidak menyenangkan bagi individu.
4.8.1.3 Job Insecurity Responden Penelitian Ditinjau dari Data Demografi
Job insecurity merupakan persepsi subjektif, yang berarti bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkatan job insecurity yang dialami
oleh seseorang. Salah satu faktor tersebut adalah karateristik latar belakang seseorang seperti faktor demografi, jabatan dan lamanya bekerja De Witte,
2005:2. Berikut ini adalah pembahasan analisis deskriptif job insecurity berdasarkan faktor demografi yang meliput jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan
terakhir, status pernikahan dan tanggungan dalam keluarga. Berdasarkan tabel 4.20 dapat dilihat bahwa mean empirik responden
penelitian perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan mean empirik responden penelitian laki-laki. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat job insecurity
responden penelitian perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan responden penelitian laki-laki bila dilihat dari mean empiriknya.
Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Naswall dan De Witte 2003:203 yang menunjukkan bahwa job insecurity responden
perempuan lebih tinggi bila dibandingkan dengan responden laki-laki. Hal yang
sama juga ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Green, dimana karyawan perempuan lebih merasa insecure daripada karyawan laki-laki. Hal ini
mengindikasikan bahwa karyawan lak-laki lebih percaya diri atas eksistensi pekerjaan mereka dalam Dachapalli Parumasur, 2012:34.
Selanjutnya berdasarkan tabel 4.21 dapat dilihat bahwa mean empirik responden penelitian yang berusia 30 tahun paling tinggi bila dibandingkan
dengan mean empirik responden penelitian yang berusia 21 tahun dan 21 – 30
tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat job insecurity responden penelitian yang lebih tua lebih tinggi bila dibandingkan dengan responden penelitian yang
lebih muda bila dilihat dari mean empiriknya. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Naswall dan De
Witte 2003:203 yang menunjukkan bahwa karyawan yang berusia lebih tua memiliki tingkat job insecurity lebih tinggi bila dibandingkan dengan karyawan
yang lebih muda. Salah satu penjelasan mengenai hal ini adalah bahwa karyawan yang berusia lebih tua akan lebih sulit untuk mencari pekerjaan baru jika mereka
diberhentikan, sehingga mereka lebih merasa lebih insecure akan kemungkinan kehilangan pekerjaan Hartley, dkk., dalam Sverke, Hellgren Naswall, 2006:9.
Selanjutnya pada tabel 4.22 dapat dilihat bahwa mean empirik responden penelitian diploma paling tinggi diantara responden penelitian lulusan SMA dan
sarjana. Hal ini mengindikasikan bahwa responden penelitian diploma memiliki tingkat job insecurity yang lebih tinggi dibandingkan dengan responden penelitian
lulusan SMA dan sarjana bila dilihat dari nilai mean empiriknya.
Hasil tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Naswall dan De Witte 2003:203 yang menyatakan bahwa karyawan dengan
tingkat pendidikan yang lebih rendah akan mengalami job insecurity yang lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan dengan tingkat pendidikan yang lebih
tinggi. Selanjutnya pada tabel 4.24 dapat dilihat bahwa mean empirik responden
penelitian yang sudah menikah lebih tinggi bila dibandingkan dengan responden penelitian. Hal ini mengindikasikan bahwa responden penelitian yang sudah
menikah memiliki job insecurity yang lebih tinggi dibandingkan dengan responden penelitian lajang bila dilihat dari nilai mean empiriknya.
Hal tersebut berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Lim dalam Sverke, Hellgren Naswall, 2006:11 yang menyatakan bahwa kehadiran
pasangan sebagai basis dari dukungan keluarga dapat mengurangi efek negatif job insecurity. Salah satu penjelasan mengenai hal ini adalah kehadiran pasangan
tidak dirasakan sebagai dukungan melainkan sebagai tanggungan bagi responden penelitian.
Sejalan dengan hal tersebut tabel 4.25 menunjukkan bahwa responden penelitian yang memiliki tanggungan keluarga memiliki mean empirik yang lebih
besar dibandingkan dengan responden penlitian yang tidak memiliki tanggungan keluarga. Hal ini mengindikasikan bahwa responden penelitian yang memiliki
tanggungan keluarga memiliki tingkat job insecurity yang lebih tinggi dibandingkan dengan responden penelitian yang tidak memiliki tanggungan
keluarga bila dilihat dari nilai mean empiriknya. Hal ini sesuai dengan apa yang
diungkapkan oleh De Witte dalam Sverke, Hellgren Naswall, 2006:9 yang menyatakan bahwa seseorang yang memiliki tanggungan keluarga seperti anak
akan merasakan kemungkinan kehilangan pekerjaan lebih negatif dibandingkan dengan mereka yang bekerja hanya untuk menghidupi diri mereka sendiri.
4.8.2 Locus of Control Responden Penelitian