20092010. Hal ini ditunjukkan dengan hasil prosentase dalam kriteria sesuai yaitu 74, hal ini berarti siswa telah melihat dan mendengar tentang keimanan
dan ketaqwaan konselor terhadap Tuhan Yang Maha Esa, siswa juga dapat merasakan bahwa integritas dan stabilitas konselor yang sesuai.
Kaitan antara penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan adalah semakin konselor dapat menunjukkan kompetensi kepribadian yang baik
dalam melakukan pelayanan bimbingan dan konseling maka konselor dapat menunjukkan kemampuan kompetensi kepribadian konselor. Konselor harus
dapat memahami dan menerapkan dengan baik kompetensi kepribadian konselor dalam kehidupan sehari-hari, maka secara otomatis konselor mempunyai
kemampuan kompetensi kepribadian konselor yang baik pula.
2.2 Profil Kompetensi Kepribadian Konselor Menurut Persepsi Siswa
2.2.1
Persepsi
Secara umum persepsi diartikan sebagai cara seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. Dalam teori persepsi siswa tentang peran konselor dalam
menurunkan tingkat kecemasan dalam menghadapi ujian, terlebih dahulu akan dijelaskan tentang pengertian persepsi, faktor-faktor yang mempengaruhi
persepsi, serta proses terjadinya persepsi.
2.2.1.1 Pengertian Persepsi
Istilah persepsi biasanya digunakan untuk mengungkapkan tentang pengalaman terhadap sesuatu benda atau suatu kejadian yang dialami. Persepsi
menurut Walgito 2003:46 adalah “suatu proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu
sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan aktivitas yang integrated
dalam diri individu”. Sebagai aktivitas yang integrated, maka seluruh pribadi, seluruh apa yang ada dalam diri individu ikut aktif berperan dalam
persepsi itu. Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan. Penginderaan merupakan suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui
alat penerima yaitu alat indera. Proses penginderaan terjadi setiap saat, yaitu pada waktu individu menerima stimulus yang mengenai dirinya melalui alat indera.
Alat indera merupakan penghubung antara individu dengan dunia luarnya. Hal senada diungkapkan oleh Pareek dalam Sobur 2003:446 yang
mendefin isikan
persepsi sebagai
“proses menerima,
menyeleksi, mengorganisasikan, mengartikan, menguji dan memberikan reaksi kepada
rangsangan panca indera atau data”. Dalam perspektif ilmu komunikasi, persepsi bisa dikatakan sebagai inti komunikasi, sedangkan penafsiran interpretasi adalah
inti persepsi. Persepsi disebut inti komunikasi karena jika persepsi tidak akurat, maka komunikasi juga tidak akan efektif. Persepsi juga dapat diartikan sebagai
“proses menyimpulkan informasi dan menafsirkan kesan yang diperoleh melalui alat inderawi kita” Sugiyo 2005:34. Alat indera tersebut akan menerima
stimulus, kemudian diteruskan ke pusat susunan syaraf otak dan terjadilah proses psikologis sehingga individu menyadari apa yang dilihat, didengar, diraba
dan sebagainya. Persepsi dapat menjadi mediasi antara kita dengan lingkungan.
Penerimaan rangsang atau stimulus oleh alat indera disebut juga penginderaan atau sensasi. Penginderaan belum dapat menangkap pengertian
terhadap dunia sekitar sebelum terjadi interpretasi atau pemaknaan terhadap stimulus tersebut. Tiap-tiap individu menggunakan indera yang sama atau sejenis
dalam menerima stimulus yang sama. Namun, dalam hal persepsi masing-masing individu bisa berbeda tergantung pengalaman masa lalu individu. Apa yang
dipersepsi pada waktu tertentu tidak tergantung stimulus itu sendiri, melainkan pengalaman terdahulu yang akan ikut mewarnai pemaknaan pada waktu
melakukan persepsi. Pengalaman masa lalu termasuk kondisi perasaan pada waktu itu, prasangka, keinginan, sikap, dan lain-lain.
Sedangkan Rakhmat 2005:51 mendefinisikan persepsi sebagai “pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh
dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan”. Persepsi ialah proses pemberian makna pada stimuli inderawi sensory stimuli. Tahap paling awal
dalam penerimaan informasi adalah sensasi. Sensasi merupakan bagian dari persepsi. Meskipun begitu, dalam menafsirkan makna informasi inderawi tidak
hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekpektasi, motivasi dan memori. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
persepsi adalah proses penginterpretasian seseorang atau kelompok terhadap objek, peristiwa atau stimulus dengan melibatkan pengalaman-pengalaman yang
berkaitan dengan objek tersebut untuk menyimpulkan informasi dan penafsiran pesan yang akan membentuk konsep tentang objek tersebut. Persepsi mencakup
dua proses yang berlangsung secara serempak antara keterlibatan aspek-aspek
dunia luar stimulus-informasi dengan dunia dalam diri seseorang pengetahuan yang relevan dan telah disimpan dalam ingatan. Dua proses tersebut disebut
bottom-up atau aspek stimulus dan top-down atau aspek pengetahuan seseorang
Suharnan 2005:23-24. Hasil persepsi seseorang mengenai suatu objek selain dipengaruhi oleh penampilan objek itu sendiri juga pengetahuan seseorang
mengenai objek itu. Dengan demikian, suatu objek dapat dipersepsi berbeda oleh dua orang akibat perbedaan pengetahuan yang dimiliki masing-masing orang
mengenai objek tersebut.
2.2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Proses terbentuknya persepsi sangat kompleks dan ditentukan oleh dinamika yang terjadi dalam diri seseorang dengan melibatkan aspek psikologis
dan panca inderanya. Persepsi melibatkan proses yang saling melengkapi, bukan berjalan sendiri-sendiri. Menurut Suharnan 2005:55, persepsi melibatkan dua
proses yaitu “bottom-up processing and top-down processing”. Hal ini berarti bahwa hasil suatu persepsi atau interpretasi mengenai suatu stimulus akan
ditentukan oleh kombinasi antara sifat-sifat yang ada pada stimulus yang dipersepsi itu bottom-up dengan pengetahuan yang tersimpan di dalam ingatan
seseorang yang relevan dengan stimulus itu top-down. Berdasarkan keterangan tersebut, Suharnan 2005:56-60 mengklasifikasikan hal-hal yang dapat
mempengaruhi proses persepsi antara lain “informasi, pengetahuan dan pengalaman, familiaritas, ukuran, intensitas, serta gerak”. Informasi berkaitan
dengan apa yang ditampilkan oleh stimulus pada waktu terjadinya proses persepsi. Pengetahuan dan pengalaman merupakan sesuatu yang tersimpan dalam ingatan
orang yang melakukan persepsi yang relevan dengan objek persepsi. Sedangkan familiaritas mengandung arti bahwa objek-objek yang sudah dikenal akrab oleh
pelaku persepsi maka cenderung lebih mudah dipersepsi daripada objek yang baru atau masih asing. Ukuran berarti bahwa objek persepsi yang berukuran lebih besar
akan lebih mudah dipersepsi atau dikenali daripada objek yang berukuran kecil. Faktor ukuran ini umumnya berhubungan dengan objek persepsi yang berwujud
fisik dengan ukuran yang dapat dilihat oleh pelaku persepsi. Intensitas dan gerak juga berhubungan dengan objek yang berwujud fisik. Intensitas mengacu pada
warna objek persepsi, warna yang tajam atau mencolok lebih mudah dipersepsi. Demikian pula dengan gerak, objek yang bergerak juga cenderung lebih mudah
dipersepsi daripada objek yang diam. Sedangkan menurut Sugiyo 2005:38-41, secara garis besar terdapat dua
faktor yang mempengaruhi kecermatan persepsi antar pribadi, yaitu “faktor
situas ional dan faktor personal”. Faktor situasional berhubungan dengan deskripsi
verbal, petunjuk proksemik, petunjuk kinesik, petunjuk wajah, dan petunjuk paralinguistik. Deskripsi verbal berhubungan dengan rangkaian kata sifat yang
dapat menentukan persepsi seseorang. Petunjuk proksemik berhubungan dengan penggunaan jarakruang dan waktu dalam menyampaikan pesan. Jarak ini terbagi
menjadi jarak publik, jarak sosial, jarak personal, dan jarak akrab. Petunjuk kinesik berkaitan dengan gerakan, sedangkan petunjuk paralinguistik merupakan
cara seseorang mengucapkan lambang-lambang verbal. Faktor personal terbagi menjadi pengalaman, motivasi, kepribadian,
intelegensi, kemampuan menarik kesimpulan, dan objektivitas. Faktor personal ini
berhubungan dengan orang yang melakukan persepsi. Pengalaman yang banyak akan mendorong persepsi semakin cermat. Motivasi yang tinggi terhadap objek
persepsi akan menyebabkan persepsi menjadi bias atau kurang objektif. Kepribadian mengandung arti bahwa orang yang memiliki penilaian bik terhadap
diri sendiri cenderung memberikan penilaian yang positif pula bagi orang lain. Sementara itu, intelegensi, kemampuan menarik kesimpulan dan objektivitas yang
baik akan memicu persepsi yang baik pula. Pendapat lain dikemukakan oleh Siagian 2004:98-105 yang
mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi antara lain “faktor dari dalam diri orang yang bersangkutan, faktor sasaran persepsi, dan
faktor situasi”. Faktor dari diri orang yang bersangkutan berarti apabila seseorang melihat sesuatu dan berusaha memberikan interpretasi terhadap apa yang
dilihatnya, orang tersebut dipengaruhi oleh karakteristik pribadinya, seperti sikap, motif, kepentingan, minat, pengalaman, dan harapan. Faktor sasaran persepsi
merupakan fokus persepsi terhadap benda, orang maupun peristiwa. Sifat-sifat sasaran tersebut biasanya berpengaruh terhadap persepsi orang yang melihatnya.
Faktor situasi berhubungan dengan keadaan dimana persepsi tersebut muncul. Krech dan Crutchfield dalam Rakhmat 2005:55-59 menyatakan bahwa
persepsi dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu “faktor fungsional dan faktor
struktural. Faktor fungsional merupakan faktor yang berasal dari kebutuhan pengalaman masa lalu. Faktor ini juga dikenal dengan faktor personal dimana
persepsi tidak ditentukan oleh jenis atau bentuk stimulus, melainkan karakteristik individu yang memberikan respon pada stimulus tersebut. Objek yang mendapat
tekanan dalam persepsi biasanya objek yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi, yang dipengaruhi pula oleh kebutuhan, kesiapan mental,
suasana emosional, dan latar belakang budaya tehadap persepsi. Sedangkan faktor struktural artinya apabila kita mempersepsi sesuatu, kita mempersepsinya sebagai
suatu keseluruhan. Jika ingin memahami suatu peristiwa, kita tidak dapat meneliti suatu fakta secara terpisah melainkan harus memandangnya dalam hubungan
keseluruhan yaitu konteksnya, lingkungan serta masalah yang dihadapinya. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
persepsi dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Kedua faktor tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1 Faktor internal, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri individu, dalam hal
ini adalah individu yang melakukan pesepsi. Faktor ini berhubungan dengan penginderaan, pengetahuan dan perasaan yang relevan dengan keadaan objek
yang dipersepsi dan disimpan dalam ingatan individu yang melakukan pesepsi. Pengetahuan dan pengalaman yang berkaitan dengan proses belajar,
cakrawala, kebutuhan, motivasi, nilai dan harapan yang tersimpan dalam diri individu turut berpengaruh terhadap proses persepsi.
2 Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar individu, dalam hal ini
adalah objek yang dipersepsi. Faktor ini berhubungan dengan apa yang ditampilkan oleh objek persepsi. Penampilan objek persepsi inilah yang
kemudian akan dinilai dan ditarsirkan oleh individu yang melakukan persepsi. Selain penampilan objek persepsi, faktor lain yang turut mempengaruhi adalah
waktu, lingkungan, dan keadaan sosial.
Kedua faktor tersebut merupakan proses yang berlangsung secara serempak, saling melengkapi dan bukan berjalan sendiri-sendiri. Persepsi tidak
dapat tejadi hanya berdasarkan satu faktor saja, kedua faktor tersebut saling melengkapi dan akhirnya membentuk kesan dan penafsiran tertentu pada diri
individu mengenai objek persepsi. Sehubungan dengan penelitian ini, individu yang melakukan persepsi adalah siswa, sedangkan objek persepsi adalah konselor.
2.2.1.3 Proses Terjadinya Persepsi
De Vito dalam Sugiyo 2005:34 mengemukakan bahwa proses persepsi melalui tiga tahap yaitu “stimulasi sensori terjadi, stimulasi organisasi
terorganisasi, dan stimulasi sensori diinterpretasikan”. Stimulasi sensori misalnya mendengarkan lagu,mencium bau parfum, dan lain-lain. Stimulasi sensori tersebut
akan berlanjut dengan proses pemahaman, kemudian apa yang telah diterima akan ditafsirkan oleh individu yang melakukan persepsi. Persepsi merupakan bagian
dari keseluruhan proses yang menghasilkan tanggapan setelah rangsangan diterapkan kepada manusia. Dari segi psikologi dikatakan bahwa tingkah laku
seseorang merupakan fungsi dari cara dia memandang. Oleh karena itu, untuk mengubah tingkah laku seseorang harus dimulai dengan mengubah persepsinya.
Sobur 2003:447 menjabarkan komponen utama dalam proses persepsi antara lain
“seleksi, interpretasi, dan reaksi”. Seleksi adalah proses penyaringan oleh indera terhadap rangsangan dari luar, intensitas dan jenisnya dapat banyak atau
sedikit. Setelah diseleksi kemudian diorganisasikan atau diinterpretasi, proses ini melibatkan pengalaman masa lalu, nilai yang dianut, motivasi, kepribadian,
kecerdasan, dan sebagainya. Selanjutnya, interpretasi dan persepsi tersebut diterjemahkan dalam bentuk tingkah laku sebagai reaksi.
Proses pertama dalam persepsi adalah menerima rangsangan atau data dari berbagai sumber melalui panca indera. Setelah diterima, rangsangan atau data
diseleksi untuk diproses lebih lanjut. Rangsangan yang diterima selanjutnya diorganisasikan dalam suatu bentuk. Setelah rangsangan atau data diterima dan
diatur, penerima menafsirkan data itu dengan berbagai cara. Proses penafsiran inilah yang dinamakan persepsi. Persepsi pada intinya adalah memberikan arti
pada berbagai data dan informasi yang diterima. Setelah melakukan penafsiran atau persepsi maka akan diwujudkan dalam reaksi atau tindakan tertentu terhadap
objek yang dipersepsi. Walgito dalam Sugiyo 2005:35 mengemukakan proses persepsi terbagi
menjadi tiga tahap, yaitu sebagai berikut: 1
Proses kealaman, dimana objek objek menimbulkan stimulus dan stimulus mengenai alat indera atau reseptor.
2 Proses fisiologis, merupakan proses dimana stimulus yang
diterima alat indera diteruskan oleh syaraf sensoris ke otak. 3
Proses psikologis, merupakan proses yang terjadi di otak sebagai pusat kesadaran sehingga individu menyadari apa yang ia terima
melalui alat indera sebagai akibat dari stimulus yang diterimanya.
Dalam proses persepsi perlu adanya perhatian sebagai langkah persiapan dalam persepsi itu. Hal tersebut menunjukkan bahwa individu tidak hanya dikenai
oleh satu stimulus saja, tetapi berbagai macam stimulus yang ditimbulkan oleh keadaan sekitarnya. Namun, tidak semua stimulus mendapatkan respon individu
untuk dipersepsi. Stimulus mana yang akan dipersepsi atau mendapatkan respon
tergantung pada perhatian individu yang bersangkutan. Penafsiran terhadap stimulus bersifat subjektif sehingga pemaknaan stimulus yang sama belum tentu
menghasilkan interpretasi yang sama pula. Hal ini dipengaruhi oleh pengalaman, kebutuhan, nilai dan harapan yang ada pada diri individu.
Berdasarkan keterangan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa proses persepsi berlangsung dalam beberapa tahap. Proses tersebut dimulai dengan
adanya stimulus yang mengenai alat indera. Stimulus ini berasal dari objek atau kejadian yang menjadi pengalaman individu. Stimulus yang diterima akan
diteruskan oleh syaraf sensoris ke pusat susunan syaraf otak. Setelah informasi sampai ke otak terjadi proses kesadaran, yaitu individu mampu menyadari apa
yang dilihat, dirasa dan sebagainya. Setelah menyimpulkan dan menafsirkan informasi yang diterimanya, individu memunculkan respon sebagai reaksi
terhadap stimulus yang diterimanya. Dalam penelitian ini, objek yang akan dipersepsi oleh siswa adalah
kompetensi keprbadian konselor. Objek tersebut akan menjadi stimulus yang akan diteruskan oleh syaraf sensoris ke otak kemudian ditafsirkan. Proses penafsiran ini
dapat berbeda antara siswa satu dengan lainnya, hal ini tergantung pengalaman masing-masing siswa khususnya yang berkaitan dengan kompetensi kepribadian
konselor.
2.2.2
Kompetensi Kepribadian Konselor 2.2.2.1
Pengertian Kompetensi Konselor
Permandiknas No 27 Tahun 2008 tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor bahwa sosok utuh kompetensi konselor mencakup
kompetensi akademik dan kompetetensi professional. Kompetensi merupakan kemampuan yang seharusnya dapat dilakukan oleh
guru sesuai dengan kualifikasi, fungsi, dan tanggung jawab mereka sebagai pengajar dan pendidik. Kemampuan melakukan sesuatu sesuai dengan kualifikasi,
fungsi, dan tanggung jawab tersebut lebih sekedar mengetahui dan memahami. Menurut Siskandar dalam Pedoman PPL 2011: 88, kompetensi adalah
kemampuan yang dapat dilakukan oleh guru yang mencakup kepribadian, sikap dan tingkah laku guru yang ditunjukkan dalam setiap gerak-gerik sesuai dengan
tuntutan profesi sebagai guru. Kemampuan ditunjang oleh penguasaan pengetahuan atau wawasan akademis maupun non akademis knowledge
einsightabilities , keahlian skills, dan sikap kepribadian attitudes. Oleh
karena itu berkaitan dengan kompetensi guru, seseorang sebelum menjadi guru haruslah dipersiapkan proses dan materi yang diberikan.
Dalam UU RI No 14 Tahun 2005, tentang guru dan dosen bahwa kompetensi pendidik guru meliputi :
1. Kompetensi paedagogik merupakan kemampuan dalam
mengelola pembelajaran peserta didik, 2.
Kompetensi professional merupakan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan
membimbing peser didik memenuhi standar kompetensi yang diterapkan dalam standar nasional,
3. Kompetensi sosial adalah kemampuan berkomuniksi dan
bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik,
tenaga kependidikan, orang tua atau wali, serta masyarakat sekitar,
4. Kompetensi kepribadian adalah kepribadian yang harus
melekat pada pendidik yang merupakan pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, berakhlak mulia, serta dapat
dijadikan teladan bagi peserta didik.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi konselor merupakan kemampuan yang dimiliki oleh konselor yang mencakup kepribadian,
sikap dan tingkah laku konselor yang ditunjukkan dalam setiap gerak-gerik sesuai dengan tuntutan profesi sebagai konselor, dan kompetensi kepribadian konselor
mrliputi kompetensi pedagogik, kompetensi professional, kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian. Dalam penelitian ini peneliti akan meneliti tentang
kompetensi kepribadian konselor.
2.2.2.2 Jenis-Jenis Kompetensi Konselor
Depiknas 2007: 261-266 sosok utuh kompetensi konselor terdiri atas dua komponen yang berbeda namun terintegrasi dalam praksis sehingga tidak dapat
dipisahkan yaitu kompetensi akademik dan kompetensi profesional. 1.
Kompetensi Akademik Konselor Kompetensi akademik konselor yang utuh diperoleh melalui Program S-1
Pendidikan Profesi Konselor. Untuk menjadi pengampu pelayanan di bidang bimbingan dan konseling, tidak dikenal adanya pendidikan profesional konsekutif
sebagaimana yang berlaku di bidang pendidikan profesi guru. Kompetensi akademik konselor profesional terdiri atas kemampuan:
a. Mengenal secara mendalam konseli yang hendak dilayani.
Sosok kepribadian serta dunia konseli perlu didalami oleh konselor yaitu menghormati kerangka pikir konseli yang memperhadapakan
karakteristik konseli yang telah bertumbuh dalam latar belakang keluarga dan lingkungan budaya tertentu sebagai rujukan normatif beserta berbagai
permasalahan serta solusi yang harus dipilihnya dalam rangka memetakan lintasan perkembangan kepribadian konseli dari keadaan sekarang ke arah
yang dikehendaki. Sebagai konselor dalam upaya mengenal secara mendalam konseli yang dilayani, konselor harus mempunyai sikap
empatik, menghormati keragaman, serta mengedepankan kemaslahatan konseli dalam pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling.
b. Menguasai khasanah teoritik dan prosedural termasuk teknologi dalam
bimbingan dan konseling. Penguasaan khasanah teoretik dan prosedural serta teknologi dalam bimbingan dan konseling mencakup kemampuan:
1 Menguasai secara akademik teori, prinsip, teknik dan prosedur, dan
sarana yang digunakan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling.
2 Mengemas teori, prinsip dan prosedur serta sarana bimbingan dan
konseling sebagai pendekatan, prinsip, teknik dan prosedur dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling yang
memandirikan. 3
Menyelenggarakan layanan ahli bimbingan dan konseling yang memandirikan.
2. Kompetensi Profesional Konselor
Penguasaan Kompetensi Profesional Konselor terbentuk melalui latihan dalam menerapkan kompetensi akademik dalam bidang bimbingan dan konseling
yang telah dikuasai itu dalam otentik di sekolah atau arena terapan layanan ahli lain yang relevan melalui melalui Program Pendidikan Profesi Konselor berupa
Program Pengalaman Lapangan PPL yang sistematis dan sungguh-sungguh. Untuk menumbuhkan kemampuan profesional konselor, maka kriteria
keberhasilan dalam keterlibatan konselor dalam Program Pendidikan Profesi Konselor berupa Program Pengalaman Lapangan itu adalah pertumbuhan
kemampuan konselor dalam menggunakan rentetan panjang keputusan- keputusan kecil yang dibingkai kearifan dalam mengorkestrasikan optimasi pemanfaatan
dampak layanannya demi tercapainya kemandirian konseli dalam konteks tujuan utuh pendidikan. Kompetensi profesional konselor meliputi: kompetensi
pedagogik, komptensi profesional, komptensi sosial, dan komptensi kepribadian. Dalam UU RI No 14 Tahun 2005, tentang guru dan dosen bahwa
kompetensi pendidik guru meliputi : 1.
Kompetensi paedagogik merupakan kemampuan dalam mengelola pembelajaran peserta didik,
2. Kompetensi professional merupakan penguasaan materi
pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang
diterapkan dalam standar nasional,
3. Kompetensi sosial adalah kemampuan berkomuniksi dan
bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua atau wali, serta masyarakat
sekitar,
4. Kompetensi kepribadian adalah kepribadian yang harus
melekat pada pendidik yang merupakan pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, berakhlak mulia, serta dapat
dijadikan teladan bagi peserta didik.
Pada keterangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kompetensi konselor yaitu kompetensi akademik dan kompetensi profesional konselor yang
meliputi empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi professional, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian. Dalam penelitian ini
dari keempat kompetensi konselor tersebut akan dibahas salah satu kompetensi konselor yaitu kompetensi kepribadian konselor.
2.2.2.3 Kompetensi Kepribadian Konselor
Standar kompetensi konselor telah dikembangkan dan dirumuskan atas dasar kerangka pikir yang menegaskan konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor,
maka rumusan kompetensi akademik dan professional konselor dirumuskan ke dalam kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan professional.
Kompetensi kepribadian adalah kepribadian yang harus melekat pada pendidik yang merupakan pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa,
berakhlak mulia serta dapat dijadikan teladan bagi peserta didik. Kompetensi ini mencakup penampilan sikap yang positip terhadap keseluruhan tugas sebagai
guru dan terhadap keseluruhan situasi pendidik beserta unsur-unsurnya. Di samping itu pemahaman dan penghayatan dan penampilan nilai-nilai yang
segogyanya dianut oleh seorang guru dan penampilan diri sebagai panutan anak didiknya. Secara rinci kompetensi kepribadian mencakup: a menampilkan diri
sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, b menampilkan diri sebagai yang berakhlak mulia dan sebagai teladan bagi peserta didik dan
masyarakat, c mengevaluasi kinerja sendiri, d mengembangkan diri secara berkelanjutan. Pedoman PPL, 2011: 90
Dalam Permendiknas No 27 Tahun 2008 tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor menyebutkan bahwa kompetensi kepribadian
konselor mencakup aspek-aspek, yaitu sebagai berikut : 1.
Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang maha Esa, meliputi a menampilkan kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, b konsisten dalam menjalankan kehidupan beragama dan toleran terhadap pemeluk agama lain, c berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur,
2. Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas
dan kebebasan memilih, meliputi a mengaplikasikan pandangan positif dan dinamis tentang manusia sebagai makhluk spiritual, bermoral, social,
individual, dan berpotensi, b menghargai dan mengembangkan potensi positif individu pada umumnya dan konseli pada khususnya, c peduli
terhadap kemaslahatan manusia pada umumnya dan konseli pada khususnya, d menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan hak
asasinya, e toleran terhadap permasalahan konseli, f bersikap demokratis, 3.
Menunjukkan integritas stabilitas kepribadian yang kuat, meliputi a menampilkan kepribadian dan perilaku yang terpuji seperti berwibawa, jujur,
sabar, ramah, dan konsisten, b menampilkan emosi yang stabil, c peka, bersikap empati, serta menghormati karagaman dan perubahan, d
menampilkan toleransi tinggi terhadap konseli yang menghadapi stress dan frustasi.
4. Menampilkan kinerja berkualitas tinggi, meliputi a menampilkan tindakan
yang cerdas, kreatif, inovatif, dan produktif. b bersemangat, berdisiplin, dan mandiri, c berpenampilan menarik dan menyenangkan, d berkomunikasi
secara efektif. Menurut Standar Nasional Pendidikan, pasal 28 ayat 3 butir b dalam
Mulyasa 2008: 117 bahwa kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan
bagi peserta didik dan berakhlak mulia. Kompetensi ini mencakup penampilansikap yang positif terhadap keseluruhan tugas sebagai konselor dan
terhadap keseluruhan situasi pendidikan beserta unsur-unsurnya. Di samping itu, pemahaman, penghayatan, dan penampilan nilai-nilai yang dianut oleh konselor
dan penampilan diri sebagai panutan peserta didiknya. Kompetensi kepribadian sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan dalam membentuk kepribadian siswa, dan berpengaruh besar terhadap keberhasilan pendidikan. Konselor dituntut untuk memiliki kompetensi
kepribadian yang memadai, kompetensi kepribadian konselor merupakan kompetensi konselor yang melandasi kompetensi
–kompetensi lainnya. Dimick dalam Latipun 2006 : 57 mengemukakan bahwa
kesadaran konselor terhadap persoalan akan menguntungkan klien. Dimensi persoalan yang harus disadari konselor dan perlu dimiliki
secara singkat sebagai berikut : 1 Spontanitas, 2 Fleksibilitas, 3 Konsentrasi, 4 Keterbukaan, 5 Stabilitas emosi, 6
Berkeyakinan akan kemampuan untuk berubah, 7 Komitmen pada rasa kemanusiaan, 8 Kemampuan membantu klien, 9
Pengatahuan konselor, dan 10 Totalitas.
1. Spontanitas
Sikap spontanitas spontanity konselor merupakan aspek yang sangat penting dalam hubungan konseling. Spontanitas menyangkut
kemampuan konselor untuk merespon peristiwa yang sebagaimana yang dilihatnya dalam hubungan konseling. Pengalaman dan pengetahuan diri
yang mendalam akan sangat membantu konselor untuk mengantisipasi respon dengan lebih teliti. Makin banyak pengetahuan dan pengalaman
konselor dalam menangani klien akan semakin memiliki spontanitas yang lebih baik.
2. Fleksibilitas
Fleksibilitas flexibility adalah kemampuan konselor untuk mengubah, memodifikasi, dan menetapkan cara-cara yang digunakan jika
keadaan mengharuskan. Fleksibilitas mencakup spontanitas dan kreativitas yang keduanya tidak dapat dipisahkan dari fleksibilitas. Sikap fleksibilitas
ini klien akan mampu untuk merealisasikan potensinya. Fleksibilitas merupakan tidak ada cara yang tetep dan pasti bagi konselor dan klien
untuk mengatasi masalahnya. Fleksibilitas terjadi tidak hanya dalam hubungan konseling saja, tetapi juga dalam sehari-hari konselor.
3. Konsentrasi
Kepedulian konselor kepada kliennya ditunjukkan dengan kemampuan berkonsentrasi dalam hubungan konseling. Konsentrasi
menunjuk kepada keadaan konselor untuk berada “di sini” dan “saat ini”.
Konselor bebas dari berbagai hambatan dan secara total memfokuskan pada perhatiannya kepada klien. Konsentrasi mencakup dua dimensi, yaitu verbal
dan non verbal. Konsentrasi secara verbal yaitu konselor mendengarkan verbalisasi klien, cara verbalisasi itu diungkapkan dan makna bagi klien
personal meaning yang ada dibalik kata-kata yang diungkapkan. Sedangkan konsentrasi secara non verbal merupakan konselor
memperhatikan seluruh gerekan, ekspresi, intonasi, dan perilaku lainnya yang ditunjukkan oleh klien dan semua yang berhubungan dengan pribadi
klien. 4.
Keterbukaan Keterbukaan openness adalah kemampuan konselor untuk
mendengarkan dan menerima nilai-nilai orang lain, tanpa melakukan distorsi dalam menemukan kebutuhannya sendiri. Keterbukaan bukan
berarti konselor itu bebas nilai, konselor tidak perlu melakukan pembelaan diri dan tidak perlu berbasa-basi jika mendengar dan menerima nilai orang
lain. Nilai yang dianut konselor berbeda dengan nilai yang dianut oleh klien. Konselor yang efektif dan toleran terhadap adanya perbedan-
perbedaan nilai itu. Keterbukaan tidak bermakna konselor menyetujui dan tidak menyetujui apa yang dipikirkan, dirasakan atau dikatakan klien.
Keterbukaan mengandung arti kemauan konselor bekerja keras untuk menerima pandangan klien sesuai dengan yang dirasakan danatau yang
dikomunikasikan. Keterbukaan juga merupakan kemauan konselor untuk
secara terus menerus menguji kembali dan menetapkan nilai-nilainya sendiri dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
5. Stabilitas Emosi
Konselor yang efektif memiliki stabilitas emosional emotional stability
. Stabilitas emosional berarti jauh dari kecenderungan keadaan psikopstologis. Dengan kata lain, secara emosional konselor dalam keadaan
sehat, tidak mengalami gangguan mental yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangannya. Stabilitas emosional tidak berarti
konselor harus selalu tampak senang dan gembira, tetapi keadaan konselor yang menunjukkan sebagai peson yang dapat menyesuaikan diri dan
terintegratif. Penngalaman emosional yang tidak stabil dapat saja dialami setiap orang termasuk konselor itu sendiri. Pengalaman ini dapat dijadikan
sebagai kerangka untuk lebih dapat memahami klien dan sikap empatik, dan jangan sampai pengalaman ini dapat berefek negative dalam hubungan
konseling.
6. Berkeyakinan akan Kemampuan untuk Berubah
Keyakinan akan kemampuan untuk berubah selalu ada dalam bidang psikologi, pendidikan dan konseling. Apa perlunya bidang itu
dikembangkan jika bukan sebagai proses untuk mengubah perilaku, sikap, keyakinan dan perasaan individu. Konselor selalu berkeyakinan bahwa
setiap orang pada dasarnya berkemampuan untuk mengubah keadaanya
yang mungkin belum sepenuhnya optimal dan tugas konselor adalah membantu sepenuhnya proses perubahan menjadi lebih efektif.
7. Komitmen Pada Rasa Kemanusiaan
Komitmen perlu dimiliki konselor dan menjadi dasar dalam usahanya membantu klien mencapai keinginan, perhatiannya, dan
kemauannya. 8.
Kemauan Membantu Klien Mengubah Lingkungannya Konselor yang efektif bersedia untuk selalu membantu klien
mencapai pertumbuhan,
keistimewaan, berkebebasab,
dan keotentikan.Erhatian konselor bukan membantu klien tunduk atau
menyesuaikan dengan lingkungannya sesuai dengan potensi yang dimiliki. Dengan demikian, klien menjadi subyek yang lebih bertanggung jawab
terhadap lingkungannya bukan orang yang selalu mengikuti apa kata lingkungannya.
9. Pengetahuan Konselor
Tugas konselor membantu kliennya untuk meningkatkan dirinya secara keseluruhan.Konselor perlu menjadi pribadi yang utuh. Untuk dapat
mencapai pribadi yang utuh, konselor harus mengetahui ilmu perilaku, mengetahui filsafat, mengetahui lingkungannya. Konselor harus bijak
dalam memahami dirinya sendiri, orang lain, kondisi dan pengalamannya dalam hal peningkatan aktualisasi dirinya sebagai pribadi yang utuh. Usaha
untuk terus belajar mengenai diri dan orang lain menjadi tuntutan seorang
konselor. Konselor harus siap untuk melakukan koreksi terhadap dirinya sendiri dan terbuka dari kritik orang lain.
10. Totalitas
Konselor sebagai pribadi yang total, berbeda dan terpisah dengan orang lain. Dalam konteks ini konselor perlu memiliki kualitas pribadi yang
baik, yang mencapai kondisi kesehatan mentalnya secara positif. Konselor memiliki otonomi, mandiri, dan tidak menggantungkan pribadinya secara
emosional kepada orang lain. Kualitas pribadi konselor perlu memperoleh perhatian dari konselor itu sendiri. Kegagalan konselor dalam
menumbuhkan pribadinya akan sangat berpengaruh terhadap hubungan dan efektivitasnya dalam konseling.
Mulyasa 2008:121 juga mengemukakan kompetensi kepribadian, yang meliputi :
1. Kepribadian yang matap, stabil, dan dewasa
Hal ini penting karena banyak masalah pendidikan yang disebabkan oleh faktor kepribadian yang kurang mantap, kurang stabil, dan kurang
dewasa. Kondisi seperti ini yang nantinya akan mengakibatkan konselor bersifat kurang profesional. Kepribadian yang mantap akan membuat
siswanya menjadi percaya kepada konselor pada saat proses penanganan masalah ataupun proses pengembangan diri siswa. Emosi yang stabilpun
akan berpengaruh pada pengambilan keputusan untuk solusi masalah yang
dialami siswa. Pribadi yang dewasa akan membentuk perasaan nyaman pada konselornya dan percaya bahwa konselornya mampu membantu
memecahkan masalahnya. 2.
Disiplin, arif, dan berwibawa Dalam mendisiplinkan siswa, sangatlah penting jika seorang
konselor berusaha untuk mendisiplinkan dirinya terlebih dahulu. Pembentukkan pribadi yang disiplin pada siswa, nantinya akan membantu
menemukan dirinya; mengatasi masalah, memecahkan timbulnya masalah. Seorang konselor perlu mempunyai pribadi yang disiplin, arif, serta
berwibawa. Wibawa akan menjadikan siswa menghormati konselornya, namun tidak mengurangi perasaan percaya bahwa konselornya mampu
menjadi pribadi yang fleksibel, yaitu mampu menjadi teman curhat sekaligus pendidik yang profesional.
3. Menjadi teladan bagi peserta didik
Untuk menjadi teladan tentunya harus mempunyai sesuatu yang baik, yang nantinya dapat diturunkan pada peserta didik. Seorang konselor
dengan perilaku serta kepribadian baik, sudah tentu pantas untuk ditiru oleh siswanya. Selalu menjaga sikap dihadapan siswa menjadi kunci untuk
dijadikan teladan yang baik. 4.
Berakhlak mulia Semua aspek tidak ada artinya jika aspek yang satu ini tidak
terpenuhi. Akhlak mulia merupakan hal utama karena dengan berakhlak
mulia, dengan mudah aspek yang disebutkan di atas dapat dimiliki oleh setiap konselor.
Seorang konselor harus mempunyai andil yang besar terhadap keberhasilan pendidikan, juga berperan dalam pembentukan pribadi siswa. Jadi
dapat disimpulkan bahwa seoranng konselor dituntut untuk mempunyai kompetensi kepribadian yang memadai karena kompetensi inilah yang menjadi
landasan dari kompetensi konselor yang lainnya.
2.2.3
Profil Kompetensi Kepribadian Konselor
Dalam penelitian ini kaitannya yaitu bahwa konselor harus mempunyai kemampuan kompetensi kepribadian yang harus diterapkan dengan baik dalam
menjalankan tugas-tugasnya, sehingga keberhasilan dalam pembentukan pribadi siswa akan berjalan dengan baik dan berhasil pula.
Secara umum persepsi diartikan sebagai cara seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. Istilah persepsi biasanya digunakan untuk mengungkapkan
tentang pengalaman terhadap sesuatu benda atau suatu kejadian yang dialami. Persepsi menurut Walgito 2003:46 adalah “suatu proses pengorganisasian,
penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan aktivitas yang
integrated dalam diri individu”. Sebagai aktivitas yang integrated, maka seluruh
pribadi, seluruh apa yang ada dalam diri individu ikut aktif berperan dalam persepsi itu. Persepsi juga dapat diartikan sebagai “proses menyimpulkan
informasi dan menafsirkan kesan yang diperoleh melalui alat inderawi kita”
Sugiyo 2005:34. Persepsi dapat menjadi mediasi antara individu dengan lingkungan.
Berdasarkan pengertian persepsi yang telah dikemukakan sebelumnya, maka peneliti berusaha merumuskan pengertian tentang profil kompetensi
kepribadian konselor menurut persepsi siswa. Pengertian persepsi siswa tentang profil kompetensi kepribadian konselor menurut persepsi siswa adalah proses
penginterpretasian siswa terhadap kompetensi atau kemampuan kepribadian konselor yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi
peserta didik dan berakhlak mulia dalam pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah. Penginterpretasian tersebut melibatkan pengalaman siswa
yang berkaitan dengan kompetensi kepribadian konselor yang akhirnya akan disimpulkan dan ditafsirkan oleh siswa. Penginterpretasian ini akan membentuk
konsep tentang profil kompetensi kepribadian konselor. Objek dalam penelitian ini adalah kompetensi kepribadian konselor
menurut persepsi siswa. Objek tersebut akan menimbulkan rangsang atau stimulus terhadap alat indera. Alat indera akan menangkap kompetensi kepribadian
konselor untuk kemudian dimaknai dan dinilai oleh siswa sehingga menimbulkan persepsi tentang profil kompetensi kepribadian konselor. Siswa dapat
mempersepsi konselor melalui hal-hal yang tampak dari konselor, seperti sikap, tingkah laku, pengetahuan, dan kemampuan atau kepribadian yang tercermin
dalam diri konselor dalam melaksanakan layanan bimbingan dan konseling. Dengan kata lain, siswa akan mempersepsi konselor berdasarkan pengalaman dan
pengetahuan siswa mengenai konselor, khususnya yang berkaitan dengan kompetensi kepribadian konselor.
Reaksi, respon atau tindakan seseorang dapat dipengaruhi oleh persepsinya terhadap objek atau kejadian yang dialami. Pemaknaan terhadap
stimulus yang sama belum tentu menghasilkan interpretasi yang sama. Hal ini dipengaruhi oleh pengalaman, kebutuhan, nilai dan harapan yang ada dalam diri
individu. Jika dihubungkan dengan penelitian ini, maka yang menjadi objek persepsi adalah profil kompetensi kepribadian konselor menurut persepsi siswa.
Siswa dapat mempersepsi konselor melalui hal-hal yang nampak dari konselor seperti sikap, tingkah laku, pengetahuan, kompetensi atau kepribadian konselor
yang tercermin dalam kompetensi kepribadian konselor dalam melaksanakan layanan bimbingan dan konseling. Selain itu, siswa juga akan mempersepsi
konselor berdasarkan pengalaman yang dimiliki siswa, kebutuhan, nilai dan harapan yang ada pada masing-masing siswa.
Persepsi siswa terhadap konselor tersebut bisa berbeda satu sama lain, hal ini dapat dipengaruhi oleh penampilan dan sikap konselor itu sendiri serta
pengetahuan dan pemahaman siswa tentang kompetensi kepribadian konselor. Hal ini dapat mempengaruhi respon atau sikap yang ditunjukkan siswa terhadap
konselor. Misalnya, siswa yang memiliki persepsi baik menjadi rajin datang untuk konseling karena menurut siswa konselor dapat membantunya mengatasi masalah.
Sebaliknya, siswa yang memiliki persepsi kurang baik menjadi malas melakukan konseling meskipun sebenarnya mereka mengalami masalah.
Kejadian tersebut merupakan hal yang lazim terjadi. Tak dapat dipungkiri, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masih tedapat beberapa kelemahan
dalam pelaksanan pelayanan bimbingan dan konseling oleh konselor. Ada konselor yang kurang bisa memahami cara melakukan konseling yang
profesional. Ada pula konselor yang belum menunjukkan peranan seorang konselor yang sebenarnya sehingga hal ini dapat menimbulkan persepsi negatif
dari siswa. Hal inilah yang perlu menjadi bahan evaluasi oleh konselor pada khususnya dan pihak sekolah pada umumnya. Jika data di lapangan menunjukkan
bahwa siswa yang mengalami masalah cukup banyak sedangkan yang melakukan konseling hanya beberapa saja, tentu ada hal yang perlu mendapatkan perhatian
dalam hal ini. Fenomena semacam itu juga dapat dijumpai di SMA Negeri se- Kabupaten
Pemalang, khususnya yang berhubungan dengan masalah profil kompetensi kepribadian konselor. Beberapa konselor di SMA Negeri di Kabupaten Pemalang
masih ada konselor yang belum dapat mengaplikasikan dengan baik aspek yang ada pada kompetensi kepribadian konselor. Salah satunya konselor kurang
berpandangan positif kepada siswa, siswa yang datang ke ruang BK karena memiliki masalah sehingga suatu ketika siswa datang kembali dengan secara
otomatis konselor akan berpandangan bahwa siswa masih memiliki masalah. Sikap konselor yang seperti itu yang membuat siswa takut dan tidak ingin datang
ke ruang BK untuk memanfaatkan layanan bimbingan dan konseling. Hal tersebut dapat dilihat dari masih kurangnya ketertarikan siswa tentang kegiatan konselor,
dan kurangnya kesukarelaan siswa dalam memanfaatkan layanan Bimbingan dan
Konseling. Idealnya konselor dapat menampilkan salah satu kompetensi kepribadian sebagai konselor, konselor adalah sahabat siswa yang dapat mengerti
dan membantunya memecahkan permasalahannya. Maka diperlukan konisi siswa yang memungkinkan siswa dapat berkembang dan harus dibentuk hubungan yang
baik agar siswa merasa aman dan nyaman dengan adanya konselor. Dengan demikian, siswa mempunyai kesadaran akan pentingnya bimbingan dan konseling
sehingga siswa mempunyai minat dan termotivasi pada akhirnya siswa akan dengan suka rela dan aktif memanfaatkan layanan bimbingan dan konseling.
Namun, pada kenyataannya siswa merasa tidak aman, selain itu juga kurang percaya terhadap konselor sehingga siswa beranggap jika mempunyai masalah
tidak usah ke ruang BK. Menurut siswa konselor hanya ramah atau dekat dengan siswa tertentu saja. Sering kali kita temui konselor yang kurang disenangi oleh
siswa karena sikap konselor yang kurang hangat dan ramah serta galak terhadap siswa, sehingga siswa menjadi takut.Selain itu, akibatnya kepribadian konselor
yang kurang sesuai menjadikan siswa memberikan julukan atau sebutan yang aneh-aneh terhadap konselor.
Pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling sudah berjalan, namun belum maksimal karena siswa belum bisa memanfaatkan layanan bimbingan dan
konseling dengan optimal.Siswa yang datang secara sukarela untuk memanfaatkan layanan bimbingan dan konseling hanya beberapa siswa saja,
selainnya karena dipanggil.Siswa tidak datang secara sukarela ke ruang BK untuk meminta bantuan kepada konselor, melainkan karena dipanggil dan atas inisiatif
konselor sehingga pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling terkesan
terpaksa.Menurut siswa bimbingan dan konseling merupakan suatu bagian di sekolah yang khusus menangani siswa yang melanggar peraturan sekolah seeprti
membolos, berkelahi, terlambat, dan lain sebagainya. Hal ini juga membuat siswa takut dan malu untuk datang ke ruang BK karena selain takut dengan konselor
juga malu jika teman-temannya beranggapan dirinya melakukan pelanggaran karena di ruang BK. Faktor yang menyebabkan siswa enggan memanfaatkan
layanan bimbingan dan konseling karena siswa mempunyai anggapan yang kurang tepat tentang kompetensi konselor, khususnya kompetensi kepribadian
konselor. Siswa menganggap bahwa konselor kerjanya enak tidak mengajar dan hanya duduk-duduk saja.
BAB 3 METODE PENELITIAN