Pengembangan wilayah Pengembangan Wilayah dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara

14 menimbulkan dampak secara nyata terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir. Oleh karena, itu batas wilayah pesisir ke arah darat untuk kepentingan perencanaan dapat sangat jauh ke arah hulu. Jika suatu program pengelolaan wilayah pesisir menetapkan dua batasan wilayah pengelolaan wilayah perencanaan dan wilayah pengaturan, maka wilayah perencanaan selalu lebih luas daripada wilayah pengaturan; 3 Batas ke arah darat dari suatu wilayah pesisir dapat berubah, tergantung pada isu pengelolaan yang dilakukannya.

2.2 Pengembangan Wilayah dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara

Terpadu Mengadopsi definisi regional science dari Mayhew 1997 dalam Rustiadi et al . 2003, pengembangan wilayah dapat didefinisikan sebagai “suatu aktivitas pembangunan yang menganalisis secara interdisiplin yang mengkhususkan pada integrasi analisis-analisis fenomena sosial dan ekonomi wilayah, mencakup aspek- aspek perubahan, antisipasi peramalan perubahan-perubahan hingga perencanaan pembangunan di masa yang akan datang dengan penekanan pada pendekatan kuantitatif”. Sementara itu, pengelolaan wilayah pesisir terpadu didefinisikan oleh European Commission EC 1999 sebagai berikut: “ICZM has been defined as a dynamic, continuous and iterative process designed to promote sustainable management of coastal zone. ICZM seeks, over the long-term to balance the benefits from economic development and human uses of the coastal zone, the benefits from protecting, preserving and restoring coastal zones, the benefits from minimising loss of human life and property, and the benefits from public access to and enjoyment of coastal zone, all within the limits set by natural dynamics and carrying capacity”.

2.2.1 Pengembangan wilayah

Menurut McCann dan Shefer 2004, pengetahuan kewilayahan berkaitan dengan analisis penomena perkotaan dan kedaerahan urban dan regional. Tujuannya adalah untuk mengenal lebih baik struktur dan fungsi suatu kota atau 15 wilayah sambil memperhitungkan fenomenanya yang dimensi multifaset, baik ekonomi, sosial, politik, atau lingkungan. Suatu pengertian tentang bagaimana kota dan wilayah melakukan kegiatan dan fungsinya agar dapat menghasilkan kontribusi pembuatan kebijakan yang lebih baik, sehingga dapat memperbaiki kualitas standar hidup penduduk di kota atau wilayah tersebut. Peran dari infrastruktur publik dalam pengembangan wilayah sangatlah komplek sekali karena melibatkan pengadaan barang milik publik, keberadaan generasi eksternal, pembuatan keputusan politik, dan lamanya masa berlalu The role of public infrastructure in regional development is a highly complex issue involving aspects of public good provision, the generation of externalities, political decision-making, and long time-periods , sebagaimana dinyatakan oleh Lynde dan Richmond 1992 serta Gramlich 1994 dalam McCann dan Shefer 2004, infrastruktur modal milik masyarakat dapat berperan penting dalam melengkapi proses produktivitas sektor swasta regional. Hal ini disebabkan oleh karena infrastruktur menunjukan berbagai karakter barang publik dimana jasa dari modal milik umum didistribusikan secara bebas kepada para produser swasta. Oleh karena itu, karena produk marjinal dari jasa-jasa tersebut biasanya bersifat positif, maka harus dipertimbangkan sebagai suatu komponen integral dari kumpulan fungsi produksi regional. Menurut Rustiadi et al. 2003, di Indonesia terdapat berbagai konsep nomenklatur kewilayahan, seperti “wilayah”, “kawasan”, “daerah”, “regional”, “area”, “ruang”, dan beberapa istilah sejenis, banyak dipergunakan dalam berbagai konteks permasalahan yang sering saling dapat dipertukarkan pengertiannya dan walaupun masing-masing memiliki penekanan pemahaman yang berbeda-beda. Secara yuridis sebagaimana tercantum dalam Undang-undang No. 2492 tentang Penataan Ruang, pengertian “wilayah” adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis berserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Sedangkan pengertian dari “kawasan” adalah wilayah dengan fungsi utama ditekankan pada pengertian “lindung” dan “budidaya”. Sementara itu, pengertian “daerah tidak dijelaskan secara eksplisit dalam UU 2492 tersebut, namun umumnya dipahami sebagai unit wilayah berdasarkan aspek administratif. 16 Menurut Winoto 19992000, wilayah merupakan area geografis yang mempunyai ciri tertentu dan merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi. Berdasarkan hal ini, wilayah dapat didefinisikan, dibatasi, dan digambarkan berdasarkan ciri atau kandungan area geografis tersebut. Dengan demikian, pengembangan wilayah diartikan sebagai suatu perencanaan area geografis tertentu yang akan menguntungkan baik bagi individu nelayan, petani, masyarakat dan wilayah yang bersangkutan dengan tetap memperhatikan kemampuan sumberdaya alam dan lingkungan pendukung ekosistem yang dikembangkan. Hoover dan Giarratani 1985 mengelompokkan wilayah ke dalam dua bentuk, yaitu wilayah homogen dan wilayah fungsional. Wilayah homogen dibatasi oleh keseragaman atau kesamaan ciri yang dimilikinya, sementara wilayah fungsional didasarkan pada interaksi yang terjadi dalam suatu wilayah, khususnya dilihat dari keterkaitan aspek ekonomi. Untuk lebih tepat lagi, Winoto 19992000 juga menyatakan bahwa pengembangan wilayah dapat dilihat dari berbagai aspek, yaitu berdasarkan aspek fungsional, aspek kehomogenan, dan aspek administrasi. Aspek fungsional meliputi tempat pemusatan penduduk, pemusatan pasar, pemusatan pelayanan, pusat industri dan perdagangan, dan pusat inovasi. Bentuk spesifik dari wilayah fungsional ini disebut wilayah nodal, dimana dapat dianggap sebagai suatu sel dengan satu inti dan dikelilingi oleh plasma. Dalam kenyataan sehari-hari, nodal ini dapat diibaratkan sebagai kota, yang dikelilingi oleh wilayah pedesaan; dimana seluruh pusat kegiatan dan pelayanan terdapat di dalamnya dan didukung oleh wilayah pedesaan yang merupakan daerah pemasok bahan-bahan mentah, tenaga kerja, tempat pemasaran produk-produk yang dihasilkan di kota, dan sebagai tempat penyeimbang ekologis. Keberhasilan suatu program pengembangan wilayah lebih spesifik lagi yang berkaitan dengan ekonomi wilayah dan perdesaan, juga sangat dipengaruhi oleh virtue atau nilai keutamaan yang dianut masyarakat. Virtue ini bisa didefinisikan dari berbagai sudut pandang karena sifatnya yang normatif. 17 Perumusan suatu virtue atau nilai keutamaan yang dianut masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tingkat kehomogenan masyarakat, baik dilihat dari pendidikan, etnis sosial budaya, agama, dan pandangan politis dari setiap komponen masyarakat ini. Begitu beragamnya faktor yang mempengaruhi perumusan virtue ini, maka virtue ini baru dapat timbul setelah terbentuk suatu komunitas masyarakat yang saling mengetahui keinginan masing- masing sehingga dapat menemukan suatu resultan dari berbagai keinginan atau ide-ide yang ada dalam masyarakat. Dalam konteks pengembangan wilayah, tentu saja harus menemukan resultan virtue tersebut kemudian mengintegrasikannya ke dalam rencana yang akan diterapkan. Artinya proses perencanaan itu dapat saja berlangsung timbal balik, rencana induk yang sudah ada diintegrasikan ke dalam virtue yang sudah terbentuk, atau virtue-virtue yang ada dalam masyarakat diintegrasikan ke dalam perencanaan. Menurut Winoto 19981999, adanya kaitan antara kegiatan pembangunan dengan sistem nilai masyarakat dapat dijelaskan sebagi berikut: pembangunan baik sebagai suatu proses maupun sebagai suatu cara perwujudan mengemban tugas kemanusiaan dan tugas kehidupan. Dengan kata lain, pembangunan haruslah dapat mengkomodasi berbagai harapan masyarakat, antara lain harapan tentang kehidupan yang lebih baik, keadilan yang lebih terjamin, rasa memiliki yang kian meningkat, kebebasan dalam mengekspresikan aspirasi kemanusiaannya yang semakin terbuka, ketahanan masyarakat dan bangsa yang semakin kuat, dan kepercayaan diri sebagai manusia maupun sebagai bangsa yang semakin meningkat. Harapan-harapan inilah yang menjadikan setiap anggota masyarakat danatau kelompok masyarakat dengan segala perbedaan latar belakang dan kepentingannya perlu senantiasa terlibat dan ikut berproses dalam menentukan arah serta prioritas pembangunan pada setiap tahapan yang dilakukan. Untuk suatu masyarakat yang homogen contoh kasus ekstrim adalah masyarakat Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya, kemungkinan virtue yang ada dalam masyarakat berlaku umum. Namun demikian, virtue ini sangatlah kaku dan tidak kenal kompromi, sehingga suatu perencanaan pengembangan wilayah yang mencakup kawasan seperti ini haruslah menyesuaikan diri dengan virtue yang berkembang dimasyarakat. 18 Contoh kasus yang heterogen adalah kelompok masyarakat di kawasan pesisir, dimana terlibat berbagai jenis kegiatan manusia sesuai dengan bidang garapannya masing-masing, mulai dari nelayan, pedagang, industriawan, PNS, dan lain lain. Keragaman mata pencaharian juga mengakibatkan terjadinya interaksi yang lebih intensif diantara berbagai aktivitas yang dapat menghasilkan dampak positif dan negatif. Menurut Winoto 19981999, tidak pernah ada kesepakatan virtue siapakah yang harus dijadikan dasar dalam mengimplementasikan prioritas pelaksanaan pembangunan; selain itu juga tidak ada jaminan bahwa keadilan akan terwujud bila salah satu virtue masyarakat atau kelompok masyarakat dipilih atau dipaksakan sebagai dasar penentuan prioritas pembangunan. Namun demikian, berdasarkan pengalaman yang lalu-lalu dimana program pembangunan lebih banyak ditetapkan dari atas top-down, maka virtue universal masyarakat diharapkan akan lebih banyak tertampung dalam program pembangunan yang disusun secara bottom up. Tentu saja terdapat virtue yang bersifat universal bagi seluruh anggota masyarakat antar wilayah dan antar waktu. Sebagai contoh, falsafah “Bhinneka Tunggal Ika”, yang tercantum dalam pita yang dicengkeram burung garuda, adalah suatu virtue yang lahir setelah terjadinya pertikaian antar suku, antar wilayah, antar agama, dan antar kondisi sosial budaya, yang telah berlangsung sangat lama sejak mulai tercatatnya sejarah adanya kerajaan-kerajaan di Indonesia samapi jaman penjajahan Belanda dan Jepang. Virtue ini sangat disadari oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang lebih mencintai perdamaian untuk melewati kehidupan yang aman dan tenang. Sebenarnya virtue “Bhinneka Tunggal Ika” ini dapat dipertahankan untuk melewati periode waktu yang panjang dalam sejarah, seandainya kebhinnekaan setiap kelompok masyarakat dan antar wilayah ini dapat diikat dan dipadukan oleh sesuatu yang saling dibutuhkan mereka, yaitu antara lain: kedamaian dan ketenangan menjalani kehidupan; jaminan aksesibilitas antar wilayah, baik barang, jasa, dan orang; jaminan kebebasan mengemukakan pendapat dan menjalankan keyakinannya masing-masing. Diagram virtue universal ini dapat dilihat pada Gambar 2.1. 19 Gambar 2.1. Dasar pemikiran terbentuknya virtue universal Dari diagram Gambar 2.1 di atas tampak bahwa virtue universal harus mencakup sebagian atau seluruh kepentingan dari setiap unsur yang membentuk ekosistem tersebut suku bangsa; agama; sosial-ekonomi budaya; aksesibilitas barang, jasa, dan manusia; aspek spasial perwilayahan; serta aspek politik dan keamanan. Begitu tali pengikat kebhinnekaan ini dilanggar, baik oleh tetangga sebelah, kampung sebelah, agama lain, atau bahkan oleh regim pemerintahan yang otoriter, mulailah virtue itu tidak ditaati lagi, dan barangkali perlu diramu suatu virtue baru sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan keamanan. Pada saat ini, aspek kepentingan golongan atas dasar latar belakang politis sangat menonjol, sebagai alat pemersatu atau pemecah virtue. VIRTUE UNIVERSAL ASPEK AGAMA SUKU BANGSA ASPEK WILAYAH SPASIAL AKSESIBILITAS BARANG, JASA, MANUSIA POLITIK KEAMANAN ASPEK SOSEK BUDAYA 20 Aspek wilayah perlu dimasukkan dalam kegiatan perencanaan pembangunan suatu kawasan adalah karena sebagaimana definisi Winoto 19992000, wilayah merupakan area geografis yang mempunyai ciri tertentu dan merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi. Artinya, dibatasi dan digambarkan berdasarkan ciri atau kandungan area geografis tersebut. Pada intinya, suatu perencanaan pembangunan suatu wilayah haruslah mencakup individu manusia, masyarakat, sumberdaya alam dan lingkungan yang ada di wilayah tersebut termasuk yang harus dipertimbangkan adalah virtue universal dan partial dari masyarakatnya. Di dalam setiap upaya pengembangan wilayah, harus menjadi persyaratan adanya konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan telah digunakan oleh the World Commision on Environment and Development pada tahun 1987. Istilah ini akan mendapat pengertian yang berbeda dari setiap orang yang mempunyai keahlian berbeda pula. Menurut Serageldin 1994, seorang sosiologis akan memandang setiap persoalan pembangunan dari kacamata manusia sebagai aktor kunci, dimana bentuk organisasi sosial yang ada sangat krusial dalam mencari solusi apakah suatu kegiatan pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan atau tidak. Kurangnya perhatian terhadap faktor-faktor sosial ini telah menyebabkan suatu proses pembangunan dalam bahaya dari kurang efektifnya proyek yang dilakukan. Sementara itu disebutkannya pula bahwa dari aspek ekonomi, suatu kegiatan berkelanjutan haruslah mencari semaksimal mungkin keuntungan untuk kesejahteraan manusia diantara kendala- kendala modal yang tersedia serta teknologi yang digunakan. Pandangan seorang ekologis berbeda pula, yaitu menekankan pada penyelamatan subsistem ekologi yang terpadu ditinjau sebagai kritisi untuk keseluruhan stabilitas ekosistem global. Sebagian berargumentasi pada penyelamatan seluruh ekosistem, meskipun sebagian kecil yang berpandangan kurang ekstrim juga bertujuan pada pemeliharaan dan adaptasi sistem penyangga kehidupan alami. Faktor-faktor yang diperhitungkan adalah fisik, bukan uang, dan disiplin yang berlaku pada biologi, geologi, kimia, dan umumnya pengetahuan alam. 21 Istilah pengembangan wilayah tentu saja berkaitan erat dengan perencanaan pembangunan wilayahdaerah. Menurut Idrus et al. 1999, pembangunan wilayah merupakan kegiatan pembangunan yang perencanaan, pembiayaan, sampai pada pertanggungjawabannya dilakukan oleh pusat sedangkan pelaksanaannya dapat melibatkan daerah dimana tempat kegiatan tersebut dilaksanakan. Pembangunan daerah sendiri berindikasi bahwa kegiatan pembangunan yang segala sesuatunya dilaksanakan dan dipersiapkan di daerah, seperti perencanaan, pembiayaan, sampai pada pertanggungjawabannya. Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka perencanaan pembangunan wilayahdaerah dapat diartikan sebagai suatu proses persiapan penyelenggaraan pembangunan suatu wilayah atau daerah. Sementara itu, Anwar dan Setia Hadi yang dikutif Idrus et al. 1999 menyatakan bahwa perencanaan pembangunan wilayah diartikan sebagai suatu proses atau tahapan pengarahan kegiatan pembangunan di suatu wilayah tertentu yang melibatkan interaksi antara sumberdaya manusia dan sumberdaya lainnya termasuk sumberdaya alam. Menurut Hoover dan Giarratani 1985, perkembangan suatu wilayah dapat dilihat pada aspek pertumbuhan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan per kapita, dan perubahan struktur ekonomi. Nasution 1990 menambahkan bahwa mengukur perkembangan suatu wilayah adalah relatif sulit, tetapi beberapa pakar perencanaan dan pengembangan wilayah telah menyepakati beberapa tolok ukur penilaian suatu kegiatan pembangunan, yaitu dilihat dari aspek: 1 pertumbuhan ekonomi; 2 distribusi pendapatan; 3 tingkat kemiskinan; 4 persentase pengangguran; serta 5 kualitas lingkungan hidup dan produktivitas sumberdaya alam. Menurut Rustiadi et al. 2003, setiap perencanaan pembangunan wilayah memerlukan batasan praktikal yang dapat digunakan secara operasional untuk mengukur tingkat pengembangan wilayahnya. Secara praktikan, pemahaman filosofis demikian sukar diterapkan sehingga perlu dicarikan berbagai tolok ukur yang multidimensional. Oleh karena itu, munculnya permasalahan-permasalahan tersebut memaksa pakar 70-an mulai mengkaji ulang tolok ukur yang hanya berdasarkan pada GNP semata, tetapi harus juga disertai beberapa tolok ukur lain 22 yang intinya terkait dengan aspek ekologi, ekonomi, dan budaya. Ilustrasi dari tolok ukur pembangunan berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 2.2. Ekologi 1 3 S D 2 Budaya Ekonomi Gambar 2.2. Indikator pembangunan berkelanjutan Rustiadi et al. 2003 Keterangan: 1 Bagian 1: culture-ecology interface: didefinisikan bahwa pembangunan merupakan fungsi yang terintegratif dari nilai-nilai budaya yang menyatu terhadap ekosistem. Indikator yang termasuk dalam ukuran perubahan etika lingkungan, komitmen untuk menjaga keseimbangan political- cultural dan eco-tourism; 2 Bagian 2: culture-economy interface: menggambarkan fungsi tujuan di dalam termin nilai-nilai non market dan keputusan untuk menjaga konservasi lingkungan untuk tujuan budaya. Nilai-nilai kultural ekonomi lebih tinggi, demikian juga refleksinya terhadap politik, institusi, dan struktur hukum; 3 Bagian 3: Economy-ecology interface: menggambarkan fusngsi tujuan di dalam termin dari nilai-nilai ekonomi dan cost benefit analysis. Indikator dari pembangunan berkelanjutan diukur dari cadangan konservasi alam dan ekonomi capital yang ditunjukkan oleh produksi keinginan flow of environmental dan ekonomi yang baik serta pelayanan untuk generasi saat ini dan yang akan datang. Misalnya kesuburan tanah, keragaman budaya, dan ekosistem kesehatan sebagai indikator kualitas lingkungan. Untuk mengukur pengembangan suatu wilayah, maka beberapa indikator dapat digunakan sebagai penakar positif tidaknya dampak suatu program pembangunan wilayah. Dinilai positif jika indikator-indikator tersebut menguntungkan, khususnya bagi individu nelayan, petani, masyarakat dan wilayah yang bersangkutan dengan tetap memperhatikan kemampuan sumberdaya alam dan lingkungan pendukung ekosistem yang dikembangkan. Dinilai negatif 23 jika dampaknya merugikan unsur-unsur terkait tersebut. Kadang kala, positif dan negatifnya suatu dampak pengembangan wilayah belum dapat dilihat dalam jangka waktu yang pendek. Contoh kasus adalah penemuan senyawa freon yang dapat digunakan sebagai refrigeran bahan pendingin dalam mesin-mesin pembeku dan sebagai bahan penekan pada alat pembentuk aerosol. Baru sekitar 20 tahun kemudian disadari orang bahwa freon ternyata dapat memecahkan lapisan ozon yang menyelimuti bola bumi dari sinar ultra violet. Contoh-contoh lain tentu saja masih sangat banyak, antara lain hilangnya keragamanan hayati karena kegiatan pengembangan wilayah yang tidak didahului studi AMDAL terlebih dahulu, baik dalam bentuk reklamasi lahan untuk kegiatan industri dan pemukiman, maupun pengembangan lahan untuk kawasan persawahan. Dengan demikian, pada dasarnya indikator-indikator umum keberhasilan atau ketidakberhasilan suatu program pengembangan wilayah dapat dinilai secara ekonomi, sosial, dan ekologi. Sebagaimana yang diuraikan oleh Serageldin 1994, bahwa tujuan ekonomi dari pembangunan yang lestari lingkungan adalah: pertumbuhan growth, kesamarataan equity, dan efisiensi efficiency; tujuan sosialnya adalah: pemberdayaan empowerment, partisipasi participation, mobilitas sosial social mobility; keeratan sosial social cohesion, identitas budaya cultural identity, dan pengembangan kelembagaan institutional development ; serta tujuan ekologinya adalah: keterpaduan ekosistem ecosystem integrity , daya dukung carrying capacity, keanekaragaman hayati biodiversity, dan isu global. Menurut Serageldin 1994 juga bahwa seorang ekonom akan melihat pembangunan yang lestari lingkungan itu agak berbeda, yaitu tujuan ekonominya adalah: pertumbuhan dan efisiensi; tujuan sosialnya kesamarataan dan pengurangan kemiskinan; sedangkan tujuan ekologinya adalah pengelolaan sumberdaya alam. Menurut Idrus et al. 1999, keberhasilan perencanaan pembangunan sangat tergantung pada beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya. Di beberapa negara, perencanaan pembangunan dapat berhasil dengan baik antara lain ditentukan oleh beberapa hal seperti: 1 Dilakukan oleh orang-orang yang ahli di bidangnya; 2 Realistis, sesuai dengan kemampuan sumberdaya alam dan dana; 24 3 Kestabilan politik dan keamanan dalam negeri; 4 Koordinasi yang baik; 5 Top down dan bottom up planning; 6 Sistem pemantauan dan pengawasan yang terus menerus; 7 Transparan dan dapat diterima oleh masyarakat. Untuk melihat apakah tujuan-tujuan tersebut tercapai atau tidak dalam suatu kegiatan pembangunan, maka perlu ditentukan berbagai perubahan dari komponen-komponen tersebut. Tentu saja untuk unsur-unsur yang bersifat positif, maka perubahan haruslah bergerak ke arah posistif, dan sebaliknya untuk unsur-unsur yang bersifat negatif maka perubahan haruslah bergerak ke arah negatif. Sebagai contoh, untuk kesamarataan haruslah semakin baikbanyak, tetapi untuk kemiskinan semakin sedikit.

2.2.2 Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu