Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu

24 3 Kestabilan politik dan keamanan dalam negeri; 4 Koordinasi yang baik; 5 Top down dan bottom up planning; 6 Sistem pemantauan dan pengawasan yang terus menerus; 7 Transparan dan dapat diterima oleh masyarakat. Untuk melihat apakah tujuan-tujuan tersebut tercapai atau tidak dalam suatu kegiatan pembangunan, maka perlu ditentukan berbagai perubahan dari komponen-komponen tersebut. Tentu saja untuk unsur-unsur yang bersifat positif, maka perubahan haruslah bergerak ke arah posistif, dan sebaliknya untuk unsur-unsur yang bersifat negatif maka perubahan haruslah bergerak ke arah negatif. Sebagai contoh, untuk kesamarataan haruslah semakin baikbanyak, tetapi untuk kemiskinan semakin sedikit.

2.2.2 Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu

Menurut Dahuri 2003, pengelolaan suatu kawasan secara berkelanjutan mencakup 3 aspek, yaitu aspek ekonomi, ekologi, dan sosial. Suatu kawasan pembangunan secara ekonomis dianggap berkelanjutan an economically sustainable areaecosystem jika kawasan tersebut mampu menghasilkan barang dan jasa good and services secara berkesinambungan on continuing basis, memelihara pemerintahan dari hutang luar negeri pada tingkatan yang terkendali a manageable level, dan menghindarkan ketidakseimbangan yang ekstrim antar sektor extreme sectoral imbalances yang dapat mengakibatkan kehancuran produksi sektor primer, sekunder, atau tersier. Sedangkan suatu kawasan pembangunan secara ekologis dianggap berkelanjutan an ecologically sustainable areaecosystem manakala berbasis ketersediaan stok sumberdaya alamnya dapat dipelihara secara stabil, tidak terjadi eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya dapat diperbaharui renewable resources, tidak terjadi pembuangan limbah melampaui kapasitas asimilasi lingkungan yang dapat mengakibatkan kondisi tercemar, serta pemanfaatan sumberdaya tidak dapat diperbaharui non- renewable resources yang dibarengi dengan upaya pengembangan bahan substitusinya secara memadai. Dalam konteks ini termasuk pula pemeliharaan keanekaragaman hayati biodiversity, stabilitas siklus hidrologi, siklus biogeo- 25 kimia, dan kondisi iklim. Sementara itu, suatu kawasan pembangunan dianggap berkelanjutan secara sosial a socially sustainable areaecosystem, apabila kebutuhan dasar pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan pendidikan seluruh penduduknya terpenuhi; terjadi distribusi pendapatan dan kesempatan berusaha secara adil; ada kesetaraan gender gender equity; terdapat akuntabilitas dan partisipasi politik. Chua 2006 menyatakan bahwa upaya pengelolaan pesisir terpadu dimulai tahun 1965 dengan pembentukan Komisi Pengembangan dan Konservasi Teluk San Francisco San Francisco Bay Conservation and Development Commission. Tahun 1972, Amerika Serikat mengeluarkan Undang-undang Pengelolaan Pesisir Terpadu, sebuah monumen legislasi yang memberi semangat negara bagian- negara bagian lainnya di kawasan pesisir untuk melakukan hal yang sama. Tahun 1978, Konferensi Wilayah Pesisir diselenggarakan untuk pertama kalinya di San Francisco. Berbagai konsep pengelolaan terpadu telah dikemukakan oleh berbagai kalangan dan para ahli. Konsep yang secara umum berarti “pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan environmental services yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara melakukan penilaian menyeluruh comprehensive assessment tentang kawasan pesisir beserta sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya; guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Proses pengelolaan ini dilaksanakan secara kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan segenap aspek sosial ekonomi budaya dan aspirasi masyarakat pengguna kawasan pesisir stakeholders serta konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir yang mungkin ada Sorensen dan McCreary 1990; IPCC 1994. Lebih jelas Chua 2006 menyebutkan bahwa tujuan dari konsep pengelolaan pesisir terpadu adalah meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan pesisir dalam bentuk kemampuan suatu kawasan untuk pemanfaatan sumberdaya pesisirnya yang berkelanjutan serta dapat memberikan jasa yang dihasilkan dari ekosistem di kawasan tersebut. 26 Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan pembangunan secara terpadu integrated guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelajutan. Dalam konteks ini, keterpaduan integration mengandung tiga dimensi, yaitu dimensi sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis Dahuri et al. 1996. Menurut Ellsworth et al. 1997, konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu ini sudah dilaksanakan cukup lama. Di Kanada sejak tahun 1960-an telah terjadi perubahan paradigma pembangunan dimana keterlibatan masyarakat lebih banyak dari sebelumnya. Antara lain dimulai dengan upaya untuk mempengaruhi formulasi politik tingkat tertinggi melalui berbagai aktivitas masyarakat seperti program bersih pantai yang dimotori oleh kelompok-kelompok advokasi lingkungan. Setelah itu, aktivitas dengar pendapat menjadi sering dilakukan pada saat suatu program pembangunan akan dibuat. Konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu ini sudah menjadi kebijakan global yang didukung oleh lembaga keuangan internasional, sebagaimana dinyatakan oleh Hatziolos 1997 bahwa tahun 1993, Bank Dunia World Bank= WB secara formal mendukung program Integrated Coastal Zone Management ICZM yang terbentuk atas kreasi Tim Biru sekelompok ahli lingkungan di Departemen Lingkungan WB. Target utama dari dukungan ini adalah untuk: 1 mengintervensi pelatihan dan kreasi kesadaran lingkungan; 2 penanaman modal; dan 3 partnership. Kemudian WB melakukan pengumpulan informasi, menganalisis, dan mensosialisasikan konsep ICZM dikalangan staf dan para nasabahnya tentang apa bedanya dengan konsep tradisional, pendekatan sektoral terhadap pengelolaa lingkungan, dan dukungan WB yang tersedia dan paling efektif dalam mempromosikan ICZM. Hasil dari aktivitas ini adalah dukungan WB terhadap pelaksanaan Agenda 21 di Rio de Janeiro, dalam bentuk sponsor pada kegiatan seminar, lokakarya, dan konferensi, serta dilanjutkan dengan lokakarya pelatihan yang diorganisasikan di berbagai negara di Afrika, Asia, Timur Tengah, dan Karibia. Berdasarkan pada perbandingan di antara konsep ICZM dengan implementasinya serta konsep ICAM Integrated Coastal Area Management dan implementasinya, maka Scialabba 1998 mengembangkan 27 suatu kesepakatan untuk membuat Panduan ICM, sebagaimana tercantum dalam Tabel 2.1. Panduan ini memperkuat konsensus tersebut tetapi juga mengakui bahwa keterpaduan vertika dan horizontal tidak akan berhasil tanpa pembangunan kapasitas individu sektor untuk mengakomodasi dampak trans-sektoral. Menurut Chua 2006, di Indonesia terdapat satu ekosistem besar kelautan large marine ecosystem, LME, yang meliputi luas area sebesar 400.000 km 2 , kedalaman rata-rata 2.935 m dan kedalaman maksimal di atas 6.500 m Palung Jawa, serta produktivitas primernya antara 150-300 gCcm 2 tahun. Pada LME ini terdapat 500 spesies koral pembangun terumbu, 2.500 spesies ikan, 47 spesies mangrove, dan 13 spesies rumput laut. Tingginya aktivitas ekonomi di LME ini ditunjukkan dengan isu yang berkembang, yaitu kegiatan penangkapan ikan yang merusak lingkungan, modifikasi habitat dan pemukiman, serta eksploitasi sumberdaya hayati yang tidak berkelanjutan. Hubungan antara komponen-komponen dalam kegiatan pembangunan berkelanjutan menurut Hatziolos 1997 dapat dilihat pada Gambar 2.3. Gambar 2.3. Hubungan antara berbagai komponen dalam kegiatan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan Hatziolos 1997 Aspek Ekonomi o Pertumbuhan berkelanjutan sustainable growth o Efisiensi modal capital efficiency Aspek Ekologi o Keterpaduan ekosistem Ecosystem integrity o Keragaman sumberdaya alam Natural resources biodiversity o Kapasitas daya dukung lingkungan Carrying capacity Aspek Sosial: o Kesamaan hak Equity o Mobilitas sosial Social mobility o Partisapasi Participation o Pemberdayaan Empowerment 28 Tabel 2.1 Kumpulan konsensus dari panduan ICM Tujuan ICM Untuk memandu kegiatan pembangunan di wilayah pesisi yang secara ekologis berkelanjutan Prinsip ICM didasarkan pada prinsip-prinsip Pertemuan Puncak Rio de Janeiro dengan tekanan khusus pada prinsip kesamaan antar generasi, prinsip tindakan pencegahan, dan prinsip denda bagi pencemar. ICM secara alami adalah holistik dan interdisiplin, khususnya yang beraitan dengan ilmu pengetahuan dan kebijakan Fungsi ICM memperkuat dan mengharmoniskan sektor-sektor yang terkait dalam pengelolaan kawasan pesisir. ICM memelihara dan melindungi biodiversiti dan produktivitas ekosistem pesisir serta mempertahankan nilai-nilai keaslianindigenous amenity values. ICM mempromosikan pembangunan ekonomi rasional dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan secara berkelanjutan serta memfasilitasi resolusi konflik yang terjadi di kawasan pesisir Keterpaduan Spatial Suatu program ICM mencakup seluruh wilayah hulu dan hilir, dimana pemanfaatannya akan menghasilkan dampak pada sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir serta ke perairan yang pada akhirnya akan menimbulkan dampak sampai ke wilayah daratan di kawasan pesisir tersebut. Program ICM juga mencakup seluruh wilayah perairan yang berada di dalam zona ekonomi ekslusif, dimana pemerintah pusat memiliki tanggungjawab untuk mengurus dibawah kewenangan Konvensi Hukum Laut {the Law of the Sea Convention dan the United Nations Conference on Environment and Development UNCED}. Keterpaduan Horizontal dan vertical Upaya penanggulangan fragmentasi sektoral dan antar pemerintahan yang terjadi sekarang ini dalam pengelolaan wilayah pesisirmerupakan tujuan utama dari ICM. Mekanisme kelembagaan untuk mencapai koordinasi yang efektif diantara berbagai sektor yang aktif di wilayah pesisir serta diantara berbagai tingkatan pemerintahan di wilayah pesisir adalah merupakan dasar terhadap penguatan dan rasionalisasi proses pengelolaan pesisir. Dari berbagai opsipilihan yang tersedia, mekanisme koordinasi dan harmonisasi harus dibuat agar sesuai dengan kekhususan setiap pemerintahan. Penggunaan ilmu pengetahuan Dengan adanya kondisi yang komplek dan ketidakpastian yang terdapat di kawasan pesisir, maka ICM harus dibangun berdasarkan pengetahuan alam dan sosial yang tersedia. Teknik- teknik seperti prakiraan resiko, valuasi ekonomi, prakiraan kerentanan, akuntansi sumberdaya, benefit-cost analysis, dan monitoring berdasarkan outcome harus dibangun ke dalam proses ICM seperlunya. Source: Cicin-Sain, Knecht and Fisk 1995 dalam Scialabba 1998. 29 Salah satu bentuk dukungan WB untuk program ICZM di Indonesia adalah terselenggaranya program COREMAP Coral Reef Rehabilitation and Management Project , yang dilaksanakan dibawah koordinasi LON-LIPI. Tujuan dari pelaksanaan proyek ini adalah memandu pendekatan berbasis masyarakat terhadap perlindungan sumberdaya pesisir dan lautan secara terpadu untuk menciptakan keuntungan dari pemanfaatan yang berkelanjutan. Proyek ini juga bertujuan untuk penguatan kebijakan dan kapasitas kelembagaan pada tingkat nasional dalam menolong pengimplementasian konsep ICZM di tingkat lokal Hatziolos 1997. Dari pengalaman Bank Dunia menunjukkan bahwa inisiatif pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan supaya berkelanjutan maka negara- negara yang menerapkan program tersebut haruslah melakukan beberapa hal berikut: 1 Keterpaduan dengan perencanaan pembangunan yang lebih besar, baik pada tingkat nasional maupun regional; 2 Mempunyai dukungan kelembagaan, peraturan perundang-undangan, dan keuangan serta terhubung dengan sektor swasta; 3 Mempunyai dukungan dari mayoritas komunitas lokal; 4 Melaksanakan program pemantauan dan evaluasi monitoring dan evaluation ; 5 Melakukan koordinasi yang efektif diantara stakeholders. Sebagai kesimpulan, Hatziolos 1997 menyatakan bahwa implementasi konsep ICZM harus didukung oleh aspek kelembagaan yang baik, penguatan aspek legal dan kerangka peraturan perundang-undangan, penciptaan kesempatan investasi, penyediaan fasilitas akses pada informasi, evaluasi dampak, dan bagi-bagi pengalaman pembelajaran. Cicin-Sain dan Knecht 1998 menjelaskan bahwa pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu bertujuan untuk mewujudkan pembangunan wilayah pesisir dan laut yang berkelanjutan, mengurangi kerusakan daerah pantai dan kerusakan sumberdaya alam lainnya serta juga mengelolaan proses-proses ekologi, sistem kehidupan pendukungnya dan kelimpahan biota di daerah pesisir dan laut. 30 Menurut Pickave et al. 2004, ICZM secara umum dikenal sebagai perangkat yang paling efektif untuk menggabungkan suatu upaya konservasi dengan pemanfaatan berkelanjutan suatu sumberdaya pesisir dan lautan dalam suatu perencanaan wilayah pesisir. Sejak tahun 1996, negara-negara Eropa telah mengembangkan berbagai program pengelolaan wilayah pesisir yang bertujuan untuk mencapai suatu pengembangan berkelanjutan di seluruh pesisir Eropa. Tiga direktorat jenderal Direktorat Jenderal Lingkungan, Direktorat Jenderal Pengembangan Wilayah, dan Direktorat Jenderal Perikanan telah bekerjasama dalam suatu proyek yang bertujuan untuk menguji model kerjasama pengelolaan wilayah pesisir terpadu dan untuk menstimulasi suatu diskusi terbuka diantara berbagai stakeholders yang terlibat dalam perencanaan, pengelolaan, pemanfaatan wilayah pesisir. Hasil dari proyek ini akan dijadikan bahan bagi lembaga-lembaga di lingkungan Uni Eropa untuk berdialog dengan para stakeholders. Dari program ini kemudian diproduksi dua dokumen penting ICZM, yang pertama adalah strategi Eropa tentang implementasi ICZM di seluruh negara-negara pantai Eropa; dokumen kedua adalah Rekomendasi Pengelolaan Kawasan Pesisir, yang sekarang telah diadopsi dan diimplementasikan dan didasarkan pada tiga prinsip penting, yaitu pendekatan ekosistem, prinsip kehati-hatian, dan pengelolaan adaptif. Kewajiban lanjutan bagi setiap negara tersebut adalah melakukan inventarisasi sumberdaya alamnya serta menganalisis siapa pelaku utama dari pengelolaan wilayah pesisir di negaranya serta aspek hukum dan kelembagaan yang mempengaruhinya. Berdasarkan kegiatan kerjasama pengelolaan pesisir terpadu tersebut maka penyusunan strategi pembangunan nasional untuk mengimplementasikan ICZM. Salah satu strategi yang harus dimasukan adalah sistem yang memadai untuk mengumpulkan dan menyediakan informasi dalam format yang sesuai dan kompatibel bagi seluruh tingkatan para pembuat keputusan, mulai dari tingkat pusat nasional, regional, dan lokal. Untuk tingkat Eropa, pertemuan baru diselenggarakan pada bulan Oktober 2002 di Brussel, dimana ditentukan sebuah kelompok kerja yang mengurusi masalah data dan indikator WG-ID = Working Group Data and Indicator . 31 Di Indonesia, sebagaimana juga dengan di Eropa, keterpaduan pengelolaan suatu sumberdaya alam saat ini sedang digiatkan oleh Pemerintah Indonesia sejak disyahkannya Konvensi Hukum Laut 1982 dan diratifikasi dengan UU No 171985, meskipun UU ini baru berlaku sejak tanggal 16 November 1994. Tahun 1993, untuk pertama kalinya masalah pembangunan sumberdaya kelautan dicantumkan secara resmi dalam GBHN 1993 dalam BAB IV. F. Ekonomi. 13.e yang mengamanahkan supaya “organisasi dan kelembagaan kelautan perlu dikembangkan agar makin terwujud sistem pengelolaan yang terpadu secara efektif dan efisien sehingga mampu memberikan pelayanan dan dorongan berbagai kegiatan ekonomi disektor kelautan” Djalal 2000. Hal ini didasarkan pada pengalaman bahwa selama ini pelaksanaan kegiatan pembangunan dinilai banyak pihak berlangsung tidak sehat dan telah menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan, serta dampaknya bagi peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia tidak signifikan. Dalam pengelolaan pesisir dan lautan secara terpadu, terdapat 3 tiga derajat keterlibatan stakeholder yang saat ini diterapkan di lapangan, sebagaimana dikemukakan oleh Pomeroy et al. 2004. Ketiga derajat dan nama untuk Co- management , yaitu”consultative co-management”, “collaborative or cooperative co-management”, and “delegated co-management ”. Pomeroy et al. 2004 juga mengutip Pomeroy dan Berkes 1997 serta Berkes et al. 2001 yang membedakan derajat peran dalam co-management di antara pemerintah dan komunitas sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2.2 dan Gambar 2.4. Tabel 2.2 Derajat dan nama istilah dalam co-management Government has the most control Consultative co-management Collaborative co-management Delegated co-management People have most control Government interacts often but makes all decisions Government and the stakeholders work closely and share decisions Government lets formally organised usersstakeholders make decisions Sumber: Pomeroy dan Berkes 1997; Berkes et al. 2001 dikutip oleh Pomeroy et al. 2004}. 32 Government-based management Community-based management Government centralised management Co-management Community self-governance and self-management Informing Consultation Cooperation Communication Information exchange Advisory role Joint action Partnership Community control Inter-area coordination Gambar 2.4. Derajat interaksi diantara pemerintah dan komunitas dalam co- management {Pomeroy dan Berkes 1997; Berkes et al 2001 dikutip oleh Pomeroy et al. 2004} Aspek positif dari suatu CBM menurut Carter 1996 adalah: 1 Mampu mendorong timbulnya pemerataan dalam pemanfaatan sumberdaya alam; 2 Mampu merefleksikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik; 3 Mampu meningkatkan efisiensi secara ekologis dan teknis; 4 Responsif dan adaptif terhadap perubahan kondisi sosial dan lingkungan lokal; 5 Mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada; 6 Mampu menumbuhkan stabilitas dan komitmen; serta 7 Masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola secara berkelanjutan. 33 Sebagai kesimpulan, Hatziolos 1997 menyatakan bahwa implementasi konsep ICZM harus didukung oleh aspek kelembagaan yang baik, penguatan aspek legal dan kerangka peraturan perundang-undangan, penciptaan kesempatan investasi, penyediaan fasilitas akses pada informasi, evaluasi dampak, dan bagi- bagi pengalaman pembelajaran. Dalam implementasi ICZM, pelaksanaan program tidak selalu berjalan mulus. Tingkat keberhasilannya tergantung pada seberapa besar integrasi setiap komponen stakeholders dan fasilitas yang tersedia. Konflik yang sering terjadi diantara para stakeholders disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1 perencanaan tidak disosialisasikan ke semua stakeholder, sehingga tidak semua aspirasi yang berkembang di mayarakat dapat diakomodasi; 2 pembagian peran dalam pelaksanaan program tidak sesuai dengan hasil kesepakatan saat perencanaan; 3 adanya intervensi pihak luar untuk mengatur pelaksanaan implementasi program, dengan berbagai tekanan yang hanya diketahui oleh beberapa orang tertentu; serta 4 sumberdaya manusia dan perangkat sosial yang ada belum memadai. Pengalaman Thailand dalam pelaksanaan ICZM menunjukkan bahwa untuk mencapai kesuksesan dalam implementasi ICZM diperlukan partisipasi lima sektor, yaitu: komunitas lokal, kewenangan pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, para ilmuwan, dan investor Sudara 1999. LSM harus memegang peranan penting dalam penyediaan kesempatan bagi seluruh sektor untuk berkomunikasi. Setiap sektor harus mempunyai kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya dan bertukar fikiran dengan sektor lainnya. Setiap keputusan yang akan diambil berkaitan dengan kawasan pesisir dimana mereka telibat didalamnya harus diambil berdasarkan keinginan bersama. Peran para ilmuwan dan akademisi dalam hal ini adalah manakala semua permasalahan dan kepentingan sudah dapat diidentifikasi, maka kemudian dengan keahlian mereka dilakukan formulasi perencanaan pengelolaan wilayah pesisir. Perencanaan tersebut harus mencakup semua kepentingan setiap sektor yang telah dikemukakan sebagaimana juga dengan ukuran mitigasi untuk implementasinya. Penerapan sistem co-management harus menghasilkan kepuasan bersama dan keberlanjutan pengelolaa n. 34 Burak et al. 2004 memberi contoh tentang implementasi konsep ICZM di Turki yang mengalami keterlambatan karena kegagalan politis dan kelembagaan yang berkaitan dengan implementasi dari keputusan yang rasional tentang pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Lebih dari 20 peraturan perundang-undangan telah diterapkan dan menghasilkan lebih dari 15 lembaga, yang meghasilkan berbagai keputusan yang bias karena adanya kemajemukan dan terpecah-belahnya suara saat proses pengambilan keputusan. Terjadinya konflik sebagai akibat pengembangan ekonomi di wilayah pesisir juga terjadi di Turki dan memicu terjadinya degradasi sumberdaya alam. Berbagai program yang telah dikembangan dan menjadi penyebab terjadinya degradasi lingkungan adalah ekoturisme dan berbagai proyek rumah peristirahatan di kawasan pesisir, pengembangan marikultur, preservasi dan konservasi sumberdaya alam, urbanisasi, pengembangan industri, navigasi, dan transportasi sejak tahun 1980-an Tuba 2002 dalam Burak et al. 2004. Salah satu contoh implementasi ICZM yang paling berhasil di Kawasan Asia Tenggara adalah dalam bidang wisata bahari. Menurut Wong 1998, berdasarkan distribusinya, maka wisata bahari di Kawasan Asia Tenggara didominasi oleh Indonesia dan Philippina karena kekayaan pulau dan garis pantainya. Kelompok wisata bahari tersebut terdiri dari wisata bahari yang berstatus merintis pioneer, sudah bangkit, dan sudah mapan. Wisata bahari yang berstatus mapan diantaranya Bali, Penang, Phataya dan Phuket. Berstatus bangkit diantaranya Lombok di Indonesia; Rayong, Hua Hin dan Ko Samui di Thailand; Langkawi, Kuantan, Tioman dan Kota Kinabalu di Malaysia; dan Cebu di Philipina. Sedanglan yang berstatus merintis antara lain Biak, Manado, Ujung Pandang, Flores, Kepulauan Seribu, Lampung, Bintan, Bangka Belitung, dan Nias di Indonesia; Pangkhot di Malaysia; Krabi di Thailand; serta Boracai, Palaman, dan Samal di Philipina. Di Indonesia, setelah terjadinya bencana tsunami di Wilayah Aceh dan Nias tahun 2004, semakin terasa betapa konsep ICZM itu belum dipahami secara merata di seluruh daerah dan perlu segera diimplementasikan. Kejadian bencana tsunami tersebut masih mungkin terulang kembali di daerah pesisir wilayah Indonesia. Oleh karena itu, diharapkan semua komponen yang terkait 35 stakeholders dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan harus sudah siap dan sigap untuk menghadapinya, sehingga kerugian yang diderita dapat diantisipasi seminimal mungkin.

2.2.3 Pengelolaan wilayah Jakarta dan sekitarnya secara terpadu