29 memperoleh hasil yang lebih baik lagi dari sebelumnya atau tidak berusaha
untuk lebih baik dari sekolah lain. Contoh lainnya adalah banyak jam pelajaran
kosong, siswa
takut berbuat
salah, siswa
takut bertanyamengemukakan pendapat, warga sekolah saling menjatuhkan,
persaingan yang tidak sehat antar warga sekolah, perkelahian antar siswa maupun antar sekolah, penggunaan minuman keras dan obat terlarang,
pornografi, dan lain-lain Jumadi, 2006: 5.
d. Identifikasi Budaya Sekolah
Wujud budaya terdiri dari 3 tingkatan kebudayaan oleh Edgar H. Schein. Tiga tingkatan budaya meliputi artifacts, espoused beliefs and values,
basic underlying assumptions Schein, 2004: 25-36. Berikut adalah penjelasannya:
1. Artifacts artifak Artifak merupakan tingkat pertama dalam tingkat budaya. Artifak
merupakan sesuatu kebudayaan yang dapat dilihat secara konkret. Artifak meliputi kondisi fisik sekolah, bahasa yang digunakan dalam interaksi
antar warga sekolah, cara warga sekolah dalam berpakaian, daftar absensi, daftar nilai, upacara bendera, dan lain-lain.
2. Espoused beliefs and values keyakinan dan nilai Keyakinan serta nilai-nilai yang dianut antara satu sekolah dengan
sekolah lain berbeda. Keyakinan serta nilai-nilai tersebut merupakan kekuatan yang dapat mempengaruhi perilaku warga sekolah. Warga
sekolah yang yakin berhasil memperoleh prestasi pasti bekerja keras untuk
30 dapat mencapai prestasi yang tinggi. Keyakinan serta nilai-nilai dapat
digunakan oleh warga sekolah sebagai acuan untuk bertindak. Keyakinan dan nilai-nilai juga ada pada kalimat dalam slogan-slogan yang
terpampang di lingkungan sekolah. 3. Basic underlying assumptions asumsi dasar
Asumsi merupakan upaya yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan dan terbukti benar, sehingga digunakan sebagai pedoman.
Tujuan dari asumsi juga mengacu pada keberhasilan suatu sekolah dalam meningkatkan mutu sekolah, salah satunya yang berkaitan dengan prestasi
siswa. Contoh asumsi adalah merubah tata letak ruangan kelas agar lebih efektif saat kegiatan belajar mengajar.
Pendapat mengenai tingkatan budaya dari Edgar H. Schein tersebut senada dengan pendapat dari John P. Kotter. John P. Kotter Moerdiyanto, Tt:
7-8 menyatakan bahwa lapisan budaya sekolah terdiri atas lapisan yang dapat diamati dan lapisan yang tidak dapat diamati. Lapisan yang dapat diamati
terdiri dari keadaan gedung sekolah, tata ruang, kebiasaan, peraturan- peraturan, upacara, simbol, logo, slogan, bendera, gambar yang dipasang,
sopan santun, cara berpakaian, dan lain-lain. Lapisan yang tidak dapat diamati antara lain norma, cara tradisional yang masih digunakan, dan lain-lain.
Kedua lapisan tersebut dapat digolongkan dalam tiga bentuk budaya sekolah. Lapisan yang mudah diamati tergolong dalam bentuk artifak.
Lapisan yang tidak dapat diamati tergolong dalam nilai dan keyakinan serta
31 asumsi dasar. Lapisan-lapisan budaya sekolah yang dikemukakan oleh John
P. Kotter dapat dijelaskan melalui tabel berikut: Tabel 2. Lapisan-lapisan Budaya Sekolah
Lapisan kultur Bentuk Perwujudan
Keterangan Artifak
Kondisi fisik sekolah: 1.
Halaman sekolah yang bersih, rapi dan asri.
2. Gedung yang layak digunakan.
3. Interior ruang yang mendukung
kegiatan belajar mengajar. 4.
Sarana ruang yang bersih dan tertata. Nyata
dan dapat
diamati
Perilaku: 1.
Kegiatan non akademik yang dilaksanakan.
2. Cara berpakaian warga sekolah.
3. Upacara bendera maupun upacara
keagamaan yang dilaksanakan. Nilai
dan keyakinan
1. Nilai-nilai dan keyakinan yang
ditanamkan untuk membentuk sikap yang baik.
2. Nilai-nilai dan keyakinan yang
ditanamkan untuk
menunjang peningkatan prestasi.
Abstrak dan tersembunyi
Asumsi 1.
Asumsi dasar untuk menciptakan keharmonisan.
2. Asumsi dasar untuk meningkatkan
prestasi. 3.
Asumsi dasar dalam membentuk sikap baik.
3. Tinjauan Matematika a. Pengertian Matematika