tiga kali penimbangan berturut-turut tiap hari selama 24 jam di oven sebesar 0 sehingga dapat dikatakan tidak ada sisa dari pelarut fraksi.
Pada pembuatan fraksi, digunakan 156,0 g ekstrak metanol-air daun M.tanarius, sehingga dapat dihasilkan 30,0 g FHEMM. Dari hasil penimbangan
bobot fraksi didapatkan rendemen FHEMM sebesar 19,46.
C. Uji Pendahuluan
1. Penetapan dosis hepatotoksin
Penelitian ini menggunakan karbon tetraklorida sebagai senyawa model hepatotoksin. Tujuan dilakukan penetapan dosis hepatotoksin ini untuk
menentukan dosis karbon tetraklorida yang dapat menyebabkan kerusakan hati steatosis pada tikus. Adanya kerusakan hati ditandai dengan kenaikan kadar
ALT serum dua hingga tiga kali nilai normal Sivakrishman et al,. 2014. Menurut penelitian Janakat dan Al-Merie 2002 serta Windrawati 2013
menyebutkan bahwa dosis 2 mLkgBB telah mampu menginduksi terjadinya hepatotoksik. Selain itu, kerusakan hati juga ditandai dengan penurunan kadar
albumin dibawah normal, seiiring dengan peningkatan kadar ALT serum. Penurunan kadar albumin mencapai 15 dari nilai normal Sivakrishnan and
Kottaimuthu, 2014. Berdasarkan hasil studi pustaka, peneliti mengacu pada penelitian Janakat dan Al-Merie 2002 serta Windrawati 2013 yang
menggunakan dosis karbon tetraklorida 2 mLkgBB, dimana pada dosis tersebut, karbon tetraklorida mampu meningkatkan kadar ALT serum tiga kali dan kadar
AST tikus empat kali dari semula.
2. Penetapan lama pemejanan FHEMM daun M. tanarius L.
Penetapan lama pemejanan FHEMM M. tanarius mengacu pada penelitian Windrawati 2013 mengenai efek hepatoprotektif ekstrak metanol-air
50:50 daun M. tanarius L yang dilakukan selama enam hari berturut-turut, dan pada hari ketujuh diinduksikan senyawa model hepatotoksin 50 dengan dosis 2
mLkgBB.
3. Penetapan waktu pencuplikan darah
Penetapan waktu pencuplikan darah bertujuan untuk mengetahui waktu yang menunjukkan efek hepatotoksik yang maksimal dari senyawa model karbon
tetraklorida dengan dosis 2 mLkgBB, yang ditandai dengan peningkatan aktivitas ALT-AST serum tiga hingga empat kali normal. Karbon tetraklorida diinjeksikan
secara intraperitonial pada tikus betina galur Wistar, kemudian dilakukan pencuplikan darah melalui pembuluh sinus orbitalis mata tikus pada jam 0, 24
dan 48 jam. Data aktivitas ALT dan AST serum tikus pada tiap selang waktu pencuplikan darah disajikan dalam tabel tabel II dan diagram batang gambar 7.
Tabel II. Nilai purata ± SE aktivitas serum ALT darah tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mLkgBB pada selang
waktu 0, 24 dan 48 jam n=3 Selang waktu jam
Purata Aktivitas serum ALT ± SE UL 66,8 ± 0,8
24 184,0 ± 16,5
48 62,3 ± 15,6
Keterangan : SE = Standar Error
Dari tabel II diatas, terlihat bahwa aktivitas serum ALT yang paling besar ditunjukkan pada selang waktu ke-24 jam 184,0 ± 16,5 UL. dibandingkan
dengan jam ke-0 66,8 ± 0,8 UL, aktivitas serum ALT mengalami peningkatan 3 kali. Pada pencuplikan darah jam ke-48 62,3 ± 15,6 UL, aktivitas serum ALT
kembali turun dan dibawah nilai normal pada jam ke-0. Hal ini dapat diperjelas lagi pada diagram batang Gambar 7.
Gambar 7. Diagram batang purata aktivitas serum ALT darah tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mLkgBB pada selang
waktu 0, 24 dan 48 jam
Hasil analisis statistik serum ALT menggunakan uji Shapiro Wilk pada tiap kelompok perlakuan jam ke-0, 24 dan 48 karena sampel yang digunakan
kurang dari 50. Dari hasil uji tersebut, diperoleh hasil signifikan pada jam ke-0, 24 dan 48 masing-masing yaitu 0,736 p0,05, 0,832 p0,05 dan 0,156 p0,05.
Hal ini menunjukkan bahwa data memiliki distribusi normal sehingga dapat dilanjutkan dengan uji pola searah One Way ANOVA untuk mengetahui apakah
variansi data tersebut homogen atau tidak. Hasil yang diperoleh untuk mengetahui variansi data homogen atau tidak menggunakan uji pola searah memiliki hasil
signifikan 0,092 p0,05 yang artinya variansi data yang diperoleh homogen. Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan uji Scheffe untuk melihat
kebermaknaan perbedaan antar kelompok. Hasil uji statistik aktivitas serum ALT menyatakan bahwa terdapat
perbedaan bermakna antara aktivitas serum ALT pada jam ke-24 dengan jam ke-0 dan 48 p=0,002, akan tetapi terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara
aktivitas serum ALT pada jam ke-0 dengan jam ke-48 p=0,971. Hal ini menunjukkan bahwa pada jam ke-48, aktivitas serum ALT sudah kembali normal
seperti pada aktivitas serum ALT jam ke-0. Dari hasil ini dapat dinyatakan bahwa pemberian karbon tetraklorida yang menimbulkan kerusakan hati paling parah
pada jam ke-24. Akan tetapi pada jam ke-48, aktivitas serum ALT sudah kembali normal karena metabolit karbon tetraklorida sudah mulai diekskresikan sehingga
kerusakan hati yang disebabkan oleh karbon tetraklorida tersebut sudah mulai terhenti Amacher, 1998. Hasil uji Scheffe aktivitas serum ALT pada berbagai
jam pencuplikan dapat dilihat di Tabel III.
Tabel III. Perbedaan kenaikan aktivitas serum ALT setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mLkgBB pada waktu pencuplikan
darah jam ke-0, 24 dan 48 Jam 0
Jam 24 Jam 48
Jam 0 BB
BTB Jam 24
BB BB
Jam 48 BTB
BB Keterangan :
BB = Berbeda Bermakna p≤0,05 ; BTB = Berbeda Tidak Bermakna p0,05
Pengukuran aktivitas serum AST juga dilakukan bersamaan dengan pengukuran aktivitas serum ALT pada waktu pencuplikan yang sudah ditentukan
yaitu jam ke-0, 24 dan 48. Tujuan dari pencuplikan ini adalah untuk melihat waktu ketika karbon tetraklorida menyebabkan kerusakan hati parah yang ditandai
dengan peningkatan aktivitas serum AST empat kali dari semula. Hasil yang didapatkan dari pengujian ini dapat dilihat pada Tabel IV dan Gambar 8.
Tabel IV. Nilai purata ± SE aktivitas serum AST darah tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mLkgBB pada selang
waktu 0, 24 dan 48 jam n=3 Selang waktu jam
Purata Aktivitas serum AST ± SE UL 154,2 ± 2,08
24 669,6 ± 8,37
48 197,7 ± 9,55
Keterangan : SE = Standar Error
Gambar 8. Diagram batang purata aktivitas serum AST darah tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mLkgBB pada selang
waktu 0, 24 dan 48 jam Dari tabel IV dan gambar 8 menunjukkan bahwa kenaikan serum AST
paling tinggi pada jam ke-24 669,6 ± 8,37 UL. Hal ini sama dengan aktivitas serum ALT, dinyatakan bahwa kerusakan hati paling parah terjadi pada jam ke-
24. Peningkatan aktivitas serum AST pada jam ke-24 meningkat 4-5 kali lipat 669,6 ± 8,37 UL dibandingkan dengan aktivitas serum AST jam ke-0 154,2 ±
2,08 UL. Akan tetapi, pada jam ke-48 197,7 ± 9,55 UL terjadi penurunan aktivitas AST. Serum AST tidak hanya disekresikan oleh sel-sel hati, tapi dapat
dieksresikan oleh beberapa organ-organ vital seperti otot rangka dan otot jantung Fancher, Kamboj, and Onate, 2007.
Data aktivitas serum AST yang didapat dianalisis menggunakan uji Shapiro Wilk ternyata diketahui memiliki distribusi normal pada waktu
pencuplikan jam ke-0, 24 dan 48 masing masing yaitu 0,537 p0,05 ; 0,053 p0,05, dan 0,532 p0,05. Oleh karena itu, akan dilanjutkan dengan
menggunakan uji pola searah One Way ANOVA untuk mengetahui apakah variansi data tersebut homogen atau tidak. Hasil yang diperoleh untuk mengetahui
variansi data homogen atau tidak menggunakan uji pola searah memiliki hasil signifikan 0,107 p0,05 yang artinya variansi data yang diperoleh homogen.
Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan uji Scheffe untuk melihat kebermaknaan perbedaan antar kelompok. Hasil uji statistik aktivitas serum AST
menyatakan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara aktivitas serum AST pada jam ke-24 dengan jam ke-0 dan 48 p=0,000, pada jam ke-0 memiliki perbedaan
bermakna dengan jam ke-24 dan 48 yaitu masing-masing 0,000 dan 0,017. Kadar AST pada jam ke-48 dengan jam ke-0 dan 24 juga memiliki perbedaan yang
bermakna, masing-masing 0,017 dan 0,000. Namun bila dibandingkan antara jam ke-24 dan 48 memiliki perbedaan bermakna. Hal ini berarti walaupun pada jam
ke-48 terjadi peningkatan AST, namun peningkatan AST terjadi tidak seperti peningkatan pada jam ke-24. Dari hasil ini dapat dinyatakan bahwa pemberian
karbon tetraklorida yang menimbulkan kerusakan hati paling parah pada jam ke- 24. Hasil uji Scheffe aktivitas serum AST pada berbagai jam pencuplikan dapat
dilihat di Tabel V.
Tabel V. Perbedaan kenaikan aktivitas serum AST setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mLkgBB pada waktu pencuplikan
darah jam ke-0, 24 dan 48 Jam 0
Jam 24 Jam 48
Jam 0 BB
BB Jam 24
BB BB
Jam 48 BB
BB Keterangan :
BB = Berbeda Bermakna p0,05
Dari data diatas, terlihat bahwa aktivitas serum ALT dan AST menunjukkan perbedaan yang bermakna pada pencuplikan darah jam ke-24
p≤0,05 dibandingkan dengan waktu pencuplikan darah jam ke-0 dan 48 setelah pemejanan karbon tetraklorida. Berdasarkan aktivitas serum ALT dan AST dari
hasil penelitian ini, karbon tetraklorida memiliki efek hepatotoksik yang paling tinggi pada jam ke-24, sehingga waktu pencuplikan darah yang digunakan dalam
penelitian efek hepatoprotektif fraksi heksan-etanol ekstrak metanol-air daun M. tanarius L. adalah jam ke-24 setelah pemejanan karbon tetraklorida dengan dosis
2 mLkgBB secara intraperitoneal.
D. Hasil Uji Pengaruh Pemberian Jangka Panjang Fraksi Heksan-Etanol