Praktik Kekuasaan PENERJEMAHAN AYAT-AYAT JIHAD DALAM ALQURAN TERJEMAHAN KEMENTERIAN AGAMA RI (ANALISIS WACANA) Disusun oleh: IBNUAFAN 108024000008 JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014M/

sebagai masyarakat pembaca, kelompok-kelompok ideologis secara tidak langsung terpengaruh oleh konstruksi terjemahan Alquran yang disajikan oleh Lajnah Pentashih. Seperti yang dikatakan oleh Mustafa Ya’kub: Ali Musthafa Ya’kub menyatakan kekagetannya karena terjemah al-Qur’an berbahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Kementerian Agama sudah ada sejak tahun 1965 - sedangkan terorisme yang membawa isu agama baru muncul sekitar tahun 2000 - yang berarti beda jarak antara sebab dengan yang disebabkan sekitar 35 tahun. “Itu jauh sekali jaraknya, sesuatu yang tidak rasional”. Dari pernyataan paragraf di atas, jelas sekali bagaimana praktik otorisasi teks terjemahan menjadi suatu kebenaran absolut mengenai kualitas terjemahan mushaf Alquran yang diterjemahkan oleh Lajnah Pentashih. Karena sebagai otoritas yang berwenang mengatur terbitnya terjemahan Alquran, Lajnah Pentashih dapat saja menghentikan peredaran Alquran terjemahan sebuah penerbit bila tidak sesuai dengan kaidah yang ditetapkan oleh Lajnah Pentashih Kemenag RI.

b. Akses Memengaruhi Wacana

Dalam hal memengaruhi wacana, tentu saja Lajnah Pentashih memiliki dominasi besar di dalamnya. Sebuah terjemahan mushaf Alquran yang dibaca oleh pembaca tentunya memiliki metode tersendiri dalam penyusunan terjemahannya. Metode terjemahan secara harfiah dan tafsiriyah yang dipakai turut memberikan pemahaman kepada pembaca mengenai cara berpikir dan bersikap. Hal ini yang kemudian mempengaruhi pembaca menjadi kritis, eksklusif, diskriminatif, bahkan intimidatif seperti halnya kasus Imam Samudra. Ketersajian informasi pada media pembawa terjemahan seperti dalam buku- buku, televisi, internet maupun dialog publik terhadap terjemahan semakin menguatkan wacana ayat-ayat jihad yang memiliki signifikansi terorisme. Dari proses ini terjadi dialektika terjemahan Alquran yang bersifat ideologis dan propagandis. Di sinilah teks propagandis ayat-ayat jihad mengandalkan eksploitasi sebagian besar aspek pengetahuan positif dari sistem bahasa. Sementara di sisi lain dalam pembentukan pemahaman pembaca diperlukan suatu kejernihan pesan dan kejernihan makna agar maksud dalam terjemahan tersebut tersampaikan. Sedangkan pada teks-teks yang propagandis telah membungkam pihak pembaca dari segala bentuk kritisisme. Dan di antara kedua tipe teks-teks yang berlawanan itu terdapat teks-teks kebahasaan dan komunikatif yang sebenarnya, di mana sistem kebahasaan berfungsi sebagai saluran komunikasi yang mencerminkan aspek epistemologi sementara aspek ideologinya muncul melalui sistem teks. 104 Nasr Hamid mengatakan pula bahwa perbedaan antara sistem bahasa dengan sistem teks inilah yang menetukan pesan. Perbedaan tersebut pada dasarnya muncul dari ideologi pengirim. Sedangkan dari pihak penerima sistem bahasa mencerminkan kerangka penafsiran pesan, sementara sistem teks makna mencerminkan fokus penilaian karena ideologi penerima turut terlibat untuk 104 Nashr Hamid Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, Penerjemah Khoiron Nahdiyyin Yogyakarta: LKiS, 2003, h. 25-26