sebagai masyarakat pembaca, kelompok-kelompok ideologis secara tidak langsung terpengaruh oleh konstruksi terjemahan Alquran yang disajikan oleh
Lajnah Pentashih. Seperti yang dikatakan oleh Mustafa Ya’kub:
Ali Musthafa Ya’kub menyatakan kekagetannya karena terjemah al-Qur’an berbahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Kementerian Agama sudah ada sejak
tahun 1965 - sedangkan terorisme yang membawa isu agama baru muncul sekitar tahun 2000 - yang berarti beda jarak antara sebab dengan yang disebabkan
sekitar 35 tahun. “Itu jauh sekali jaraknya, sesuatu yang tidak rasional”.
Dari pernyataan paragraf di atas, jelas sekali bagaimana praktik otorisasi teks terjemahan menjadi suatu kebenaran absolut mengenai kualitas terjemahan
mushaf Alquran yang diterjemahkan oleh Lajnah Pentashih. Karena sebagai otoritas yang berwenang mengatur terbitnya terjemahan Alquran, Lajnah
Pentashih dapat saja menghentikan peredaran Alquran terjemahan sebuah penerbit bila tidak sesuai dengan kaidah yang ditetapkan oleh Lajnah Pentashih Kemenag
RI.
b. Akses Memengaruhi Wacana
Dalam hal memengaruhi wacana, tentu saja Lajnah Pentashih memiliki dominasi besar di dalamnya. Sebuah terjemahan mushaf Alquran yang dibaca oleh
pembaca tentunya memiliki metode tersendiri dalam penyusunan terjemahannya. Metode terjemahan secara harfiah dan tafsiriyah yang dipakai turut memberikan
pemahaman kepada pembaca mengenai cara berpikir dan bersikap. Hal ini yang
kemudian mempengaruhi pembaca menjadi kritis, eksklusif, diskriminatif, bahkan intimidatif seperti halnya kasus Imam Samudra.
Ketersajian informasi pada media pembawa terjemahan seperti dalam buku- buku, televisi, internet maupun dialog publik terhadap terjemahan semakin
menguatkan wacana ayat-ayat jihad yang memiliki signifikansi terorisme. Dari proses ini terjadi dialektika terjemahan Alquran yang bersifat ideologis dan
propagandis. Di sinilah teks propagandis ayat-ayat jihad mengandalkan eksploitasi sebagian besar aspek pengetahuan positif dari sistem bahasa.
Sementara di sisi lain dalam pembentukan pemahaman pembaca diperlukan suatu kejernihan pesan dan kejernihan makna agar maksud dalam terjemahan tersebut
tersampaikan. Sedangkan pada teks-teks yang propagandis telah membungkam pihak pembaca dari segala bentuk kritisisme. Dan di antara kedua tipe teks-teks
yang berlawanan itu terdapat teks-teks kebahasaan dan komunikatif yang sebenarnya, di mana sistem kebahasaan berfungsi sebagai saluran komunikasi
yang mencerminkan aspek epistemologi sementara aspek ideologinya muncul melalui sistem teks.
104
Nasr Hamid mengatakan pula bahwa perbedaan antara sistem bahasa dengan sistem teks inilah yang menetukan pesan. Perbedaan tersebut pada dasarnya
muncul dari ideologi pengirim. Sedangkan dari pihak penerima sistem bahasa mencerminkan kerangka penafsiran pesan, sementara sistem teks makna
mencerminkan fokus penilaian karena ideologi penerima turut terlibat untuk
104
Nashr Hamid Abu Zaid, Kritik Wacana Agama, Penerjemah Khoiron Nahdiyyin Yogyakarta: LKiS, 2003, h. 25-26