Terorisme dan Warisan Pencerahan
pemisahan kekuasaan politik dari kepercayaan keagamaan yang dijadikan fokus oleh revolusi Perancis dan Revolusi Amerika.
52
Dalam tulisannya, Kant menyatakan bahwa pencerahan ialah kebangkitan manusia dari ketidakdewasaanya yang ditimpakan pada dirinya sendiri.
Ketidakdewasaan merupakan ketidakmampuan menggunakan pemahamannya sendir tanpa bimbingan orang lain. Lebih sekadar segugus kepercayaan.
Pencerahan menandai putusnya hubungan masa lalu, yang dimungkinkan hanya atas
ketidaktergantungan individu
di hadapan
otoritas. Tepatnya
ketidaktergantungan inilah merupakan ciri modernitas.
53
Lalu apa kaitan terorisme dengan Pencerahan? Di sini Habermas berpaling dari modernitas dan menganggap bahwa fundamentalisme merupakan
inkarnasinya. Habermas berpendapat bahwa fundamentalisme sebagai suatu fenomen yang secara eksklusif bersifat modern. Sebagaimana Kant, Habermas
memahami modernitas lebih merupakan suatu perubahan dalam sikap kepercayaan dari pada sebuah korpus kepercayaan-kepercayaan yang koheren.
54
Suatu sikap kepercayaan lebih menunjukkan jalan di mana kita percaya ketimbang apa yang kita percaya. Jadi, fundamentalisme kurang berurusan dengan
suatu teks atau dogma keagamaan yang spesifik dan lebih berurusan dengan modaitas kepercayaan. Apakah kita mendiskusikan kepercayaan fundamentalisme
52
Borradori Giovanna, Filsafat Dalam Masa Teror, Dialog dengan Jurgen Habermas dan Jacques Derrida, Pnrj. St Sunardi Jakarta: Kompas, 2005, h. 22
53
Ibid, h. 22
54
Ibid, h. 22
Islam, Kristiani, atau Hindu, kita bicara tentang reaksi dalam bentuk kekerasan terhadap cara modern memahami dan mempraktikkan agama. Dalam perspektif
ini, fundamentalisme bukanlah gerak kembali yang sederhana kepada suatu cara pra-modern dalam berhubungan dengan agama: itu suatu respon panik kepada
modernitas yang dipersepsikan lebih sebagai ancaman daripada peluang.
55
Selain hal tadi Habermas pun menyetujui bahwa setiap doktrin agama didasarkan pada sebuah inti kepercayaan dogmatis; jika tidak, tidak akan ada iman
yang dimunculkannya. Namun dengan serbuan modernitas, agama-agama harus “melepaskan diri dari doktrin mereka yang bersifat mengikat secara universal dan
penerimaannya secara politis,” agar sama-sama menjalani eksistensi di dalam masyarakat majemuk. Transisi kepercayaan dari pra-modern ke yang modern
telah menjadi tantangan monumental bagi agama-agama dunia. Terdapat agama- agama yang klaimnya pada kebenaran ditunjang dan diteguhkan oleh situasi-
situasi politik “yang periferinya tampak kabur meremang di luar batas-batasnya.” Modernitas menghasilkan suatu pluralitas bangsa-bangsa dan suatu pertumbuhan
begitu rupa di dalam kompleksitas sosial dan politik. Sehingga eksklusifitas klaim-klaim yang mutlak menjadi begitu saja tidak dapat dipertahankan.
56
55
Borradori Giovanna dalam terjemahan St Sunardi, Filsafat Dalam Masa Teror, Dialog dengan Jurgen Habermas dan Jacques Derrida, h. 23
56
Ibid, h. 28-29