Latar Belakang Masalah Tā’ marbūṭ ah di akhir kata
yang ajaran-ajarannya membenarkan dan menghalalkan kekerasan sebagai tajuk perjuangan. Apalagi sejak Amerika menuduh Osama bin Laden sebagai satu-
satunya dalang teroris penghancuran gedung kembar WTC dan Pentagon, Islam makin disudutkan sebagai spirit utama lahirnya kekuatan-kekuatan fundamentalis
dan ekstremis, termasuk pelaku kekerasan atas nama agama atau jihad atas nama Tuhan.
Di dalam kata pengantar buku Kejahatan Terorisme, Persepektif Agama, Ham dan Hukum, Hasyim Muzadi berpendapat jika mengikuti asumsi atau tuduhan di
atas, tentu saja jika benar bahwa pelaku terorisme adalah gerakan fundamentalisme, hal ini disebabkan karena adanya pemahaman keagamaan yang
eksklusif, skriptualis dan miskinnya pemahaman realitas historis dalam menafsirkan pesan esoteris teks-teks kitab suci, sehingga mewariskan sikap-sikap
yang fanatik, dogmatik, eksklusif dan intoleran dalam menyikapi realitas perbedaan dan kondisi pluralitas sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Bahkan
termasuk dalam menyikapi wilayah juang dalam mengimplementasikan prinsip “menegakkan kebajikan dan mencegah kemunkaran” amar ma’ruf nahi munkar.
2
Dampak dari sikap negatif di atas tadi tidak menutup kemungkinan bahwa hal tersebut dapat mengarah ke tindakan terorisme. Teror mengandung arti
penggunaan kekerasan, untuk menciptakan atau mengondisikan sebuah iklim ketakutan di dalam kelompok masyarakat yang lebih luas. Publikasi massa adalah
2
Hasyim Muzadi dalam kata pengantar, Drs. Abdul Wahid dkk, Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM dan Hukum,. h., vi
salah satu tujuan dari aksi kekerasan dari suatu aksi teror, sehingga pelaku merasa sukses jika kekerasan dalam terorisme serta akibatnya dipublikasikan secara luas
di media massa.
3
Jadi dampak berbagai peristiwa pengeboman yang terjadi selalu saja dikaitkan dengan Islam. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai sejauh mana
pemahaman ke-Islaman itu sendiri pada tiap penganutnya? Islam sebagai agama yang memiliki penganut terbanyak di Indonesia mempunyai andil besar dalam
pembentukan lingkungan damai dengan pemeluk agama lain. Ajaran Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia mempunyai implikasi yang kuat
terhadap cara berfikir dan bertindak masyarakat. Karena pada dasarnya Islam memegang teguh ajaran yang terkandung dalam Alquran sebagai pedoman hidup.
Pemahaman Alquran secara penuh merupakan konsekuensi logis dalam menjalankan ritus keagamaan baik dengan sang pencipta-Nya maupun dengan
makhluk lainnya. Alquran adalah teks, sebagai petunjuk tentu saja lahir dengan sendirinya berbagai penafsiran. Mengenai hal itu objek kajian terhadap teks ini
tidak mengacu kepada realitas yang berada di luar teks, melainkan kepada realitas yang digambarkan oleh teks itu sendiri.
Mengacu pada teks yang multitafsir itu, Alquran bukan hanya sebagai pedoman hidup, namun di satu sisi juga menimbulkan polemik kebahasaan dan
3
Mengutip Yasraf Amir Piliang dalam bukunya yang berjudul Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam era Posmetafisika. AM Hendropriyono mengatakan dalam perkembangannya
itu muncul suatu konsep yang memberi pengertian, bahwa terorisme adalah cara atau teknik intimidasi dengan sasaran sistematik, demi suatu kepentingan politik tertentu. A M
Hendropriyono, Terorisme, Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009 h., 25
berdampak lebih lanjut pada kekeliruan pemahaman, contohnya adalah pada kasus ayat-ayat jihad yang katanya menjadi sarana doktrinasi dalam melakukan aksi-
aksi kekerasan maupun terorisme. Berikut ini adalah beberapa contoh ayat-ayat jihad dalam Alquran terjemahan Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran
Kementerian Agama Republik Indonesia pada tahun 2007. Contoh dalam QS al- Anfal 8:39.
4
ﺎ َﻗ َو ﻰ ﱠﺘ َﺣ
ﻻ ن ﻮ ُﻜ َﺗ
ﺔ َﻨ ْﺘ ِﻓ ِن ِﺈ َﻓ
ّﷲ ﺎ َﻤ ِﺑ
Dan perangilah mereka, sampai tidak ada lagi fitnah, dan agama hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti dari kekafiran, maka sesungguhnya Allah
Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.
Masih terdapat beberapa ayat Alquran terjemahan Kementerian Agama yang diterjemahkan dalam memahami teks yang terkait dengan jihad dan perang.
Berikut beberapa kutipan ayat lainnya dalam QS. 2:191:
4
Kemenag, Alquran Terjemahan Kementerian Agama Republik Indonesia Bandung: Sigma Eksa Media, 2009. Alquran ini diterbitkan dan mengacu pada rekomendai sidang pleno
Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran tahun 2007 di Wisma Haji Tugu Bogor.
Terjemahan : Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu temui mereka, dan
usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu Mekah; dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Dan janganlah kamu perangi mereka di
Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu, maka perangilah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.
5
Simak pula QS.9:123 versi Kemenag:
ا ْﻮ
“Wahai orang-orang beriman Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka merasakan sikap tegas darimu, dan ketahuilah,
bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa.”
6
Menurut asumsi penulis, dalam pandangan masyarakat awam terhadap agama maka rentan sekali disusupkan doktrin-doktrin mengenai ayat tersebut oleh kaum
radikalis untuk menggerakan aksi teror. Karena Islam adalah suatu keyakinan, kalau tidak membaca Alquran bagaimana bisa mengetahui ajaran Islam itu sendiri.
Bila saja pemahaman ke-Islaman yang mendasar sebagai agama pembawa rahmat kepada alam semesta rapuh maka bisa saja menciptakan manusia nihilistis
haus jihad karena merasa harus memerangi agama lain. Tak ada heroisme yang
5
Ibid, Alquran Terjemahan Kementerian Agama Republik Indonesia QS. 2:191
6
Ibid, Alquran Terjemahan Kementerian Agama Republik Indonesia QS.9:123
lebih membanggakan dan memuliakan manusia nihilis yang mengalami defisit nilai-nilai dalam jiwanya selain dari pada menghabisi nyawa manusia lain atas
nilai-nilai luhur, entah itu hak asasi manusia ataupun nilai-nilai agama.
Dari sebab di atas, sangat mungkin terjadi penodaan agama melalui aksi jihad bila kaum muslimin tidak memahami petunjuk dalam Alquran. Di dunia, Alquran
tertulis dalam bahasa Arab yang kemungkinan besar dapat menimbulkan berbagai implikasi. Pertama, bahasa Arab merupakan bahasa yang mewakili unsur budaya
Arab, sebab bahasa adalah sistem tanda dalam masyarakat yang mewakili hampir seluruh kalau tidak malah seluruhnya aspek kehidupan masyarakat pemakainya
7
.
Kedua proses pemahaman Alquran oleh umat Islam Indonesia haruslah melalui penerjemahan yang dalam prosesnya subyektifitas seorang penerjemah
menjadi mustahil untuk diikutsertakan. Ketiga, setiap pembaca Alquran saat ini tidak memiliki akses langsung kepada pembuat teks akibat adanya perbedaan
ruang, waktu, tradisi, sehingga dapat mengakibatkan salah penafsiran.
8
Sebagaimana yang dikatakan oleh Komaruddin Hidayat, proses pemahaman, penafsiran dan penerjemahan atas sebuah teks selalu mengasumsikan adanya tiga
subyek yang terlibat, yaitu; dunia pengarang, dunia teks, dan dunia pembaca yang masing-masing memiliki konteks tersendiri, sehingga jika memahami yang satu
7
E. Sumaryono, Hermeneutik; sebuah metode filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1999, cet. ke-2, h. 57-58
8
Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid; Kritik Teks Keagamaan, Yogyakarta: eLSAQ, 2003, h. 74-75
tanpa mempertimbangkan yang lain maka pemahaman kita atas teks menjadi miskin.
9
Tiga subyek ini yang kemudian dikenal dalam dunia hermeneutika dengan unsur triadik the Author, text, the reader
10
. Karena itu, pemahaman dan penafsiran terhadap semua teks, termasuk teks-teks Alquran harus melibatkan
ketiganya. Selain itu, analisis konteks juga sangat diperlukan dalam memahami peristiwa pewahyuan, sebab ayat Alquran tidak akan dapat dimengerti kecuali
dengan melihat konteks saat wahyu diturunkan.
Namun di satu sisi pula perlu adanya pertimbangan bahwa persoalan bahasa juga menyangkut masalah komunikasi yang mempunyai keterbatasan fungsi
deskriptif dan hanya berkutat dengan sistem penandaan. Sistem penandaan ini memungkinkan keterlibatan banyak unsur yang berpengaruh terhadap kesan
pemahaman seseorang terhadap sebuah teks secara subjektif.
Kembali ke persoalan keterkaitan antara pembaca terjemahan Alquran dengan aksi teror, penulis mengasumsikan bahwa pemahaman yang tidak kontekstual
meyebabkan sempitnya pemikiran seorang pembaca terjemahan. Seperti pernyataan Umaruddin Masdar, pembacaan Alquran secara tekstual telah
9
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina,1996
10
Ahmad Muzakky, Kontribusi Semiotika dalam Memahami Bahasa Agama, UIN- Malang Press, 2007
menyebabkan dunia pemikiran Islam baik fundamentalis, tradisonalis maupun yang liberalis tidak pernah simetris dengan kenyataan yang dihadapi umat.
11
Dari pernyataan Umar Masdar ini, bila dikaitkan dengan aksi jihad maka kecenderungan pembaca Alquran dengan tekstual akan berpengaruh terhadap
tingkah laku dalam memahami ayat tanpa mengindahkan kontekstualitas yang sedang terjadi dalam masyarakat. Di sisi lain pembacaan terjemahan secara
tekstual juga menimbulkan polemik dalam tubuh tim penerjemah Kemenag, seperti pada mulanya, gagasan mengoreksi terjemah Alquran terbitan
Kementerian Agama oleh Amir Majelis Mujahidin Ustadz Muhammad Thalib, lahir dari perspektif liberalis yang mendiskreditkan kitab suci umat Islam. Mereka
mengopinikan, bahwa aksi bom yang terjadi di Indonesia dilakukan oleh kelompok teroris ideologis, yang mendasarkan tindakannya pada Alquran.
Sejumlah ayat Alquran dinilai berpotensi menumbuhkan radikalisme dan mengajak orang beraliran keras. Pernyataan Dirjen Bimas Islam Depag, Prof. Dr.
Nasaruddin Umar, dalam simposium Nasional bertema: ‘Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme’ di Jakarta, Rabu 28 Juli 2010, adalah contoh
aktualnya. Nasaruddin Umar menyatakan: “Ada terjemahan harfiyah Alquran yang berpotensi untuk mengajak orang beraliran keras. Dia mencontohkan, “Dan
bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka…Qs. 2:191.
12
11
Umaruddin Masdar, Agama Kolonial ; Colonial Mindset dalam Pemikiran Islam Liberal Yogyakarta: Klik.R, 2003, h. 15-16.
12
Simposium Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme diadakan pada Rabu 28 Juli 2010, merupakan sebuah usaha perspektif dan semangat baru atas isu-isu radikalisme dan
Selain itu pula ada faktor lain yang menyebabkan timbulnya aksi jihad di luar pemahaman teks, yaitu, latar belakang sosial, politik, maupun ekonomi seperti
yang dikemukakan Abdul Jamil dan Muchlis M Hanafi, masing-masing Kepala Balitbang dan Diklat Kemenag dan Kepala Bidang Pengkajian Alquran Puslitbang
Kemenag,
Katanya, “pemahaman terhadap teks Alquran yang parsial, sempit, dan sikap antipati terhadap perbedaan pandangan keagamaanlah yang menyebabkan mereka
jadi teroris. Faktanya, mayoritas penduduk di Indonesia menggunakan terjemahan itu, tapi jumlah teroris tergolong minoritas bahkan bisa dihitung jari. Pada
umumnya mereka anti pemerintah, termasuk anti terjemahan Alquran yang diterbitkan pemerintah.”
13
Dari pemaparan tersebut bisa diasumsikan adanya pengaruh ekstrinsik teks kepada pembaca dan pembacaan teks secara harfiah melahirkan dampak dan
perang wacana bagaimana teks Alquran bisa mempengaruhi tindakan seseorang untuk menjadi teroris. Berdasarkan pemikiran di atas penulis membahas skripsi
ini dengan judul: PENERJEMAHAN AYAT-AYAT JIHAD ALQURAN TERJEMAHAN KEMENTERIAN AGAMA ANALISIS WACANA.
terorisme. Simposium ini melibatkan Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan Republik Indonesia,Kepolisian Negara Republik Indonesia, Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, Lazuardi Birru dan Lembaga Survei Indonesia.
13
Abdul Jamil dan M Muchlis Hanafi, http:puslitbang1.balitbangdiklat.kemenag.go.idindex.php
Kemenag Bantah Terjemahan Picu Aksi Terorisme. Akses pada 25 juni 2011.