Penerjemahan Ayat Qitâl

Quraish Shihab dalam tafsir Al Misbah menerangkan bahwa makna qâtala di dalam ayat adalah berperang. Beliau menambahkan, bahwa ada juga yang membaca dengan qutila terbunuh. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa ayat- ayat Alquran-baik ayat ini maupun ayat lain- tidak ada yang menjelaskan berapa orang di antara para Nabi tersebut yang berperang atau yang terbunuh. 76 Selanjutnya, untuk dapat menangkap tema dan wacana yang terkandung di dalam Alquran terjemahan Kementerian Agama, penulis akan menyajikannya berdasarkan tema yang terkandung pada setiap kalimat dalam ayat yang telah disebutkan. Baik QS. 2:191, QS. 8:39, QS.9:123 ini bercerita tentang kapan peperangan tersebut dimulai dan harus dihentikan yaitu ketika tidak ada lagi fitnah. Adapun yang dimaksud dengan fitnah adalah syirik dan penganiayaan. Jalaluddin As-Suyuthi Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahally, dalam tafsirnya menjelaskan tentang surat al-Baqarah ayat 191 bahwa penggunaan kata Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menjumpai mereka, serta usirlah mereka di mana mereka mengusir kamu artinya di Mekah, dan ini telah dilakukan oleh nabi terhadap mereka pada tahun pembebasan. Sedangkan fitnah itu, artinya kesyirikan mereka lebih berat, maksudnya lebih berbahaya dari pembunuhan terhadap mereka, yakni di tanah suci atau sewaktu ihram yang mereka hormati itu. Dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjid al-Haram, maksudnya di tanah suci, sebelum mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka 76 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, Jakarta: Lentera Hati, 2008, Cet. X, Vol. 2, h. 237 memerangi kamu di sana, maka bunuhlah mereka. Menurut satu qiraat tanpa alif pada kata kerja yang tiga, wala taqtuluuhum, hatta yaqtuluukum fiih, dan fa- in qataluukum. Demikianlah, maksudnya pembunuhan dan pengusiran menjadi balasan bagi orang-orang kafir. 77 Kata qâtala, baik fi’il madhi maupun fi’l mudhâri’ di dalam surat al- Baqarah ayat 191 dan al-Anfal:39 adalah bermakna perang. Di dalam ayat sebelumnya Allah melarang untuk melampaui batas, maka di dalam ayat ini dijelaskan apabila orang-orang kafir tersebut melampaui batas, maka diperbolehkan untuk membunuh mereka. Maka dengan menggunakan fi’il amr, Allah berfirman bahwa mereka orang kafir yang memerangi Islam boleh dibunuh jika akan membunuh orang Islam, dan diusir, jika mengusir umat Islam. Bahkan di Masjid al-Haram sekalipun, jika orang kafir memerangi di tempat itu, maka diperbolehkan, bahkan Allah menyuruh untuk memerangi mereka. Berangkat dari pemaparan tadi ada yang perlu diketahui yakni konteks historis turunnya ayat ini dan kaitannya dengan perjanjain Hudaybiyyah. Setelah Rasullah saw dan para sahabat menjaga Masjidil Haram, kemudian mereka menyembelih hewan kurban di Hudaybiyyah dan berekonsiliasi dengan orang- orang musyrik untuk kembali ke Masjidil Haram pada musim haji tahun depannya. Pada tahun berikutnya, Nabi hendak melaksanakan “Umrah al-Qadha” dan beliau khawatir tidak bisa memasuki Masjid al-Haram. Kemudian Allah 77 Jalaluddin As-Suyuthi Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahally, Tafsir Jalalain, Pnrj. Mahyudin Syaf dan Bahrun Abubakar, Bandung: Pustaka al-Hidayah, 1990 terjemahan dalam Alquran bahasa Indonesia oleh Lajnah Pentashih Alquran Kementerian Agama RI. menurunkan ayat tersebut sebagai perintah agar memerangi mereka yang memerangi Islam tapi jangan sampai melampaui batas. 78 Penulis berpendapat, Allah memang tidak menyuruh umat Islam untuk melakukan peperangan kecuali orang-orang yang memeranginya. Perintah ini sudah jelas dan dijelaskan kembali pada ayat 192, “Tetapi jika mereka berhenti, maka sungguh, Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang”. Kaitan diturunkannya ayat ini juga saat bulan haram bulan Zulkaidah, Zulhijah, Muharram dan Rajab di mana pada bulan ini umat Islam tidak diperbolehkan berperang. Tapi kalau umat islam diserang maka diperbolehkan membalas serangan itu di bulan itu juga. Dari penjelasan tadi penulis melihat, walaupun peperangan itu suatu kewajiban, pada waktu-waktu tertentu, seperti pada bulan haram , kewajiban itu tidak boleh dilakukan. Bahkan, Alquran menyatakan bahwa berperang pada bulan itu termasuk kategori dosa besar. Mengenai perang, Alquran menggariskan beberapa ketentuan, antara lain mengenai kapan perang dibolehkan, etika peperangan seperti perlakuan terhadap tawanan perang- pemanfaatan harta rampasan perang, dan kapan suatu peperangan harus diakhiri. Tentang kapan perang dibolehkan, antara lain disebutkan sebagai berikut: Pertama, perang boleh dilakukan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, seperti dinyatakan di dalam Surat al-Baqarah: 190. kedua, untuk membalas serangan musuh, antara lain diungkap di dalam Surat al-Hajj: 39; 78 Zuhairi Misrawi, Al-Quran, Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme Jakarta: Fitrah, 2007, h. 394. ketiga, untuk menentang penindasan dikemukakan di dalam Surat al-Nisâ’: 75; keempat, untuk mempertahankan kemerdekaan beragama, seperti tersurat di dalam Surat al-Baqarah: 191; kelima, untuk menghilangkan penganiayaan, dinyatakan pada Surat al-Baqarah: 193; Keenam, untuk menegakkan kebenaran, misalnya pada Surat al-Taubah: 12. 79 Allah swt juga telah berfirman untuk menghentikan perang apabila oaring- orang kafir sudah tidak lagi memerangi kamu muslim dan hal ini tertuang dalm surat an-Nisa: 90 ُﱠﷲ َﻞ َﻌ َﺟ ﺎ َﻤ َﻓ َﻢ َﻠ ﱠﺴ ﻟ ا Terjemahan : Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu Telah ada perjanjian damai atau orang-orang yang datang kepada kamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya. kalau Allah menghendaki, tentu dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu Pastilah mereka memerangimu. tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan bagimu untuk menawan dan membunuh mereka. 79 Shihab, Vol. I, h. 460 Di dalam ayat ini pun kata yuqâtilu juga bermakna memerangi. Di sini dijelaskan mereka-mereka yang tidak boleh diperangi diantaranya yaitu: orang- orang kafir yang lari dari wilayah Islam sehingga mereka sampai pada suatu kaum untuk meminta perlindungan dari kaum tersebut, yang antara kaum tersebut dengan umat Islam telah ada perjanjian untuk tidak saling berperangmenyerang, atau terhadap mereka yang merasa keberatan untuk memerangi umat Islam dan dalam saat yang sama merekapun juga enggan memerangi kaumnya. 80

b. Relasi kata Jihad dan Qitâl

Dari pemaparan akar kata qitâl tadi pada pembahasan kali ini ada perlunya kita memahami akar kata dari jihad. Mengutip dari Ibnu Manzur dalam Lisan Al- Arab, h. 239-241 akar kata jihad adalah al-juhd yang berarti daya, al-thaqah, kerja keras al-masyaqqah, usaha al-wus’u. Lalu kata tersebut bermetamorfosa menjadi kata al-jihad yang berarti menghimpun upaya dan kekuasaan untuk melawan musuh di medan perang. Tetapi di samping itu, jihad dalam arti fisik juga berupaya menghimpun kekuatan untuk menjaga lisan dari hal-hal yang tidak baik. Sedangkan bagi kalangan sufi, istilah jihad dikenal dengan upaya membersihkan jiwa guna menghadapi Sang Pencipta, yaitu mujahadah wa riyadhat al-nafs. 81 80 Shihab, Vol. II, h. 546 81 Zuhairi Misrawi, Al-Quran, Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme h. 390 Pada masa jahiliyah, kata “jihad” telah ada sebagai bentuk kata yang memiliki konteks sosial sendiri. Dalam beberapa kata yang mendampingi kata jihad lebih mempunyai relasi makna yang berhubungan dengan muamalah kemanusiaan, al- jihad fi al-‘amal berkemampuan untuk bekerja, al-jihad fi al-mal berkemampuan harta benda, al-jihad fi al-fikr berkemampuan berfikir. Sedangkan penyandingan kata sabilillah pada jihad biasanya digunakan dalam bentuk fi’il amr yaitu jaahadu fi sabilillah yang artinya adalah berjuang di jalan Allah. Kata jaahada memiliki arti lil-musyarakah bermakna saling. Beberapa kata jihad yang memiliki makan berjuang atau atau berperang, adalah murni dari kepentingan sosiologis zaman Rasul untuk saling memberikan ketenteraman dan kesejahteraan dari gangguan secara fisik oleh kelompok lain kafir Quraisy 82 . Kecenderungan ini bisa dibenarkan ketika “jihad” diambil dari kata dasar jahada yang kemudian menjadi kata “jihad”. 83 Pengertian jihad juga akan berubah bila melibatkan pembentukan kata yang masih berkaitan dengan jahada misalnya istajhada dan ijtihad. Jihad dalam Islam bukan bertujuan merampas harta, atau lainnya. Pada hakikatnya, perang merupakan alternatif terakhir dalam dakwah. Perang dalam Islam bukan untuk menyerang, tetapi untuk mempertahankan diri dari serangan musuh dan menangkis tindakan yang melampaui batas dari musuh. 84 Untuk memperjelas subtansi jihad agar tidak diidentikan dengan aksi mengangkat 82 Muhammad Halaby Hamdy, Menyambut panggilan Jihad, Yogyakarta: Madani Pustaka, 2000, h. 11 83 Muhammad Chirzin, Jihad dalam Alquran, Yogyakarta: Mitra Pustaka,1997, h. 19. 84 Muhammad Faiz al-Math, Keistimewaan Islam Jakarta: Gema Insani Press, 1995, h. 127