Relasi kata Jihad dan Qitâl

Pada masa jahiliyah, kata “jihad” telah ada sebagai bentuk kata yang memiliki konteks sosial sendiri. Dalam beberapa kata yang mendampingi kata jihad lebih mempunyai relasi makna yang berhubungan dengan muamalah kemanusiaan, al- jihad fi al-‘amal berkemampuan untuk bekerja, al-jihad fi al-mal berkemampuan harta benda, al-jihad fi al-fikr berkemampuan berfikir. Sedangkan penyandingan kata sabilillah pada jihad biasanya digunakan dalam bentuk fi’il amr yaitu jaahadu fi sabilillah yang artinya adalah berjuang di jalan Allah. Kata jaahada memiliki arti lil-musyarakah bermakna saling. Beberapa kata jihad yang memiliki makan berjuang atau atau berperang, adalah murni dari kepentingan sosiologis zaman Rasul untuk saling memberikan ketenteraman dan kesejahteraan dari gangguan secara fisik oleh kelompok lain kafir Quraisy 82 . Kecenderungan ini bisa dibenarkan ketika “jihad” diambil dari kata dasar jahada yang kemudian menjadi kata “jihad”. 83 Pengertian jihad juga akan berubah bila melibatkan pembentukan kata yang masih berkaitan dengan jahada misalnya istajhada dan ijtihad. Jihad dalam Islam bukan bertujuan merampas harta, atau lainnya. Pada hakikatnya, perang merupakan alternatif terakhir dalam dakwah. Perang dalam Islam bukan untuk menyerang, tetapi untuk mempertahankan diri dari serangan musuh dan menangkis tindakan yang melampaui batas dari musuh. 84 Untuk memperjelas subtansi jihad agar tidak diidentikan dengan aksi mengangkat 82 Muhammad Halaby Hamdy, Menyambut panggilan Jihad, Yogyakarta: Madani Pustaka, 2000, h. 11 83 Muhammad Chirzin, Jihad dalam Alquran, Yogyakarta: Mitra Pustaka,1997, h. 19. 84 Muhammad Faiz al-Math, Keistimewaan Islam Jakarta: Gema Insani Press, 1995, h. 127 senjata, Alquran membedakan antara konsep qital interaksi bersenjata dengan konsep jihad seperti pada pembahasan qital sebelumnya. Jihad jelasnya menunjuk kepada suatu konsep yang lebih komprehensif, di mana salah satu sisinya adalah berjuang di jalan Allah melalui penggunaan senjata. Namun, jihad dengan pengertian sempit ini, oleh Alquran dibatasi pada saat-saat tertentu khususnya sebagai upaya dalam mempertahankan diri. 85 Agaknya karena pengertian sisi sempit inilah yang secara keliru dianggap sebagai ciri utama jihad yang mengundang kontroversi dan pertikaian pendapat. Seperti pandangan dunia Barat yang memandang Islam sebagai teroris, penuh dengan kekerasan dan mengartikan jihad sebagai holy war perang suci. 86 Seperti halnya berkaitan dengan Imam Samudra. Dalam buku “Aku Melawan Teroris”, jihad merupakan terminologi Islam yang sering banyak dizhalimi. Ia sering dipersepsikan sebagai perang, padahal konsep jihad lebih luas daripada sekadar perang. Persepsi inilah yang menjadi kiblat oleh Imam Samudra dan kawan- kawannya yang mengartikan jihad secara sempit sebagai perang atau qital untuk menegakkan dan menyebarkan Islam kepada kaum kafir 87 Muhammad Said Ramadhan al-Buthi menulis, bahwa perintah jihad kepaada Nabi telah turun sejak periode Makkah. Jihad periode Makkah diwarnai dengan jihad dakwah. Sedangkan jihad pada periode Madinah diwarnai dengan perang. 88 85 Lihat kembali QS 2: 190-191 86 Abdurrahman Wahid, Islam Tanpa Kekerasan Yogyakarta: LKiS, 2000, Cet. 2, h. 10 87 Imam Samudera, Aku Melawan Teroris Solo: Jazeera, 2004 h. 108 88 Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, al-Jihad Fil Islam Kaif Nafhamuh wa Kaif Numarisuh Beirut, Darul-Fikr al-Mu’ashir, 1993, h.19. Dalam versi terjemahan Indonesia berjudul Fikih Jihad, Penerjemah M. Abdul Ghofar, Jakarta: Pustaka an-Nabba’ : 2001 Kata jihad sendiri dalam Alquran telah disebutkan sebanyak 41 kali. 89 Ayat-ayat jihad dalam konteks perjuangan berjumlah 28 sebagai berikut; al-Baqarah2: 218, ali-Imran3:142, an-Nisa4: 95, al-Maidah5: 35,54, al-Anfal8: 72,74,75, at- Taubah9: 16, 19, 20, 24, 41, 44, 73, 81 ,86,88, an-Nahl16:110, al-Hajj22:78, al- Furqan25 :52, al-Ankabut29: 6,69, Muhammad47:31, al-Hujurat49:15, al- Mumtahanah60 :1, ash-Shaff61:11, at-Tahrim66:9. Dalam rangka memanusiakan jihad, kajian fikih juga mempunyai beberapa pandangan yang patut diperhatikan. Seperti pendapat Ibnu Rushd, pertama, hukum jihad adalah fardl kifayah, artinya kewajiban jihad bukanlah kewajiban individual, tetapi kewajiban yang bersifat kolektif. Kalau sebagian orang atau kelompok sudah melakukan jihad, maka kelompok yang lain tidak wajib melaksanakannya. Karena itu, dalam melaksanakan jihad harus menggunakan konsensus. 90 Pada hal ini, penjelasan Majelis Ulama Indonesia menjadi penting. Fatwa MUI untuk mengharamkan bom bunuh diri dan terorisme merupakan sikap yang tepat untuk memecahkan persoalan yang masuk dalam kategori fardl kifayah. Sayang, fatwa MUI itu baru tersosialisasikan kepada publik pasca tewasnya Azhari, yang diduga sebagai gembong terorisme di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Fatwa semacam ini perlu disampaikan kepada publik, sehingga publik 89 Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mujamul Mufahras li Alfazhil Quranil Karim Kairo : Darul Hadist,1991, h. 232-233. 90 Zuhairi Misrawi, Al-Quran, Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme h. 387. Zuhairi mengutip kembali, kitab Ibnu Rushd yang berjudul Biddyat Al- Mujtahid wa Nihayat Al-Muqtahsid, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut: Cetakan II, 2004, h. 347 bisa menentukan sikap, apakah sebuah kasus bisa dimasukkan dalam kategori jihad? 91 Kedua, jihad meniscayakan izin dari orang tua karena restu dari orang tua merupakan prasyarat mutlak untuk bisa melakukannya. Artinya bila jihad dilakukan tanpa sepengetahuan orang tua, maka dalam kaca mata hukum Islam, hal tersebut tidak bisa disebut jihad. Rasullullah sendiri selalu menanyakan kepada umatnya yang mau ikut berperang, “Apakah orang tuamu masih hidup?” Jika orang tuanya masih hidup, Rasullulah berpesan, “Mintalah izin para orangtuamu”. Ketiga, jihad mempunyai sasaran yang ketat. Dalam perang, kalangan perempuan, anak-anak, orang-orang usia lanjut dan pendeta tidak diperkenankan untuk dibunuh. Maka jelas sudah ketika Islam menjelaskan konsep jihad berdasarkan ayat dan hadis. Dalam kaitannya dengan ayat-ayat qitâl tampaknya hal ini tidak terlepas dari latar belakang sejarah dan perkembangan Islam itu sendiri. Jihad muncul ketika Islam bergerak ke arena pergulatan politik dalam komunitas muslim dan non- muslim. 92 Meskipun demikian tidak dapat ditolak bahwa jihad dalam Alquran juga bisa berarti perang atau perjuangan dengan cara-cara kekerasan dan bersenjata, utamanya terhadap orang-orang kafir. Dengan demikian, menurut pendapatnya Nur Khalik Ridwan bahwa jihad diperbolehkan untuk melawan dengan fisik bila terjadi sebuah kekuatan luar yang mengganggu territorial 91 Ibid, h.387 92 Jamal Albana, Revolusi Sosial Islam: Dekonstruksi Jihad dalam Islam, Pnrj Kamran A Insyadi Yogyakarta: Pilar Media, 2005, h. 91 Muslim atau territorial yang disepakati Muslim sebagai negeri perjanjian dengan komunitas lain. 93 Sementara penulis Indonesia lain yang membahas tentang jihad juga berpandangan ke arah yang lebih konstruktif, seperti H.A.R Sutan Mansur yang menekankan makna jihad di masa damai dalam konteks Indonesia merdeka, yakni bekerja dengan sepenuh hati dilengkapi semangat yang dapat ditimbulkan oleh ilmu dan tenaga benda. 94 Azra pun memiliki pandangan serupa bahwa kekerasan atas nama jihad pada zaman sekarang ini sudah semakin tidak efektif dan kontraproduktif. 95 Hal senada juga dituturkan oleh Samsurizal Pangabean tentang konsep jihad dalm Alquran yang berkorelasi dengan perang. Ia mencatat, ayat-ayat jihad yang lebih awal diwahyukan mengiisyaratkan makna pengorbanan dan perjuangan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan yang tidak selalu berarti konfrontasi fisik dengan musuh. 96 Quraish Shihab pun berpendapat hal yang serupa bahwa jihad merupakan salah satu persoalan umat. Demikianlah persoalan jihad memang memiliki pengertian beragam. Jihad memberantas kebodohan, kemiskinan dan penyakit merupakan perbuatan yang tak kalash pentingnya daripada mengangkat senjata. 93 Nur Khalik Ridwan, Detik-detik Pembongkaran Agama, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003, h. 209. 94 H.A.R Sutan Mansur, Jihad Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982 95 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga Post-modernisme. Jakarta: Paramadina, 1996. 96 Samsurizal Pangabean, Makna Jihad dalam Alquran. Dalam Jurnal Islamika Nomor 4, 1994, h. 93-99 Ilmuwan berjihad dengan memanfaatkan ilmunya, karyawan bekerja dengan baik, guru berjuang dengan pendidikannya yang sempurna, pemimpin dengan keadilannya, pengusaha dengan kejujurannya dan seterusnya. 97

4. Analisis Kognisi Sosial

Dalam kerangka analisis Van Dijk,pentingnya kognisi sosial yaitu adanya kesadaran mental penulis yang membentuk teks tersebut. Karena, setiap teks pada dasarnya dihasilkan lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka, atau pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa. Namun dalam hal ini penulis membatasi analisis kognisi berdasarkan pendekatan psikologis penerjemah. Penulis mempertanyakan kembali kognisi lajnah pentashih Alquran Kementerian Agama, karena pada dasarnya tim penerjemah memiliki beragam nilai, pengalaman, dan pengaruh ideologi yang didapatkan dari kehidupannya, layaknya seorang wartawan seperti yang diungkapkan oleh Van Dijk. Peristiwa dalam nash-nash Alquran mesti dipahami berdasarkan skema atau model. Skema dikonseptualisasikan sebagai struktur mental di mana tercakup cara pandang manusia, peranan sosial dan peristiwa. Dalam hal ini Lajnah pentashih memiliki kaidah dan prosedur dalam menyebarluaskan pemahaman Alquran yang mudah dibaca dan dipahami dengan baik oleh masyarakat. Tentunya sebagai institusi di bawah naungan Kementerian Agama, Lajnah Pentashih Mushaf Alquran adalah lembaga pembantu Menteri Agama dalam bidang pentashihan mushaf Alquran. Dasar hukum dibentuknya Lajnah adalah Peraturan Menteri 97 Ibid, h. 100 Muda Agama nomor 11 tahun 1959 tentang Lajnah. 98 . Namun yang menjadi perhatian penulis adalah Alquran itu sendiri sebagai suatu nash yang memiliki eksklusivitas.Eksklusivitas dalam hal ini dikatakan sebagai sebuah teks yang diyakini memiliki kebenaran mutlak. Meskipun begitu, sebagai sebuah terjemahan, nash keagamaan dalam pembahasan wacana jihad adalah hasil reproduksi Lajnah Pentashih. Dalam kasus ini menurut pandangan penulis, terjemahan Alquran yang diterjemahkan oleh Lajnah Pentashih menghegemoni konsumen terjemah Alquran Kemenag. Hegemoni yang dimaksud di sini adalah Lajnah Pentashih memiliki aturan baku untuk mengontrol opini masyarakat bahwa terjemahan Kemenag adalah yang paling mendekati kebenaran. Seperti diungkapkan oleh Muchlis Hanafi, ia mengatakan asumsi MMI tentang terjemahan Alquranterbitan Kemenag sebagai pemicu aksi terorisme, sangat bertentangan dengan sejumlah fakta yang ada. Fakta tersebut di antaranya, mayoritas warga Muslim Indonesia mengandalkan terjemahan dalam memahami Alquran. “Jika betul asumsi itu, teroris di Indonesia pasti lebih banyak. Sedangkan faktanya kelompok teroris jumlahnya sedikit dan mereka umumnya anti pemerintah, termasuk anti terjemahan Alquranyang diterbitkan oleh pemerintah”. Muchlis juga menambahkan bahwa Alquran memiliki dua makna, yaitu makna primer dan makna sekunder. Makna primer Alquran adalah yang diterjemahkan ke dalam bahasa manapun, sedangkan makna sekunder adalah makna tambahan yang dibangun karena karakteristik bahasa Arab dan bahasa 98 Lajnah Pentashih dari situs http:lajnah.kemenag.go.idbukuunduhcategory14- pentashihan , artikel diakses pada tanggal 12 september 2014. Alquran yang sulit diterjemahkan. Hal ini menimbulkan fakta bahwa tidak ada terjemahan Alquran yang murni harfiyah. Oleh karena itu tim penyusun terjemahan Alquran Kementerian Agama menggabungkan antara metode terjemah harfiyah dengan terjemah tafsiriyah, yang dapat dilihat dari banyaknya kalimat di dalam kurung dan footnote yang jumlahnya mencapai 930 buah. 99 Sedangkan Ali Musthafa Ya’kub menyatakan kekagetannya karena terjemah al-Qur’an berbahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Kementerian Agama sudah ada sejak tahun 1965 - sedangkan terorisme yang membawa isu agama baru muncul sekitar tahun 2000 - yang berarti beda jarak antara sebab dengan yang disebabkan sekitar 35 tahun. “Itu jauh sekali jaraknya, sesuatu yang tidak rasional”. 100 Dari pendapat ini penulis melihat kognisi sosial yang memunculkan terbentuknya eksklusivitas pada Lajnah Pentashih Alquran Kemenag. Eksklusivitas di sini merupakan proses yang bergerak simultan antara produsen teks Lajnah Pentashih dengan konsumennya pembaca terjemahan Alquran. Lajnah Pentashih menurut penulis telah membangun jalan legitimasi seperti sakralisasi duplikat terjemahan. Peraturan Lajnah Pentashih pemerintah menuntut kepatuhan masyarakat yang bersifat mengikat; sementara konsumen pun mencari sandaran tempat dalam 99 Kemenag RI http:puslitbang1.balitbangdiklat.kemenag.go.idindex.php Kemenag Bantah Terjemahan Alquran Picu Aksi Terorisme Akses pada tanggal 3 Agustus 2013. 100 Ibid mempertanyakan makna-makna Alquran. Jadi terjemahan Alquran yang transendental menjadi eskapisme dari realita yang dihadapi. Pengonsumsian masyarakat tanpa mendialogkan ulang terhadap produk terjemahan Alquran versi Kemenag ditangkap dengan beberapa alasan pendukung; pertama, terjemahan Alquran versi Kemenag merupakan versi resmi yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Kedua, peraturan negara menuntut kepatuhan, dan kontrol terhadap terjemahan, seperti halnya sebelum penerbit melakukan cetak ulang Alquran wajib mengajukan pentashihan ulang dan mendapatkan izin dari Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran. Ketiga, produk terjemahan ikut menjadi sakral karena teks yang diterjemahkannya merupakan ‘kebenaran mutlak’. Inilah yang kemudian mengakibatkan terjemahan Alquran menjadi bernilai mitis dan sakral. Gagasan mitis mengenai eksistensi azali dan qadim dari teks Alquran berbahasa Arab di lauh mahfuz, senantiasa hidup dalam budaya kita. Hal ini terjadi karena wacana keagamaan direproduksi terus-menerus melalui media informasi seperti di masjid-masjid atau koran-koran keagamaan, siaran radio dan televisi, simposium dan seminar-seminar. Disamping itu buku-buku dan karya-karya terbitan individu maupun kelompok masyarakat yang memiliki kecenderungan berpikir ideologis dalam setiap momen keagamaan ataupun lainnya. 101 Selanjutnya dalam pemahaman Nasr Hamid, dikatakan bahwa gagasan mitis pada esensinya mengabaikan dialektika ketuhanan dan kemanusiaan, saksral dan profan di dalam struktur teks. Ini membuka lebar kemungkinan penyelewengan 101 Nasr Hamid Abu Zaid, Teks Otoritas Kebenaran, dari judul asli An;Nashsh, as- Shulthah, al-Hakikah,Pnrj. Sunarwoto Dema Yogyakarta: LKIS, 2012, h. 139. penakwilan teks dengan melompati sebagian konteks atau keseluruhannya. Dengan begitu teks menjadi suaka payung pelindung untuk memproduksi berbagai ideologi. Karena dalam setiap situasi, teks keagamaan menjadi objek maf’ul bih dan ideologi menjadi subjek fa’il. Artinya, pembentukan ideologi terjadi melalui bahasa teks, sehingga menyandang watak agama. Hal ini memberi arti bahwa metode penakwilan tidak saja mengabaikan watak teks dan melalaikan berbagai konteksnya, tetapi juga cenderung memoles wajah ideologis-politisnya dengan kedok agama itu sendiri. 102 Dengan kata lain kognisi Lajnah Pentashih yang dimunculkan dari berbagai peraturan yang dibuat adalah sebuah bentuk otorisasi nash-nash kegamaan. Meskipun satu-satunya otoritas yang mengatur perihal Alquran, dibentuknya Lajnah Pentashis dimaksudkan sebagai upaya pemerintah dalam memelihara kitab suci yang shahih dan dapat dipahami oleh masyarakat. 103

5. Analisis Konteks Sosial Terjemahan Ayat-ayat Jihad

Analisis sosial konteks sosial berkitan dengan hal-hal yang memengaruhi pemakaian bahasa, dan terbentuknya sebuah wacana. Seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi sosial yang sedang terjadi saat itu. Pada konteks sosial tertentu, sebuah wacana dapat diteliti, dianalisis, dan dimengerti. 102 Abu Zaid, Teks, Otoritas Kebenaran, h. 139-140. 103 Lihat kembali Visi Misi Lajnah Pentashih Mushaf Alquran Kemenag RI pada situs http:lajnah.kemenag.go.id Konteks ini juga berkaitan dengan who atau siapa dalam hubungan komunikasi. Siapa yang menjadi komunikatornya, siapa komunikannya, dalam situasi bagaimana, apa mediumnya dan mengapa ada peristiwa tersebut. Dalam analisis sosial ini, meneliti wacana yang sedang berkembang di masyarakat pada konteks terbentuknya sebuah wacana dalam masyarakat. Bagaimana masyarakat memproduksi dan mengkonstruksikan sebuah wacana. Dalam konteks peristiwa terjemahan ayat-ayat Jihad Kemenag ini yang menjadi komunikator dan komunikannya adalah Lajnah Pentashih Mushaf Alquran Kemenag RI dan masyarakat pembaca ayat-ayat jihad. Di dalam masyarakat sendiri terdapat berbagai kelompok ideologis yang masing-masing memiliki cara pandang berbeda terhadap teks Alquran fundamentalis dan rasionalis. Kedua elemen komunikasi ini masing-masing memiliki latarbelakang keilmuan dalam memahami wacana kekinian tentang kasus-kasus terorisme. Lajnah Pentashih dan Mushaf Alquran menjadi medium terciptanya wacana di samping pemberitaan seputar terorisme yang selalu menjadi perbincangan hangat di media massa. Penulis menganalisis konteks sosial ini terbagi ke dalam dua bagian, yaitu:

a. Praktik Kekuasaan

Konstruksi praktik kekuasaan dalam terjemahan ayat-ayat jihad ini adalah Lajnah Pentashih Alquran yang memiliki otoritas lebih besar dalam melegalkan terjemahan Mushaf Alquran yang diterbitkan oleh tiap penerbit buku. Tentunya sebagai masyarakat pembaca, kelompok-kelompok ideologis secara tidak langsung terpengaruh oleh konstruksi terjemahan Alquran yang disajikan oleh Lajnah Pentashih. Seperti yang dikatakan oleh Mustafa Ya’kub: Ali Musthafa Ya’kub menyatakan kekagetannya karena terjemah al-Qur’an berbahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Kementerian Agama sudah ada sejak tahun 1965 - sedangkan terorisme yang membawa isu agama baru muncul sekitar tahun 2000 - yang berarti beda jarak antara sebab dengan yang disebabkan sekitar 35 tahun. “Itu jauh sekali jaraknya, sesuatu yang tidak rasional”. Dari pernyataan paragraf di atas, jelas sekali bagaimana praktik otorisasi teks terjemahan menjadi suatu kebenaran absolut mengenai kualitas terjemahan mushaf Alquran yang diterjemahkan oleh Lajnah Pentashih. Karena sebagai otoritas yang berwenang mengatur terbitnya terjemahan Alquran, Lajnah Pentashih dapat saja menghentikan peredaran Alquran terjemahan sebuah penerbit bila tidak sesuai dengan kaidah yang ditetapkan oleh Lajnah Pentashih Kemenag RI.

b. Akses Memengaruhi Wacana

Dalam hal memengaruhi wacana, tentu saja Lajnah Pentashih memiliki dominasi besar di dalamnya. Sebuah terjemahan mushaf Alquran yang dibaca oleh pembaca tentunya memiliki metode tersendiri dalam penyusunan terjemahannya. Metode terjemahan secara harfiah dan tafsiriyah yang dipakai turut memberikan pemahaman kepada pembaca mengenai cara berpikir dan bersikap. Hal ini yang