Faktor Pendorong Gerakan Terorisme di Indonesia

pada pandangan orang yang bersangkutan: jika dunia dipandang damai, aksi-aksi kekerasan akan sebagai suatu bentuk terrorisme. Jika dunia dianggap dalam keadaan perang, aksi-aksi kekerasan bisa jadi diakui sebagai tindakan absah. 57 Hal ini mengantarkan kembali pada pertanyaan lain, ketika agama membenarkan kekerasan, apakah dengan demikian hal itu digunakan untuk tujuan-tujuan politis? Ini bukanlah pertanyaan yang sederhana, sebagaimana ia pertama kali mengemuka. Kejadian ini benar-benar pelik karena agama tidak dapat disalahkan. Tapi tidak selalu mengarah pada kekerasan. Kasus-kasus `seperti ini akan terjadi bila terdapat perpaduan dari sederetan situasi tertentu yang bersifat politis, sosial dan ideologis 58 Dari pemaparan tadi kita bisa mengambil hipotesa bahwa banyak orang yang hanya mengutuk, atau paling banter memerangi terorisme. Namun mereka lupa mengutuk dan tidak berupaya melenyapkan pemicu yang menyebabkan aksi anarkistis tersebut. Senyatanya, kehadiran aksi-aksi semacam teroris, salah satunya diakibatkan oleh semacam keangkuhan suatu atau sekelompok bangsa tertentu dalam menyikapi kehidupan global. Dalam kondisi seperti itu, kelompok yang memiliki power sering dan mudah menindas kelompok yang lebih lemah dengan menggunakan alasan yang terkadang terlalu dicari-cari. 59 57 Mark Jurgensmeyer, Teror atas nama Tuhan, Kebangkitan Global Kekerasan Agama, Pnrj M. Sadat Ismail Jakarta, Nizam Press:2002, h. 12. 58 Ibid., h.13 59 Abd, A’la, Melampaui Dialog Agama Jakarta, Kompas: 2002, h. 65-66. Sementara kelompok yang lemah – dengan melakukan berbagai justifikasi - mencoba melawan kekuasaan dan tekanan yang membelenggu mereka dengan cara mereka sendiri. Oleh karena itu inti persoalan sebenarnya yang perlu diselesaikan adalah bagaimana melenyapkan keangkuhan kekuasaan, dan menggantinya dengan penciptaan dan pengembangan suatu sistem kehidupan yang lebih manusiawi dalam arti yang sebenar-benarnya. Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin jelas menolak dan melarang penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuan al-ghayat , termasuk tujuan yang baik sekalipun. 60 Dalam hal ini Azyumardi Azra berpendapat, bahwa terorisme sebagai kekerasan politik sepenuhnya bertentangan dengan etos kemanusiaan. Islam menganjurkan umatnya untuk berjuang mewujudkan perdamaian keadilan dan kehormatan, akan tetapi, perjuangan itu haruslah tidak dilakukan dengan cara-cara kekerasan atau terorisme. Islam menganjurkan dan memberi justifikasi kepada muslim untuk berjuang, berperang harb ب ﺮ ﺣ dan menggunakan kekerasan qitâl ل ﺎ ﺘ ﻗ terhadap para penindas musuh Islam dan pihak luar yang menunjukan sikap bermusuhan atau tidak mau hidup berdampingan secara damai dengan Islam kaum muslimin. 61 Selanjutnya, Azra pun menambahkan bahwa dalam kaidah ushul dalam Islam menegaskan tujuan tidak bisa menghalalkan segala cara. Islam menegaskan bahwa pembasmian suatu kemungkaran tidak boleh dilakukan dengan kemungkaran pula. 60 Abdul Wahid dkk, Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM dan Hukum, Bandung: Refika Aditama, 2004 h., 42 61 Azyumardi Azra, Terorisme dalam perspektif Agama, dalam Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM dan Hukum komentar diterbitkan dalam harian Kompas 2 November 2002.

D. Hubungan Terjemahan Ayat Alquran Kementerian Agama dengan

Terorisme Dari semua hal tadi ada satu faktor yang menjadi perhatian penulis dalam menyikapi fenomena yang terjadi. Faktor itu adalah ayat Alquran yang dijadikan landasan “mereka” teroris dalam melakukan aksinya. Salah satunya adalah Terjemahan : Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu Mekah; dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu, maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.QS. 2:191 Selain itu dalam surat at-Taubah, ayat 123 versi Kemenag: “Wahai orang-orang beriman Perangilah orang-orang kafir yang disekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” Kembali ke pembahasan sebelumnya, pada dasarnya, kemunculan gerakan-gerakan keagamaan radikal itu dipicu oleh beberapa faktor, di antaranya dapat dilacak pada sisi pemahaman keagamaan mereka. Dalam Islam, pemahaman yang literal dan parsial serta sepotong-sepotong terhadap Alquran dan Sunah Nabi mengakibatkan seseorang terperangkap ke dalam wawasan sempit dan tidak mampu melakukan kontekstualisasi ajaran dalam kehidupan konkret. 62 Umpamanya, mereka mengartikan jihad dalam Alquran sebatas arti harfiah yang tersurat. Mereka tidak mencoba lebih jauh melalui cara pemahaman terhadap sebab-sebab historis yang terkait dengan konsep itu, lalu menangkap nilai-nilai universal yang dikandungnya untuk diaplikasikan ke dalam situasi konkret saat ini, yang jelas berbeda dengan situasi yang ada pada masa turunnya Alquran. Hal ini semakin mengeras ketika faktor-faktor lain, semisal politik ekonomi, ikut masuk ke dalamnya. Suatu kelompok dengan pemahaman keagamaan yang literalis akan bermetamorfosis menjadi gerakan radikal manakala kelompok itu secara ekonomi atau politik merasa ditindas oleh kelompok pemeluk agama lain. Selain itu, unsur lain yang membuat seseorang atau suatu kelompok bersikap radikal adalah sikap curiga terhadap kelompok atau penganut agama lain. Adanya kecurigaan semacam tuduhan bahwa suatu umat dari agama lain melakukan kecurangan dalam menyebarkan misi agama, menjadi peluang pada 62 Abd A’la, Melampaui Dialog Agama, h. 17.