Penyebaran Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) Sebagai Salah Satu Pertimbangan Dalam Rencana Pengelolaan Dan Zonasi Taman asional Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara
PENYEBARAN HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae)
SEBAGAI SALAH SATU PERTIMBANGAN
DALAM RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI
TAMAN NASIONAL BATANG GADIS
KABUPATEN MANDAILING NATAL
PROVINSI SUMATERA UTARA
TESIS
Oleh
ABU HANIFAH LUBIS
077004001/PSL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
ΣΕ Κ
Ο Λ Α
Η
Π Α
Σ Χ
Α Σ Α Ρ ϑΑ
Ν
(2)
PENYEBARAN HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae)
SEBAGAI SALAH SATU PERTIMBANGAN
DALAM RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI
TAMAN NASIONAL BATANG GADIS
KABUPATEN MANDAILING NATAL
PROVINSI SUMATERA UTARA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
ABU HANIFAH LUBIS
077004001/PSL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
(3)
Judul Tesis : PENYEBARAN HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae) SEBAGAI SALAH SATU
PERTIMBANGAN DALAM RENCANA
PENGELOLAAN DAN ZONASI TAMAN
NASIONAL BATANG GADIS KABUPATEN
MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA
Nama Mahasiswa : Abu Hanifah Lubis Nomor Pokok : 077004001
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Ir. Zulkifli Nasution, MSc., Ph.D) Ketua
(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS) (Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) Anggota Anggota
Ketua Program Studi Direktur
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)
(4)
Telah diuji pada
Tanggal: 29 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D Anggota : 1. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS
2. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS 3. Ir. Guslim, MS
(5)
ABSTRAK
Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) dengan luas 108.000 hektar merupakan kawasan taman nasional ke 42 di Indonesia yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 126/Menhut– II/2004 pada tanggal 29 April 2004. Secara geografis terletak diantara 99012’45” sampai 990 47’10” ΒΤ δαν 0027’15” σαmπαι 10 01’ 57” ΛΥ. Καωασαν ινι mεmιλικι
keragaman bentang alam cukup lengkap dari hutan hujan dataran rendah perbukitan, hutan pegunungan rendah, dan hutan pegunungan tinggi hingga 2145 meter di atas permukaan laut. Keberagaman tipe habitat ini menyebabkan pula beragamnya kehidupan hayati yang terdapat di dalamnya. Tidak kurang dari 42 jenis mamalia dijumpai di kawasan ini, beberapa diantaranya merupakan jenis satwa langka yang terancam punah. Jenis mamalia tersebut antara lain: harimau Sumatera (Panthera tigris), kucing hutan (Pardofelis marmorata), kucing emas (Catopuma temmincki), tapir (Tapirus indicus), beruang madu (Helarctos malayanus), kambing gunung (Capricornis sumatraensis), rusa sambar (Servus unicolor), kijang (Muntiacus muntjac) dan lima jenis primata.
Penelitian ini berlangsung dari bulan Februari hingga Juli 2009 yang merupakan bagian dari penelitian jangka panjang yang dimulai pada Desember 2005 untuk memantau populasi harimau Sumatera dan mangsanya di Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) yang diprakarsai oleh Conservation International Indonesia (CII). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk keberadaan dan penyebaran harimau Sumatera di Taman Nasional Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal. Tujuan lainnya adalah untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam pengembangan dan pengelolaan zonasi di Taman Nasional Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal.
Taman nasional merupakan model yang ideal untuk pelestarian
keanekaragaman hayati Indonesia. Berdasarkan penilaian potensi kawasan maka zonasi pengelolaan Taman Nasional Batang Gadis diharapkan mampu menampung berbagai kepentingan. Ada beberapa rencana untuk pengembangan zonasi di Taman Nasional Batang Gadis yaitu sebagai berikut: Zona Inti, Zona Rimba, Zona Pemanfaatan Penelitian dan Pelatihan, Zona Pemanfaatan Wisata, Zona Pemanfaatan Tradisional, Zona Pemanfaatan Pemukiman Tradisonal (enclave).
Lima kamera dipasang selama periode Februari – Juli 2009 di lokasi-lokasi yang ditentukan secara acak dengan menggunakan jebakan kamera otomatis (Deercam, 860 Park Lane, Park Falls, WI 54552 dan Cuddeback Digital). Sebanyak 18 foto harimau pada enam titik pengamatan yang belum dapat diidentifikasi lebih lanjut termasuk yang terulang: 11 di kiri dan 7 di kanan.
Penelitian awal yang dilakukan oleh Conservation International Indonesia menunjukkan bahwa: rata-rata kepadatan harimau adalah 1,1 harimau per 100 km2, perbandingan antara harimau jantan dan betina berdasarkan identifikasi positif adalah 3:1, harimau jantan lebih banyak, kehadiran harimau tidak berhubungan dengan enam
(6)
spesies mangsa, kehadiran harimau menunjukkan kecenderungan lokasi tengah hutan yang jauh dari pemukiman pada ketinggian yang bervariasi
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Taman Nasional Batang Gadis memiliki potensi dan kelayakan untuk dikembangkan sebagai kawasan penelitian dan pemantauan harimau Sumatera untuk jangka pendek dan jangka panjang. Potensi habitat dan sebaran harimau Sumatera perlu dimasukkan sebagai bahan pertimbangan utama dalam proses perencanaan pengelolaan zonasi taman nasional.
Kata Kunci: Harimau Sumatera, Rencana Pengelolaan, Zonasi, Taman Nasional Batang Gadis, Mandiling Natal.
(7)
ABSTRACT
Batang Gadis National Park lies in the Mandailing Natal district covering 108,000 hectares of area is the 42nd national park in Indonesia which was enacted by the Government of Indonesia through the decree of Forestry Minister No. 126/ Menhut –II/2004 dated 29 April 2004. Geographically this national park lies between 99° 12∋ 45∀ το 99° 47∋ 10∀ Εαστ, ανδ 0° 27∋ 15” το 1° 01∋ 57∀ Νορτη. The park has a complete natural landscape ranging from low land rain forest, hills, low mountain forest, to high mountain forest up to 2,145 above sea level. The diversity of habitats indicates that the national park is rich in biodiversity. Not less than 42 species of mammals are found in this area, some of them are in danger of becoming extinct. These endangered species include Sumatran tiger (Panthera tigris sumatrae), marbled cat (Pardofelis marmorata), golden cat (Catopuma temmincki), tapir (Tapirus indicus), sun bear (Helarctos malayanus), mountain goat (Capricornis sumatraensis), sambar deer (Cervus unicolor), common barking deer (Muntiacus muntjac) and five species of primates.
This study was carried out in the periods of February–July 2009 as part of a long-term project initiated in December 2005 to monitor the populations of Sumatran tigers and their prey in Batang Gadis National Park (BGNP) initiated by Conservation International Indonesia (CII). The objective of this research was to study the availability and distribution of Sumatran tigers in Batang Gadis National Park. Another objective was to identify the supporting factor and also the obstacles for development zones in Batang Gadis National Park, Mandailing Natal District.
National park are the most ideal conservation area type for Indonesia biodiversity conservation areas. There are a few zones of Batang Gadis National Park they are the core zone, wilderness zone, utilizing zone for research and training, utilizing zone for tourism, traditional zone, enclave and buffer zone. The national park core zone refers to protection of flora, fauna and its ecosystem specification and natural development. Wilderness zone is to make fauna diversity and to protect unique life. The utilizing zone can be visited for recreation activity. The buffer zone is a zone usually out of the national park which supports interaction between society and the national park.
Five cameras survey of large mammal were conducted between February and July 2009 in BGNP using passive infrared camera traps (Deercam, 860 Park Lane, Park Falls, WI 54552 and Cuddeback Digital), containing data packs that record time and date on photographs. A total of 18 tiger photographs were collected between February and July 2009 including duplicates and unidentified tigers; 11 lefts and 7 rights.
A preliminary study carried out by Conservation International Indonesia in BGNP using remote cameras found that: the mean density of tigers was at 1.1 tigers/100 km
2
(8)
was at 3:1, skewed to male, tiger presence did not correlate with six prey species, tiger presence was increased with distance from forest edges to the interior and various elevations.
The result of this research suggested that Batang Gadis National Park (BGNP) is one of the forest blocks in Sumatera, identified as a tiger conservation landscape for short and long term research and monitoring of Sumatran tigers. Habitat and distribution of Sumatran tigers are a special management problem and may require a special management zone of the national park.
Keywords: Sumatran tigers, management plan, zonation, Batang Gadis Nasional Park, Mandailing Natal.
(9)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala limpahan Rahmat dan KaruniaNya, hingga karya sederhana ini dapat diselesaikan. Banyak dukungan yang telah diberikan kepada penulis baik dukungan moril maupun materil hingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ini. Penulis hanya dapat menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak hingga karya ini dapat diselesaikan, semoga Allah SWT selalu membalas segala amal perbuatan dan budi baik yang telah diberikan.
Pada kesempatan ini penulis dengan tulus hati ingin menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada:
1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk menimba ilmu pengetahuan di Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc Selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan berbagai fasilitas yang mendukung penyelesaian studi penulis di Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS selaku Ketua Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Prof. Ir. Zulkifli Nasution, MSc, Ph.D selaku Ketua Pembimbing dalam penulisan tesis yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan demi sempurnanya karya ini.
5. Ibu Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS dan Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan selama proses penyelesaian karya ini.
(10)
6. Bapak Ir. Guslim, M.Sc dan Prof. Dr. Erman Munir, MSc selaku Dosen Penguji yang memberi saran masukan dan saran pada penyempurnaan tesis
7. Bapak dan Ibu Dosen pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah mendarmabaktikan ilmu pengetahuannya.
8. Para staf administrasi Sekolah Pascasarjana dan Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu kelancaran studi penulis.
9. Conservation International Indonesia yang mendanai program pemantauan Harimau Sumatera di Taman Nasional Batang Gadis.
10. Bapak Jatna Supriatna, Ph.D, Bapak Iwan Wijayanto, Bapak Didy Wurjanto, Bapak Herwasono Soedjito dari Conservation International Indonesia yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk melakukan kegiatan survei di TN. Batang Gadis.
11. Rekan-rekan dari Conservation International Indonesia: Erwin P, A. Hamid Damanik, Anton Ario, Ermayanti, Bonie Dewantara, T. Afriyenni, Chandrawirawan, Khairul Azmi, Adi, Afriansyah, Razali yang selalu memberikan dukungan selama penelitian ini berlangsung.
12. Rekan-rekan di lapangan: Sugesti M. Arif, Lokot D, Wagiman, Sahlan B, Pak Jakbar dan Pak Rohman yang telah membantu selama melakukan penelitian. 13. Bapak Hariyo T. Wibisono yang telah membantu mulai persiapan penelitian
sampai dengan analisis data.
14. Bapak Tatang Mitrasetia M.Si dan Dr. Sri Suci Utami dari Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta yang selalu mendukung penulis untuk melanjutkan studi.
15. Bapak Barita O. Manullang, Bapak Ismayadi Samsoedin, Erwin Widodo, Bapak Asep Adhikerana, dan Rondang Siregar yang banyak memberikan dukungan dan semangat kepada penulis.
(11)
16. Bapak Budi Ismoyo, Ferry Asep A., Cardi R dan Zulkarnaen Hasibuan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Mandailing Natal: yang banyak memberikan masukan dalam penulisan karya ini.
17. Bapak Syahgiman Siregar, Bapak Kuswaya, Heru Sutmantoro, Sudiro, Yudi Santoso dan Mustafa Imran Lubis dari Balai Taman Nasional Batang Gadis: yang telah memberikan ijin selama penelitian ini berlangsung.
18. Bapak Kepala Desa dan masyarakat Desa Aek Nangali, Sopotinjak,
Hutagodang Muda dan M.B. Angkola yang memberikan dukungannya selama penelitian.
19. Kepada Istriku tercinta Tri Dhini Lestari dan Ananda tersayang Nadhif Abel Pranaja Lubis yang dengan sabar memberi dorongan, semangat dan doa selama pendidikan.
20. Orang tua dan adik-adik tercinta yang selalu memberikan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan lancar.
21. Rekan-rekan mahasiswa di Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, khususnya angkatan 2007 yang selalu memberi dukungan hingga selesai karya ini.
22. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya guna membantu penyelesaian karya ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan maupun penyajian dalam tesis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis akan menerima kritikan dan saran yang membangun dari semua pihak. Akhirnya penulis berharap, karya sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.
Medan, Agustus 2009 Penulis,
(12)
RIWAYAT HIDUP
NAMA : ABU HANIFAH LUBIS
NIM : 077004001/PSL
TEMPAT/TANGGAL LAHIR : PEKALONGAN, 19 SEPTEMBER 1970
JENIS KELAMIN : LAKI-LAKI
AGAMA : ISLAM
STATUS : KAWIN
KEBANGSAAN : INDONESIA
PEKERJAAN : SWASTA
ALAMAT : JL. RUMAH POTONG HEWAN KOMP. IKES NO. 131 LING.VII, MABAR, MEDAN NAMA ORANG TUA
AYAH : SAYUTI LUBIS
IBU : HASIAH TANJUNG
RIWAYAT PENDIDIKAN
Tahun 1981/1982 : Lulus Pendidikan Sekolah Dasar Pada SD Islam Kauman Pekalongan.
Tahun 1984/1985 : Lulus Pendidikan Sekolah Menengah Pertama Pada SMP Islam Pekalongan. Tahun 1987/1988 : Lulus Pendidikan Sekolah Menengah Atas
Pada SMA Muhammadiyah Pekalongan. Tahun 1995 : Lulus Pendidikan Strata–1 Pada Fakultas
Biologi Universitas Nasional, Jakarta RIWAYAT PEKERJAAN
Tahun 1995-2001 : Staf Unit Manajemen Leuser (UML), Medan. Tahun 2002- sekarang : Staf Conservation International Indonesia
(13)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR... v
RIWAYAT HIDUP ... ix
DAFTAR ISI... x
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 9
1.3. Tujuan Penelitian... 10
1.4. Manfaat Penelitian ... 10
II. TINJAUAN PUSTAKA... 11
2.1. Pembangunan Berwawasan Lingkungan... 11
2.2. Pengertian Konservasi ... 15
2.3. Konservasi Sumberdaya Alam ... 18
2.4. Peranan Kawasan Konservasi dalam Pembangunan ... 19
2.5. Taman Nasional ... 20
2.6. Urgensi Taman Nasional Batang Gadis ... 21
2.7. Tantangan dan Ancaman Konservasi Taman Nasional Batang Gadis ... 23
2.8. Penataan Kawasan ... 25
2.9. Konservasi Harimau Sumatera ... 28
III. METODOLOGI PENELITIAN ... 32
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 32
3.2. Bahan dan Alat-alat Penelitian ... 34
3.3. Teknik Pengambilan Sampel... 34
3.4. Metode Pengenalan Jenis ... 35
(14)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 38
4.1. Hasil... 38
4.2. Pembahasan ... 45
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 63
5.1. Kesimpulan ... 63
5.2. Saran ... 64
(15)
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1. Rangkuman Foto Harimau, Individu yang Teridentifikasi, Penangkapan
(16)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1. Peta Sebaran Harimau Sumatera... 30 2. Peta Taman Nasional Batang Gadis ... 32 3. Blok Sampling Berukuran 256 km2 (16x16 km) Terletak di Tengah Taman Nasional Batang Gadis. Blok Dibagi Menjadi 16 Sel Berukuran 16 km2
(4x4 km) ... 39 4. Penyebaran Kamera yang Diletakkan Berdasarkan Ketinggian. Segitiga
adalah Jumlah Kamera, Balok Hitam adalah Area Ketinggian di Taman
Nasional, dan Balok Abu-Abu adalah Area Ketinggian di Blok Sampling ... 41 5. Pola Aktivitas Harian dari (A) Harimau (Tidak Ada Pola), (B) Kijang
(Tidak Ada Pola), (C) Beruk (Diurnal), (D) Burung Argus (Diurnal) dan Tapir (Nocturnal) di Taman Nasional Batang Gadis. Jam Setelah Tengah Malam adalah Sumbu X, Jumlah Hewan adalah Sumbu Y... 45 6. Faktor yang Paling Banyak Disebut Responden Sebagai Penyebab
(17)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Jenis-jenis Mamalia di Kawasan Taman Nasional Batang Gadis
dan Sekitarnya ... 73 2. Blok Lokasi Pemasangan Jebakan Kamera di Kawasan Taman Nasional
Batang Gadis dan Sekitarnya ... 76 3. Tabel Data Satwa yang Tertangkap oleh Jebakan Kamera yang Digunakan untuk Memperkirakan Kelimpahan Relatif Harimau, Rusa Sambar, Babi, Kijang, Burung Kuau dan Beruk di Taman Nasional Batang Gadis ... 78 4. Model Prediksi dari Penyebaran Harimau di Taman Nasional Batang Gadis Berdasarkan Ketinggian dan Jarak dari Batas Hutan ... 79 5. Bukti dari Individu Harimau yang Sama yang Terfoto pada Dua Kamera Berbeda yang Diletakkan di Bagian Utara dan Selatan TNBG yang Melintasi Desa dan Jalan Raya ... 80 6. Beberapa Gambar Harimau yang Tertangkap Kamera Selama Penelitian Berlangsung Sejak Februari – Juli 2009 ... 81 7. Arahan Pola Ruang Kabupaten Mandailing Natal dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Mandailing Natal (2008) ... 83 8. Peta Rencana Zonasi Taman Nasional Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal ... 84 9. Peta Usulan Rencana Zonasi Taman Nasional Batang Gadis berdasarkan pada Perkiraan Sebaran Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) ... 85 10. Peta Perkembangan Tata Batas Sementara Taman Nasional Batang Gadis ... 86 11. Peta Penutupan Lahan Taman Nasional Batang Gadis ... 87
(18)
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam, peninggalan sejarah, seni dan budaya, yang sangat besar sebagai daya tarik pariwisata dunia. Ahli biokonservasi memperediksi bahwa Indonesia yang tergolong negara Megadiversity dalam hal keanekaragaman hayati, akan mampu menggeser Brasil sebagai negara tertinggi akan keanekaragaman jenis, jika para ahli biokonservasi terus giat melakukan pengkajian ilmiah terhadap kawasan yang belum tersentuh (BAPPENAS, 1993).
Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) yang baru ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 126/Menhut-II/2004 tanggal 29 April 2004, telah menjadi sebuah khazanah baru bagi kehidupan masyarakat di Kabupaten Mandailing Natal. Taman Nasional Batang Gadis lahir di tengah gerak laju kerusakan hutan hujan tropis hampir di seantero wilayah negeri yang bermula dari inisiatif Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal yang didukung elemen-elemen masyarakat dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Bagi pencinta lingkungan, inisiatif tersebut patut mendapat apresiasi sebagai sebuah terobosan untuk menyelamatkan sumberdaya hutan yang terus menghadapi ancaman kepunahan, dan sekaligus dapat dijadikan modal dasar bagi pembangunan yang berkelanjutan.
Kehadiran Taman Nasional Batang Gadis (TNBG), memiliki arti yang penting bagi nilai konservasi. Dengan posisi hutan yang lestari dan terjaga fungsi ekologisnya (pengatur-iklim, menjaga kesuburan tanah, pengendali tata air), fungsi
(19)
keanekaragaman hayati dan fungsi ekonomi yang berkelanjutan, maka TNBG secara maksimal dapat dimanfaatkan sebagai modal alam tanpa bayar (unchanged natural capital) yang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Insiatif yang telah dilahirkan oleh seluruh stakeholders dalam melahirkan sebuah gagasan yang sangat penting bagi terciptanya pembangunan berkelanjutan di Kabupaten Mandailing Natal adalah awal pekerjaan yang sangat berat. Tantangan kedepan pelestarian ekosistem TNBG adalah bagaimana mengelola TNBG secara bijaksana, sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi tujuan pencapaian pembangunan berkelanjutan, yaitu pembangunan yang menyelaraskan keseimbangan kepentingan sosial budaya, sosial ekonomi dan lingkungan ekologi.
Potensi sumberdaya alam dan budaya yang dimiliki menjadikan Kabupaten Mandailing Natal memiliki peluang sebagai daerah kunjungan yang diperhitungkan di Provinsi Sumatera Utara. Namun dari sisi lain dengan dimilikinya potensi sumberdaya alam tersebut menuntut adanya tanggung jawab yang besar baik oleh pemerintah dan masyarakatnya, agar dapat mempertahankan fungsi (ekologis) dan sekaligus kelestarian manfaat (ekonomis) dari pembangunan yang akan dikembangkan. Sektor kepariwisataan apabila dikembangkan sesuai dengan prinsip-prinsip yang benar tentunya akan memberikan kontribusi bagi penerimaan daerah, serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Perbatakusuma et al, 2005).
Konsep baru yang dipakai dalam pelestarian kawasan konservasi diantaranya menggunakan habitat satwa herbivora besar sebagai kunci dalam mendesain kawasan konservasi dalam skala luas. Pelestarian satwa herbivora besar berkaitan dengan
(20)
komposisi vegetasi, sehingga dapat dijadikan sebagai spesies payung bagi pelestarian fauna dan flora. Dalam konteks ini herbivora besar teresterial yang mendukung upaya pelestarian di TN. Batang Gadis adalah tapir (Tapirus indicus) dan kambing hutan (Capricornis sumatraensis). Kerapatan tapir di hutan primer berbukit dan sedikit terganggu oleh tebang pilih adalah 2,5 individu/km″, σεδανγκαν καmβινγ ηυταν
dengan keterbatasan perjumpaan jejak dan hasil jebakan kamera (camera trapping), populasinya belum dapat diestimasi, namun ada kecenderungan bahwa jenis ini cukup tersebar rata di TN. Batang Gadis.
Meskipun sebagian besar jenis satwa yang dilaporkan Rijksen et al, (1999) di kawasan belantara Angkola ditemukan di areal ini, namun beberapa jenis belum dapat dipastikan keberadaannya di TN. Batang Gadis, yaitu orangutan Sumatera (Pongo abelii) dan badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis). Survei berhasil menambah catatan keberadaan avifauna di TN. Batang Gadis dari 149 jenis menjadi menjadi 247 jenis burung. Catatan sebelumnya untuk seluruh daerah hutan belantara Angkola adalah 57 jenis (Rijksen et al, 1999; 2001). Dari 247 jenis tersebut, 47 merupakan jenis burung yang dilindungi di Indonesia, tujuh jenis secara global terancam punah, 12 jenis mendekati terancam punah. Dari total jenis burung yang ditemukan 13 jenis merupakan burung yang memberi kontribusi pada terbentuknya Daerah Burung Endemik (endemic bird areas), seperti srigunting Sumatera (Dicrurus sumatranus) dan sempidan Sumatera (Lophura inornata) dan Daerah Penting bagi Burung (important bird areas), seperti paok Schneider (Pitta schneideri), sepah gunung (Pericrocotus miniatus), sempidan Sumatera (Lophura inornata), kuau-kerdil
(21)
Sumatera (Polyplectron chalcurum), tokhtor kopua (Carpococcyx viridis), ciung-mungkal Sumatera (Cochoa beccarii) dan meninting kecil (Enicurus velatus). Juga ditemukan dua jenis burung yang akibat terbatasnya informasi mengenai keberadaan jenis tersebut di dunia, dalam kriteria status flora dan fauna menurut IUCN dikategorikan sebagai ‘κεκυρανγαν δατα’ (data deficient), yaitu sikatan bubik (Muscicapa dauurica) dan kutilang gelambir biru (Pycnonotus nieuwenhuisii).
Dibandingkan dengan kawasan konservasi lain di Sumatera yang memiliki luas yang hampir sama, kekayaan jenis burung di TN. Batang Gadis tergolong sangat tinggi. Sebagai perbandingan, di kawasan Tesso Nilo seluas 188 ribu hektar tercatat 114 jenis (Prawiradilaga et al, 2003), sedangkan di TN Bukit Tigapuluh yang luasnya 127 ribu hektar tercatat 193 jenis (Prawiradilaga et al, 2003). Jumlah jenis yang tercatat di TN. Batang Gadis hanya selisih sedikit dari TN. Bukit Barisan Selatan yang luasnya sekitar tiga kali lipat (356 ribu hektar), yakni 276 jenis (O’Βριεν ανδ
Kinnaird, 1996). Dengan 247 jenis yang tercatat, berarti TN. Batang Gadis merupakan habitat bagi sekitar 40% jenis burung yang tercatat di Sumatera yang menurut pangkalan data Bird Life berjumlah 602 jenis atau 609 jenis menurut Holmes dan Rombang (2001) dalam Perbatakusuma et al, (2006).
Selain jumlah total jenis burung yang tinggi tercatat juga kekayaan jenis dari beberapa kelompok burung tertentu yang keberadaannya sangat tergantung pada kondisi habitat alami yang masih baik. Kelompok jenis-jenis burung seperti rangkong dari keluarga Bucerotidae, tercatat 8 jenis di TN. Batang Gadis atau 90% dari jenis rangkong yang ditemukan di Pulau Sumatera, diantaranya rangkong badak (Buceros
(22)
rhinoceros), enggang gading (Buceros vigil) dan julang emas (Aceros undulatus), takur (keluarga Capitonidae, tercatat 5 jenis), pelatuk (Picidae, tercatat 12 jenis), dan luntur (Trogonidae, tercatat 3 jenis) dikenal sebagai burung-burung yang keberadaannya bergantung pada keberadaan hutan (forest-dependent birds). Sebaliknya, keberlanjutan fungsi hutan juga sangat dipengaruhi oleh keberadaan jenis-jenis burung seperti rangkong, yang dikenal sebagai penyebar biji-bijian tumbuhan hutan sehingga dapat membantu memperkaya keanekaragaman hayati dan regenerasi di kawasan hutan alam.
Keberadaan pedendang kaki-sirip (Heliopais personata) yang keberadaannya di Sumatera selama ini masih belum meyakinkan (MacKinnon et al, 1993) juga berhasil direkam dalam bentuk foto. Sementara itu, dua buah gambar elang terbang yang sangat menyerupai rajawali totol (Aquila clanga) juga berhasil diambil dengan kamera di daerah survei. Jenis elang ini di Sumatera selama ini baru tercatat sekali, yakni di daerah Sumatera Selatan (Holmes, 1996). Sementara itu, dalam waktu yang relatif singkat, dengan perangkap kamera telah berhasil didokumentasikan adanya kambing hutan (Capricornis sumatraensis), kucing emas (Catopuma temminckii), dan harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae). Kambing hutan dan kucing emas merupakan dua jenis satwa langka yang selama ini sangat jarang ditemukan di hutan alam, bahkan oleh mereka yang telah bertahun-tahun mengoperasikan perangkap kamera di Pulau Sumatera.
Lebih jauh, hasil kajian mengarahkan pada dugaan sementara bahwa ekosistem TN. Batang Gadis kemungkinan merupakan zona hibridisasi
(23)
(pertemuan/persilangan) dari jenis-jenis satwa khas Sumatera bagian Selatan, Utara dan Timur. Hal itu sangat dimungkinkan karena secara biogeografis letak TN. Batang Gadis diantara Unit Zoogeografi Danau Toba bagian selatan yang berbatasan langsung dengan unit-unit zoogeografi Danau Toba bagian utara, Pasaman dan Barumun–Rokan. Pengamatan sekilas mengindikasikan adanya variasi morfologi/ warna beberapa jenis satwa di sana dibanding dengan jenis yang sama di tempat lain, baik di Sumatera maupun di Indonesia. Sebagai contoh, jenis simpai/lutung/rekrek (Presbytis sp.) yang menghuni di TN. Batang Gadis ternyata tidak sama dengan yang diilustrasikan dalam berbagai publikasi dan buku panduan lapangan yang ada. Pola warna rekrek/lutung di TN. Batang Gadis cenderung lebih menyerupai kombinasi pola warna antara tiga jenis Presbytis yang hidup di daerah lain yang pernah diteliti, yakni P. thomasi, P. femoralis dan P. melalophos. Seperti diketahui, P. thomasi selama ini diyakini sebarannya ke bagian Selatan Pulau Sumatera tidak melampaui Danau Toba, sedangkan P. femoralis di Sumatera hanya di bagian daratan dan pulau-pulau sebelah Timur Riau (Supriatna dan Wahyono, 2000). Hal serupa juga terjadi pada jenis ungko/wau-wau/sarudung (Hylobates sp.). Pengamatan sekilas mengindikasikan bahwa jenis yang ada di TN. Batang Gadis adalah H. agilis yang lebih bervariasi dan memungkinkan terjadinya hibridisasi. Sejauh ini daerah Dairi diketahui sebagai mintakat hibridisasi antara H. lar dengan H. agilis (Gittins, 1978). H. agilis selama ini dipercaya sebarannya di Sumatera ke Utara tidak melewati Danau Toba, sedangkan H. lar di Sumatera sebarannya ke Selatan tidak melewati Danau Toba (Supriatna dan Wahyono, 2000). Semua itu semakin mengukuhkan pentingnya
(24)
pelestarian kawasan itu bagi kepentingan biodiversitas global atau melindungi nilai ekonomis jasa lingkungan bagi masyarakat yang lebih luas yang tidak semata-mata hanya mengatur tata air bagi Kabupaten Mandailing Natal, tapi juga bagi masyarakat konservasi internasional (Lampiran 1).
Hasil kajian ekologi menunjukkan perlindungan jenis satwa di TN. Batang Gadis menjadi penting karena terkait dengan perlindungan sistem penyangga kehidupan. Eksistensi jenis satwa payung maupun jenis satwa kharismatik, seperti harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), beruang madu (Helarctos malayanus), kambing hutan (Capricornis sumatraensis) ataupun tapir (Tapirus indicus) membutuhkan kondisi hutan alam yang utuh dengan luasan tertentu untuk mereka dapat bertahan hidup dalam jangka panjang. Ini berarti dengan melindungi tempat hidup mereka, yaitu tutupan hutan alam sekaligus jasa-jasa ekologis hutan alam dan hasil hutan bukan kayu dapat terjaga, seperti sumber air, pencegah erosi/banjir atau keseimbangan iklim dan potensi wisata alam.
Saat ini masalah utama dalam perlindungan dan pengelolaan TNBG adalah menemukan jawaban yang realistis terhadap begitu banyaknya ancaman terhadap kawasan konservasi, dan untuk mengurangi tekanan terhadap TNBG, sehingga terlindunginya nilai-nilai kualitas utama TNBG yang dinyatakan dengan istilah-istilah seperti keanekaragaman biota dan ekosistem, sumber daya nuftah, nilai-nilai daerah aliran sungai dan simpanan karbon, potensi untuk ekowisata, nilai penunjang budidaya, pendidikan dan penelitian. Suatu jawaban yang tidak menganggap
(25)
konservasi dan pembangunan ekonomi sebagai dua hal yang terpisah dan bahkan saling bertentangan.
Masalah paling mendesak yang menuntut perhatian utama dalam pelestarian dan perlindungan TNBG adalah menangkal pengaruh-pengaruh yang mengarah pada kepunahan dan hilangnya keanekaragaman biologis dan hilangnya pemeliharaan terhadap proses-proses ekologis dari TNBG, seperti pembunuhan fauna flora berlebihan, kehancuran dan fragmentasi habitat alami, pencemaran, masuknya jenis-jenis asing dan kepunahan sekunder (ripple effect), akibat adanya kepunahan spesies asli. Ancaman kepunahan tersebut sebagian besar sangat dipengaruhi oleh kegiatan perekonomian masyarakat di Kawasan Budidaya. Karena pada kenyataannya dengan panjang batas TNBG termasuk batas enclave yang diperkirakan sepanjang ± 280,32
km tersebut, sebagian besar kawasan TNBG atau sekitar 80–90% bersinggungan langsung dengan kawasan budidaya, seperti lahan pertanian masyarakat, eksplorasi pertambangan emas, Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan perkebunan besar swasta.
Masalah-masalah yang disebutkan di atas diperparah dengan belum cukupnya ruang partisipasi dari masyarakat setempat dan pemerintah daerah dalam perencanaan dan pengelolaan dari sumber daya alam milik umum, di luar kawasan TNBG untuk mendukung kelestarian TNBG. Selain itu, kurang adanya hak kepemilikan dan hak penggarapan lahan yang jelas bagi masyarakat setempat akan mengakibatkan hilangnya keperdulian, perhatian dan peran serta masyarakat setempat terhadap pelestarian dan penipisan sumber daya alam, spekulasi dan eksploitasi tanah.
(26)
Berdasarkan hal tersebut perlu suatu penelitian mengenai keberadaan dan penyebaraan stawa langka yang dilindungi khususnya harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di kawasan Taman Nasional Batang Gadis sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam rencana pengelolaan dan zonasi taman nasional.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah yang ada, bahwa harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) sebagai satwa langka yang terancam punah yang keberadaan dan penyebarannya di Taman Nasional Batang Gadis masih belum diketahui secara pasti. Selain itu juga bahwa pada saat ini TNBG masih menghadapi berbagai masalah yang berkaitan dengan pelestarian potensi sumberdaya alamnya. TNBG masih menghadapi ancaman berupa penebangan liar, pemanfaatan kawasan konservasi untuk perladangan dan berbagai masalah yang bermuara dari kondisi sosial ekonomi penduduk dan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap fungsi dari taman nasional.
Bertolak dari pemaparan yang dikemukakan, maka perumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut: “Bagaimana penyebaran Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam rencana pengelolaan dan zonasi Taman Nasional Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal?”.
(27)
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah:
1. Mengetahui keberadaan dan penyebaran harimau Sumatera di Taman Nasional Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal.
2. Mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam rencana pengelolaan dan zonasi di Taman Nasional Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal.
3. Memberikan masukan awal untuk penyusunan rencana pengelolaan dan zonasi Taman Nasional Batang Gadis.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat digunakan sebagai:
1. Penelitian ini diharapkan dapat mendokumentasikan keanekaragaman hayati (khususnya harimau Sumatera sebagai salah satu satwa langka) yang ada di Taman Nasional Batang Gadis dan sekitarnya.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk memperkaya khasanah penelitian bagi pengembangan dan pengelolaan.
(28)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan Berwawasan Lingkungan
Pembangunan berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya manusia dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Pembangunan berwawasan lingkungan telah diamanatkan sejak diterbitkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 diperbaharui dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997. Akan tetapi, perbaikan kualitas lingkungan hidup masih belum mengalami kemajuan yang berarti bahkan sebaliknya degradasi lingkungan semangkin meningkat. Hal ini ditandai dengan penurunan kualitas air dan udara serta kerusakan tanah, hutan, flora dan fauna, pantai dan pencemaran laut dengan berbagai implikasinya terhadap masalah sosial. Permasalahan ini merupakan salah satu cerminan bahwa pembangunan berkelanjutan belum dapat diimplementasikan sebagaimana yang diharapkan.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 44 Tahun 2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Sumatera Utara, menyatakan bahwa luas kawasan hutan di Sumatera Utara seluas ± 3.742.120 (τιγα ϕυτα τυϕυη ρατυσ εmπατ
puluh dua ribu seratus dua puluh) hektar dengan rincian menurut fungsi hutan dengan luas sebagai berikut:
a. Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam : ± 477.070 Hektar
(29)
c. Hutan Produksi Terbatas : ± 879.270 Hektar
d. Hutan Produksi Tetap : ± 1.035.690 Hektar
e. Hutan Produksi yang dapat dikonversi : ± 52.760 Hektar
Jumlah : ± 3.742.120 Hektar
Oleh sebab itu untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi dalam kaitan implementasi program pembangunan berkelanjutan di daerah secara garis besar perlu dianalisis tentang zonasi dan kriteria teknis pemanfaatan sumberdaya alam pada suatu ekosistem, pengawasan dan penegakan hukum, serta kelembagaan dan peran serta masyarakat.
Diantara prinsip-prinsip dasar (azas) yang diamanahkan dalam UU No. 26 Tahun 2007 dalam penyelenggaraan penataan ruang adalah “βερκελανϕυταν” dan
“περλινδυνγαν κεπεντινγαν υmum”. Βerkelanjutan di sini adalah penataan ruang
dapat memberikan jaminan bagi kelestarian kemampuan daya dukung sumberdaya alam dengan memperhatikan kepentingan lahir dan batin antar generasi, sedangkan yang dimaksud dengan “πελινδυνγαν κεπεντινγαν υmυm” αδαλαη πενατααν ρυανγ
diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat. Dengan demikian visi pada aspek keberlanjutan lingkungan hidup (environmental sustainability) merupakan salah satu prinsip yang inheren dan pelestarian lingkungan hidup menjadi salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam penataan ruang.
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 juga menegaskan bahwa diantara aspek penting yang harus ada dalam muatan penataan ruang wilayah kabupaten adalah rencana pola ruang wilayah kabupaten yang salah satunya meliputi kawasan lindung
(30)
kabupaten dan penetapan kawasan strategis kabupaten. Salah satu tujuan penataan ruang adalah terselenggaranya pemanfaatan ruang yang berwawasan lingkungan dan pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung yang dimaksudkan sebagai bentuk-bentuk pengaturan pemanfaatan ruang untuk upaya konservasi, rehabilitasi, penelitian, pendidikan, obyek wisata lingkungan dan pemanfataan yang lestari lainnya (Lampiran 7). Sedangkan tujuan pengaturan ruang kawasan lindung sendiri adalah tercapainya tata ruang kawasan lindung secara optimal dan meningkatnya fungsi kawasan lindung.
Beberapa pokok materi penataan ruang yang terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK), yaitu:
(1) Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten mengacu pada (Pasal 25 ayat 1a):
a. Rencana tata ruang wilayah nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi.
b. Rencana pembangunan jangka panjang daerah (RPJP). (2) RTRW Kabupaten memuat (Pasal 26 ayat 1):
a. Tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah kabupaten. b. Rencana struktur wilayah kabupaten, meliputi sistem perkotaan
di wilayahnya yang terkait dengan kawasan pedesaan dan sistem jaringan prasarana wilayah kabupaten.
c. Rencana pola ruang wilayah kabupaten yang meliputi kawasan lindung kabupaten dan kawasan budidaya kabupaten.
(31)
d. Penetapan kawasan strategis kabupaten.
e. Arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan.
f. Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
Salim (1985), merumuskan pola pembangunan berkelanjutan (sustainable development) mencakup segi tiga dimensi ekonomi, sosial politik dan lingkungan hidup. Ketiga dimensi ditanggapi secara serentak dalam kebijakan dan pengelolaan pembangunan. Setiap dimensi punya sasaran kegiatan yang benang merah, pertama adalah sustainabilitas ekonomi, sosial politik dan lingkungan hidup dengan ciri-ciri:
1) Sustainabilitas ekonomi memuat proses ekonomi dan pertumbuhan produktivitas secara berlanjut (steady) dengan kapabilitas ekonomi dan pertumbuhan produktivitas yang memperkaya kualitas kehidupan manusia dengan tolok ukur adalah pertumbuhan, pemerataan dan efisiensi.
2) Sustainabilitas sosial politik, memuat proses perkembangan masyarakat dengan perimbangan kekuasaan antara penguasa dengan trias politiknya, pengusaha tanpa unsur monopoli, serta masyarakat madani yang berdaya diri membangun secara mandiri peningkatan kesejahteraan. Tolok ukurnya adalah pemberdayaan, partisipasi, mobilitas sosial, keterikatan sosial, identitas budaya dan kelembagaan.
(32)
3) Sustainabilitas lingkungan memuat keberlanjutan fungsi ekosistem dalam menopang sistem kehidupan alami menghidupi seluruh komponen lingkungan termasuk manusia. Tolok ukur dimensi ekologi adalah integrasi ekosistem, daya dukung lingkungan, keanekaragaman hayati dan isu global.
Pemanfaatan sumberdaya di setiap kawasan ruang berdasarkan kriteria teknis dan ekosentris; Pengkajian dampak lingkungan dan upaya pengendalian terhadap kegiatan yang berdampak penting dengan memperhitungkan azas manfaat, pemerataan dan budaya masyarakat lokal; Pengawasaan dan penegakan hukum, serta Berfungsinya kelembagaan dan peran serta masyarakat dalam pengendalian dalam lingkungan hidup (Perbatakusuma et al, 2005).
2.2. Pengertian Konservasi
Menurut kamus Bahasa Indonesia kontemporer (Salim dan Salim, 1991), Konservasi adalah pemeliharaan dan perlindungan terhadap sesuatu yang dilakukan secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan cara pengawetan. Pengertian konservasi sumberdaya alam menurut Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997 adalah pengelolaan sumberdaya alam yang menjamin pemantapannya secara bijaksana dan bagi sumberdaya terbaharui untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya. Berdasarkan
(33)
hal tersebut maka yang dimaksud dengan konservasi adalah suatu upaya pengelolaan sumberdaya alam yang menjamin:
1. Perlindungan terhadap berlangsungnya proses-proses ekologis dan sistem penyangga kehidupan, seperti perlindungan terhadap siklus udara, air, tanah sistem hidrologis dan lainnya.
2. Pengawetan sumberdaya alam dan keanekaragaman sumber plasma nutfah, seperti pengawetan tanah, air flora dan fauna dan lainnya.
3. Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam dan lingkungan seperti penggunaan lahan.
Menurut UU RI No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, konservasi sumberdaya alam hayati adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
Konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya sehingga dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia (Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1990). Di mana konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya adalah kebijakan nasional yang didukung oleh peraturan perundangan (Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 yang dijabarkan melalui Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998, Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999) dan diperkuat dengan Undang-Undang
(34)
Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa mengenai Keanekaragaman Hayati, yang mana undang-undang ini terlahir sebagai dampak meratifikasi konvensi keanekaragaman hayati. Konvensi tersebut menimbulkan hak dan kewajiban bagi semua warga tidak terkecuali melaksanakan aturan yang telah ditetapkan dalam konvensi.
Seiring dengan perkembangan dinamisasi kehidupan dan pemerintahan, maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kehutanan mengalami penyempurnaan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-undang ini menjadi dasar dan patokan Departemen Kehutanan dalam menentukan arah kebijakan dalam pengelolaan kehutanan di Indonesia. Departemen Kehutanan dalam mengatur pengelolaannya dalam tataran pelaksanaan kegiatannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002.
Dengan berpijak pada aturan perundang-undangan, Departemen Kehutanan mengarahkan kebijakan yang kemudian lahir kebijakan prioritas pembangunan kehutanan. Sesuai kebijakan prioritas Menteri Kehutanan Nomor 456/Kpts-II/2004, Kebijakan Pembangunan Prioritas Kehutanan tahun 2004-2009 diarahkan pada: 1. Pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu ilegal. 2. Revitalisasi sektor kehutanan, khususnya industri kehutanan.
3. Rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan.
4. Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan. 5. Pemantapan kawasan hutan.
(35)
2.3. Konservasi Sumberdaya Alam
Konservasi sumberdaya alam di Indonesia sudah dimulai sejak zaman Belanda, namun pada tahun 1967 Negara Republik Indonesia baru menetapkan Undang-Undang tentang Pokok Kehutanan yang di dalamnya antara lain mengatur bentuk-bentuk kawasan perlindungan alam yakni hutan lindung, cagar alam, suaka marga satwa, taman wisata, dan taman buru dan sejak itulah konservasi sumberdaya alam dikembangkan.
Pada tahun 1970-an, konservasi sumberdaya alam di Indonesia berkembang lagi dan memiliki strategi baru yang bertujuan untuk:
1. Memelihara proses ekologi yang penting dan sistem penyangga kehidupan.
2. Menjaga keanekaragaman genetik.
3. Pelestarian pemanfaatan jenis dan ekosistem.
Kebijakan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku (terutama Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya) dan menginduk pada kebijakan Departemen Kehutanan. Kebijakan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam periode 2005-2009 adalah:
1. Memantapkan pengelolaan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, terutama harus jelas batas, kriteria, norma dan standar pengelolaan kawasan.
(36)
2. Memantapkan perlindungan hutan dan penegakan hukum.
3. Mengembangkan secara optimal pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan prinsip kelestarian.
4. Mengembangkan kelembagaan dan kemitraan dalam rangka pengelolaan, perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
2.4. Peranan Kawasan Konservasi dalam Pembangunan
Pembangunan adalah proses yang berjalan terus-menerus dan untuk mencapai hasil optimal, maka segala sumber pembangunan yang tersedia perlu digunakan secara terencana dan dengan memperhatikan skala prioritas pada setiap kurun waktu yang tertentu. Salah satu sumberdaya pembangunan adalah sumberdaya alam (Suparmoko, 1994).
Dalam memanfaatkan sumberdaya alam di samping harus berdaya guna, juga harus terpelihara secara lestari bagi pembangunan nasional yang akan berguna sepanjang kehidupan manusia, peranan konservasi sangat berarti dalam menunjang pembangunan, adapun peranan atas kawasan konservasi dalam pembangunan menurut Soemarja (1988) meliputi:
1. Menyelamatkan usaha pembangunan dan hasil-hasil pembangunan. 2. Pengembangan ilmu pengetahuan.
3. Pengembangan kepariwisataan dan peningkatan devisa. 4. Pendukung pembangunan bidang pertanian dan perkebunan. 5. Sebagai keseimbangan lingkungan hidup.
(37)
6. Manfaat bagi kehidupan manusia.
Kendala dalam mewujudkan konservasi tersebut lebih lanjut Soemarja (1988), mengatakan:
1. Masih tingginya ketergantungan penduduk kepada sektor pertanian. 2. Masih kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya konservasi. 3. Kurangnya dana untuk pengelolaan.
4. Tumpang tindihnya kepentingan konservasi dengan pembangunan lainnya.
2.5. Taman Nasional
Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu- pengetahuan, pendidikan, menunjang budi daya, pariwisata dan rekreasi (UU No. 5 Tahun 1990).
IUCN (1994) mendefinisikan Taman Nasional sebagai daerah yang berupa daratan atau lautan, yang didesain untuk: (a) memelihara keutuhan ekologi dari satu atau lebih ekosistem bagi generasi kini dan masa depan, (b) melarang kegiatan eksploitasi atau pekerjaan yang bertentangan dengan maksud dan tujuan taman nasional dan (c) menyiapkan dasar bagi rohani, kegiatan ilmiah, pendidikan, rekreasi dan kesempatan pengunjung yang semuanya harus sesuai lingkungan dan budaya.
Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan taman nasional dikategorikan sebagai kawasan lindung, merupakan satu
(38)
komponen yang menyusun suatu pola keruangan berdasarkan fungsi utama kawasan. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan.
2.6. Urgensi Taman Nasional Batang Gadis
Pembangunan TN. Batang Gadis seiring dengan pembangunan Kehutanan yang mengacu pada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD RI 1945) yang bertujuan untuk mendapatkan sebesar-besarnya manfaat bagi kesejahteraan rakyat dengan mengkonservasi dan melestarikan fungsi hutan. Untuk memenuhi maksud tersebut, dilakukan kegiatan kegiatan yang menekankan konservasi sumberdaya alam dan pengawetan jasa lingkungan. Di samping itu juga memuat kegiatan-kegiatan yang meningkatkan kesadaran dan kesejahteraan masyarakat; meningkatkan peluang kerja/usaha; meningkatkan pendapatan negara dan daerah; dan meningkatkan pembangunan daerah.
Untuk menjamin hal tersebut berjalan diperlukan dukungan peraturan perundang-undangan yang merupakan turunan dari Undang-Undang Dasar 1945. Peraturan perundang-undangan nasional dan daerah, kebijakan kehutanan khususnya yang terkait dengan konservasi sumberdaya alam, kebijakan dalam penataan ruang dan pengembangan wilayah, dan terutama kebijakan tentang pengelolaan Taman Nasional Batang Gadis (Perbatakusuma et al, 2005).
(39)
Kawasan hutan alam seluas 108.000 hektar di Kabupaten Mandailing Natal atas prakarsa dan dorongan komitmen kuat dari Pemerintah Daerah dan masyarakat telah ditunjuk sebagai Kawasan Pelestarian Alam dengan nama Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) oleh Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.126/Menhut-II/2004. Saat ini pengelolaannya dilakukan oleh Balai Taman Nasional Batang Gadis. Komitmen politik Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal tersebut perlu dilanjutkan dengan berbagai upaya kontruktif guna mendukung kelestarian taman nasional, agar kemanfaatan jangka panjangnya dapat memenuhi kebutuhan lintas generasi.
Dari hasil penelitian yang dilakukan Conservation International Indonesia (Midora, 2006), berdasarkan hasil analisis dari manfaat dan biaya ekonomi menunjukkan bahwa pilihan menetapkan kebijakan konservasi TNBG merupakan pilihan yang tepat untuk Kabupaten Mandailing Natal, karena memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar, jika dibandingkan dengan manfaat dari kegiatan-kegiatan yang bersifat ekstraktif dan lebih banyak pihak yang diuntungkan secara ekonomi, seperti masyarakat setempat yang tergantung pada sektor pertanian, pemerintah daerah, pihak swasta penyelenggara pariwisata dan komunitas internasional.
Diperkirakan nilai manfaat ekonomi bersih atau subsidi ekologis dari adanya pembentukan Kawasan TNBG adalah sebesar Rp. 67 Triliun. Diperkirakan nilai manfaat ekonomi dari pembentukan TNBG sebesar Rp. 66,8 Triliun. Nilai ini meliputi nilai pemanfaatan alternatif berupa manfaat pilihan potensi ekowisata (Rp. 64 Triliun), dan manfaat tidak langsung berupa Daerah Aliran Sungai (Rp. 24,8 Milyar) dan simpanan karbon (Rp. 2,1 Triliun), serta manfaat non konsumtif
(40)
keanekaragaman hayati (Rp. 809 Milyar). Sedangkan, nilai kerugian ekonomi yang ditimbulkan dengan adanya TNBG, sebagai akibat hilangnya nilai pemanfaatan kuantitatif berupa hasil hutan kayu, hasil hutan non kayu dan biaya pengelolaan taman nasional diperkirakan sebesar Rp. 0,203 Triliun. Nilai manfaat ekonomi bersih TNBG akan lebih besar, karena belum mencakup nilai manfaat ekonomi dari hasil hutan non kayu lainnya berupa sarang burung walet dan nilai kerugian yang ditimbulkan kegiatan ekstraktif eksploitasi pertambangan emas (Midora, 2006).
2.7. Tantangan dan Ancaman Konservasi Taman Nasional Batang Gadis
Saat ini masalah utama dalam perlindungan dan pengelolaan TNBG adalah menemukan jawaban yang realistis terhadap begitu banyaknya ancaman terhadap kawasan konservasi, dan untuk mengurangi tekanan terhadap TNBG, sehingga terlindunginya nilai-nilai kualitas utama TNBG yang dinyatakan dengan istilah-istilah seperti keanekaragaman biota dan ekosistem, sumber daya nutfah, nilai-nilai daerah aliran sungai dan simpanan karbon, potensi untuk ekowisata, nilai penunjang budidaya, pendidikan dan penelitian. Suatu jawaban yang tidak menganggap konservasi dan pembangunan ekonomi sebagai dua hal yang terpisah dan bahkan saling bertentangan (Perbatakusuma et al, 2005).
Ancaman terhadap keberlangsungan TN. Batang Gadis berasal dari aktivitas masyarakat yang dilatarbelakangi oleh faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya. Untuk memahami permasalahan gangguan dan ancaman di TN. Batang Gadis diperlukan pengkajian aspek ekologi, sosial, ekonomi dan politik. Kajian ini diawali
(41)
dengan mengidentifikasi tekanan yang dialami kawasan yang dapat menyebabkan perubahan kawasan. Selanjutnya setelah diketahui tekanan apa yang dialami kawasan TN. Batang Gadis, dilanjutkan dengan identifikasi sumber tekanan kawasan tersebut. Selanjutnya dengan berpatokan pada analisis ekologi tekanan dan sumber tekanan tersebut dilakukan pengkajian untuk mendapatkan dugaan besarnya ancaman (Perbatakusuma et al, 2005).
Identifikasi tekanan kawasan dilakukan dengan diskusi dengan masyarakat, koordinasi dengan instansi terkait, data mengenai kerusakan kawasan dan pengamatan langsung (Perbatakusuma et al, 2005). Di TN. Batang Gadis diketahui tekanan terhadap kawasan adalah:
1. Pembukaan lahan pertanian dan pemukiman. 2. Perambahan hutan.
3. Penebangan liar.
4. Rencana pengembangan dan pengelolaan tambang.
5. Pembuatan jalan poros penghubung daerah Pantai Barat dengan pusat pengembangan ekonomi.
6. Pengambilan hasil hutan non kayu. 7. Pengembangan wisata alam. 8. Perburuan satwa.
9. Tumpang tindih kawasan dengan perusahaan tambang PT. Sorik Mas Mining. 10.Enklave Batahan.
(42)
Dengan mengetahui seberapa besar ancaman maka akan menjadi dasar dalam penentuan peringkat prioritas kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi atau meniadakan ancaman ataupun mengubah ancaman menjadi peluang (Perbatakusuma et al, 2005). Dari telaah di atas, dihasilkan langkah strategi untuk meminimalisasi ancaman adalah sebagai berikut:
1. Melakukan penegakan keamanan untuk pemutusan rantai jual beli serta pengangkutan kayu yang berasal dari kawasan.
2. Penyelesaian konflik dengan mempertegas legalitas bagi perusahaan tambang PT. Sorek Mas Mining.
3. Peningkatan pandapatan masyarakat dengan pengembangan ekonomi
alternatif dan pendampingan.
4. Pengaktifan dan mengembangkan hutan rakyat untuk memenuhi kebutuhan kayu dan peningkatan pendapatan masyarakat.
5. Peningkatan kegiatan sosialisasi dan penyuluhan. 6. Pengamanan dan perlindungan kawasan.
7. Mempercepat tata batas dan penataan kawasan.
2.8. Penataan Kawasan
Penataan Zonasi TN. Batang Gadis akan dilakukan dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan
(43)
Pelestarian Alam dan Kawasan Suaka Alam serta Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional.
a. Penilaian Potensi Kawasan
Fungsi dari kawasan pelestarian alam adalah sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan; pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya; serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Berdasarkan hal tersebut, maka TN. Batang Gadis yang dikelola secara zonasi dilakukan penilaian potensi untuk dasar penentuan zonasi kawasan dengan mengacu pada aspek ekologis, teknis, sosial ekonomi, pengambangan wilayah dan kebijakan pemerintah. Dengan demikian diperlukan kegiatan penilaian potensi kawasan yang mencakup potensi potensi di bawah ini:
1) Potensi keanekaragaman hayati. 2) Potensi pemanfaatan wisata. 3) Potensi pemanfaatan tradisional. 4) Potensi terjadinya konflik kepentingan. 5) Potensi pengembangan ilmu pengetahuan. 6) Potensi masalah dan sumbernya.
7) Tingkat ketergantungan masyarakat sekitar hutan dengan TN. Batang Gadis. 8) Dukungan instansi dan lembaga lain yang terkait serta dukungan kebijakan.
(44)
b. Penentuan Kriteria
Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2006, taman nasional dikelola secara zonasi. Adapun zona yang terdapat di dalam taman nasional adalah: zona inti; zona pemanfaatan; zona rimba; dan atau zona lain yang ditetapkan Menteri Kehutanan berdasarkan kebutuhan pelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Suatu kawasan ditetapkan menjadi suatu zona setelah memenuhi kriteria yang telah ditentukan:
1) Zona inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota atau fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati.
2) Zona rimba, untuk wilayah perairan laut disebut zona perlindungan bahari adalah bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan.
3) Zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya.
4) Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam.
(45)
5) Zona rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional yang karena mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan.
6) Zona religi, budaya dan sejarah adalah bagian dari taman nasional yang di dalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah.
7) Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik.
2.9. Konservasi Harimau Sumatera
Konservasi harimau (Panthera tigris) memberikan manfaat kepada komunitas alam secara tidak langsung di luar jenis mereka (Panwar, 1987). Di beberapa negara di Asia, harimau digunakan sebagai spesies penanda bagi konservasi keanekaragaman hayati (Rabinowitz, 1991). Tetapi, sudah lebih dari satu abad semenjak harimau digolongkan dalam satwa yang terancam punah (IUCN, 2004) dan populasi harimau terus menurun di semua jenis. Penurunan ini disebabkan adanya perdagangan bagian tubuh harimau untuk pengobatan tradisional, harimau banyak dibunuh karena reputasinya sebagai pembunuh manusia (Weber and Rabinoviz, 1996), melegalkan
(46)
pembasmian ‘ηαριmαυ βερmασαλαη’ διικυτι ολεη αδανψα κονφλικ ηαριmαυ δαν mανυσια
(Tilson et al. 1994; Seidensticker et al, 1999), pengurangan jumlah spesies mangsa oleh pemburu liar (Seidensticker, 1986; Karanth and Stith, 1999), dan peningkatan kerusakan habitat alaminya (Wikramanayake et al, 1998; Nowell & Jackson, 1996; Weber & Rabinowitz, 1996).
Secara historis Indonesia memiliki tiga subspesies harimau, tetapi spesies Jawa P.t. sondaica dan spesies Bali P.t. balika sudah lama punah (Seidensticker, 1986; Seidensticker et al, 1999).
Sekarang ini, hanya subspesies Sumatera, P.t. sumatrae yang bertahan dalam populasi yang terisolir di seluruh Sumatera (Tilson et al, 1994; Seidensticker et al, 1999). Pada tahun 1978, populasi harimau Sumatera diperkirakan tinggal 1000 ekor, berdasar respons kuesioner (Borner, 1978). Tahun 1985, pada 26 area yang dilindungi, ditemukan adanya harimau, dan total populasi pada lokasi-lokasi tersebut kurang lebih 800 harimau (Santiapillai and Ramono, 1987). Pada tahun 1992, analisis kelangsungan hidup (viability) populasi dan habitat (Population and Habitat Viability Analysis/PHVA) harimau Sumatera, memperkirakan kurang lebih 400 – 500 harimau tinggal di taman nasional dan area lain yang tidak dilindungi (Tilson et al, 1994). Santiapilla and Ramono (1987) memperkirakan kepadatan harimau Sumatra adalah 1 ekor per 100 km2 di daerah pegunungan dan 1-3 ekor per km2 di dataran rendah. Peta sebaran harimau Sumatera dapat dilihat Gambar 1.
(47)
Gambar 1. Peta Sebaran Harimau Sumatera (Sanderson et al, 2006)
Penelitian terbaru telah menemukan melimpahnya jumlah harimau dan predator yang serupa berkorelasi positif dengan dengan kepadatan varietas binatang berkuku tunggal, utamanya rusa (Seidensticker, 1986; Sunquist et al, 1999). Di Sumatra, harimau biasanya memangsa banyak jenis rusa (Cervus unicolor) dan jenis babi (Sus scrofa) (Seidensticker, 1986). Beberapa hasil penelitian telah melaporkan penurunan populasi mamalia bertubuh besar sebagai hasil dari tekanan perburuan skala kecil (Peres, 1990; FitzGibbon et al, 1995; Peres, 2000). Biomasa satwa liar biasanya terkumpul di area di mana terdapat sejarah panjang perburuan, pemukiman manusia, dan kegiatan bercocok tanam (Jorgensen, 2000). Kinnaird et al,
(48)
(2003) menginterpretasikan kecenderungan dari tiga jenis mamalia terancam punah, harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), gajah (elephas maximus), dan badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), yang menghuni daerah tengah hutan (interior) yang merupakan penghindaran dari aktivitas manusia yang biasanya terdapat di tepian hutan.
(49)
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Taman Nasional Batang Gadis dan sekitarnya di Kabupaten Mandailing Natal yang terletak di 99° 12∋ 45∀ κε Τιmυρ ηινγγα 99° 47∋
10" , dan 0° 27∋ 15” ηινγγα 1° 01∋ 57∀ κε Utara, dengan ketinggian antara 300 dan 2145 meter di atas permukaan laut (Sorik Gunung Merapi) (Gambar 2).
(50)
Penelitian ini berlangsung dari bulan Februari hingga Juli 2009. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan pada beberapa alasan:
1. Keberadaan TNBG dengan luas 108.000 hektar merupakan kawasan Taman Nasional ke 42 di Indonesia yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Menteri Kehutanan No, 126/Menhut-II/2004 tanggal 29 April 2004, dan merupakan alasan lain yang menjadikan TNBG berbeda dengan Taman-Taman Nasional lain di Indonesia. Kehadiran taman nasional tersebut adalah prakarsa dan pendorongnya berasal dari Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal dan masyarakat setempat. Fenomena ini telah memberikan inspirasi bagi peneliti untuk memilih kawasan tersebut menjadi wilayah penelitian.
2. TNBG memiliki nilai konservasi global. Sangat disadari bahwa saat ini kelangsungan eksistensi jasa lingkungan dan modal alam yang ada di Taman Nasional Batang Gadis tergantung dari bagaimana mengelolanya secara efektif agar modal alam tersebut dapat dimanfaatkan terus menerus untuk kelangsungan hidup lintas generasi, baik pada saat ini maupun saat yang akan datang.
Secara administratif, TNBG terletak di kawasan Mandailing Natal, yang terdiri dari 13 kecamatan, dan dibatasi oleh 68 desa. Penelitian yang baru-baru ini dilakukan menemukan 225 jenis tanaman, dan 222 jenis tanaman vaskular yang tumbuh di taman, hampir 1% dari jumlah seluruh jenis flora di Indonesia. Meskipun sebagian besar jenis satwa yang dilaporkan Rijksen (1997) di kawasan Belantaran
(51)
Angkola ditemukan di areal ini, namun beberapa jenis belum dapat dipastikan keberadaannya di kawasan Taman Nasional Batang Gadis, dalam hal ini orangutan Sumatera (Pongo abelii) dan badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis). Penelitian yang dilakukan oleh Conservation International Indonesia menemukan sekitar 42 spesies mamalia hidup di sana. Taman nasional tersebut juga berperan penting sebagai tempat pengungsian/perlindungan untuk mamalia besar Sumatera, termasuk harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), kucing hutan (Pardofelis marmota), kucing emas (Catopuma temmincki), anjing liar asia (Cuon alpinus), tapir (Tapirus indicus), beruang madu (Helarctos malayanus), kambing gunung (Capricornis sumatraensis), rusa sambar (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjac), lima jenis primata dan dua spesies lain (Conservation International, 2004) (Lampiran 1).
3.2. Bahan dan Alat-alat Penelitian
Alat yang dipergunakan selama penelitian lapangan adalah: Kamera trap: (Deercam, 860 Park Lane, Park Falls, WI 54552 dan Cuddeback Digital), Global Positioning System (GPS), Peta Topografi, Peta Penggunaan Lahan, Peta Landsat ETM+7, Data Curah Hujan, Kompas dan Meteran.
3.3. Teknik Pengambilan Sampel
Metode yang digunakan untuk mengetahui keberadaan satwa adalah:
1. Pengamatan langsung: Enam periode survei mamalia besar dilakukan antara bulan Februari dan Juni 2009 di TNBG menggunakan kamera infra merah
(52)
tersembunyi sebanyak lima buah (Deercam, 860 Park Lane, Park Falls, WI 54552 dan Cuddeback Digital), yang memiliki paket data yang merekam waktu dan tanggal pada gambar-gambarnya. Kamera diletakkan di tempat yang tinggi seperti di dahan pohon sehingga sinar infrared akan jatuh 45 cm di atas dasar hutan. Setiap kamera diprogram untuk menunda gambar yang berunutan selama 60 detik dan beroperasi secara terus-menerus seharian. Kamera akan dibiarkan selama 20 hari sebelum film diambil. Setiap gambar hewan diidentifikasikan sampai ke tingkat spesies. Kami menggunakan nomor pada gambar spesies sebagai indeks untuk ke kelimpahan relatifnya (O’Βριεν
et al, 2003). Pemasangan kamera dilakukan di beberapa lokasi di TN Batang Gadis dan sekitarnya yaitu Sopotinjak, Aek-Nangali, Aek Nabara, Hutagodang Muda, Muara Batang Angkola dan Muara Batang Natal.
2. Pengamatan tidak langsung melalui tanda-tanda berupa suara, jejak kaki, bekas cakar, kotoran dan tanda-tanda lainnya.
3.4. Metode Pengenalan Jenis
Beragam alat bantu digunakan untuk mengenali jenis-jenis satwa sasaran. Beberapa jenis umum yang menjadi sasaran survei dapat dikenali tanpa banyak kesulitan. Namun, banyak juga jenis yang lebih langka dan sulit untuk dikenali. Untuk pengamatan langsung binokuler paling banyak digunakan. Selain itu, kamera digital yang dilengkapi dengan lensa jangkauan jauh juga sangat membantu pendokumentasian keberadaan dan identifikasi suatu jenis satwa. Penemuan jejak
(53)
telapak kaki satwa yang sulit diidentifikasi secara langsung maka dilakukan pemotretan dengan skala maupun penjiplakan dengan menggambar langsung pada sebuah lembaran plastik transparan, sesuai ukuran jejak. Selain itu, alat perekam suara juga digunakan, khususnya untuk mendokumentasikan suara jenis-jenis burung yang tidak mudah dilihat secara langsung.
Beragam panduan pengenalan satwa digunakan untuk mengidentifikasi jenis yang ditemukan secara langsung maupun tak langsung. Untuk mamalia secara umum digunakan buku Panduan Lapangan Mamalia (Payne et al, 2000). Untuk mengenali beragam jejak mamalia digunakan buku panduan jejak (van Strien, 1983) selain lembar panduan identifikasi jejak yang dikeluarkan oleh Wildlife Conservation Society (WCS) Thailand.
3.5. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan program CAPTURE (PWCR Software Archive, 2006, Rexstad & Burnham, 1991) dan metode Karanth (1995), juga Karanth dan Nichols (1998), untuk memperkirakan jumlah dan kepadatan harimau, dan probabilitas capture (p-hat). Dalam model capture-recapture, estimasi kelimpahan membutuhkan populasi yang tertutup (Otis et al, 1978, White et al, 1982) artinya tidak ada penambahan (kelahiran atau perpindahan), atau pengurangan (kematian atau emigrasi) selama masa pengambilan sampel (Otis et al, 1978).
Penelitian ini membuat catatan sejarah pengambilan setiap harimau yang dapat diidentifikasikan dari pola garis di badannya (O’Βριεν et al, 2003). Penelitian
(54)
ini membatasi analisis dengan mengambil gambar dari salah satu sisi yang memiliki data set yang paling besar dan menangkap kembali (recaptured) individu yang tertangkap kamera sebelumnya. Hasil dari setiap hari penangkapan diperlakukan sebagai pengambilan sampel, dan menghasilkan rata-rata 20 penangkapan untuk analisis.
Penelitian menggunakan penangkapan (capture) model M0 dengan asumsi probabilitas penangkapan (capture) harus konstan untuk setiap kelebihan waktu individu, dan model Mh yang memungkinkan probabilitas variabel penangkapan (capture) diantara individual, tetapi diasumsikan probabilitas capture adalah konstan untuk setiap over time individual (Otis et al, 1978). Untuk menentukan kepadatan, jumlah kisaran harimau dikalkulasi dengan program CAPTURE model M0 dan Mh dan dibagi dengan luasan sampling efektif. Luasan sampling efektif didefinisikan sebagai wilayah yang tercakup paling luas oleh kamera (Nichols & Karanth, 2002), ditambah dengan zona penyangga yang lebarnya sebanding dengan jarak terjauh diantara penangkapan kembali harimau-harimau (O’Βριεν et al, 2003).
(55)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.1.1. Kamera Tersembunyi
Enam periode survei mamalia besar dilakukan antara bulan Februari dan Juli 2009 di TNBG menggunakan kamera otomatis yang diaktifkan dengan sinar infra merah (Deercam, 860 Park Lane, Park Falls, WI 54552 dan Cuddeback Digital), yang memiliki paket data yang merekam waktu dan tanggal pada gambar-gambarnya dioperasikan di beberapa lokasi di Taman Nasional Batang Gadis.
Pengambilan sampel dilakukan dengan mengikuti ketentuan pengambilan sampel dari Nichols and Karanth (2002). Kamera diletakkan secara acak di 16 x 16 km blok sampling di dalam kawasan (Gambar 3); (Lampiran 2). Lokasi-lokasi yang dipilih untuk penempatan kamera ini didasarkan pada survei lapangan yang luas untuk tanda-tanda sekunder harimau. Kamera diletakkan di tempat yang tinggi seperti di dahan pohon sehingga sinar infrared akan jatuh 45 cm di atas dasar hutan. Setiap kamera diprogram untuk menunda gambar yang berunutan selama 60 detik dan beroperasi secara terus-menerus seharian. Kamera akan dibiarkan selama 20 – 30 hari sebelum film/kartu memori diambil. Jumlah hari penangkapan untuk tiap film dibedakan berdasarkan waktu kamera mulai diaktifkan hingga saat film diambil, jika film tersebut telah selesai mengambil gambar yang tersisa atau ketika tanggal dan waktu telah tercetak dalam pengambilan gambar terakhir. Setiap gambar hewan diidentifikasikan sampai ke tingkat spesies. Penelitian ini menggunakan nomor pada
(1)
Karanth, U.K, & Nichols,J.D. 1998. Estimation of Tiger Densities in India using Photographic Captures and Recaptures. Ecology 79:2852-2862.
Karanth.U.K., N.S. Kumar, and J.D. Nichols. 2002. Field surveys: estimating absolute densities of tigers using capture-recapture sampling. Pages: 111-120 in U.K.Karanth, and J.D.Nichols, editors. Monitoring tigers and their prey: a manual for researchers, managers, and conservationists in tropical Asia. Center for Wildlife Studies, India.
Kawanishi, K., and M.E. Sunquist. 2004. Conservation Status of Tigers in a Primary Rainforest of Peninsular Malaysia. Biological Conservation 120329-344. Kinnaird, M.F., E.W. Sanderson, T,G, O’Βριεν, Η.Τ. Wιβισονο, ανδ Γ. Wοολmερ.
2003. Deforestation trends in a tropical landscape and implications for endangered large mammals. Conservation Biology 17:245-257.
Linkie, M., Martyr, D.J., Holden, J. Yanuar, A., Hartana, A.T., Sugardito, J. and Leader-Williams, N. 2003. Habitat Destruction and Poaching Threaten the Sumatran Tiger in Kerinci Seblat National Park, Sumatra. Oryx 37: 41-48. Nash, S., and A. Nash. 1985. An Evaluation of the Tourism Potential of the
Padang-Sugihan wildlife Reserve. World Wildlife fund/IUCN Project 3133. Field Report, No. 2.
Nichols,J.D., and Karanth, U.K. 2002. Statistic consepts: Estimating absolute densities of tigers using capture-recapture sampling. Pages: 121-136 in: U.K.Karanth, and J.D.Nichols, editors. Monitoring tigers and their prey: a manual for researchers, managers, and conservationists in tropical Asia. Center for Wildlife Studies, India. Nowell, K and P. Jackson. 1996. Wild cats: status, survey, and conservation action plan. IUCN, Bland, Switzerland. O’Βριεν, Τ.Γ., Κινναιρδ, Μ.Φ. ανδ Wιβισονο, Η.Τ. 2003. Χρουχηινγ τιγερσ, ηιδδεν
prey: Sumatran tiger and prey populations in a tropical forest landscape. Animal Conservation 6: 131–139.
Karanth, K. U. 1995. Estimating tiger Panthera tigris populations from camera-trap data using capture-recapture models. Biological Conservation 71:333-338. Karanth, K.U & Nichols,J.D. 1998. Estimation of Tiger Densities in India using
(2)
King, B., M. Woodcock dan E.C. Dickinson 1975. A Field guide to the birds of South-East Asia. Collins, London.
MacKinnon, J., K. Philipps, dan B. van Balen. 1993 Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan (Termasuk Sabah, Sarawak dan Brunei Darussalam) Puslitbang Biologi LIPI dan BirldLife Indonesia.
McNelly, J.A., K.R. Miller, W.V. Reid, R.A. Miltermeir and T.B. Werner, 1990. Coserving the World’σ Βιολογιχαλ Dιϖερσιτψ, IUCN, Gland. Switzerland. Midora, L. 2006. Total Nilai Ekonomi (TEV) Taman Nasional Batang Gadis
Kabupaten Mandailing Natal. Conservation International Medan.
Miguelle, D. G., E. N. Smirnov, T. W. Merrill, A. E. Myslenkov, H. B. Quigley, M. G. Hornocker, B. and Schleyer. 1999. Hierarchical spatial analysis of Amur tiger relationships to habitat and prey. Pages: 71-99 in: J. Seidensticker, S. Christie, P. and Jackson, editors. Riding the tiger: tiger conservation in human-dominated landscape. Cambridge University Press, Cambridge, UK. Nichols, J. D., and U. K. Karanth. 2002. Statistical concepts: Estimating absolute
densities of tigers using capture-recapture sampling. Pages: 121-136 in: U. K. Karanth, and J. D. Nichols, editors. Monitoring tigers and their prey: a manual for researchers, managers, and conservationists in tropical Asia. Center for Wildlife Studies, India. Nowell, K. and P. Jackson. 1996. Wild cats: status, survey, and conservation action plan. IUCN, Bland, Switzerland.
Nowell, K., and P. Jackson. 1996. Wild cats: status survey and conservation action plan. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK.
O’Βριεν, Τ.Γ., Κινναιρδ, Μ.Φ. ανδ Wιβισονο, Η.Τ. 2003. Χρουχηινγ tigers, hidden prey: Sumatran tiger and prey populations in a tropical forest landscape. Animal Conservation 6: 131–139.
Otis, D. L, K. P. Burnham, G. C. White, and D. R. Anderson. 1978. Statistical inference from capture data on closed animal populations. Wildlife Monograph 62:1-135.
Payne, J., C. M. Francis, K. Philipps, dan S. R. Kartikasari. 2000. Panduan Lapangan Mamalia di Kalimantan, Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam. The Sabah Society, Malaysia dan Wildlife Conservation Society-Indonesia Program. Perbatakusuma, E A, Jatna S, Didi, W, Prie, S, Ismoyo. Budi, I, Wiratno, Luhut, S,
(3)
H.L. 2005. Bersama Membangun Kolaborasi Pengelolaan Ekosistem Taman Nasional Batang Gadis. Tim Inisiator Kolaborasi Pengelolaan Taman Nasional Batang Gadis. Naskah Kebijakan. Proyek Kerjasama Departemen Kehutanan, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Kabupaten Mandailing – Natal dan Conservation International Indonesia. Jakarta.
Perbatakusuma, E A, Jatna S, Didi, W, Supriadi, B. Ismoyo, Wiratno, Luhut, S, Iwan, W, Erwin. S. W, Barita O.M, Safaruddin, S, Abdulhamid, D dan Abu, H.L. 2006. Kolaborasi Pengelolaan Ekosistem Taman Nasional Batang Gadis. Naskah Kebijakan Tim Inisiator Kolaborasi Pengelolaan Taman Nasional Batang Gadis. Proyek Kerjasama Departemen Kehutanan, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Kabupaten Mandailing –
Natal dan Conservation International Indonesia. Jakarta.
Peres, C. A. 2000. Evaluating the impact and sustainability of subsistence hunting at multiple Amazonian forest sites. Pages: 31-56 in: J. R. Robinson, and E. L. Bennett, editors. Hunting for sustainability in tropical forests. Columbia University Press, New York.
Rabinowitz, A. R. 1991. Chasing the dragon's tail: the struggle to save Thailand's wild cats. Doubleday, New York.
Rexstad, E, and K. P. Burnham. 1991. User’σ γυιδε φορ ιντεραχτιϖε προγραm CAPTURE. Fort Collins: Colorado State University.
Rijksen, H.D. 1997. The Angkolo Wilderness South Tapanuli, North Sumatera; Proposal for a New National park and Orang-utan Sanctuary. The Golden Ark Foundation.
Salim, E. 1985. Lingkungan Hidup, Mutiara Sumber Widya.
Salim, P dan Y. Salim. 1991. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Modern English Press, Jakarta.
Santiapillai, C., and W. S. Ramono. 1985. On the status of the tiger (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1829) in Sumatra. Tiger paper 12(4):23-29.
Scharringa, J. 1999. Birds of Tropical Asia. Birds Songs International B.V., Westernieland, the Netherlands.
Seidensticker, J., S. Christie, and P. Jackson. 1999. Introducing the tiger. Pages: 1-3 in: J. Seidensticker, S. Christie, P. and Jackson, editors. Riding the tiger: tiger conservation in human-dominated landscape. Cambridge University Press,
(4)
Cambridge, UK.
Silva, M. and J.A. Downing. 1994. Allometric Scaling of Minimal Mammal Densities. Conservation Biology 8(5):732-743.
Sulistiowati, D.R. dan Sunjaya. 2006. Laporan Hasil Survei Pengetahuan, Sikap dan Perilaku pada Masyarakat di Sekitar Taman Nasional Batang Gadis.
Suparmoko. M. 1994. Ekologi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. BPFE, Yogyakarta.
Tilson, R. L., K. Soemarna, W. S. Ramono, S. Lusli, K. Traylor-Holzer, and U. S. Sea. 1994. Sumatran tiger populations and habitat viability analysis report. Indonesian Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation, and IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group. Apple Valley, Minnesotavan
van Strein, N.J. 1983. A guide to the tracks of the mammals of western Indonesia. School of Environmental Conservation Management, Ciawi, Indonesia.
Weber, W. and A. Rabinowitz. 1996. A global prespective on large carnivore conservation. Conservation Biology 10(4): 1046-1054
White, G. C., D. R. Anderson, K. P. Burnham, and D. L. 1982. Capture-recapture and removal methods for sampling closed populations. Los Alamos National Laboratory Publication LA-8787-NERP. Los Alamos, New Mexico.
Wikramanayake, E. D., E. Dinerstein, J. G. Robinson, U. K. Karanth, A. Rabinowitz, D. Olson, T. Mathew, P. Hedao, M. Connor, G. Hemley, and D. Bolze. 1998. An ecology-based method for defining priorities for large mammal conservation: the tiger as case study. Conservation Biology 12:865-878. Patuxent Wildlife Research Center Software Archieve:
http://www.mbr-pwrc.usgs.gov/ software/. Downloaded in June 2006.
Plowden, C. and Bowles, D. 1997. The illegal market in tiger parts in northern Sumatra, Indonesia. Oryx 31: 59-66.
Rijksen, H.D. 1997. The Angkolo Wilderness South Tapanuli, North Sumatera; Proposal for a New National park and Orang-utan Sanctuary. The Golden Ark Foundation.
(5)
Sanderson, E., J. Forrest, C. Loucks, J. Ginsberg, E. Dinerstein, J. Seidensticker, P. Leimgruber, M. Songer, A. Heydlauff, T. O’Βριεν, Γ. Βριψϕα, Σ. Κλενζενδορφ and E. Wikramanayake. 2006. Setting Priorities for the Conservation and Recovery of Wild Tigers: 2005-2015: The Technical Assessment. WCS, WWF, Smithsonian, and NFWF-STF, New York- Washington, D.C.
Seidensticker, J. 1986. Large carnivores and the consequences of habitat insularization: ecology and cconservation of tigers in Indonesia and Bangladesh. Pages: 1-41 in: S.D. Miller, and D.D.Everett, editors. Cats of the world: biology, conservation, and management. National Wildlife Federation, Washington, DC.
Shepherd, C.R. and Magnus, N. 2004. Nowhere to Hide: the trade in Sumatran tiger. Traffic Southeast Asia.
Sunquist, M. E., K.U. Karant, and F. Sunquist. 1999. Ecology, behavior and resilience of the tiger and its conservation needs. Pages: 5-18 in: J. Seidensticker, S. Christie, P. and Jackson, editors. Riding the tiger: tiger conservation in human dominated landscape. Cambridge University Press, Cambridge, UK.
Supriatna, J. & Wahyono, E. H. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Yayasan Obor Indonesia.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699).
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
Warnaputra, S., Soemarna, K., Ramono, W., Manangsang, J. and Tilson, R. 1994. Indonesian Sumatran Tiger Conservation Strategy. Directorate-General of Forest Protection and Nature Conservation. Jakarta.
Wibisono, H.T. 2005. Population Ecology of Sumatran Tigers (Panthera tigris sumatrae) and Their Prey in Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatra,
(6)
Indonesia. A Master Thesis. The Department of Natural Resources Conservation, University of Massachusetts, Amherst, MA, USA.
Wibisono, H.T., Arif, M.S., Ario, A., Lubis, A.H., Figel, J. (2008) Population and Ecology of Sumatran Tiger in the Batang Gadis National Park: A Preliminary Study (submitted to Oryx).