55
3.2 Usaha Masyarakat dan Norma Agama
Selain usaha dari pemerintah, masyarakat dan agama juga telah menjadi salah satu sarana penanggulangan kateinai boryouku.
3.2.1 Usaha dari Masyarakat
Adapun usaha masyarakat dalam mengatasi kateinai boryouku adalah usaha yang tidak terlihat secara langsung, yang di maksud tidak secara langsung
di sini adalah usaha yang beransur-ansur yang perlahan-lahan dalam jangka waktu yang lama di mana hasilnya tidak dapat langsung di lihat. Penanganan kateinai
boryouku oleh masyarakat jepang tidak langsung tertuju kepada kasus kateinai boryouku ini tetapi melalui penanganan yang tertuju kepada norma-norma yang
menjadi penghalang munculnya kenakalan-kenakalan remaja yang
memungkinkan menjadi dasar dari segala kekerasan yang dilakukan seorang anak terhadap orang tua.
Masyarakat yang dimaksud dalam penanganan kasus kateinai boryouku ini adalah setiap lapisan masyarakat jepang. Sehingga terhubung dengan
segala upaya-upaya yang di lakukan pemerintah maupun upaya-upaya yang di lakukan di dalam keluarga. Penangan yang di maksud adalah pencegahan ataupun
menghambat bahkan mengurangi setiap kenakalan-kenakalan remaja, seperti yang kita ketahui selain gangguan kejiwaan, kondisi keluarga dan pergaulan anak dapat
menjadi penyebab dasar dari kausus kateinai boryouku. Adapun yang dapat di lakukan masyarakat umum dalam penanganan kateinai boryouku ini adalah
berupa: 1.
Penekanan konsep Omoiyari empati
Universitas Sumatera Utara
56
Omoiyari empati merupakan peringkat tertinggi dalam kerangka moral bangsa jepang, dan sekaligus
merupakan norma yang paling mendasar yang harus dimiliki oleh orang jepang. Omoiyari merupakan
kemampuan dan kemauan untuk merasakan apa yang orang lain rasakan, merasakan suka dan dukayang
mereka alami, dan membantu mereka untuk mewujudkan keinginan mereka yang kesusahan.
Omiyari dapat berbentuk kesiapan seseorang dalam mengantisipasi keperluan orang lain. Dan dia berusaha
meningkatkan kesenangan orang lain dengan memberikan apa yang di butuhkan dan disukainya,
serta berusaha mencegah apa yang mungkin membuatnya tidak suka.
Sebagai contohnya jika di kaitkan dengan remaja yang sedang menghadapi masalah dan frustasi, sebagaimana
kita ketahui rasa frustasi dapat menjadi pemicu kateinai boryouku, maka seseorang yang menghadapi masalah
tersebut tidak akan di biarkan terlantar, melainkan di perhatikan oleh teman-temanya dan keluarganya
ataupun anggota keluarga yang lain.seorang teman ataupun keluarga dapat dengan segera mengetahui
permasalahan yang di hadapi dan segala kesusahan
Universitas Sumatera Utara
57
yang dirasakan sehingga dapat segera membantgu ataupun menghiburnya. Dengan demikian seseorang
yang sedang kesusahan tidak lagi menghadapi permasalahan sendirian.
Omoiyari berkaitan dengan ketulusan.seseorang yang memberiempatinya kepada seseorang tidak mempunyai
maksud meminta balasan. Balas budi hanya timbul dari pihak penerima empati.
2. Amae ketergantungan
Bila konsep omoiyari berlaku, maka konsep Amae manjadi konsep yang penting dalamkerangka moral
masyarakat jepang karena si pelaku omoiyari memerlukan orang yang bergantung padanya dan
sebaliknya. Amae pada awalnya lahir di dalam lingkungan ilmu
psikologi. Menurut Takeo Doi, seorang psikoanalis dan penulis jepang, amae memiliki makna hubungan
kejiwaan antara bayi dan ibu yang sedang menyusuinya. Takeo Doi mengatakan bahwa jika seseorang ataupun
seorang anak mengalami perkembangan. Setelah si anak memahaminya bahwa eksistensi ibunya berbeda
Universitas Sumatera Utara
58
dengan dirinya, ia memberi pengakuan terhadap eksistensi ibunya tersebut dengan amae. Kata amae
sendiri mengandung makna manja. Tetapi istilah manja ini tidak bisa disamakan dengan makna manja dalam
arti Indonesia, yang berkesan negatife. Manja dalam konsep amae adalah perwujudan pengakuan eksistensi
orang tua dalam bentuk ekinginan akan kedekatan hubungan orang tua.
Konsep amae yang berlaku sebagai tata nilai norma bangsa jepang hingga sekarang adalah sikap diri yang
menganggap bahwa orang lain selalu memiliki niat yang baik dan selalu siap menolong dirinya bila ia
mengalami kesulitan. Dengan demikian konsep ini dapat menjadi pengerat
setiap hubungan batin antara orang tua anak, dan sesame anggota kelurga yang dapat menjadi
pengurangan akan adanya gejolak pemberontakan di dalam rumah tangga.
3. On, Gimu dan Giri hutang balas budi
Norma penting lainya adalah masalah hutang budi dan kewajiban untuk membayarnya.
Universitas Sumatera Utara
59
Dalam masyarakat jepang hal ini dikenal dengan istilah on,gimu,dan giri.
Konsep On ini tidak mudah dijelaskan artinya, karena mempunyai arti yang sangat luas. On bukan hanya
sekedar mengadung arti kewajiban, keramahan bahkan cinta kasih. Namun secara umum On mengandung arti
beban, hutang, atau sesuatuyang harus dipikul seseorang sebaik mungkin. Seperti halnya dalam kasus
kekerasan dalam keluarga di mana seorang ibu bunuh diri setelah mengetahui suami telah meninggal dunia,
untuk menanggapi kasus seperti ini, Edwin Reischauer dalam Manusia Jepang1982 menyebutkan bahwa
kisah-kisah tersebut mencerminkan moralitas bangsa jepang yang sangat tinggi nilainya. Kesetiaan,
ketulusan dan pengabdian menjadi sesuatu yang sangat di hormati dan di agungkan. Ruth Benedict dalam
pedang samurai dan bunga seruni 1982 menyebutkan sebagai sifat ekstrim bangsa jepang sulit dimengertioleh
bangsa lain, sedangkan Djodjok Soepardjo 1999, seorang ahli budaya jepang, menyebutkan sebagai pola
komunikasi intrapersonal dalam budaya jepang. Pada masa kini contoh On masi dapat dilihat pada
hungungan antara ibu dan anak. Contohnya, seorang laki-laki yang sangat sayang sama ibunya berkata
Universitas Sumatera Utara
60
bahwa ia tidak dapat melupakan On yang diterima dari ibunya. Istilah On tersebut tidak sepenuhnya tertuju
pada cinta si anak kepada ibunya, melainkan pada segala sesuatu yang telah dilakukan sang ibu semenjak
ia lahir. Ia merasa berhutang budi atas segala kerepotan yang di hadapi orangtuanya selala membesarkan
dirinya, dan ia merasa harus menebusnya dengan segala cara.
Jika dikaitkan dengan kasus kateinai boryouku, maka nilai moral On sangat kuat dalam penanganan awal
ataupun pencegahan dasar terhadap kasus kateinai boryouku.
Gimu dapat diartikan sebagai kewajiban membayar on yang telah diterima seseorang.gimu harus dibayar
seseroang karena adanya ikatan-ikatan yang kuat dan ketat pada saat di lahirkan,misalnya ikatan pada
keluarga dan ikatan pada negaranya. Pembayaran ini tidak memiliki batas waktu dan pembayaran yang telah
dilakukan pun kadang-kadang tidak pernah cukup walaupun di lakukan seumur hidup.
Giri merupakan jenis kwajiban pemenuhan on yang lain. Lain halnya dengan Gimu, Giri mempunya batas waktu
Universitas Sumatera Utara
61
pembayaran dan hutang-hutang tersebut wajib di bayar dalam jumblah yang tepat sama dengan yang diterima.
Giri mempunyai pembagian yang jelas. Yang pertama adalah Giri kepada dunia, yaitu kewajiban seseorang
untuk membayar On kepada sesamanya,misalnya karena seseorang telah menerima hadiah. Yang kedua
adalah Giri kepada nama sendiri,yaitu kewajiban untuk tetap menjaga kebersihan nama dan reputasi
seseorang.kewajiban ini termasuk kewajiban untuk membersihkan nama baik seseorang atas penghinaan
atau tuduhan atas kegagalan dengan cara melakukan balas dendam,kewajiban seseorang untuk menunjukkan
atau mengakui kegagalan atau ketidaktahuannya dalam menjalankan suatu peran dalam masyarakat, dan
kewajiban seseorang mengindahkan sopan santun jepang dengan melaksanakan semua norma yang
berlaku serta dapat mengekang emosi dalam situasi yang tidak tepat.
Norma mengajarkan untuk bertanggung jawab ataupun menjaga diri dalam setiap kehidupan.
Dengan adanya norma-norma ini dalam masyarakat dapat menekan dan mencegah adanya bibit munculnya kekerasan ataupun kenakalan remaja.
Seperti yang telah di jelaskan di atas bahwasanya masyarakat melakukan pencegahan dan penanggulangan kateinai boryouku secara tidak langsung namun
Universitas Sumatera Utara
62
jika dilihat dalam jangka waktu yang lama dampaknya sangat baik. Selain menekankan norma-norma ini masyarakat jepang juga bekerja sama kepada setiap
agen-agen yang berhubungan dalam penanganan kateinai boryouku ini.
3.2.2 Norma Agama kepercayaan