30 Tabel 5. Pembobotan opsi penerapan produksi bersih
Opsi Penerapan Produksi Bersih
Penilaian Skala
Prioritas Teknis
Lingkungan Ekonomi
Total
Mendesain instalasi pembuangan air ke IPAL
dengan pipa langsung dari molen
3 2
- 5
5
Penggunaan kembali air buangan pre soaking untuk
proses pre soaking pada batch selanjutnya
3 2
2 7
3
Pemisahan limbah cair dari bulu dan daging
3 2
3 8
2 Pengolahan limbah daging
menjadi lemak 2
3 2
7 4
Penggunaan kembali limbah krom dengan cara daur ulang
2 3
3 8
1
Opsi penggunaan kembali limbah krom dengan cara daur ulang dan opsi pemisahan limbah cair dari bulu dan daging, memiliki total penilaian yang sama. Namun, dari sisi ekomoni, penggunaan
kembali limbah krom dengan cara daur ulang memberikan keuntungan sebesar Rp 6,000,000,- per bulan sedangkan pemisahan limbah cair dari bulu dan daging memberikan keuntungan Rp 5,000,000,-
per bulan, meskipun PBP-nya sama yaitu 0.1 bulan. Apabila opsi produksi bersih dengan prioritas 1, 2, dan 3 dilaksanakan maka dapat dilakukan
perhitungan sebagai berikut: a. Total biaya investasi ketiga opsi tersebut = Rp. 2,059,500,-
b. Net saving penggunaan kembali limbah krom per bulan = Rp 6,548,400,- c. Keuntungan per bulan dari opsi pemisahan limbah cair dari bulu dan daging = Rp 5,803,200,-
d. Penghematan air dari proses pre soaking = Rp 96,000,-
PBP =
. , ,
, ,
, ,
, ,
, ,
,
x
= 0.17 bulan Dengan penerapan ketiga opsi ini, dalam satu kali batch produksi dengan kapasitas 1.5 ton akan
diperoleh pengurangan jumlah limbah yang dibuang ke lingkungan dari 16,136 L menjadi 11,596 L. Angka ini diperoleh dengan asumsi pengurangan jumlah air untuk pre soaking sebesar 4,000 L dari
10,269 L menjadi 6,269 L, pengurangan limbah proses tanning sebesar 540 L dari 1,582 L menjadi 1,042 L dan limbah dari proses liming sebesar 4,285 L tidak mengalami pengurangan dari jumlah
awal. Semua data ini diperoleh dari neraca massa. Khusus untuk limbah proses tanning, asumsi yang digunakan adalah setiap 100 L limbah
tanning akan menghasilkan 10 kg krom daur ulang. Jumlah krom daur ulang yang digunakan untuk tanning adalah 60 dari 90 kg krom yang dibutuhkan. Berarti krom daur ulang yang digunakan
untuk tanning sebesar 54 kg dan pengurangan limbah cairnya sebesar 540 L.
31 Dari pengurangan jumlah limbah yang dibuang ke lingkungan ini, dapat diperoleh total
minimisasi limbah sebesar Rp 197,000,-. Angka ini diperoleh dari perhitungan sebagai berikut: a. Total pengurangan limbah pre soaking = 4,000 L x Rp 2,000,- harga 1 m
3
air menurut Prayitno, 2009 = Rp 8,000,-
b. Total pengurangan limbah tanning = 54 kg x Rp 3,500,- harga 1 kg krom daur ulang menurut Prayitno, 2009 = Rp 189,000,-
5.7 Analisis Alternatif Penerapan Produksi Bersih secara Kualitatif
Analisis alternatif penerapan produksi bersih secara kualitatif ini dilakukan menggunakan proses hierarki analitik Analytical Hierarchy ProcessAHP. Prinsip kerja AHP adalah
penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategik, dan dinamik menjadi bagian-bagian dan tertata dalam suatu hierarki Marimin dan Maghfiroh, 2010. Struktur hierarki
persoalan mengenai limbah yang diambil dari industri penyamakan kulit dapat dilihat di Lampiran 1. Setiap elemen dalam struktur hierarki yang terdiri atas faktor, aktor, tujuan dan strategi ditentukan
secara mandiri. Goal yang ingin dicapai adalah meminimumkan limbah produksi kulit samak dengan faktor-faktor yang dianggap berpengaruh terhadap persoalan tersebut adalah modal, teknologi,
kebijakan industri dan dukungan pemerintah. Aktor yang berpengaruh antara lain pelaku industri, litbangPT, pemerintah daerah, dan lembaga keuangan. Tujuan yang ditetapkan adalah peningkatan
pendapatan, perbaikan lingkungan dan pengoptimalan proses. Strategi yang ditawarkan antara lain mendesain instalasi pembuangan air ke IPAL dengan pipa langsung dari molen, penggunaan kembali
air buangan pre soaking untuk proses pre soaking pada batch selanjutnya, pemisahan limbah cair dari bulu dan daging, pengolahan limbah daging menjadi lemak, dan penggunaan kembali limbah krom
dengan cara daur ulang. Setiap elemen dari struktur hierarki pada Lampiran 1 dinilai berdasarkan tingkat kepentingan
antara satu elemen dengan elemen yang lainnya. Penilaian tingkat kepentingan ini menggunakan metode perbandingan berpasangan pairwase comparisons. Skala perbandingan yang digunakan dari
1 sampai 9 Saaty, 1983 dalam Marimin dan Maghfiroh, 2010. Penentuan prioritas penerapan
produksi bersih secara kualitatif ini menggunakan kuesioner ke empat orang pendapat pakar. Bentuk kuesionernya dapat dilihat di Lampiran 2.
Data yang sudah diperoleh dari para pakar tersebut kemudian diolah menggunakan program Expert Choice 2000. Perolehan nilai bobot secara
keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 3. Marimin dan Maghfiroh 2010 menyebutkan bahwa AHP mengukur konsistensi menyeluruh
dari berbagai pertimbangan melalui suatu rasio konsistensi. Rasio konsistensi dapat terhitung secara otomatis dalam program Expert Choice 2000 yang ditampilkan dalam bentuk nilai inkonsistensi. Jika
dilakukan perhitungan manual, nilai rasio konsistensi diperoleh dengan membagi indeks konsistensi dengan indeks random. Indeks konsistensi diperoleh dengan rumus :
CI = dimana :
CI = indeks konsistensi λ
maksimum = nilai eigen terbesar dari matriks berordo n n menunjukkan jumlah faktor dalam struktur hierarki
Nilai indeks random didapat dari tabel Oarkridge Marimin, 2004, seperti pada Tabel 6. Tabel 6. Indeks random RI
N 1
2 3
4 5
6 7
8 9
10 RI
0.58 0.9
1.12 1.24
1.32 1.41
1.45 1.49
32 Hasil AHP dikatakan sudah konsisten jika memiliki nilai rasio konsistensi maksimal 10.
Jika lebih dari 10 maka penilaiannya masih acak dan perlu diperbaiki. Dari pengolahan data
menggunakan Expert Choice 2000, diperoleh nilai inkonsistensi sebesar 0.04 4 yang berarti rasio konsistensinya adalah 0.06 6. Hal ini berarti hasil yang diperoleh dapat dikatakan sudah konsisten
dan cukup akurat karena masih dalam batas rasio konsistensi 10. Pada program Expert Choice 2000, dapat dilihat nilai bobot dari setiap elemen dalam struktur
AHP. Nilai bobot untuk faktor dan strategi dapat langsung dilihat tidak memerlukan perhitungan lebih lanjut, sedangkan nilai bobot untuk aktor dan tujuan memerlukan perhitungan lebih lanjut
secara manual karena nilai bobot yang tertera bukan merupakan hasil akhir. Dari hasil pengolahan pendapat pakar tersebut dapat diketahui bahwa dari empat faktor yang
mempengaruhi upaya meminimumkan limbah kulit samak, faktor kebijakan industri merupakan faktor terpenting dengan bobot 0.368, kemudian faktor modal 0.262, teknologi 0.246, dan dukungan
pemerintah 0.125. Hal ini menunjukkan bahwa faktor kebijakan industri mempunyai peranan penting dalam pengaplikasian program untuk meminimumkan limbah produksi kulit samak. Sebesar
apapun modal dan secanggih apapun teknologi yang dimiliki, tentu tidak akan berpengaruh terhadap upaya meminimumkan limbah produksi jika industri yang bersangkutan tidak memiliki kebijakan
yang mendukung upaya tersebut. Oleh karena itu, faktor ini menjadi faktor utama yang sangat
mempengaruhi upaya meminimumkan limbah. Aktor yang berpengaruh dengan nilai bobot terbesar sampai terkecil adalah lembaga keuangan
0.293, litbangPT 0.263, pelaku industri 0.239, dan pemerintah daerah 0.205. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga keuangan memegang peranan penting untuk menunjang terlaksananya
upaya meminimumkan limbah kulit samak yaitu dari segi pengadaan modal. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh lembaga keuangan dalam membantu pengadaan modal ini adalah memberikan
insentif kepada industri yang bersangkutan. Kepemilikan modal saja tentu tidak akan cukup jika tidak didukung dari segi pengembangan teknologi atau informasi lain terkait upaya meminimumkan limbah
tersebut. Hal ini terbukti dari posisi litbangPT sebagai aktor penting yang kedua. Modal dan teknologi yang sudah dimiliki, tidak mungkin dapat diaplikasikan jika tidak ada komitmen langsung
dari pelaku industri yang bersangkutan untuk menjalankan upaya tersebut. Maka dari itu, aktor pelaku industri menempati posisi ketiga yang berpengaruh. Sementara itu, pemerintah daerah menempati
posisi keempat terakhir sebagai aktor yang berpengaruh karena menurut pendapat pakar, dukungan yang diberikan pemerintah daerah tidak telampau besar untuk menjalankan upaya meminimumkan
limbah kulit samak. Tujuan yang ingin dicapai dari upaya meminimumkan limbah kulit samak antara lain
peningkatan pendapatan, perbaikan lingkungan, dan pengoptimalan proses. Dari ketiga tujuan tersebut, perbaikan lingkungan memiliki nilai bobot terbesar yaitu 0.368, dilanjutkan dengan
peningkatan pendapatan 0.333, dan pengoptimalan proses 0.301. Dilihat dari nilai bobot yang diperoleh masing-masing tujuan, tidak ada selisih bobot yang signifikan sehingga dapat dikatakan
semua tujuan tersebut saling berkorelasi. Perbaikan lingkungan menempati posisi pertama. Ini
menunjukkan bahwa masalah lingkungan memang menjadi fokus utama dari industri penyamakan kulit. Masalah penanganan limbah tentunya akan berdampak pada biaya yang harus dikeluarkan oleh
industri yang bersangkutan. Jika industri itu memfokuskan pada tujuan perbaikan lingkungan maka pendapatan yang diperoleh dari penjualan produk masih lebih kecil dibandingkan dengan biaya yang
dikeluarkan untuk pengolahan limbah. Sebaliknya, jika industri tersebut lebih mementingkan
keuntungan semata maka keadaan lingkungan disekitarnya akan terancam rusak oleh limbah yang dibuang tanpa pengolahan yang baik. Tujuan yang memperoleh bobot terkecil adalah pengoptimalan
proses. Analisis mengenai hal ini yaitu jika industri sudah berkomitmen untuk melakukan upaya