Prioritas Komoditas untuk Dikembangkan

42 komoditas-komoditas tersebut belum diusahakan secara penuh oleh petani. Kacang tanah dan ubi kayu baru sebatas sebagai tanaman sela pada lahan- lahan marjinal atau pada petakan-petakan kecil saja. Mangga masih belum dilakukan peremajaan. Sedangkan sawo lebih banyak sebagai tanaman pekarangan. Sedangkan pada kuadran IV dengan indikator tingkat produktivitas dan nilai ekonomi di bawah rata-rata provinsi Nusa Tenggara Barat terdapat komoditas padi. Tingkat produktivitas yang dimiliki padi hampir sama dengan produktivitas rata-rata di Nusa Tenggara Barat Tabel 9, namun dari sisi nilai ekonomi masih tertekan walaupun padi sebagai komoditas politis sudah ditentukan harga dan standar kualitas oleh pemerintah. Hal ini mengindikasikan bahwa standar operasional produksi padi belum diterapkan secara maksimal sehingga apresiasi harga di pasaran hanya mengikuti kualitas yang ditawarkan. Biasanya petani menjual langsung sebagian besar hasil panennya masih dalam keadan basah atau kadar air tinggi. Alasan mereka karena tidak mempunyai sarana penjemuran seperti lantai jemur maupun sarana penyimpanan. Walaupun demikian, komoditas padi tetap menjadi komoditas utama untuk diusahakan pada musim hujan mengingat keterkaitan sosial budaya yang dimilikinya masih besar. Masuknya padi sebagai komoditas inferior bukan karena sedikit pengusahaannya di Kabupaten Sumbawa, tetapi lebih disebabkan karena standar operasional yang belum terpenuhi. Komoditas padi merupakan komoditas yang tetap berperan penting dalam usaha tani di Kabupaten Sumbawa.

5.2 Prioritas Komoditas untuk Dikembangkan

Pengambilan kebijakan pengembangan wilayah harus mempertimbangkan berbagai segi seperti kondisi ekonomi, sosial, maupun isu-isu politik. Dengan demikian setiap kriteria dan aktor yang berperan di dalamnya harus diperhitungkan. Terdapat berbagai alat analisis untuk menentukan formula kebijakan pengembangan. Analisis yang banyak digunakan adalah analythical hierarchy process AHP Dinc et al. 2002. AHP mampu mengintegrasikan model kuantitatif dengan faktor-faktor kualitatif. Kriteria-kriteria dan alternatif yang berperan dalam menentukan prioritas komoditas unggulan diberikan skor berdasarkan tingkat kepentingan oleh 43 responden pakar expert yang berasal dari pemerintah daerah, DPRD, pengusaha, dan petani. Responden expert tersebut dipilih secara sengaja berdasarkan hubungan langsung mereka terhadap pengembangan sektor pertanian di Kabupaten Sumbawa. Iqbal 2007 menegaskan bahwa seyogianya peran stakeholders yang terkena dampak program baik positif maupun negatif diwujudkan melalui persamaan persepsi, keputusan kolektif, dan sinergi aktivitas dalam menunjang kelancaran program pertanian. Kehidupan masyarakat yang semakin heterogen dan individualis menyebabkan mereka kurang respons terhadap berbagai kegiatan bersama membangun desa. Dalam kondisi seperti ini, hanya upaya semipartisipatif dan partisipatif yang mungkin untuk dilaksanakan Jamal 2009. Responden memberikan pertimbangan judgments dalam membandingkan setiap kriteria yang ada. Perbandingan berpasangan pairwise comparation diberikan satu skala absolut dari angka 1 hingga 9 yang menunjukkan berapa kali lebih besar satu kriteria lebih penting dari kriteria lainnya. Prosedur ini diulang untuk semua elemen dalam struktur, menghasilkan ranking preferensi atas pertimbangan seluruh expert Oddershede et al. 2007. Setiap responden diwawancarai secara terpisah pada waktu yang berbeda. Pertemuan dimulai dengan wawancara informal untuk menggali informasi secara umum tentang apa yang akan ditanyakan. Selanjutnya, responden diminta untuk memberikan pertimbangan atau penilaian secara eksplisit pada setiap perbandingan berpasangan. Hasil pertimbangan responden yang berasal dari unsur pemerintah daerah dan DPRD tidak dapat langsung diambil setelah wawancara. Karena agenda kerja mereka cukup padat sehingga hasil baru diketahui keesokan harinya bahkan beberapa hari kemudian. Dari pengamatan hasil setelah responden menyerahkan kuesioner ke peneliti, ada beberapa pertimbangan responden yang menunjukkan gejala inkonsistensi. Pertimbangan tersebut ditanyakan kembali dengan memperhatikan hasil wawancara informal sebelumnya tanpa merubah esensi dasar pertimbangan yang telah diberikan, sehingga objektivitas pertimbangan tetap dipertahankan. Namun sebagian besar responden merupakan expert yang mengetahui lebih banyak tentang berbagai kriteria yang diperbandingkan, sehingga tingkat inkonsistensi yang didapat bisa diperkecil. 44 Gambar 9 Skor masing-masing kriteria dalam penentuan prioritas komoditas unggulan daerah. Gambar 9 menunjukkan bahwa kriteria pasar yang diindikasikan dengan tingginya peluang permintaan pasar yang ada lebih dipentingkan dari kriteria yang lainnya. Pasar memiliki skor sebesar 0,30. Kriteria kedua adalah modal yang diperlukan dalam berproduksi relatif kecil dengan skor sebesar 0,24. Lahan dengan tingkat keseuaian yang optimal mempunyai skor sebesar 0,20. Sedangkan kriteria nilai tambah dengan indikasi banyaknya peluang memberikan manfaat lainnya mempunyai skor sebesar 0,18. Untuk kriteria preferensi atau tingkat kesukaan terhadap komoditas yang diusahakan tidak terlalu diapresiasi oleh expert, skornya hanya sebesar 0,09. Pasar memainkan peranan paling penting dalam pengusahaan komoditas unggulan daerah Kabupaten Sumbawa. Hal ini dimungkinkan karena pengusahaan suatu komoditas pertanian akan berkembang dengan baik bila ditunjang oleh kelancaran pemasaran baik untuk kepentingan domestik maupun internasional. Kurangnya permintaan dari komoditas yang dikembangkan menyebabkan terjadi penumpukan hasil panen dan penyimpanan yang cukup lama yang akhirnya menurunkan kualitas dan kuantitas komoditas tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Walker et al. Budirohman 2006 yang menyatakan bahwa inovasi baru harus memikirkan pasar terlebih dahulu sebelum memikirkan jumlah produk. Faktor modal dalam berproduksi menjadi prioritas kedua setelah pasar. Modal menjadi penting karena setiap aspek dalam usaha pertanian dewasa ini 0,20 0,18 0,30 0,24 0,09 Lahan Nilai tambah Pasar Modal Preferensi Kriteria Skor 45 sudah dihargai dengan modal. Mulai dari penyiapan bibitbenih, pemupukan, hama penyakit, pengairan, tenaga kerja, bahkan sampai jasa pascapanen. Setiap usaha pertanian yang berorientasi pasar dan bersifat rasional untuk memperoleh manfaat ekonomi sebesar-besarnya dikenal dengan agribisnis Sudaryanto et al. 2005. Sementara itu, sebagian besar petani di Kabupaten Sumbawa tergolong sebagai petani dengan modal terbatas dan akses terhadap permodalan juga masih kurang. Hasil survey lapang menunjukkan bahwa petani- petani yang mempunyai akses ke instansi pemerintah yang menjalankan program pemberdayaan masyarakat seperti Dinas Pertanian, Dinas Sosial, Badan Ketahan Pangan dan sejenisnya mampu mengelola usaha taninya dengan baik. Prioritas ketiga adalah kesesuaian lahan yang optimal. Semakin optimal tingkat kesesuaian lahan maka akan semakin memberikan keleluasaan dalam menentukan opsi komoditas apa yang akan diusahakan. Secara rata-rata kondisi kesesuaian lahan di Kabupaten Sumbawa dibatasi oleh faktor ketersediaan air yang minim. Irigasi teknis yang masih mampu dimanfaatkan sangat terbatas di beberapa lokasi saja seperti di Kecamatan Unter Iwis, Labuhan Badas dan Sumbawa, juga di Kecamatan Lopok dan Lape. Alih fungsi lahan semakin memperparah kondisi irigasi. Hasil survey lapang menunjukkan bahwa sumber- sumber mata air semakin berkurang sehingga debit air di beberapa bendungan yang sudah ada sangat terbatas. Data BPS menunjukan bahwa rata-rata curah hujan selama lima tahun pada bulan Juli sebesar 0,22 mm, Agustus sebesar 2,42 mm, sedangkan pada bulan September sebesar 0,98 mm. Nilai tambah berupa banyaknya peluang memberikan manfaat untuk sektor lain atau peluang untuk menghasilkan produk turunan juga cukup diprioritaskan setelah lahan, modal, dan pasar. Sudaryanto et al. 2005 menjelaskan bahwa pengusahaan suatu komoditas tidak terlepas dengan tiga dimensi utama, yaitu vertikal, horisontal, dan spasial. Dan nilai tambah dapat dipandang sebagai dimensi vertikal seperti industri pengolahan hasil dan pedagang distributor produk-produk yang dihasilkan, serta dimensi horisontal yang muncul melalui sumberdaya khususnya lahan maupun melalui pasar konsumsi. Sedangkan dimensi spasial berkaitan dengan lokasi atau sebaran regional komoditas tersebut. Kriteria atau indikator yang paling kecil peranannya adalah preferensi atau tingkat kesukaan terhadap komoditas untuk diusahakan. Artinya bahwa 46 preferensi bersifat relatif dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, seperti kestabilan harga, introduksi teknologi, maupun kebijakan pemerintah. Dari in depth interview dengan petani terlihat juga bahwa budaya dan keamanan dari hewan pengganggu berpengaruh dalam menentukan preferensi terhadap komoditas yang akan diusahakan. Di Kabupaten Sumbawa sampai dengan saat ini masih berlangsung budaya melepas ternaknya setelah musim panen. Ditambah lagi dengan hewan pengganggu liar lainnya seperti babi hutan. Kondisi-kondisi tersebut akan berpengaruh dalam pola pengusahaan komoditas. Gambar 10 Skor masing-masing alternatif dalam penentuan prioritas komoditas unggulan daerah. Hasil analisis AHP pada struktur alternatif Gambar 10 menunjukkan bahwa jagung lebih diprioritaskan untuk diusahakan dengan skor 0,33. Prioritas komoditas selanjutnya berturut-turut adalah kacang hijau dengan skor 0,23, kedelai dengan skor 0,19, cabe rawit dengan skor 0,16, serta ubi jalar dengan skor 0,09. Secara lengkap hasil analisis AHP untuk menentukan prioritas komoditas unggulan daerah Kabupaten Sumbawa disajikan dalam hirarki pada Gambar 11. 0,33 0,19 0,23 0,09 0,16 Jagung Kedelai Kacang Hijau Ubi Jalar Cabe Rawit Komoditas Unggulan Skor 47 Gambar 11 Hirarki skor prioritas kriteria dan alternatif penentuan komoditas unggulan daerah Kabupaten Sumbawa. Komoditas jagung menjadi prioritas utama untuk dikembangkan di Kabupaten Sumbawa, terutama disebabkan oleh tingginya peluang permintaan pasar dan tingkat kesesuaian lahan yang optimal lihat sintesis detil dalam Lampiran 9. Begitu juga dengan peluang peningkatan nilai tambah sehingga memperbesar preferensi untuk diusahakan. Prospek pasar jagung baik ditingkat domestik maupun dunia masih terbuka lebar, mengingat sampai saat ini Indonesia hanya mampu sekitar sembilan puluh persen memenuhi kebutuhannya dari produksi sendiri Deptan 2007. Berdasarkan data tahun 2004-2007, trend rata-rata luas panen jagung di Kabupaten Sumbawa terus mengalami kenaikan, berturut-turut seluas 9.110 ha di tahun 2004, 12.240 ha tahun 2005, 13.075 ha tahun 2006, dan 11.004 ha pada tahun 2007. Kondisi tersebut didukung oleh kebijakan pemerintah pusat yang berupaya untuk swasembada jagung dengan melaksanakan berbagai program kegiatan di daerah seperti perluasan areal tanam dan sekolah lapang penerapan teknologi tepatguna SLPTT. Sedangkan dilihat dari sisi peluang nilai tambah, saat ini jumlah penggunaan jagung untuk industri pakan lebih dari lima puluh persen, dan sisanya untuk industri pangan, konsumsi langsung, dan penggunaan lainnya Deptan 2007. Menentukan Prioritas Komoditas Unggulan Lahan 0,20 Nilai Tambah 0,18 Pasar 0,30 Modal 0,24 Preferensi 0,09 Kriteria Alternatif Tujuan Jagung 0,33 Kedelai 0,19 Kacang Hijau 0,23 Ubi Jalar 0,09 Cabe Rawit 0,16 48 Prioritas kedua adalah kacang hijau. Hal ini dapat dilihat dari peluang pasar yang stabil, tidak terlalu bergejolak di setiap musim. Berdasarkan data harga pasar tahun 2004-2007, rata-rata harga kacang hijau terus menunjukkan kenaikan dari Rp 4.875kg di tahun 2004 sampai dengan Rp 7.120kg tahun 2007. Kestabilan harga ini memacu peningkatan preferensi petani untuk mengusahakan komoditas kacang hijau. Komoditas kedelai menjadi prioritas ketiga setelah jagung dan kacang hijau. Prioritas ini lebih besar disebabkan karena peluang peningkatan nilai tambah. Namun dari segi kestabilan pasar yang diapresiasi dengan harga, terlihat bahwa selama tahun 2004-2007, harga kedelai mengalami fluktuasi dengan trend linear tetap pada kisaran harga Rp 4.300kg. Secara nasional, pengembangan kedelai terus digalakkan karena persentase pemenuhan kebutuhan dalam negeri baru sekitar tiga puluh lima persen dan sisanya diimpor Deptan 2007. Prioritas keempat adalah cabe rawit. Pengusahaan cabe rawit berdasarkan analisis AHP menunjukkan kriteria apresiasi pasar yang rendah, dan data harga selama tahun 2004-2007 menunjukkan fluktuasi yang sangat besar. Data harga pada tahun 2004 adalah Rp 18.500kg, tahun 2005 Rp 9.167kg, tahun 2006 15.050kg, dan tahun 2007 turun menjadi 9.230kg. Sementara modal produksi yang diperlukan juga cukup besar. Sedangkan komoditas ubi jalar menjadi prioritas terakhir karena dari segi lahan ubi jalar biasanya ditanam pada lahan- lahan kritis, apresiasi pasar rendah, dan diperlukan modal besar dalam pengusahaannya, sehingga preferensi petani untuk mengusahakannya kecil.

5.3 Wilayah Pengembangan Komoditas