Wilayah Pengembangan Komoditas HASIL DAN PEMBAHASAN

48 Prioritas kedua adalah kacang hijau. Hal ini dapat dilihat dari peluang pasar yang stabil, tidak terlalu bergejolak di setiap musim. Berdasarkan data harga pasar tahun 2004-2007, rata-rata harga kacang hijau terus menunjukkan kenaikan dari Rp 4.875kg di tahun 2004 sampai dengan Rp 7.120kg tahun 2007. Kestabilan harga ini memacu peningkatan preferensi petani untuk mengusahakan komoditas kacang hijau. Komoditas kedelai menjadi prioritas ketiga setelah jagung dan kacang hijau. Prioritas ini lebih besar disebabkan karena peluang peningkatan nilai tambah. Namun dari segi kestabilan pasar yang diapresiasi dengan harga, terlihat bahwa selama tahun 2004-2007, harga kedelai mengalami fluktuasi dengan trend linear tetap pada kisaran harga Rp 4.300kg. Secara nasional, pengembangan kedelai terus digalakkan karena persentase pemenuhan kebutuhan dalam negeri baru sekitar tiga puluh lima persen dan sisanya diimpor Deptan 2007. Prioritas keempat adalah cabe rawit. Pengusahaan cabe rawit berdasarkan analisis AHP menunjukkan kriteria apresiasi pasar yang rendah, dan data harga selama tahun 2004-2007 menunjukkan fluktuasi yang sangat besar. Data harga pada tahun 2004 adalah Rp 18.500kg, tahun 2005 Rp 9.167kg, tahun 2006 15.050kg, dan tahun 2007 turun menjadi 9.230kg. Sementara modal produksi yang diperlukan juga cukup besar. Sedangkan komoditas ubi jalar menjadi prioritas terakhir karena dari segi lahan ubi jalar biasanya ditanam pada lahan- lahan kritis, apresiasi pasar rendah, dan diperlukan modal besar dalam pengusahaannya, sehingga preferensi petani untuk mengusahakannya kecil.

5.3 Wilayah Pengembangan Komoditas

Pengembangan komoditas terkait erat dengan kemampuan suatu wilayah dalam berproduksi baik dilihat dari keberlimpahan sumberdaya luas panen dan produksi maupun dari karakteristik biogeofisik lahan yang dimiliki, serta orientasi pasar sebagai daya tarik dalam berproduksi. Terkait dengan pemasaran produk yang dihasilkan, maka kemampuan menawarkan produk supply side harus mampu mengimbangi besarnya permintaan demand side pada komoditas tersebut. 49 Wilayah Pengembangan Jagung Kabupaten Sumbawa dengan suhu rata-rata tahunan 26-27 o C dan curah hujan rata-rata dapat mencapai 1.212 mmtahun sesuai untuk pengembangan jagung. Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007 menyebutkan suhu 26-30 o C kelas kesesuaian lahannya adalah S2 sesuai yang ditunjang dengan curah hujan 900-1.200 mmtahun. Kesesuaian lahan ini memacu peningkatan produksi hampir di setiap wilayah kecamatan Gambar 12. Gambar 12 Sebaran produksi jagung di Kabupaten Sumbawa tahun 2008. Produksi jagung di Kabupaten Sumbawa tahun 2008 telah mencapai 58.396 ton. Wilayah yang berperan penting dalam produksi jagung adalah Kecamatan Labangka mencapai 28.244 ton dengan luas panen 7.549 ha. Diikuti oleh Kecamatan Lunyuk sebesar 6.226 ton dengan luas panen 1.761 ha, Plampang sebesar 4.867 ton dengan luas panen 1.353 ha, dan Utan sebesar 4.702 ton dengan luas panen 1.333 ha. Sedangkan kecamatan-kecamatan lainnya memiliki luas panen di bawah 1.000 ha lampiran 10. Luas panen di atas 1.000 ha diharapkan akan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak sehingga keunggulan sosial dapat lebih dirasakan manfaatnya oleh lebih banyak petani. Disamping itu efisiensi ekonomi maupun pengawasan dari segi pengendalian hama dapat lebih efektif. Untuk itu, 50 kecamatan-kecamatan yang dapat dijadikan sentra pengembangan jagung di Kabupaten Sumbawa adalah Labangka, Plampang, Lunyuk, dan Utan. Wilayah Pengembangan Kacang Hijau Kelas kesesuaian lahan untuk pengembangan kacang hijau di Kabupaten Sumbawa berdasarkan suhu rata-rata tahunan 26-27 o C adalah S1 sangat sesuai. Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007 menyebutkan bahwa suhu rata- rata tahunan 25-27 o C, bulan kering 4-8 bulan, dan curah hujan 600-1.500 mmtahun termasuk ke dalam kelas kesesuaian lahan S1 untuk komoditas kacang hijau. Kesesuaian lahan ini diprediksi menjadi pemacu peningkatan jumlah produksi kacang hijau terutama di wilayah-wilayah kecamatan bagian timur dengan suhu yang lebih tinggi dari wilayah bagian barat. Sebaran produksi kacang hijau di Kabupaten Sumbawa tahun 2008 dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13 Sebaran produksi kacang hijau di Kabupaten Sumbawa tahun 2008. Pengusahaan kacang hijau saat ini menyebar di semua kecamatan dengan luas areal panen bervariasi. Produksi kacang hijau tahun 2008 di Kabupaten Sumbawa mencapai 26.169 ton. Wilayah dengan produksi tinggi adalah Kecamatan Moyo Hilir sebesar 4.815 ton dengan luas panen 5.048 ha, Empang sebesar 3.601 ton dengan luas panen 3.864 ha, Lopok sebesar 3.648 ton 51 dengan luas panen 3.871 ha, dan Plampang sebesar 3.075 ton dengan luas panen 3.236 ha. Sedangkan Kecamatan lainnya memiliki luas panen masing- masing di bawah 2.000 ha. Luas panen di atas 2.000 ha diharapkan mampu mencapai skala pengusahaan optimal karena produktivitas yang hanya sebesar 0,94 tonha. Dengan demikian, empat kecamatan tersebut dapat dijadikan wilayah sentra produksi yaitu Kecamatan Moyo Hilir, Empang, Lopok, dan Plampang. Wilayah Pengembangan Kedelai Dilihat dari segi kesesuaian lahan untuk kedelai, iklim di Kabupaten Sumbawa dengan suhu rata-rata tahunan 26-27 o C termasuk S2 sesuai dan curah hujan 1.212 mmtahun termasuk S1 sangat sesuai. Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007 menyebutkan karakteristik suhu 25-28 o C termasuk kelas kesesuaian lahan S2 dan curah hujan 1.000-1.500 mmtahun termasuk S1. Pada tahun 2008, produksi kedelai di Kabupaten Sumbawa hanya sebesar 7.893 ton dengan luas areal panen 6.692 ha dan produktivitas 1,18 tonha. Sementara pengusahaannya menyebar di sebagian besar wilayah kecamatan dengan luas panen yang relatif kecil. Sebaran produksi kedelai tahun 2008 dapat dilihat pada Gambar 14. Gambar 14 Sebaran produksi kedelai di Kabupaten Sumbawa tahun 2008. 52 Gambar 14 menunjukkan bahwa kedelai lebih banyak diproduksi di kecamatan-kecamatan bagian barat, bagian selatan dan ujung timur Kabupaten Sumbawa, sedangkan bagian tengah tidak begitu mengapresiasi komoditas kedelai. Kecamatan-kecamatan yang berpotensi untuk dijadikan sentra pengembangan adalah kecamatan-kecamatan dengan luas areal panen saat ini lebih dari 100 ha. Hal ini mengingat tingkat produktivitas rata-rata hanya 1,18 tonha Lampiran 12. Dengan areal yang lebih dari 100 ha diharapkan skala manajemen produksi maupun pengawasan terhadap hama penyakit dan kendala lain dapat lebih efektif. Kecamatan tersebut adalah Utan, Alas Barat, Alas, Lantung, Buer, Empang, Ropang, Rhee, Lenangguar, Tarano, serta Lunyuk. Wilayah Pengembangan Cabe Rawit Kondisi iklim Kabupaten Sumbawa juga mendukung untuk pengembangan cabe rawit. Cahyono 2003 menyatakan bahwa agar dapat berproduksi dengan baik, cabe rawit memerlukan suhu tahunan rata-rata 18 o C-30 o C dengan curah hujan berkisar 600-1.250 mmtahun. Namun demikian cabe rawit memiliki toleransi yang tinggi terhadap suhu udara panas daerah kering maupun udara dingin daerah curah hujan tinggi. Gambar 15 Sebaran produksi cabe rawit di Kabupaten Sumbawa tahun 2008. 53 Gambar 15 menunjukkan bahwa saat ini cabe rawit lebih banyak diusahakan di Kecamatan Buer dengan luas areal panen 186 ha dan mampu berproduksi sebesar 1.258 ton, tetapi produktivitasnya masih kecil 6,76 tonha. Kemudian diikuti oleh Kecamatan Batu Lanteh dengan luas areal panen 30 ha dan produksi sebesar 417 ton dengan produktivitas 13,90 tonha. Selanjutnya Kecamatan Plampang dengan produksi 248 ton, Tarano dengan produksi 210 ton, dan Labangka dengan produksi sebesar 150 ton lampiran 13. Peningkatan produksi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dapat diupayakan dengan meningkatkan produktivitas dan perluasan areal panen di wilayah-wilayah tersebut. Wilayah Pengembangan Ubi Jalar Kabupaten Sumbawa dengan suhu rata-rata tahunan 26-27 o C termasuk sesuai S2 untuk pengembangan ubi jalar. Namun bulan kering selama 6 bulan termasuk ke dalam sesuai marjinal S3. Kondisi iklim yang kurang sesuai ini menyebabkan produksi ubi jalar saat ini masih sangat terbatas. Gambar 16 Sebaran produksi ubi jalar di Kabupaten Sumbawa tahun 2008. Pada tahun 2008 Kabupaten Sumbawa hanya mampu berproduksi sebesar 656 ton. Bila dibandingkan dengan proyeksi kebutuhan konsumsi penduduk Nusa Tenggara Barat tahun 2025 yang mencapai 13.476 ton maka peluang 54 untuk menawarkan produksi masih besar. Sebaran produksi ubi jalar tahun 2008 Gambar 16 menunjukkan bahwa 13 dari 24 kecamatan tidak memproduksi ubi jalar sama sekali. Hal ini mengindikasikan bahwa pengusahaan ubi jalar masih memerlukan upaya yang lebih intensif untuk meningkatkan preferensi masyarakat lihat hasil analisis AHP. Saat ini, ubi jalar banyak diusahakan di Kecamatan Labuhan Badas dengan luas areal panen 12 ha dan mampu berproduksi sebanyak 136 ton, diikuti oleh Batu Lanteh dengan luas areal panen 10 ha dengan jumlah produksi sebesar 116 ton. Kemudian Sumbawa dengan luas areal panen 8 ha dengan produksi 93 ton dan Buer dengan luas areal panen 6 ha dengan produksi sebesar 69 ton. Sedangkan kecamatan lainnya luas panennya di bawah 5 ha lampiran 14. Dengan demikian Batu Lanteh, Labuhan Badas, Sumbawa, dan Buer dapat dijadikan sentra pengembangan ubi jalar di Kabupaten Sumbawa.

5.4 Arahan Strategis Pengembangan