lain tidak adanya petugas yang terlatih PONED seperti dokter yang siap 24 jam dan sulitnya konsultasi dengan dokter pada waktu malam hari. Seharusnya semua
petugas yang terlatih PONED harus siap 24 jam untuk melayani kasus kegawatdaruratan obstetrik dan neonatal di puskesmas. Hal ini sejalan dengan
pendapat Mubarak 2012 yang menyatakan bahwa syarat puskesmas PONED salah satunya adalah memiliki dokter, bidan, perawat terlatih PONED yang siap
melayani 24 jam. Tenaga kesehatan yang cukup memadai jumlahnya di Puskesmas
Hamparran Perak dan Puskesmas Bandar Khalipah seharusnya juga diberikan pelatihan yang merata mengenai PONED, pelatihan ini bisa diberikan dari tenaga
PONED yang sudah terlatih, sehingga tidak lagi menjadi kendala dalam penanganan pasien karena semua petugas sudah memiliki kemampuan yang sama.
Menurut Christina 2011, kekurangan staf merupakan suatu hambatan yang besar untuk menyediakan pelayanan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal. Menurut
Hasnah 2003, dalam peran sebagai pelaksanan pelayanan kesehatan di Puskesmas, tenaga kesehatan merupakan sumber daya fisik, finansial dan manusia
dalam tim kerja.
5.1.1.2 Kualitas SDM PONED
Berdasarkan hasil wawancara, baik kepada kepala Puskesmas Hamparan Perak maupun kepada kepala Puskesmas Bandar Khalipah menyatakan bahwa ada
perbedaan kualitas antara yang sudah terlatih PONED dengan yang belum terlatih PONED. Kepala Puskesmas Bandar Khalipah menyatakan bahwa petugas yang
sudah terlatih PONED umumnya lebih baik pengetahuannya dan lebih percaya
diri dalam menangani kasus-kasus kegawatdaruratan ibu dan bayi baru lahir karena petugas yang dipilih untuk mengikuti pelatihan PONED adalah petugas
yang memiliki kualitas baik, sedangkan menurut petugas PONED baik di Puskesmas Hamparan Perak maupun Puskesmas Bandar Khalipah menyatakan
bahwa ilmu yang didapat dalam pelatihan PONED yang hanya dilakukan sekali dan sudah lama. Hal ini mengakibatkan ilmu yang didapat banyak yang lupa
karena jarang diaplikasikan. Selain itu, petugas PONED di puskesmas hamparan Perak juga tidak ditempatkan di bagian yang khusus melayani pasien ibu dan
anak. Salah satu dari mereka ditempatkan di bagian promosi kesehatan dan yang lainnya ditempatkan di Poli umum dan petugas kartu. Sedangkan di Puskesmas
Bandar Khalipah penempatan tenaga kesehata dilakukan roker secara bergilir di setiap program, sehingga tenaga terlatih PONED tidak selamanya ditempatkan di
bagian PONED. Hal ini mengakibatkan petugas yang telah mengikuti pelatihan PONED tidak dapat menerapkan ilmu yang diperolehnya untuk menangani kasus
kegawatdaruratan obstetri maupun neonatal, artinya pelatihan yang mereka ikuti menjadi sia-sia. Seharusnya menurut Depkes RI 2004, tenaga terlatih PONED
harus diatur penempatan, pemanfaatannya sesuai fungsi mereka dalam
melaksanakan pelayanan obstetri dan neonatal. 5.1.2
Ketersediaan Sarana dan Prasarana yan Mendukung Pelayanan Rujukan KIA
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan yang dilaksanakan di Puskesmas Hamparan Perak dan di Puskesmas Bandar Khalipah didapat bahwa
sarana dan prasarana di Puskesmas Bandar Khalipah sudah cukup lengkap dan disusun dalam trolli emergensi maternal dan neonatal dan kondisi fisik bangunan
juga cukup memadai. Sedangkan alat-alat di Puskesmas Hamparan Perak tidak lengkap karena alat kuretase, plasenta manual dan vakum ekstraksi dalam hal
rujukan maternal dan neonatal tidak lengkap, selain itu peralatan yang ada juga merupakan peralatan lama dan tidak disusun di trolli emergensi, sehingga apabila
ada pasien ibu atau bayi dengan kegawatdaruratan, maka tenaga kesehatan cenderung merujuk karena kurang lengkapnya alat. Kondisi fisik bangunan dan
ruang perawatan juga kurang memadai, dan belum memenuhi standar sebagai Puskesmas PONED, hal ini juga dapat menimbulkan persepsi bidan dan
masyarakat untuk tidak merujuk pasien ke puskesmas. Menurut Rochjati 2003, salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
lambannya penurunan angka kematian ibu adalah tenaga dan fasilitas kesehatan dengan kemampuan dan kelengkapan alat kesehatan kurang ditingkat pelayanan
dasar. Selain itu menurut Handayani 2011 dalam penelitiannya menyebutkan pencapaian tujuan kebijakan harus didukung oleh ketersediaan sarana dan
prasarana maka tugas pekerjaan dapat diselesaikan sebagaimana seharuanya. Ketersediaan sarana prasarana merupakan faktor penentu kinerja sebuah
kebijakan. Implementor harus mendapatkan sumber-sember yang dibutuhkan agar program berjalan lancar. Sekalipun kebijakan memiliki tujuan dan sasaran yang
jelas, jika tanpa sumber daya yang memadai, maka kebijakan hanya tinggal di kertas dokumen saja. Menurut Wijayanto 2004, mengatakan bahwa agar hasil
pelaksanaan kegiatan jasa pelayanan kesehatan dapat bermutu perlu direncanakan sebaik-baiknya, diantaranya adalah kelengkapan fasilitas, peralatan kedokteran
dan obat-obatan yang cukup dan bermutu sehingga member kepuasan pada tenaga medis dan paramedis pelaksana pelayanan kesehatan.
Ketersediaan sarana dan fasilitas di Puskesmas mampu PONED, berupa perbekalan kesehatan yang diperlukan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan
meliputi sediaan farmasi, alat kesehatan dan perbekalan lainnya. Dalam pelayanan puskesmasm mampu PONED, sarana dan fasilitas harus tersedia dengan lengkap.
Sarana dan fasilitas berasal dari propinsi, sedangkan untuk operasional PONED berasal dari operasional puskesmas. Jaminan ketersediaan sarana, peralatan dan
pasokan yang memadai adalah syarat untuk melaksanakan pelayanan kesehatan agar sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Apabila persyaratan ini tidak
terpenuhi maka hal tersebut menimbulkan kesenjangan kinerja-kualitas pelayanan. Petugas kompeten tidak dapat menunjukkan kinerja yang memadai apabila sarana
dan pasokan untuk menyelenggarakan pelayanan yang berkualitas tidak dapat dipenuhi oleh pemilik dan pengelola fasilitas kesehatan tersebut Kementerian
Kesehatan RI, 2013.
5.1.3 Ketersediaan Sarana Transportasi dalam Sistem Rujukan KIA