Undang-Undang Dasar Tahun 1945 UUD 1945

231 Lampiran

BAB V KESIMPULAN

Upaya penegakan hukum dan perlindungan HAM internasional telah diakui sebagai hal yang sangat penting dan mendesak. Empat Mahkamah Internasional ad hoc telah dilaksanakan untuk menghukum para pelaku kejahatan internasional khususnya kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa banyak kritik yang muncul yang mewarnai kinerja mahkamah-mahkamah tersebut diantaranya adalah victors justice, selective justice, dan praktek-praktek impunity yang sulit dihapuskan. Berangkat dari tujuan ingin menyempurnakan kekurangan-kekurangan mahkamah-mahkamah terdahulu serta menjamin penghukuman terhadap pelaku kejahatan yang paling serius yang meresahkan masyarakat internasional agar tidak terulang di kemudian hari, maka didirikanlah 232 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia suatu Mahkamah Pidana Internasional permanen MPI berdasarkan Statuta Roma 1998 yang telah berlaku efektif sejak tanggal 1 Juli 2002. Hingga saat ini sudah 100 negara yang menjadi pihak Statuta Roma. MPI ,dalam menerapkan yurisdiksinya, memiliki prinsip yang fundamental yakni prinsip komplementer complementary principle. Prinsip ini menegaskan bahwa MPI hanyalah mekanisme pelengkap bilamana suatu negara tidak mampu unable dan tidak mau unwilling untuk mengadili para pelaku kejahatan dalam jurisdiksinya yakni kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida dan kejahatan agresi. Prinsip ini jelas membuktikan bahwa fungsi MPI bukan untuk melaksanakan intervensi internasional dengan mengambil alih fungsi pengadilan nasional suatu negara, namun justru menjunjung tinggi kedaulatan nasional suatu negara dengan mengutamakan keefektifan mekanisme hukum nasionalnya untuk menghukum pelaku kejahatan yang merupakan warganegaranya. Indonesia yang belum menjadi pihak dalam Statuta Roma, seringkali menemukan kesulitan dalam menegakkan hukum HAM dikarenakan instrumen hukum HAM tidak memadai serta ketidaksiapan aparat penegak hukumnya dalam menghadapi isu HAM yang relatif baru bagi mereka. Hal ini seringkali menyebabkan Indonesia sulit memenuhi kewajiban untuk melakukan penghukuman terhadap pelaku pelanggaran HAM yang berat seperti yang misalnya terjadi dalam kasus Timor-Timur, Tanjung Priok dan Abepura. Ratifikasi Statuta Roma diharapkan dapat menjadi sarana pendorong bagi Indonesia untuk segera membenahi kekurangannya tersebut sehingga Indonesia bisa memenuhi kewajibannya untuk memberikan jaminan perlindungan HAM terhadap warganegaranya. 233 Lampiran Jika dibandingkan negara ASEAN lain, Indonesia dapat berbangga dengan kesiapan instrumen hukum yang memberikan perlindungan HAM bagi warganegaranya seperti misalnya yang tercantum dalam UUD 1945, KUHP, KUHAP, Undang-Undang 391999, dan Undang-Undang 262000. Walaupun banyak kekurangan seperti yang telah diuraikan dalam paragraf sebelumnya, instrumen hukum yang dimiliki Indonesia sudah cukup menunjukan diri sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan dinilai sudah cukup siap untuk meratifikasi Statuta Roma. Keuntungan yang akan didapatkan Indonesia ketika menjadi pihak dalam Statuta Roma selain mendorong pembenahan sistem hukum nasional Indonesia khususnya hukum HAM juga dapat meningkatkan kapasitas sumber daya manusia Indonesia dengan terbukanya kesempatan khususnya bagi aparat penegak hukum untuk berpartisipasi dalam mahkamah internasional dengan menjadi hakim, jaksa atau panitera di MPI. Selain itu, keterlibatan Indonesia dalam MPI dapat menjadi contoh yang baik bagi negara- negara tetangganya khususnya negara-negara besar di ASEAN yang hingga saat ini belum satupun yang menjadi negara pihak Statuta Roma. Berdasarkan berbagai alasan inilah maka Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia harus segera meratifikasi Statuta Roma tentang MPI. Sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undang maka RUU tentang Pengesahan Perjanjian internasional sekurang- kurangnya terdiri atas dua pasal yaitu pasal pertama memuat pengesahan perjanjian internasional dengan memuat pernyataan melampirkan salinan naskah aslinya atau naskah asli bersama dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia