KUHP, RKUHP dan KUHAP

233 Lampiran Jika dibandingkan negara ASEAN lain, Indonesia dapat berbangga dengan kesiapan instrumen hukum yang memberikan perlindungan HAM bagi warganegaranya seperti misalnya yang tercantum dalam UUD 1945, KUHP, KUHAP, Undang-Undang 391999, dan Undang-Undang 262000. Walaupun banyak kekurangan seperti yang telah diuraikan dalam paragraf sebelumnya, instrumen hukum yang dimiliki Indonesia sudah cukup menunjukan diri sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan dinilai sudah cukup siap untuk meratifikasi Statuta Roma. Keuntungan yang akan didapatkan Indonesia ketika menjadi pihak dalam Statuta Roma selain mendorong pembenahan sistem hukum nasional Indonesia khususnya hukum HAM juga dapat meningkatkan kapasitas sumber daya manusia Indonesia dengan terbukanya kesempatan khususnya bagi aparat penegak hukum untuk berpartisipasi dalam mahkamah internasional dengan menjadi hakim, jaksa atau panitera di MPI. Selain itu, keterlibatan Indonesia dalam MPI dapat menjadi contoh yang baik bagi negara- negara tetangganya khususnya negara-negara besar di ASEAN yang hingga saat ini belum satupun yang menjadi negara pihak Statuta Roma. Berdasarkan berbagai alasan inilah maka Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia harus segera meratifikasi Statuta Roma tentang MPI. Sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undang maka RUU tentang Pengesahan Perjanjian internasional sekurang- kurangnya terdiri atas dua pasal yaitu pasal pertama memuat pengesahan perjanjian internasional dengan memuat pernyataan melampirkan salinan naskah aslinya atau naskah asli bersama dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia 234 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia dan Pasal kedua memuat ketentuan mengenai saat mulai berlakunya undang-undang pengesahan tersebut. Ratifikasi Statuta Roma saja tidak cukup jika akhirnya aturan Statuta Roma tersebut tidak dapat diberlakukan secara efektif hanya karena aturan-aturan tersebut belum menjadi hukum nasional di Indonesia, seperti nasib dari banyak konvensi Internasional yang sudah diratifikasi Indonesia namun hanya menjadi dekorasi hukum semata, misalnya Konvensi Jenewa 1949. Belajar dari hal tersebut, maka segera setelah Indonesia meratifikasi Statuta Roma, maka aturan implementasinya pun harus segera disahkan pula. Hal ini penting untuk meminimalkan intervensi internasional karena Indonesia tidak akan dikategorikan sebagai negara yang unwillingunable. Penyusunan aturan implementasi Statuta Roma bisa dimulai dari penjabaran aturan-aturan Statuta Roma yang belum terakomodir di Indonesia sehingga aturan tersebut bisa terabsorpsi dalam hukum nasional kita. Selanjutnya melakukan pembaharuan terhadap aturan-aturan yang sudah ada yang bertentangan dengan aturan dalam Statuta Roma, seperti misalnya aturan pidana mati, aturan kadaluarsa, dan aturan amnesty bagi pelanggaran HAM yang berat. Sehingga pada akhirnya, aturan Statuta Roma tersebut dapat berjalan selaras dengan hukum nasional dan implementasinya akan berjalan efektif sehingga tujuan peratifikasian Statuta Roma akan tercapai. Selain melaksanakan sinkronisasi, penyebarluasan informasi mengenai aturan Statuta Roma juga tidak kalah pentingnya, khususnya ke kalangan aparat penegak hukum, unit-unit angkatan bersenjata, serta para akademisi dan praktisi hukum. Sejak disahkannya Undang-Undang 262000 mengenai Pengadilan HAM yang merupakan 235 Lampiran pengadopsian “sebagian” aturan dalam Statuta Roma, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengenalkan aturan ini khususnya kepada aparat penegak hukum. Misalnya, berbagai pelatihan, seminar dan studi banding ke negara lain telah dilaksanakan untuk meningkatkan pengetahuan para hakim dan jaksa Pengadilan HAM Indonesia mengenai mekanisme penegakkan hukum HAM internasional. Selain itu kesadaran akan pentingnya hukum HAM juga sudah semakin meningkat di kalangan angkatan bersenjata seiring dengan banyaknya para petinggi militer yang diadili di Pengadilan HAM. Namun, di kalangan akademisi, materi MPI masih sangat jarang ditemukan dalam kurikulum perkuliahan. Diharapkan, dengan diratifikasinya Statuta Roma disertai dengan penyerbarluasan informasi yang terstruktur dan sistematis, maka pemahaman tentang aturan hukum HAM dan kewajiban negara dalam menegakkan hukum HAM internasional dapat lebih baik lagi. Dan tentu saja, untuk mewujudkannya diperlukan kerjasama yang baik serta peran aktif berbagai pihak baik pemerintah sebagai pembuat kebijakan, legislatif sebagai sarana legitimasi, para penegak hukum, akademisi dan seluruh masyarakat Indonesia pada umumnya.