175
Lampiran
sangat kurang mendapatkan bantuan fasilitas- fasilitas yang mendukung perkara yang mereka
tangani misalnya perpustakaan, komputer, dan akses internet.
c. Perlindungan Saksi dan Korban
Salah satu tujuan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional adalah untuk menjamin korban dan saksi
mendapatkan perlindungan. Perlindungan saksi dan korban diatur baik dalam Statuta Roma maupun dalam Rules of
Procedure and Evidence-nya RPE. Aturan ini didasarkan pada norma yang sama yang telah diatur dalam dua
pengadilan ad hoc internasional sebelumnya yakni ICTY dan ICTR.
Partisipasi saksi dan korban mendapatkan jaminan dalam setiap tingkat proses persidangan di MPI.
Perlindungan saksi dan korban diatur dalam Pasal 68 Statuta Roma, yaitu:
i. Proses persidangan in camera sidang tertutup untuk umum, dan memperbolehkan pengajuan
bukti dengan sarana khusus atau sarana elektronika lain Pasal 682 Statuta Roma. Secara khusus,
tindakan-tindakan tersebut harus dilaksanakan dalam hal seorang korban kekerasan seksual atau
seorang anak yang menjadi korban atau saksi dalam kasus pelanggaran HAM yang berat.
ii. Unit Saksi dan Korban Pasal 684 Statuta Roma: dalam Mahkamah Pidana Internasional, unit ini
dibentuk oleh Panitera di dalam Kepaniteraan. Setelah berkonsultasi dengan Kantor Penuntut
Umum, unit ini berfungsi untuk menyediakan
176
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
langkah-langkah perlindungan dan pengaturan keamanan, jasa nasihat dan bantuan yang perlu
bagi para saksi, korban yang menghadap di depan Mahkamah dan orang-orang lain yang mungkin
terkena risiko karena kesaksian yang diberikan oleh para saksi tersebut.
Unit ini juga mencakup staf dengan keahlian mengatasi trauma, termasuk trauma yang terkait dengan
kejahatan kekerasan seksual Pasal 436 Statuta Roma. Bahkan dalam RPE, unit ini wajib untuk menjamin
perlindungan dan kemanan saksi agar semua saksi dan korban dapat hadir di persidangan. Untuk itu unit ini wajib
untuk membuat rencana perlindungan korban dan saksi baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Selanjutnya,
setelah berkonsultasi dengan Kantor Kejaksaan, unit ini harus menyusun tata cara mengenai keamanan dan kerahasiaan
professional untuk para penyelidik, pembela dan organisasi- organisasi pemerintah dan non-pemerintah yang bertindak
atas nama Mahkamah. Disamping itu unit ini juga diberi kewenangan untuk membuat perjanjian dengan Negara-
negara untuk kepentingan pemukiman resettlement korban dan saksi yang mengalami trauma atau ancaman.
40
Di Indonesia, perlindungan saksi dan korban dalam pelanggaran HAM yang berat diatur dalam Pasal 34 Undang-
Undang 262000 dan diikuti oleh Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 2002 sebagai aturan pelaksanaannya. Namun
berbagai aturan perlindungan saksi dan korban serta reparasi bagi korban yang diatur dalam Statuta Roma di atas banyak
yang tidak diatur dalam Pasal 34 serta Peraturan Pemerintah tersebut. Akibatnya, praktek pengadilan HAM Ad Hoc
40 Rudi Rizki at al, Pelaksanaan Perlindungan Korban dan Saksi Pelanggaran HAM
Berat, Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2003, p. 28
177
Lampiran
Timor Timur dan Tanjung Priok membuktikan bahwa banyak korban serta saksi yang tidak mau hadir ketika
dipanggil ke pengadilan. Alasan-alasan mereka diantaranya adalah ketidakpercayaan adanya jaminan keamanan karena
tidak adanya perahasiaan korban, tidak ada safe house, perlakuan terhadap korban dan saksi dari aparat, kurangnya
persiapan dan pengalaman aparat, dan alasan biaya.
Akibat dari ketidakhadiran saksi maka kebenaran tidak terungkap dengan baik sehingga keputusan tidak
memenuhi rasa keadilan. Disamping itu asas peradilan yang cepat dan hemat pun tidak tecapai karena seringnya
pengunduran perobahan jadwal persidangan akibat ketidakhadiran saksi.
Selain mendapatkan perlindungan, para saksi dan korban juga berhak mendapatkan reparasi moral
dan material. Pasal 75 Statuta Roma mengatur mengenai berbagai bentuk reparasi terhadap korban kompensasi,
restitusi dan rehabilitasi. Selain itu Pasal 79 Statuta Roma berdasarkan Majelis Negara-Negara Pihak berhak
menetapkan adanya Trust Fund untuk kepentingan para korban dan keluarganya.
Mahkamah dapat memerintahkan uang dan kekayaan lain yang terkumpul lewat denda atau penebusan
untuk ditransfer, atas perintah Mahkamah, kepada Trust Fund. Pengelolaan Trust Fund adalah berdasarkan kriteria
yang diatur Majelis Negara-Negara Pihak. Aturan lebih jelas mengenai hal diatas diatur dalam Aturan 94 dari MPI Rules
of Procedure and Evidence RPE.
Proses untuk menentukan reparasi bisa atas permohonan korban sendiri Aturan 94 1 RPE atau
atas mosi Mahkamah sendiri berdasarkan pasal 75 1
178
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Statuta Roma Aturan 95 1 RPE. Korban dan terdakwa boleh mengambil bagian dalam proses penetuan reparasi.
Mahkamah juga dimungkinkan untuk mengundang ahli untuk membantu proses reparasi tersebut dalam hal
menetapkan kerugian, kerusakkan atau luka dan memberikan saran dalam hal “tipe-tipe dan cara reparasi yang layak
untuk dilakukan”. Menariknya, berdasarkan Aturan 972 “Mahkamah harus mengundang secara layak para korban
dan penasihat hukumnya, terdakwa, orang-orang serta negara yang berkepentingan lainnya untuk memberikan
penilaian terhadap laporan dari ahli tersebut”.
41
Selain melaksanakan penghukuman bagi pelaku, pemberian kompensasi kepada korban adalah merupakan
salah satu bentuk tanggungjawab Negara state responsibility ketika terjadi pelanggaran HAM yang berat di wilayahnya.
Karena itu, idealnya pemberian kompensasi ini tidak harus menunggu pelaku atau pihak ketiga tidak mampu untuk
memenuhi tanggungjawabnya, namun merupakan kewajiban yang sudah melekat bagi Negara. Definisi ini sebenarnya
sudah diatur dalam pasal 1 6 Undang-Undang KKR No.3 tahun 2004, dan seharusnya definisi inilah yang diterapkan
dalam praktek Pengadilan HAM kita sehingga dibebaskan atau dihukumnya terdakwa tidak akan mempengaruhi
kewajiban Negara untuk memberikan kompensasi bagi korban pelanggaran HAM yang berat.
d. Mahkamah Pidana Internasional dan Kejahatan Teror- isme
Statuta Roma secara khusus tidak memiliki yurisdiksi khusus terhadap kejahatan terorisme. Kejahatan
terorisme sendiri menjadi perhatian dunia pasca 911 yang
41 Antonio Cassese, International Criminal Law, Oxford University Press, 2003,
p. 430.
179
Lampiran
kemudian oleh Amerika Serikat AS dipergunakan sebagai bagian politik globalnya untuk memulai kampanye perang
terhadap terorisme war against terrorism. Kampanye ini tidak didasarkan pada penegakan hukum internasional yang
justru berdampak pada munculnya sejumlah pelanggaran HAM dalam penanganan kasus-kasus terorisme dan
stigmatisasi terhadap kelompok-kelompok tertentu.
Padahal dalam mengadili pelaku terorisme walaupun melalui mekanisme yurisdiksi nasional haruslah
sesuai dengan standar hukum internasional khususnya dalam perlindungan dan penghormatan terhadap HAM.
Hal ini penting mengingat munculnya produk perundang- undangan anti terorisme yang bersifat draconian di berbagai
negara di dunia pasca 911.
Bagaimanapun, kejahatan terorisme telah diakui sebagai ancaman secara global dan MPI adalah satu-satunya
institusi yang tepat untuk mengadili para pelaku kejahatan terorisme. Bila ditelisik dari segi yuridiksi rationae personae,
Statuta Roma mengatur bahwa Mahkamah memiliki yurisdiksi terhadap orang atau individu sehingga dalam
mengadili para pelaku, Mahkamah akan tetap fokus pada pertanggungjawaban pidana secara individu individual
criminal responsibility. Selain itu yang tak kalah penting adalah bila mengacu pada prinsip komplementer dimana
mekanisme yurisdiksi nasional diberlakukan terlebih dahulu untuk mengadili para pelaku. Dengan demikian
penanganan terorisme melalui mekanisme MPI dapat menekan pelanggaran HAM yang mungkin terjadi dan
menghindarkan stigmatisasi terhadap kelompok-kelompok tertentu.
Karenanya menjadi agenda penting untuk Indonesia memasukan kejahatan terorisme dalam yurisdiksi
180
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
MPI. Jalan satu-satunya adalah dengan mengusulkannya dalam review conference pada 2010 mendatang sehingga
akan tercapai standardisasi internasional dan perubahan perspektif terhadap penanganan kejahatan terorisme yang
saat ini penuh dengan nuansa politik global AS dan terbukti menimbulkan permasalahan penghormatan dan penegakan
hukum internasional. Indonesia akan dapat melakukannya jika telah meratifikasi Statuta Roma.
e. Memperkuat Peran Indonesia dalam Kerangka Piagam ASEAN
Indonesia telah meratifikasi Piagam ASEAN pada Oktober 2008 sebagai bagian dari upayanya untuk
memperkuat dan berkontribusi bagi organisasi regional ini. Meski ada banyak kritik terhadap substansi piagam akan
tetapi tetap berkait erat dengan upaya untuk mempromosikan penghormatan HAM dan Hukum Humaniter Internasional.
Hal inilah yang dapat memperkuat Indonesia dalam perannya di ASEAN bila ratifikasi Statuta Roma 1998 tentang
Mahkamah Pidana Internasional segera direalisasikan.
Pada Prinsip-prinsip Piagam ASEAN dalam Pasal 22j Piagam ASEAN ditegaskan bahwa negara-negara
anggota akan menjunjung tinggi Piagam PBB dan Hukum Internasional termasuk Hukum Humaniter Internasional
yang telah menjadi bagian dari hukum nasional dari negara- negara anggota ASEAN. Terdapat dua hal penting yang
tercermin dari pasal ini, pertama, ini merupakan bentuk penegasan ASEAN bahwa negara-negara ASEAN hanya
menerima dan mengakui hukum internasional yang telah menjadi bagian dari hukum nasionalnya atau dengan kata
lain hukum internasional yang telah diratifikasi. Artinya ASEAN melakukan penerimaan secara parsial terhadap
hukum internasional tertentu dan menolak hukum