Persiapan; 200912 Buku Jalan Panjang Menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
49
Pengesahan Statuta Roma dan Harmonisasi Hukum Nasional
mendorong proses ratifikasi. Idealnya keterlibatan DPR hanya sebatas mendorong dan menekan pemerintah untuk
segera mengajukan usul inisitif RUU ratifikasi dalam koridor pengawasan yang dimilikinya. Sebagai representasi dari
masyarakat yang diwakilinya, jika memang DPR merasa ada perjanjian internasional yang perlu segera diratifikasi karena
alasan tertentu, DPR dalam koridor fungsi pengawasannya dapat mendorong pemerintah untuk meratifikasi perjanjian
internasional tersebut apalagi jika misalnya perjanjian tersebut sudah disebut sebagai bagian dari rencana kerja
pemerintah yang dijanjikan ke publik. Misalnya saja ratifikasi terhadap Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana
Internasional International Criminal Court yang masuk Rencana Aksi nasional Hak Asasi Manusia RANHAM
dimana disebutkan bahwa Pemerintah akan meratifikasi statuta tersebut pada tahun 2008, namun nyatanya sampai
akhir 2008, pemerintah bahkan belum menyerahkan RUU ratifikasi statuta tersebut ke DPR
11
. Berdasarkan alasan inilah koalisi masyarakat
sipil untuk ratifikasi Statuta Roma melakukan advokasi. Pemerintah merupakan pihak sentral dalam ratifikasi
karenanya menjadi sasaran utama dalam proses advokasi. Meski demikian pendekatan kepada DPR tetap dilakukan
agar DPR dapat ikut mendorong pemerintah untuk segera menghasilkan RUU ratifikasi.
Harmonisasi: Pilihan antara Monisme atau Dualisme
Setelah sebuah RUU pengesahan perjanjian internasional sudah disahkan menjadi UU maka pertanyaan
berikutnya adalah bagaimana relasi antara hukum internasional yang sudah disahkan tersebut dengan hukum
11 Aria Suyudi, op.cit.
50
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
nasional? apakah perjanjian internasional tersebut dapat langsung diimplementasikan? Pertanyaan ini yang sampai
sekarang masih belum diselesaikan dalam peraturan Indonesia yang saat ini berlaku yang mengatur soal
pembentukan peraturan perundang-undangan. Padahal implikasi dari ketidakjelasan inilah yang menjadi sumber
mandulnya perjanjian internasional yang sudah diratifikasi di Indonesia.
Sumber perdebatan soal ini berputar pada apakah Indonesia menganut monisme atau dualisme.. Monisme
menempatkan hukum nasional dan hukum internasional sebagai bagian dari satu kesatuan sistem hukum pada
umumnya, keduanya saling berhubungan. Monisme dibagi lagi menjadi dua yaitu monism primat hukum nasional dan
monism primat hukum internasional. Yang dimaksud primat hukum nasional adalah ketika Hukum nasional dianggap
lebih tinggi dari hukum internasional sedangkan primat hukum internasional adalah ketika hukum internasional
dianggap lebih tinggi dari hukum nasional.
Dualisme menempatkan hukum nasional dan hukum internasional sebagai sistem hukum yang terpisah, masing-
masing berdiri sendiri dan tidak ada hubungan satu dengan yang lainnya. Meski menurut Mochtar Kusumaatmadja
Indonesia menganut aliran monisme dengan primat Hukum Internasional
12
namun dalam prakteknya masih terjadi ketidakkonsistenan soal ini.
Praktek Indonesia dalam masalah implementasi perjanjian internasional dalam hukum nasional RI
tidak terlalu jelas mencerminkan apakah Indonesia menganut monisme, dualisme atau kombinasi
12 Prof. Dr. Ibrahim R. Status Hukum Internasional dan Perjanjian Internasional di
dalam Hukum Nasional permasalahan teoritik dan praktek.
51
Pengesahan Statuta Roma dan Harmonisasi Hukum Nasional
keduanya. Dalam prakteknya, sekalipun suatu perjanjian internasional telah diratifikasi dengan
UU, masih dibutuhkan adanya UU lain untuk mengimplementasikannya ada domain hukum
nasional,. Di lain pihak, terdapat pula perjanjian internasional yang diratifikasi namun dijadikan
dasar hukum untuk implementasi seperti konvensi wina 19611963 tentang hubungan diplomatik
konsuler yang diratifikasi dengan UU No. 1 Tahun 1982
13
Pilihan terhadap konsep dasar ini menentukan sejauh apa harmonisasi dan sinkronisasi peraturan
perundang-undangan harus dilakukan terhadap suatu perjanjian internasional yang sudah diratifikasi. Apakah
perlu dibuat undang-undang khusus yang mengadopsi ulang perjanjian tersebut seperti UNCLOS 1982 yang diratifikasi
oleh UU No. 17 Tahun 1985 tetap membutuhkan UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan atau cukup membuat aturan
pelaksana saja jika dirasa perlu yang merupakan turunan langsung dari perjanjian internasional tersebut?
Apapun pilihannya
harmonisasi menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari ratifikasi perjanjian internasional. Kesesuaian materi perjanjian internasional
yang ditandatangani pemerintah dengan hukum positif Indonesia menjadi kendala utama dalam penerapan
perjanjian internasional tersebut dengan kata lain perlu dilakukan proses harmonisasi dan sinkronisasi. Jika belum
sesuai dengan hukum positif berarti perlu dilakukan
13 Damos Dumoli Agusman, Perjanjian internasional dalam teori dan praktek di
indonesia: kompilasi permasalahan. Direktorat Perjanjian Ekonomi sosial dan Budaya, Direktorat jenderal hukum dan Perjanjian Internasional, Departemen Luar
Negeri, 2008, http:www.scribd.comdoc18623572Perjanjian-Internasional-
Dalam-Teori-Dan-Praktek-Di-Indonesia-Kompilasi-Permasalahan?from_ email_04_friend_send=1
, diakses tanggal 27 September 2009.