Aturan mengenai pidana mati

68 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia melalui perlindungan HAM. Pertimbangan yuridis yang menjadi landasan Undang-Undang ini yaitu untuk menjamin keadilan dan kepastian hukum, dikarenakan KUHP Indonesia tidak mengatur pelanggaran berat terhadap HAM yang merupakan kejahatan luar biasa extra ordinary crimes. Dalam sistem hukum Indonesia, suatu hal yang belum diatur dalam KUHP dapat diatur dalam peraturan tersendiri sehingga Undang-Undang 26 Tahun 2000 banyak melakukan terobosan-terobosan aturan hukum yang tidak diatur sebelumnya dalam KUHAP seperti yang telah dijelaskan dalam Bab I. Landasan sosiologis dalam Undang-Undang ini yaitu sebagai upaya menjaga dan meningkatkan upaya perlindungan HAM, dan mencegah terjadinya kembali pelanggaran-pelanggaran HAM yang berat masa lalu. Sedangkan alasan politik dalam Undang-Undang ini yaitu bahwa pelanggaran HAM yang berat bersifat politis yang dilakukan oleh sekelompok orang yang memegang kekuasaan. Adanya Undang-Undang No.26 Tahun 2000 yang isinya banyak mengadopsi dari Statuta Roma ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan Indonesia untuk menunjukan bahwa Indonesia mampu melaksanakan peradilan sendiri yang sesuai dengan standar internasional Statuta Roma dan untuk menguatkan prinsip komplementaritas yang dianut oleh ICC. Undang-Undang ini menunjukan niat dan itikad baik pemerintah Indonesia untuk melaksanakan penghukuman terhadap pelaku pelanggaran HAM yang berat di negaranya. d. UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Sejak tahun 2006, Indonesia telah mempunyai UU khusus tentang Perlindungan Saksi dan Korban. UU ini 69 Pengesahan Statuta Roma dan Harmonisasi Hukum Nasional mengatur tentang hak-hak korban dan saksi, termasuk dalam saksi dan korban kejahatan-kejahatan yang merupakan pelanggaran HAM yang berat. Beberapa hak saksi yang diatur diantaranya hak-hak saksi untuk diberikan perlindungan pergantian identitas dan relokasi saksi pasal 5. Selain itu juga mengadopsi berbagai ketentuan dalam Statuta Roma tentang perlindungan saksi diantaranya pemeriksaan saksi in camera, atau pemberian kesaksian melalui media elektronik lainnnya pasal 9. Meski demikian masih banyak standar perlindungan yang perlu disesuaikan dengan standar yang diatur dalam Statuta Roma. Dalam rangka melindungi saksi dan korban secara lebih baik, UU ini juga memandatkan pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK. Lembaga ini merupakan lembaga yang mandiri dengan anggota yang mewakili lembaga-lembaga penegak hukum dan masyarakat dan dengan sistem kerja yang berkoordinasi dengan lembaga- lembaga penegak hukum lainnya. Meskipun berbeda konsepnya dengan unit perlindungan saksi dan korban di ICC, namun dalam beberapa hal lembaga ini mempunyai kesamaan tujuan dan fungsi. Adanya UU Perlindungan saksi dan korban ini menunjukkan komitmen Indonesia untuk memenuhi kewajibannya dalam menuntut kejahatan-kejahatan yang termasuk pelanggaran HAM yang berat dengan adanya sistem perlindungan bagi saksi dan korban. Demikian juga komitmen untuk memberikan hak-hak reparasi pemulihan kepada para korban, yang sesuai dengan hukum internasional dan Statuta Roma. Harmonisasi yang dilakukan oleh koalisi masyarakt sipil untuk ratifikasi Statuta Roma ini lebih kepada membuat aturan turunanpelaksana dari Statute Roma ketimbang