72
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Indonesia RI untuk mewujudkan bergabung Indonesia bersama-sama dengan negara-negara di dunia yang telah
menjadi pihak dalam kampanye menegakan keadilan internasional. Adapun diantara kendala-kendala tersebut
adalah lambannya kejelasan proses yang dilakukan negara dalam menentukan focal point dalam proses peratifikasian
yang kemudian oleh belakangan negera menetapkan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Hal lain yang tak kalah penting adalah tantangan yang kuat dari tubuh Tentara Nasional Indonesia TNI
yang secara jelas mengungkapkan keberatan-keberatan mereka jika Indonesia menjadi negara pihak dari Statuta
Roma. Berbagai alasan mereka ungkapkan salah satunya berkait dengan belum siapnya perangkat hukum nasional
yang compatible dengan Statuta Roma. Namun dibalik alasan itu adalah kekhawatiran TNI terhadap kemungkinan-
kemungkinan mereka untuk menjadi target dari Mahkamah Pidana Internasional jika terdapat dugaan pelanggaran-
pelanggaran serius yang diakui dalam hukum internasional serious violations recognized by international law
sebagaimana termaktub dalam Statuta Roma.
Kekhawatiran ini jelaslah sangat berlebihan mengingat personil TNI tidak selalu menjadi target tetapi juga
dapat menjadi korban. Perspektif salah kaprah ini dapat saja diartikan bahwa TNI dalam setiap operasi militernya selalu
menggunakan kekerasan yang berujung pada pelanggaran HAM sehingga dengan Indonesia menjadi pihak dalam
Statuta Roma, TNI tidak dapat lagi leluasa menggunakan kekerasan terutama terhadap penduduk sipil.
Bila ditelisik lebih jauh sudah sepantasnya pemahaman yang benar mengenai Statuta Roma dilakukan
oleh Indonesia mengingat keikutsertaan aktifnya dalam
73
Statuta Roma dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia
pembahasan dan pengadopsian Statuta Roma pada 17 Juli 1998 dalam Konferensi Diplomatik PBB di Roma, Italia.
Konferensi yang digelar selama tiga hari 15-17 Juli 1998 ini dihadiri oleh wakil dari 160 negara dan ratusan peserta
mewakili LSM internasional.
Tulisan ini mencoba melihat bagaimana reformasi sektor keamanan Indonesia dalam kaitannya dengan
reformasi peradilan militer serta Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer yang justeru merupakan upaya
militer untuk memperkuat posisi dan kedudukannya dalam hukum di Indonesia. Selain itu perubahan tersebut akan
memperlihatkan bagaimana upaya militer untuk memperluas yurisdiksi formalnya dengan menarik orang sipil sebagai
pelaku kejahatan militer serta yurisdiksi material yaitu memasukan kejahatan perang dalam Kitan Undang-ndang
Hukum Pidana Militer KUHPM.
Reformasi Sektor Keamanan Indonesia
Indonesia yang masih berada dalam masa transisi masih terus dibayangi dengan kemungkinan-kemungkinan
kembalinya peran besar yang dimiliki militer dalam perpolitikan nasional dengan cara yang lebih halus dan
legal. Akan tetapi, reformasi politik menuntut posisi militer dalam supremasi sipil serta mengembalikannya sebagai
institusi pertahanan dan profesional. Tidak hanya militer, lembaga kepolisian, lembaga intelijen serta seluruh lembaga
pelaksana sektor keamanan juga mengalami reformasi yang terus berlanjut hingga saat ini yaitu menempatkan fungsi-
fungsi sebagai aktor keamanan dalam negeri sekaligus aktor yang menjunjung tinggi HAM.
Untuk memperbesar otoritas sipil diperlukan dua
74
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
pendekatan, pertama, militer haruslah tidak terlibat dalam arena politik dan kedua, otoritas sipil harus terlibat dalam
permasalahan-permasalahan militer sebagaimana fungsinya dalam pertahanan nasional negara dibawah pengawasan dan
kontrol sipil.
1
Keterlibatan sipil dalam hal ini tidak hanya diwakili oleh para elit politik namun oleh elemen warga
negara seperti kelompok masyarakat sipil yang concern dengan perubahan dalam reformasi sektor keamanan
dilakukan dengan keterlibatannya melalui penanataan ulang institusi keamanan dan pertahanan melalui regulasi politik
atau reformasi legislasi. Dengan melakukan perubahan pada regulasi politik tersebut diharapkan terjadinya perubahan
terhadap para aktor keamanan untuk menjadi lebih profesional dibawah kontrol sipil.
Hal ini juga dimungkinkan karena perubahan politik pascajatuhnya Soeharto yang turut serta mengubah
konfigurasi politik menjadi lebih demokratis yang membuka kesempatan atau peluang bagi partisipasi rakyat secara
penuh untuk ikut aktif menentukan kebijaksanaan umum sehingga yang dihasilkan adalah sebuah produk hukum
yang berkarakter yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat.
2
Adapun tolok ukur dalam melihat suksesnya reformasi sektor keamanan ditentukan oleh tujuh
komponen:
3
1 Lihat Terence Lee, “The Nature and Future of Civil-Military Relations in
Indonesia”, Asian Survey at 703-704, Vol. 40, No. 4 Jul.-Aug., 2000. 2
Moh. Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, Cet.2, 2001, hal. 24-25.
3 Lihat Nicolle Ball, Tsjeard Bouta dan Luc van de Goor, Enhancing Democratic
Governance of the Security Sector, An Institutional Assessment Framework, Clingendael: The Netherlands Ministry of Foreign AffairsTheNetherlands
Institute of International Relations, 2003
75
Statuta Roma dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia
1. Tertatanya ketentuan
perundang-undangan berdasarkan the rule of law.
2. Terbangunnya kemampuan
pengembangan kebijakan, menyusun perencanaan pertahanan dan
keamanan defense and security planning. 3. Terlaksanannya
pelaksanaan dari
kebijakan Implementasi kebijakan.
4. Terwujudnya profesionalisme aktor pelaksana. 5. Kemampuan dan efektifitas pengawasan.
6. Penggelolaan anggaran
yang logis
dan proporsional.
7. Terselesaikannya penyelesaian kasus pelanggaran HAM.
Tolok ukur tersebut bukanlah merupakan pilihan- pilihan yang harus dilakukan oleh otoritas politik akan
tetapi merupakan satu rangkaian yang tidak terpisahkan. Indonesia saat ini masih belum mampu untuk
menyelesaikan reformasi sektor keamanan disebabkan ketidakpahaman politisi sipil akan posisi militer pada Negara
demokrasi. Yang terjadi kemudian adalah politisi sipil masih berpikir bahwa keterlibatan militer adalah suatu keharusan
tidak hanya dalam ranah politik tetapi dalam semua aspek kehidupan bernegara.
Di Indonesia, militerisasi terhadap semua aspek kehidupan telah dimulai jauh sebelumnya hingga Soeharto
76
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
berkuasa pada 1966 posisi militer semakin kuat.
4
Salah satu aspek penting adalah melakukannya dengan peraturan
perundang-undangan sehingga memberikan legitimasi bagi militer secara sah terlibat dalam kehidupan politik negara.
Terdapat enam karakter masyarakat yang telah termiliterisasi, pertama, secara nyata kehadiran militer
dalam pemerintahan baik diwujudkan sebagai rejim militer atau sebuah kekuatan yang dipaksa force established
kedalam ruang politik langsung dibawah kekuatan eksekutif executive power.
5
Kedua, kehadiran militer dalam kehidupan ekonomi masyarakat dari pusat hingga
ke daerah hinga tingkat desa sehingga mendekati negara korporasi yang mendukung perekonomian militer.
6
Ketiga, terjadi proses pembelokan nilai-nilai tradisional dan norma-
norma atau sedang dalam proses pembelokan dengan nilai- nilai dan norma-norma militer dengan militerisasi terhadap
institusi-insitusi sosial.
7
Keempat, administrasi dengan cara melakukan pelanggaran HAM merupakan bagian yang tidak
4 Literatur-literatur sejarah dan politik militer Indonesia yang diangkat dengan
berbagai tema oleh penulis-penulis dalam dan luar negeri seperti Ulf Sundhaussen Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945 -1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI,
[The Road to Power: Indonesian Military Politics 1945-1967], [Dirterjemahkan oleh Hasan Basari], Jakarta: LP3ES, 1986; Nugroho Notosusanto, Ed., Pejuang
dan Prajurit: konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI, Jakarta: Sinar Harapan, 1991; Iswandi, Bisnis Militer Orde Baru: Keterlibatan ABRI dalam
Bidang Ekonomi dan Pengaruhnya Terhadap Pembentukan Rezim Otoriter, Bandung: Rosda Karya, 1998; Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer
dalam Politik di Indonesia 1945-1966, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Cet. Kedua, 2002; Dwi Pratomo Yulianto, Militer dan Kekuasaan: Puncak-
puncak Krisis Hubungan Sipil-Militer di Indonesia, Yogyakarta: Narasi, 2005; Salim Said, Legitimizing Military Rule: Indonesian Armed Forces Ideology 1958-
2000, Jakarta: Sinar Harapan, 2006; Leonard C. Sebastian, Realpolitik Ideology: Indonesia’s Use of Military Forces, Singapore: Institute of Southeast Asian
Studies-ISEAS, 2006.
5 Mathews George Chunakara, The Militarisation of Politics and Society: Southeast
Asian Experiences, Hongkong: DagaPress, 1994, hal. 21. 6
Ibid. hal. 21. 7
Ibid. hal. 21.
77
Statuta Roma dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia
terpisahkan dari kehidupan negara. Kelima, operasi terhadap pemberontak counterinsurgency operation yang tidak lain
sebagai sebuah ekspresi militer dengan sikap represifnya.
8
Dan terakhir adalah negara memiliki kebijakan perluasan program transfer persenjataan militer serta produksi senjata
domestik yang menjadi bagian dari sumber budget militer.
9
Sejumlah karakteristik masih dapat terlihat terutama karakter pertama yaitu insitusi Tentara Nasional
Indonesia TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia Polri masih berada dibawah Presiden. Alhasil, militerisasi
mengakibatkan intervensi kehidupan warga sipil dan tentunya mengancam HAM dan kekebasan-kebebasan dasar
fundamental freedoms yang telah dijamin oleh konstitusi. Perlu kiranya juga untuk mengingat kembali tolok ukur
suksesnya reformasi sektor keamanan yaitu tertatanya ketentuan peraturan perundang-undangan berdasarkan rule
of law dan terwujudnya profesionalisme aktor pelaksana.
10
Maksud dari rule of law adalah semangat hukum yang mengadopsi prinsip-prinsip demokrasi, HAM dan
keadilan sehingga legislasi yang dihasilkan tidak sekedar dasar dari kekuasaan belaka. Prinsip demokrasi dalam
legislasi sektor keamanan haruslah diiringi dengan semangat ketertundukan militer atas kontrol otoritas sipil yang sah.
Sedangkan dalam kaitannya dengan profesionalisme, tentunya legislasi yang dihasilkan menjadikan serta
mendukung terwujudnya kemampuan aktor pelaksana untuk menjadi profesional dan tidak menjadikan mereka
terlibat dalam politik.
8 Ibid. hal. 21.
9 Ibid. hal. 21.
10
78
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Upaya Menghalangi Mahkamah Pidana Internasional: Reformasi Peradilan Militer dan Perluasan Yurisdiksi
Formal dan Material Peradilan Militer Upaya untuk menjadikan Indonesia menjadi bagian
dari masyarakat internasional memutus rantai impunitas dengan meratifikasi Statuta Roma justeru mendapatkan
rintangan dari berbagai pihak khususnya militer Indonesia. Sebagaimana telah diulas dimuka bahwa kekhawatiran
utama dari militer Indonesia adalah mereka akan menjadi target utama dari pemberlakukan yurisdiksi Mahkamah
Pidana Internasional.
Alasan lain yang sering diungkapkan Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan nasional
yang mengadopsi Statuta Roma sehingga dipandang tidak siapa untuk meratifikasinya. Padahal Indonesia juga
memiliki peraturan perundang-undangan yang memang diadopsi dari Statuta Roma yaitu UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM meski dalam praktiknya justeru tidak mengindahkan standar internasional.
Alasan-alasan tersebut
merupakan bentuk
kekhawatiran berlebihan yang tidak didasarkan pada kenyataan dan pemahaman terhadap hukum internasional
secara benar. Selain itu, alasan tersebut muncul dari “trauma” saat Indonesia menghadapi tekanan masyarakat
internasional untuk bertanggungjawab dalam pelanggaran berat HAM gross violations of human rights pascajajak
pendapat di Timor Timur pada 1999.
Karena itulah reformasi sektor keamanan yang salah satu tujuannya untuk melakukan penataan terhadap
hukum justeru digunakan untuk menambah kekebalan
79
Statuta Roma dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia
militer dari yurisdiksi pengadilan yang mengadili kejahatan- kejahatan serius yang dikenal dalam hukum internasional
serious violations recognized by international law sebagaimana diatur dalam Statuta Roma yaitu kejahatan
perang. Dengan kata lain upaya pertama yang dilakukan oleh adalah militer mencoba mempertahankan eksistensi
peradilan militer tetap berada dalam pengaturannya meski fakta-fakta telah menunjukannya sebagai sarana impunitas.
Kedua, adalah dengan melakukan perluasan yurisdiksi peradilan militer dengan dua sasaran yaitu orang sipil dan
memasukan kejahatan-kejahatan serius yang diakui dalam hukum internasional sebagai bagian dari kejahatan militer.
1. Perluasan Yurisdiksi Formal Peradilan Militer: Superi- oritas Peradilan Militer
Sepanjang 2004-2009,
pemerintah melalui
Departemen Pertahanan dengan Dewan Perwakilan Rakyat DPR membahas RUU Perubahan UU No. 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer. Pemerintah melalui Departemen Pertahanan sejak Oktober 2005 saat pertama kali pembahasan
telah dengan sengaja menarik ulur persoalan-persoalan yang krusial dalam rangka menempatkan peradilan militer dalam
sistem kekuasaan kehakiman yang benar.
Dalam upayanya yang pertama, terdapat tiga hal penting yang menjadi fokus utama dalam pembahasan RUU
ini yaitu soal yurisdiksi; pengadilan dengan acara koneksitas dan keterlibatan perangkat penegak hukum militer seperti
Polisi Militer PM dalam penyelidikan kasus di peradilan umum serta pelaksanaan putusan. Ketiga hal ini tidak hanya
menempatkan kedudukan peradilan militer menjadi superior tetapi juga merupakan contoh konkrit penggambaran dari
upaya menempatkan militer sebagai kelas superior dalam masyarakat Indonesia.
80
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Perihal yurisdiksi dimana RUU tersebut menyatakan prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum diadili
di Peradilan Umum dan jika melakukan kejahatan militer akan diadili di Peradilan Militer sebagaimana amanat TAP
MPR No. VIIMPR2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri dan UU No. 34 Tahun tentang TNI.
11
Namun dalam hal ini akhirnya Persoalan yurisdiksi ini sempat menjadikan
pembahasan RUU ini menjadi berlarut-larut karena Departemen Pertahanan bersikukuh untuk tidak menerima
yurisdiksi peradilan umum terhadap prajurit TNI.
Akan tetapi pada akhir November 2006, ketika masih berada di Tokyo Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menyampaikan melalui Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra dan Menteri Hukum dan HAM Hamid
Awaludin bahwa Pemerintah setuju prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum diadili di peradilan umum.
Dengan pernyataan tersebut, maka kebuntuan yang selama ini terjadi antara DPR dengan Pemerintah sudah menemui
jalan keluar dan sepakat untuk melanjutkan pembahasan.
12
Kedua, tentang pengadilan dengan acara koneksitas yaitu jika suatu tindak pidana dilakukan secara bersama-
sama antara anggota militer dengan warga sipil dan untuk tidak menimbulkan konflik yurisdiksi maka penentuannya
dilakukan dengan melihat apakah tindak pidana yang dilakukan mereka merugikan kepentingan militer atau
kepentingan publik secara umum. Dalam pembahasannya, Panitia Kerja RUU Perubahan UU No. 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer akhirnya menerima pendapat pemerintah mengenai perlunya mempertahankan peradilan
koneksitas dalam peradilan militer yang kali ini mencoba
11 Ibid. hal. 229.
12 Ibid. hal. 229.
81
Statuta Roma dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia
menjaring warga sipil yang melakukan tindak pidana militer yang pada praktik sebelumnya apakah sebuh tindak pidana
merugikan kepentingan pada salah satu pihak apakah militer atau sipil. Argumen pemerintah yang terdengar
absurd ini mengandaikan keterlibatan warga sipil bersama- sama dengan militer dalam tindak pidana militer.
Dalam praktiknya koneksitas merupakan cara yang dilakukan militer untuk melindungi anggotannya mengingat
sesuai ketentuan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menitikberatkan pada status pelaku kejahatan dan
bukan jenis kejahatan. Walhasil tindak kejahatan yang tidak memiliki sangkut paut dengan kejahatan yang memang khas
militer menjadi yurisdiksi peradilan militer. Bahkan acara koneksitas telah terbukti sebagai bagian dari superioritas
militer terhadap berbagai kasus yang tidak ada hubungannya dengan tindak pidana militer.
Aturan tentang kejahatan yang dilakukan secara bersama-sama oleh anggota militer dengan warga sipil
pertama kali diatur dalam UU No. 5 Tahun 1950 tentang Susunan dan Kekuasaan PengadilanKejaksaan dalam
Lingkungan Peradilan Ketentaraan. Akan tetapi penggunaan istilah koneksitas baru diperkenalkan di masa Orde Baru
ketika ditabalkan dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasan Kehakiman dan kemudian diatur
juga oleh Pasal 8 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP.
Untuk pelaksanaan penanganan perkara koneksitas itu kemudian dikeluarkan sebuah Keputusan Bersama antara
Menteri Kehakiman, MenhankamPangab, Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung MA RI yang dituangkan dalam
No. KEPB61XII1971 tentang Kebijaksanaan dalam Pemeriksaan yang Dilakukan Bersama-sama oleh Orang
82
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
yang Termasuk dalam Yurisdiksi Pengadilan di Lingkungan Peradilan MiliterAngkatan Bersenjata dan Orang yang
Termasuk dalam Yurisdiksi di Lingkungan Peradilan Umum yang diterbitkan pada 7 Desember 1971.
Dari segi hukum, surat ini jelas bermasalah mengingat tidak terdapat batas antara MA sebagai
pemegang kekuasaan yudikatif dengan sebagian pihak yang merupakan lembaga yang berada di bawah kekuasaan
legislatif. Hal ini terjadi karena pengaruh luar biasa ABRI saat itu dalam sistem peradilan Indonesia di mana lembaga
peradilan dan penuntutan telah mengalami kooptasi dan militerisasi. Selain itu keputusan ini lebih mencerminkan
politik hukum Pemerintahan Soeharto daripada sebuah peraturan perundang-undangan.
Terbitnya KUHAP bagi ABRI saat itu dianggap tidak cukup memadai sehingga kemudian dikeluarkan
Keputusan Bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman KEP.10MXII1983 dan KEP.57.
PR.09.03 Tahun 1983 tanggal 29 Desember 1983 tentang Pembentukan Tim Tetap untuk Penyidikan Perkara Tindak
Pidana Koneksitas.
Setelah diterbitkannya Keputusan Bersama tersebut di atas, selanjutnya Mabes ABRI menerbitkan sebuah surat
keputusan yaitu Skep Pangab No. 809IX1988 tangggal 2 November 1988 tentang Pengendalian dan Pengawasan
Atas Kegiatan Tim Tetap untuk Penyidikan Tindak
Surat Keputusan itu kemudian direspon oleh Oditur Jendral Orjen ABRI dengan menerbitkan Surat Edaran
Orjen ABRI No. SEB95VII1991 tanggal 29 Agustus 1991 tentang Penunjuk Sementara Pelaksanaan Penyidikan
Perkara Pidana Koneksitas dan Petunjuk Pelaksana Orjen
83
Statuta Roma dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia
ABRI No. Juklak01IV1993 tanggal 7 Juni 1993 tentang Penyidikan Perkara Pidana Koneksitas.
Adalah fakta sejarah yang tak dapat dipungkiri dimana terdapar warga sipil yang diadili oleh peradilan militer
khususnya oleh Mahkamah Militer Luar Biasa Mahmilub. Mahmilub yang memiki kekuasaan untuk memeriksa dan
mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir perkara- perkara khusus yang ditentukan oleh Presiden dalam bentuk
keputusan presiden sebagaimana diatur dalam UU No. 16 Pnps Tahun 1963 tentang PembentukanMahkamah Militer
Luar Biasa.
Sederetan kasus yang telah diadili melalui mekanisme melalui Mahmilub berdasarkan keputusan presiden tersebut
diantaranya pengadilan terhadap tokoh RMS, Dr. Soumokil dengan Keppres No. 6 Tahun 1964, perkara H. Bachrum
Effendi auctor intellectualis peristiwa Idhul Adha dengan Keppres No. 156 Tahun 1964, perkara Ibnu Hajar dalam
kasus pemberontakan DITII di Kalimantan Selatan dengan Keppres No. 1571964 serta pengadilan terhadap sejumlah
perwira dan tokoh PKI di tahun 1965 dengan Keppres No. 370 Tahun 1965.
Namun bila kita ditelisik lebih dalam, pengadilan dengan menggunakan mekanisme Mahmilub merupakan
pelaksanaan politik hukum Demokrasi Terpimpin yang memberikan
ruang kekuasaan
intervensi terhadap
independensi peradilan kepada Presiden Soekarno. Saat itu kekuasaan kehakiman dalam hal ini pengadilan merupakan
alat revolusi sesuai dengan UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-
undang ini kemudian memberikan kewenangan penuih bagi PresidenPemimpin Besar Revolusi untuk campur tangan
dalam pengadilan demi kepentingan revolusi, kehormatan
84
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
bangsa dan negara atau kepentingan masyarakat. Hakikatnya setiap peristiwa yang melibatkan
warga sipil dan kelompok militer bersenjata dalam tindak pidana menggulingkan pemerintah atau makar adalah
merupakan yurisdiksi peradilan umum. Di berbagai belahan dunia praktik peradilan terhadap kejahatan makar atau
yang disebut sebagai high treason ini merupakan wilayah kewenangan peradilan umum meski terdapat keterlibatan
militer didalamnya. Selain itu pengertian high treason tidak hanya menyangkut upaya untuk meenggulingkan pemerintah
yang sah tetapi juga termasuk tindak pengkhianatan terhadap kedaulatan negara.
Untuk yang terakhir ini kembali sejarah peradilan Indonesia pada masa keemasannya pernah melakukannya
sekali dan belum pernah terulang kembali adalah kasus Sultan Hamid II. Dalam kasus ini, Sultan Hamid II terlibat
berkolaborasi dengan Kapten Raymond Westerling dalam usaha percobaan pembunuhan terhadap sejumlah menteri
diantaranya Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang kemudian memunculkan Peristiwa APRA
di Bandung yang menewaskan sejumlah perwira APRIS. Persidangan kasus yang mendapatkan perhatian masyarakat
saat itu digelar MA dan dipimpin langsung ketuanya yaitu Prof. Mr. Wirjono Projodikoro selaku ketua majelis hakim
serta Jaksa Agung Soeprapto selaku penuntut umum.
13
Dengan melihat berbagai kasus tersebut dapat dikatakan peradilan koneksitas tidak dapat lagi menjadi
jawaban dalam menangani kasus-kasus pidana militer. Jika praktik mekanisme Mahmilub yang menjadi dasar argumen
13 Lihat Iip D. Yahya, Mengadili Menteri Memeriksa Perwira: Jaksa Agung Suprapto
dan Penegakan Hukum di Indonesesia Periode 1950-1959, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.
85
Statuta Roma dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia
bagi pemerintah sebagai dasar pembenar untuk menyeret warga sipil masuk ke dalam yurisdiksi peradilan militer
adalah kesalahan besar. Preseden yang digunakan justeru menafikan independensi dan imparsialitas peradilan yang
telah menjadi prinsip yang diakui oleh seluruh bangsa di dunia. Ditambah lagi, praktik tersebut muncul dari sejarah
kelam hukum Indonesia yang imbasnya masih kita rasakan sehingga tidak tepat juga untuk dijadikan contoh ditengah-
tengah upaya mereformasi dunia peradilan Indonesia.
Ketiga, persoalan ketelibatan Polisi Militer dalam penyelidikan dalam kasus-kasus tindak pidana umum.
Usulan ini datang dari pemerintah dengan alasan bahwa meski anggota militer yang melakukan tindak pidana
umum tunduk pada yurisdiksi peradilan umum akan tetapi prosesnya tetap dilakukan dalam yurisdiksi peradilan militer
dan kasusnya akan dilimpahkan oleh Oditur Militer. Konsep ini jelas memosisikan superioritas peradilan militer terhadap
peradilan umum. Upaya ini dilakukan persoalan kedudukan polisi militer dijadikan pemerintah untuk mengganjal
yurisdiksi peradilan umum berkait dengan tindak pidana umum. Selain itu, upaya pemerintah untuk memasukan
hal ini dalam pembahasan merupakan upaya menarik ulur pembahasan rancangan legislasi ini.
14
DPR sebagai pembuat undang-undang harus secara tegas melihat bahwa persoalan kendala psikologis tidak
dapat dijadikan alasan dalam upaya penegakan hukum. Bagaimanapun juga Kepolisian Negara RI merupakan aktor
utama sistem peradilan pidana integrated criminal justice system dalam penyelidikan tindak pidana umum dan
14 Lihat Pernyataan Bersama, “Pansus Peradilan Militer jangan Terjebak Permainan
Pemerintah” Konferensi Persi Ruang Wartawan Nusantara III DPR, 19 Desember 2008. Lihat www. vivanews.com, “Pemerintah Dinilai Sengaja Tarik Ulur”,
http:politik.vivanews.comnewsread16763-pemerintah_dinilai_sengaja_tarik_ ulu, Diakses pada 17April 2009.
86
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
bukan polisi militer. Sehingga menempatkan polisi militer kedalam sistem peradilan pidana umum menjadikan mereka
seakan-akan memiliki yurisdiksi dalam peradilan umum dan berujung pada kekacauan penerapan hukum acara pidana.
Tidak hanya itu, superioritas peradilan militer kedepan akan berpengaruh pada proses penyelidikan yang
akan dilakukan oleh lembaga lain seperti Komnas HAM selaku penyelidik dalam kasus pelanggaran HAM berat yang
diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, serta penyelidikan kasus korupsi yang dilakukan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi KPK sesuai dengan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi. Dengan
keterlibatan PM serta Oditur selau jaksa penuntut umum dilingkup peradilan militer artinya sama saja bahwa prinsip
yurisdiksi peradilan umum terhadap pelaku militer sama sekali diabaikan dan malah yang terjsdi adalah penguatan
kedudukan peradilan militer terhadap peradilan umum.
Superioritas peradilan militer juga semakin Nampak jika kewenangan Atasan yang Berhak Menghukum Ankum
serta mekanisme Perwira Penyerah Perkara Papera tidak mengalami perubahan dalam rancangan legislasi ini dan
turut serta berperan dalam menangani tindak pidana umum yang dilakukan oleh prajurit TNI. Ankum memiliki
kewenangan sebagai penyelidik sekaligus penyidik perkara dalam lingkup peradilan militer sehingga jikalau mekanisme
ini dipakai maka jalannya perkara akan ditentukan oleh tiga aktor yaitu PM, Oditur Milter serta Ankum.
Sedangkan Papera adalah perwira yang memiliki kewenangan khusus untuk menentukan suatu perkara
pidana yang dilakukan prajurit TNI yang berada dibawah komandonya diserahkan kepada atau diselesaiakan diluar
pengadilan militer. Jikalau peran Papera juga masuk dalam
87
Statuta Roma dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia
penanganan tindak pidana umum kemungkinan akan terjadi impunitas mengingat Papera untuk tidak menyerahkan anak
buahnya terutama dengan alasan-alasan bahwa prajurit tersebut memiliki keahlian yang dibutuhkah dalam operasi
militer. Dengan kata lain, Papera memiliki kewenangan yang cukup kuat untuk menutup sebuah perkara tidak hanya di
peradilan militer tetapi juga dilingkup peradilan umum
Hingga tulisan ini dibuat, pemerintah masih tetap bersikukuh atas pendapatnya yang menjadikan pembahasan
melalui Panitia Sinkronisasi antara DPR dengan Pemerintah mengalami deadlock. Hal ini seharusnya dapat dihindari
apabila DPR tetap pada pendiriannya untuk melakukan reformasi total terhadap peradilan militer. Adalah
benar dalam proses pembuatan undang-undang, DPR melakukannya bersama-sama dengan pemerintah. Namun
dalam hal ini DPR lebih memiliki peranan mengingat kedudukan dan kewenangannya selaku pembuat undang-
undang yang telah dikuatkan dalam konstitusi. Dengan kata lain, DPR seharusnya dapat mengambil langkah-langkah
tegas untuk tidak berkompromi dikarenakan DPR telah membaca gelagat niat tidak baik pemerintah selama proses
pembahasan berlangsung.
Padahal jikalau menilik lebih jauh terhada substansi RUU ini, yang tak kalah penting juga adalah
perihal jaminan hak terhadap prajurit. Meski prajurit adalah bagian dari negara akan tetaoi mereka masih
memiliki Hak Asasi Manusia HAM yang terbatas termasuk dimana hak-hak tersangka, terdakwa dan
terpidana yang termasuk dalam rumpun hak-hak yang tidak dapat dkurangi dalam keadaan apapun non-
derogable rights. Dalam kaitan itu terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara penerapan hak-hak
tersebut antara UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
88
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Undang-undang Hukum Pidana dengan RUU Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Pembatasan-pembatasan ini jelas menjadikan peradilan militer secara tidak langsung melakukan
pelanggaran HAM terhadap hak-hak non-derogable rights para prajurit. Bagaimanapun hak-hak ini dapat
menimbulkan efek ketidakadilan terutama bagi prajurit sendiri serta keluarganya jika hendak melakukan
keluhan atau langkah hukum jika dikemudian hari peradilan militer melakukan kesalahan dalam
penerapan hukum.
Seharusya dalam pembahasan rancangan legislasi ini, DPR hendaknya dapat mendasarkan diri
pada sejumlah prinsip-prinsip guna mewujudkan TNI yang profesional, dalam konteks Peradilan Militer
berdasarkan pengalaman sejarah, amanat reformasi serta perkembangan dan perbandingan internasional,
ada beberapa prinsip yang harus dipenuhi dan mendasari UU Peradilan Militer yang baru, yaitu
15
,
prinsip pertama, peradilan militer harus menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia, sesuai dengan amanat
konstitusi.
Prinsip kedua, Indonesia adalah negara hukum rechstaat. Oleh karena itu di dalam peradilan militer juga
harus dijamin asas persamaan di muka hukum equality before the law.
Prinsip ketiga, reformasi peradilan militer harus mengarah pada penguatan wibawa peradilan militer untuk
memperkuat disiplin anggota militer, dengan tetap mengacu
15 Lihat Bhatara Ibnu Reza, et,al, Reformasi Peradilan Militer di Indonesia, Jakarta:
Imparsial, 2007. hal. 65-66.
89
Statuta Roma dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia
kepada nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Prinsip keempat, posisi dan komposisi peradilan militer harus diatur
sedemikian rupa sehingga meskipun merupakan bagian dari TNI, namun peradilan militer dapat bekerja independen
tanpa terpengaruh oleh rantai komando yang berlaku di TNI.
Prinsip kelima, peradilan militer harus menjamin keadilan bagi semua prajurit TNI dan melindungi hak asasi
prajurit TNI. Tidak boleh ada diskriminasi dalam sistem peradilan militer, artinya baik prajurit maupun perwira
harus diposisikan sama di muka hukum. Dalam hal prajurit TNI yang melakukan tindak pidana, maka hak untuk
didampingi pengacara, hak untuk menghubungi keluarga, hak untuk tidak disiksa, hak untuk segera diadili, dan lain-
lain harus dijamin dengan Undang-undang.
Prinsip keenam, peradilan militer harus memiliki yurisdiksi yang jelas. Dalam hal ini yurisdiksi peradilan
militer harus didasarkan terutama oleh tindak pidana yang disangkakan, dan bukan semata-mata pada subyek pelaku,
waktu, atau lokasi terjadinya kejahatan. Dengan demikian, yurisdiksi peradilan militer terbatas pada tindak pidana yang
diatur dalam KUHP Militer. Yurisdiksi berdasarkan tindak pidana yang disangkakan tersebut ratione materiae dapat
diperluas jika dan hanya jika Indonesia sedang mengalami situasi perang. Dari aspek subyek pelaku tindak pidana
ratione personae, yurisdiksi peradilan militer terbatas pada mereka yang menjadi anggota militer serta yang
dipersamakan.
Sedangkan dari segi lokasi kejadian perkara ratione loci, yurisdiksi peradilan militer hanya terbatas
pada medan pertempuran ketika Indonesia sedang dalam situasi perang. Dalam situasi perang, aspek-aspek ratione
90
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
materiae, personae dan loci di atas dapat diperluas dengan berdasarkan keputusanpersetujuan DPR. Maka dari itu,
dengan prinsip ini praktek peradilan koneksitas menjadi tidak relevan dan harus dihapuskan dari sistem peradilan
militer.
Prinsip ketujuh,
peradilan militer
harus bersifat terbuka sehingga bisa dikontrol dan dapat
dipertanggungjawabkan. Segala bentuk pelanggaran serta tindakan terhadap pelanggaran hukum pidana dan disiplin
militer, harus dilaporkan dan dapat di-review oleh eksekutif melalui Menteri Pertahanan. Dengan demikian diharapkan
dapat dicegah terjadinya pemidanaan militer dan mekanisme disiplin militer terhadap tindakan yang semestinya masuk
yurisdiksi peradilan umum.
Prinsip kedelapan, menyangkut akuntabilitas peradilan militer, harus ada aturan yang jelas dan terukur
mengenai mekanisme hukum dan disiplin militer yang berlaku di lingkungan internal militer. Oleh karena itu
mekanisme-mekanisme ekstra-yudisial seperti Dewan Kehormatan Militer atau Dewan Kehormatan Perwira harus
dihapus. Kalaupun diperlukan mekanisme ekstra-yudisial semacam itu, tidak boleh bersifat subtitutif terhadap sistem
hukum yang berlaku. Mekanisme-mekanisme ekstra-yudisial tersebut harus ditempatkan sebagai komplemensuplemen
dari sistem hukum yang berlaku.
Prinsip kesembilan, sebagai bagian dari unifikasi hukum dan menghindari dualisme rezim hukum tata usaha
di Indonesia, maka Undang-undang Peradilan Militer tidak semestinya mengatur tata usaha militer.
Perluasan Yurisdiksi Material Peradilan Militer: Perebutan
91
Statuta Roma dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia
Setelah sebelumnya melakukan perluasan yurisdiksi formal dengan memasukan orang sipil dalam yurisdiksi
Pengadilan militer. Kali ini fokus utamanya adalah perluasan yurisdiksi material berkait dengan upaya militer
untuk memasukan salah satu kejahatan serius dalam hukum internasional. Dalam draft RUU Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Militer 2005, dimana dimasukan kejahatan seperti kejahatan perang. Sedangkan Komnas HAM dalam
Draft RUU Amandemen UU No. 26 Tahun 2000 telah memasukan pula kejahatan perang sebagai yurisdiksinya.
Dengan kata lain militer “berlomba” dengan Komnas HAM untuk memperebutkan yurisdiksi kejahatan
perang bagi Pengadilan militer dan Pengadilan HAM. Padahal bila ditelisik dengan seksama dari praktik-
praktik pengadilan internasional seperti International Military Tribunal IMT atau Nuremberg Tribunal 1945;
International Military Tribunal for the Far East IMTFE atau dikenal sebagai Tokyo Tribunal 1945; International
Criminal Tribunal for former Yugoslavia ICTY 1994 serta International Criminal Tribunal for Rwanda 1996,
menunjuklan bahwa tidak hanya anggota militer yang dapat didakwa melakukan kejahatan perang melainkan juga orang
sipil. Salah satu contoh kasus adalah ketika bekas Presiden Yugoslavia, Slobodan Milosevic akhirnya diadili oleh ICTY
dalam dengan salah satu dakwaannya adalah kejahatan perang.
Preseden ini juga bukan menjustifikasi kejahatan perang berada dalam yurisdiksi material Pengadilan
Militer dengan fokus keterlibatan orang sipil. Sama sekali tidak karena justeru Pengadilan Militer harus dan hanya
mengadili kasus-kasus kejahatan yang memang khas militer serta mengeluarkan kejahatan perang didalamnya.
92
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Jika menelisik KUHPM dimaksudkan sebagai tambahan dari KUHP, namun berlaku khusus untuk militer
dan orang-orang lainnya yang tunduk kepada yurisdiksi peradilan militer.
16
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa selain tunduk pada KUHPM mereka juga masih
tunduk pada ketentuan-ketentuan KUHP selama tidak ada ketentuan-ketentuan lain yang mengecualikannya.
17
Alasan- alasan di mana keberadaan KUHPM merupakan tambahan
dari KUHP antara lain bahwa ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat dalam KUHP dianggap belum atau tidak
cukup keras terhadap beberapa perbuatan tertentu di mana perbuatan itu jika dilakukan oleh seorang militer di dalam
keadaan tertentu akan mempunyai sifat yang sangat berat. Misalnya adalah kejahatan pencurian yang diatur dalam
Pasal 362 KUHP dengan Pasal 140 KUHPM. Selain itu beberapa perbuatan yang terdapat dalam KUHPM hanya
dapat dilakukan oleh militer. Misalnya sengaja tidak menaati perintah kedinasan Pasal 103 KUHPM atau
menghindarkan diri dari kewajiban-kewajiban dinas Pasal 118 KUHPM.
18
Pada Buku II KUHPM mengatur perihal kejahatan dan membaginya atas tujuh bab yaitu:
1. Kejahatan-kejahatan terhadap keamanan negara. 2. Kejahatan-kejahatan
terhadap kewajiban-
kewajiban militer tidak dengan maksud untuk memberikan bantuan kepada musuh atau
merugikan negara terhadap musuh.
16 Marjoto, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnja
Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politea, 1965, hal. 8. 17
Ibid. hal. 8. Lihat juga Pasal 1 dan 2 KUHPM. 18
Ibid. hal 8-9.
93
Statuta Roma dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia
3. Kejahatan-kejahatan yang merupakan suatu cara bagi seorang militer menarik diri dari pelaksaan
kewajiban dinas. 4. Kejahatan-kejahatan pengabdian.
5. Kejahatan-kejahatan tentang pelbagai keharusan dinas.
6. Pencurian dan penadahan. 7. Merusak, membinasakan atau menghilangkan
barang-barang keperluan angkatan perang. Sebagian besar kejahatan itu sebenarnya diatur
juga dalam KUHP. Salah satu kejahatan yang sama-sama diatur oleh KUHPM dan KUHP adalah kejahatan-kejahatan
terhadap keamanan negara. Dalam KUHPM kejahatan tersebut diatur dalam Pasal 64 hingga Pasal 72 sedangkan
pada KUHP diatur dalam Pasal 104 hingga 129.
Berangkat dari berbagai macam kejahatan itu serta hubungannya dengan KUHP, tindak pidana militer
sebagaimana yang diatur dalam KUHPM dibagi dalam dua bagian yaitu:
19
1. Tindak pidana militer murni yaitu tindakan- tindakan yang pada prinsipnya hanya mungkin
dilanggar oleh seorang militer karena keadaanya yang bersifat khusus atau karena suatu kepentingan
militer menghendaki tindakan tersebut ditentukan sebagai tindak pidana. Adapun contohnya:
a. Seorang militer yang dalam keadaan
19
S.R. Sianturi, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Ja- karta: Alumni AHAEM-PETEHAEM, 1985, hal. 19.
94
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
perang dengan sengaja menyerahkan seluruh atau sebagian dari suatu pos
yang diperkuat kepada musuh tanpa ada usaha mempertahankannya sebagaimana
dituntutdiharuskan dari padanya Pasal 73 KUHPM.
b. Kejahatan Desersi Pasal 87 KUHPM c. Meninggalkan pos penjagaan Pasal 118
KUHPM 2. Tindak Pidana Militer Campuran yaitu tindakan-
tindakan yang pada pokoknya sudah ditentukan dalam perundang-undangan lain namun diatur
kembali dalam KUHPM atau undang-undang hukum pidana militer lainnya karena adanya suatu
keadaan yang khas militer atau karena adanya sesuatu yang sifatnya lain sehingga diperlukan
ancaman pidana yang lebih berat dari ancaman pidana semula sebagaimana telah diatur dalam
Pasal 52 KUHP. Contoh dari tindak pidana tersebut adalah seorang militer yang ikut serta melakukan
pemberontakan diatur dalam Pasal 65 KUHPM yang pada intinya juga diatur dalam Pasal 108
KUHP. Perbedaan dari kedua Pasal tersebut adalah subyek dan ancaman pidananya.
Dalam melihat
tindak militer
campuran, sebagaimana telah dijelaskan dalam kaitannya dengan
kejahatan makar kita haruslah jeli melihat bahwa yurisdiksi yang berlaku adalah peradilan umum.
Kekosongan pengaturan kejahatan perang dalam hukum nasional kita juga dapat menjadi permasalahan. Selain
itu kita dapat melihat contoh berkait dengan praktik pasukan
95
Statuta Roma dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia
perdamaian PBB dimana Indonesia sangat aktif dalam peran sertanya menjaga perdamaian dunia.
20
Asas Komplementer tetap berlaku namun permasalahannya Indonesia tidak
memiliki mekanisme hukum nasional untuk mengadili para pelaku khususnya berkait dengan kejahatan perang. UU No.
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tidak mengatur kejahatan perang dalam yurisdiksinya. Sehingga dapat
dimungkinkan kemungkinan dikategorikan tidak mampu unable untuk mengadili para pelaku kejahatan. Namun
sepertinya militer mengmabil kesempatan ini untuk mereka dapat mengadili sendiri kasus-kasus kejahatan perang baik
dalam penugasan nasional maupun internasional.
Simpulan
Berangkat dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa reformasi sektor keamanan Indonesia lebih banyak
mengakomodasi kepentingan-kepentingan militer yang sebenarnya tidak beranjak dari persoalan-persoalan yang
seharusnya direformasi. Reformasi peradilan militer yang menjadi bagian didalamnya telah membuktikan kegagalan
Indonesia untuk memutus rantai impunitas yang selama ini dipraktikan oleh peradilan Militer.
Perubahan-perubahan seperti perluasan yurisdiksi formal dan terutama sekali yurisdiksi material merupakan
bukti lain dimana militer mencoba menjadi sangat superior dalam dunia peradilan. Statuta Roma, preseden-perseden
serta keputusan-keputusan pengadilan internasional berkait dengan kejahatan perang tidak menjadi tolok ukur bahwa
pengadilan militer tidak memiliki yurisdiksi dalam mengadili kejahatan tersebut.
20 Secara khusus dapat dibaca dalam pembahasan perihal Perlindungan Pasukan
Perdamaian dan Buruh Migran
96
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Sungguhpun demikian, jalan keluar dari persoalan ini adalah Indonesia secepatnya meratifikasi Statuta Roma.
Ratifikasi Statuta Roma justeru menjadi pemicu dari upaya Indonesia untuk perbaikan serta penguatan atas
mekanisme hukum nasionalnya. Dengan demikian adalah tepat memasukan kejahatan perang dalam Amandemen
UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sekaligus sebagai bentuk implementasi Statuta Roma dalam hukum
nasional Indonesia.
97
Tentang Complementarity dan Retroactivity
Agung Yudhawiranata
Asas Komplementer
Terdapat kekhawatiran di beberapa kalangan bahwa dengan meratifikasi Statuta Roma tentang
Mahkamah Pidana Internasional ICC berarti menyetujui dan mengikatkan diri terhadap semua aturan dalam Statuta
Roma.
1
Hal ini menurut beberapa kalangan sangat beresiko khususnya bagi negara berkembang, dikarenakan pandangan
bahwa ICC akan merongrong kedaulatan hukum nasional melalui intervensi kewenangan ICC terhadap pengadilan
sistem hukum suatu negara.
1 Merupakan reaksi terhadap prinsip non-reservasi yang dianut oleh Statuta Roma
1998 dalam Pasal 120 yang menyatakan bahwa “No reservation may be made to this statute.” Artinya bila suatu Negara meratiikasi dan menjadi pihak dalam
Statuta ini maka Negara harus menerima dan melaksanakan semua ketentuan dalam Statuta Roma tanpa kecuali. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
penyimpangan dan tidak sampainya tujuan yang dimaksud dalam pembuatan Statuta. Lihat William Schabas, An Introduction to the International Criminal
Court, Cambridge University Press, 2001, hlm.159-160., Otto Triffterer ed, Commentary on the Rome Statute of the International Criminal Court, Baden-
Baden : Nomos Verl Ges., 1999, hlm. 1251-1263.
98
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Kekhawatiran sebagian masyarakat akan adanya intervensi internasional oleh ICC ke dalam hukum nasional
Indonesia sebenarnya terjawab dengan uraian mengenai prinsip komplementer complementarity principle yang
merupakan prinsip fundamental dari keberlakuan ICC dalam suatu Negara. Prinsip ini tertuang dalam paragraf
10 Mukadimah
2
yang berarti bahwa ICC hanya merupakan pelengkap bilamana pengadilan nasional tidak mau
unwilling atau tidak mampu unable mengadili suatu pelanggaran berat terhadap kemanusiaan menjadi alasan
dasar yang menepis kekhawatiran Negara akan intervensi internasional dalam kedaulatan negaranya bilamana
menjadi negara pihak Statuta Roma. Pasal 1 Statuta Roma juga menyatakan bahwa tujuan pembentukan Mahkamah
adalah untuk menerapkan jurisdiksi atas pelaku tindak pidana internasional sebagaimana terdapat dalam Statuta
dan memiliki fungsi untuk melengkapi complementarity sistem peradilan nasional Negara.
3
Perlu ditegaskan bahwa Mahkamah adalah sebuah hasil proses perundingan demokratis yang ingin menciptakan
“international justice” dan lebih mengedepankan nilai-niliai hukum sesuai dengan tujuan utama PBB Pasal 1 ayat 1
Piagam PBB
4
diantaranya untuk mencegah berkembangnya
2 Paragraf 10 Preamble Statuta Roma: “Emphasizing that the International Criminal
Court established under this Statute shall be complementary to national criminal jurisdictions”.
3 Hans-Peter Kaul, Breakthrough in Rome Statute of the International Criminal
Court; Law and State, vol.5960, Supp.10 a4910 4
Pasal 1 ayat 1 Piagam PBB: “Tujuan PBB adalah memelihara perdamaian dan keamanan internasional dan untuk tujuan itu: mengadakan tindakan-tindakan
bersama yang efektif untuk mencegah dan melenyapkan ancaman-ancaman terhadap pelanggaran-pelanggaran terhadap perdamaian; dan akan menyelesaikan
dengan jalan damai, serta sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum internasional, mencari penyesuaian atau penyelesaian pertikaian-pertikaian
internasional atau keadaan-keadaan yang dapat mengganggu perdamaian”
99
Tentang Complementarity dan Retroactivity
kejahatan-kejahatan internasional.
5
Singkatnya, Mahkamah Pidana Internasional dilarang melaksanakan yurisdiksinya terhadap kejahatan
ketika pengadilan nasional sedang mengadili kejahatan yang sama dan i Kasusnya sedang diselidiki atau dituntut
oleh suatu Negara yang mempunyai jurisdiksi atas kasus tersebut, ii Kasusnya telah diselidiki oleh suatu Negara
yang mempunyai jurisdiksi atas kasus tersebut dan Negara itu telah memutuskan untuk tidak menuntut orang yang
bersangkutan, kecuali kalau keputusan itu timbul dari ketidaksediaan atau ketidak-mampuan Negara tersebut
untuk benar-benar melakukan penuntutan; iii kasusnya tidak cukup gawat untuk membenarkan tindakan lebih
lanjut oleh Mahkamah Pasal 17 Statuta Roma. Dan sebagai tambahan, iv orang yang bersangkutan telah dihukum atau
dibebaskan atas kejahatan yang sama, melalui pengadilan dan layak dan adil Pasal 17c dan 20 Statuta Roma.
6
Ini berarti bahwa Mahkamah harus mendahulukan mekanisme hukum nasional suatu Negara kecuali jika
Negara tersebut “tidak mau” unwilling atau “tidak mampu” unable untuk melakukan penyelidikan atau
penuntutan terhadap pelaku sehingga kejahatan tersebut menjadi yurisdiksi Mahkamah Pasal 17 Statuta Roma.
Selain itu, prinsip komplementer ini tidak hanya berlaku terhadap Negara pihak Statuta saja tetapi juga
terhadap negara yang bukan merupakan pihak Statuta Roma Pasal 18 1 tetapi memberikan pernyataan sebagai
pengakuannya atas jurisdiksi ICC. Misalnya, seorang warga
5 Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2003, hlm.544. 6
Antonio Cassese, International Criminal Law, Oxford University Press, 2003, p. 342.
100
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
negara bukan pihak Statuta yaitu negara A telah melakukan kejahatan internasional dalam wilayah teritori negara B
yang merupakan pihak dari Statuta Roma, kemudian ia kabur ke negara C yang bukan merupakan pihak Statuta
Roma. Negara C melaksanakan yurisdiksinya terhadap warga negara A tersebut dengan dasar bahwa kejahatan
tersebut merupakan kejahatan yang diatur dalam perjanjian internasional dan tersangka berada dalam wilayah teritorinya
the forum deprehensionis principle atau juga karena didasarkan pada prinsip universalitas. Dan Mahkamah
tidak dapat melaksanakan yurisdiksinya apabila terbukti bahwa Negara C memiliki kemauan dan mampu untuk
melaksanakan pengadilan yang layak dan adil.
7
Paparan di atas secara jelas menggambarkan bahwa ICC tidak berfungsi untuk menggantikan pengadilan nasional
suatu Negara melaksanakan kewajiban penghukuman terhadap pelaku kejahatan yang termasuk dalam jurisdiksi
ICC. Bahwa tanggungjawab utama untuk menghukum pelaku kejahatan yang merupakan yurisdiksi ICC adalah
Negara, bukan ICC. Karena itu mekanisme penegakkan hukum di Negara tersebut harus benar-benar efektif,
misalnya dengan memasukkan kejahatan dalam yurisdiksi ICC sebagai kejahatan dalam sistem hukum nasionalnya.
Pengalaman Indonesia dalam menegakkan hukum khususnya hukum HAM dengan disertai berbagai hambatan
dalam instrumen hukum, aparat penegak hukum serta sarana dan prasarana yang tidak memadai, menjadikan
peratifikasian Statuta Roma terasa begitu penting untuk mendorong
Indonesia segera
membenahi berbagai
kekurangan dan kelemahannya tersebut. Peratifikasian Statuta Roma merupakan bentuk komitmen nyata dalam
rangka upaya perlindungan HAM dan penegakan hukumnya
7 ibid
101
Tentang Complementarity dan Retroactivity
yang dapat memberi banyak keuntungan baik secara hukum maupun politis.
ICC merupakan the last resort atau disebut juga ultimum remedium. Pasal 17 ayat 1 huruf a, b dan c
menegaskan bahwa pengadilan nasional yang merupakan kedaulatan Negara tidak dapat dikontrol oleh ICC, jadi
bila Negara mampu melakukan penuntutan maka ICC tidak akan mencampuri jurisdiksi nasional Negara tersebut.
Ini merupakan jaminan bahwa ICC bertujuan untuk mengefektifkan sistem pengadilan pidana nasional suatu
Negara.
Asas Non-retroaktif
Selain prinsip complementarity, Statuta Roma juga menganut prinsip non-retroktif. Artinya, kejahatan-
kejahatan yang masuk dalam yurisdiksi Statuta Roma namun terjadi sebelum disahkannya Statuta Roma, tidak
akan dapat diadili di Mahkamah Pidana Internasional ICC. Dengan demikian, Indonesia tidak perlu khawatir
bahwa para pejabat negaranya akan diadili di Mahkamah Pidana Internasional dengan tuduhan bertanggung jawab
atas kejahatan HAM yang terjadi di masa lalu.
Khususnya mengenai prinsip non-retroaktif ini, terjadi pemahaman yang keliru mengenai penerapannya
dalam sistem dan mekanisme hukum Indonesia. Sebagian kalangan mengkhawatirkan, jika Statuta Roma diratifikasi
maka mekanisme pengadilan HAM ad hoc yang dibentuk oleh UU No.26 Tahun 2000 untuk mengadili kejahatan serius
HAM di masa lalu terpaksa dihapuskan atas nama mentaati prinsip non-retroaktif yang dijunjung tinggi dalam Statuta
Roma, dan oleh karenanya akan menghilangkan harapan
102
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
korban pelanggaran HAM masa lalu akan keadilan.
8
Berdasarkan praktek
hukum internasional,
kewenangan untuk mengadili pelanggaran masa lalu yang dimungkinkan melalui mekanisme pengadilan HAM ad
hoc berdasarkan UU No.262000 bukanlah merupakan pelanggaran terhadap asas non-retroaktif, karena yang ada
adalah kewenangan pelaksanaan yurisdisksi retrospektif exercising retrospective jurisdiction dan bukan pengakuan
atas asas retroaktif. Dalam hukum internasional tidak dikenal adanya asas retroaktif, yang dikenal adalah asas non-
retroaktif yang menjadi prinsip dasar cardinal principle dari hukum internasional.
Menurut prinsip-prinsip hukum umum general principles of law yang menjadi sumber hukum internasional,
pelanggaran HAM berat yang menjadi yurisdiksi dari UU No.26 Tahun 2000 yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan
crimes against humanity dan kejahatan genosida crimes of genocide merupakan kejahatan internasional paling
serius most serious international crimes yang tunduk pada yurisdiksi hukum internasional sebagai ius cogens
dimana pelakunya dianggap musuh semua umat manusia hostis humane generis dan merupakan kewajiban semua
bangsa obligatio erga omnes untuk mengadili pelakunya. Sejak diselenggarakannya pengadilan Nuremberg 1946 dan
Pengadilan Tokyo 1946 maka pengadilan atas kejahatan internasional paling serius tersebut tidak lagi dianggap
pelanggaran terhadap asas non-retroaktif.
8
Pendapat ini muncul berdasarkan pemahaman bahwa mekanisme Pengadilan HAM Ad Hoc yang dibentuk oleh UU
No.26 Tahun 2000 adalah penerapan asas retroaktif. Pemahaman ini keliru, karena dalam hukum pidana internasional tidak dikenal
adanya asas retroaktif, yang ada hanya asas non-retroaktif sebagai pengejawantahan dari asas kardinal nulla poena sine lege primae.
103
Tentang Complementarity dan Retroactivity
Selain itu, perlu kembali diingat bahwa Statuta Roma menjunjung tinggi asas complementarity yang
mengutamakan proses pidana domestik sebelum dapat diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional. Ini merupakan
pengakuan eksplisit bahwa kepentingan nasional Negara Pihak menjadi hal yang diutamakan. Maka, mekanisme
pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili pelanggaran berat HAM masa lalu sebagaimana diatur dalam UU No.26
Tahun 2000 dapat diletakkan dengan tepat dalam konteks argumen “demi kepentingan nasional” karena memang
ada kebutuhan obyektif untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia agar dapat menatap masa
depan Indonesia yang lebih baik, dan karenanya mekanisme internasional tidak dapat mengganggu gugat kondisi ini.
Kepentingan Nasional
Tujuan Statuta Roma untuk memberikan jaminan penghukuman bagi kejahatan terhadap kemanusiaan,
kejahatan perang dan genosida, menghapuskan rantai impunity dan mengefektifkan mekanisme hukum nasional,
dapat menjadi sarana pendorong bagi Indonesia untuk segera membenahi kekurangannya tersebut dan mewujudkan
komitmennya sebagai negara yang menjunjung tinggi penegakkan HAM. Diharapkan, dengan diratifikasinya
Statuta Roma disertai dengan penyerbarluasan informasi yang terstruktur dan sistematis, maka pemahaman
tentang aturan hukum HAM dan kewajiban negara dalam menegakkan hukum HAM internasional dapat lebih baik
lagi. Dan tentu saja, untuk mewujudkannya diperlukan kerjasama yang baik serta peran aktif berbagai pihak baik
pemerintah sebagai pembuat kebijakan, legislatif sebagai sarana legitimasi, para penegak hukum, akademisi dan
seluruh masyarakat Indonesia pada umumnya.
104
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Implikasi ratifikasi sendiri tidak hanya keluar, tapi juga ke dalam. Selama ini ratifikasi instrumen internasional
absorbsi nilai-nilai universal dianggap melemahkan integritas nasional bukan menguatkan, sehingga dalam
penerapannya ada resistensi-resistensi. Harus dibangun wacanaargumen bahwa meratifikasi ini justru adalah upaya
untuk memperkuat ikatan-ikatan kebangsaan, NKRI, dsb termasuk bahwa nilai-nilai yg diperjuangkan ICC khususnya
dan gerakan HAM pada umumnya selaras dengan nilai-nilai Pancasila seperti kemanusiaan yg adil dan beradab perlu
dielaborasi. Misalnya tentang jaminan keadilan, jaminan pencegahan kekejaman di masa depan, dan sebagainya.
ini diletakkan dalam prinsip-prinsip ratifikasi yang tidak menyerang nasionalisme. Sebaliknya, proses ratifikasi ini
justru diharapkan dapat melakukan purifikasi terhadap pemahaman yang salah atas nasionalisme selama ini.
Mengingat pentingnya arti Statuta Roma dalam upaya perlindungan HAM internasional, dan menyadari
kelemahan Indonesia
dalam memberikan
jaminan perlindungan HAM bagi warganegaranya ditandai dengan
masih terjadinya praktek impunity, ketidakmemadaian instrumen hukum HAM, aparat penegak hukum serta
sarana prasarana perlindungan saksi dan korban di Indonesia menjadikan peratifikasian Statuta Roma sebagai
suatu kebutuhan yang mendesak untuk dilakukan. Dalam konteks ini, perlu dibangun pemahaman bersama bahwa
national interest Indonesia bukan hanya menjaga sovereignty of the State, tapi bahwa menghormati HAM juga bagian
dari national interest yang diakui dalam konstitusi seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu ikut serta
secara aktif dalam memelihara perdamaian, ketertiban dan keamanan dunia.
105
REKAM PROSES PERAN MASYARAKAT SIPIL DALAM
UPAYA MENDORONG RATIFIKASI STATUTA ROMA
DI INDONESIA
Pengantar
Ratifikasi Statuta
Roma ICC – International Criminal Court
merupakan agenda penting bagi kemajuan hukum dan keadilan di
Indonesia. Ratifikasi Statuta Roma akan memberikan kontribusi yang
sangat
positif dalam
penegakan dan perlindungan hak asasi manusia
di Indonesia, ditingkat regional dan internasional. Kegagalan mekanisme hukum nasional
untuk memenuhi keadilan bagi korban dan semakin berkembangnya fenomena impunitas menjadi dasar
kebutuhan Indonesia akan mekanisme hukum internasional
106
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
yang dapat memberikan keadilan bagi korban dan melindungi masyarakat dari tindak pelanggaran HAM.
Pentingnya posisi Statuta Roma ICC sebagai salah satu mekanisme internasional yang dapat menjamin penegakan
dan perlindungan HAM menjadikan ratifikasi ICC sebagai agenda bersama bagi komunitas korban pelanggaran HAM
dan organisasi HAM di Indonesia.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, perkembangan upaya Indonesia dalam meratifikasi ICC menunjukkan
perkembangan positif dengan adanya komitmen dari Pemerintah Indonesia untuk melakukan ratifikasi pada
tahun 2008 seperti tertuang dalam Keputusan Presiden No. 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi
Manusia tahun 2004-2009. Di sisi lain, perkembangan positif ini juga menghadirkan beberapa tantangan untuk memenuhi
komitmen ratifikasi ICC pada tahun 2008. Tantangan ini bisa dideskripsikan sebagai: pertama, bagaimana publik dapat
memastikan Pemerintah melaksanakan komitmen untuk meratifikasi ICC dan, kedua, pada waktu yang beriringan
juga untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan mengenai ICC dalam insitusi pemerintahan dan anggota
DPR yang berada dalam level pemerintahan. Selain itu, ketiga, peningkatan pemahaman publik mengenai apa itu
ICC dan alasan mengapa masyarakat membutuhkan ICC harus dilakukan secara lebih massif dengan mengumpulkan
berbagai perspektif dan pendapat masyarakat mengenai ICC.
Dalam perspektif tersebut, IKOHI dengan dukungan dari Indonesia-Australia Legal Development
Facility IALDF, menjalankan program “Indonesia Menuju Ratifikasi Statuta Roma ICC” sebagai sebuah upaya
untuk mendorong ratifikasi ICC di Indonesia. Program ini bertujuan untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut
107
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
diatas. Tantangan ini memang bukan tantangan yang mudah dan sederhana karena mencakup dua ranah kerja
yang kadang sangat sulit berhubungan: masyarakat dan pemerintah. Namun dengan pendekatan dan strategi yang
tepat dan didukung berbagai aktivitas, diyakini mampu menjawab tantangan tersebut.
Setelah melalui pergulatan dan kerja keras selama lebih dari satu tahun, berbagai perkembangan positif telah
dicapai. Menguatnya wacana ratifikasi Statuta Roma ICC dalam masyarakat dan konsolidasi masyarakat sipil dalam
mendorong proses ratifikasi adalah sebagian perkembangan positif yang telah dicapai. Tulisan ini mencoba merekam
proses dan upaya yang telah dilakukan sebagai sebuah bahan refleksi dari upaya masyarakat sipil dalam mendorong
ratifikasi ICC di Indonesia.
Membangun dan Mengelola Dukungan Masyarakat Sipil
Dalam rangka merancang dan melaksanakan strategi kerja yang komprehensif dalam proses ratifikasi
Statuta Roma ICC di Indonesia, pada tanggal 10 Juni 2008 di Jakarta diadakan sebuah pertemuan untuk membentuk
tim ahli dan sekaligus motor kerja untuk membuat draft naskah akademis dan mempersiapkan seluruh aktivitas
yang berhubungan dengan rancangan strategi tersebut. Tim ini beranggotakan lima orang berdasarkan latar belakang
kemampuan dan bidang kerja yang ditekuni. Mereka adalah Mugiyanto dari IKOHI yang berkecimpung dalam
perjuangan keadilan dan hak-hak korban pelanggaran HAM, Agung Yudhawiranata ELSAM yang selama ini
mengeluti riset dan kajian mengenai HAM, Bhatara Ibnu Reza IMPARSIAL yang menekuni isu HAM dan security
sector reform, Reny Rawasita Pasaribu PSHK yang intens
108
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
dalam kajian dan penguatan instrumen hukum, serta Zainal Abidin YLBHI yang berpengalaman dalam riset dan
pembelaan kepada masyarakat. Pada bulan April 2009, posisi Reni Rawasita Pasaribu digantikan oleh Herni Sri
Nurbayanti PSHK karena Reny harus pindah ke Perancis. Untuk memastikan implementasi dan penerapan strategi
serta menjadi jembatan komunikasi bagi anggota tim, dibentuklah tim kesekretariatan yang berlokasi di IKOHI.
Keberadaan tim ahli inilah, beserta dengan lembaga masing- masing, yang menjadi pencetus sekaligus tulang punggung
berdirinya Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Mahkamah Pidana Internasional ICC.
Untuk memberikan penguatan dan masukan terhadap berbagai draft yang diproduksi, Koalisi meminta
beberapa orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam berbagai isu seputar ICC sebagai Dewan Pengarah
dalam Koalisi. Dewan Pengarah ini terdiri dari: Enny Soeprapto, Ph.D, Fadillah Agus, S.H., M.H, Galuh Wandita,
B.A., LL.M, Ifdhal Kasim, S.H, Kemala Tjandrakirana, M.A dan Dr. Rudi M. Rizki, S.H., LL.M.
Dalam memperkuat dukungan publik untuk proses ratifikasi di Indonesia, dalam workshop Statuta Roma
yang diadakan di Jakarta pada bulan Juni 2008, seluruh partisipan sepakat untuk membuat koalisi yang lebih luas
untuk mensupport ratifikasi. Koalisi sendiri dinamakan “Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana
Internasional” yang diluncurkan pada tanggal 25 Juni 2008. Anggota koalisi terdiri dari banyak sector dari akademisi,
media, kelompok perempuan, komunitas korban dan NGO. Koalisi juga terdiri dari person individu yang memiliki
kepedulian tentang reformasi hukum, keadilan, dan HAM di Indonesia.
109
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
Koalisi Indonesia juga menjadi anggota koalisi internasional untuk ICC CICC, sebuah koalisi internasional
dengan lebih dari 2,500 organisasi di seluruh dunia, koalisi ini dibangun untuk mendukung kampanye dalam proses
ratifikasi.
Menggelar Konsultasi Publik untuk Isu ICC
Sebagai elemen penting dalam upaya mendorong ratifikasi ICC, konsultasi publik adalah sebuah proses
yang sangat penting. Konsultasi publik merupakan sebuah wadah untuk menghimpun pandangan dan masukan dari
berbagai elemen masyarakat mengenai isu ICC. Untuk mengoptimalkan prose’s konsultasi publik ini, Koalisi
Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional menyusun serangkaian proses konsultasi publik dalam
format focused group discussion FGD di enam daerah yaitu Jakarta, Surabaya, Makassar, Medan, Aceh dan Papua.
110
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Masing-masing FGD mendiskusikan dan memuat masukan strategis dari 15 orang stakeholder utama dan ahli-ahli
ditingkat daerah. Partisipan yang terlibat termasuk pejabat pemerintah, akademisi, pengacara dan pemuka masyarakat
dalam bidang yang relevan.
Secara lebih spesifik, rangkaian FGD ini memiliki tujuan untuk: 1 mendapatkan pemahaman mengenai
tujuan ratifikasi Statuta Roma dalam konteks hukum, politik dan ekonomi serta mendiskusikan strategi kampenye
dan penyebaran informasi mengenai pentingnya ratifikasi Statuta Roma kepada publik, 2 berbagi pengetahuan dan
sumber daya antara pemerintah, parlemen, akademisi dan masyarakat sipil untuk mengatur dan mempercepat proses
ratifikasi dan 3 pembagian peran dan kerja diantara stakeholder dan peserta dalam rangka mempercepat proses
ratifikasi Statuta Roma. Rangkaian proses dan hasil dari konsultasi publik atau FGD dapat dipaparkan sebagai
berikut:
Jakarta
111
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
Sebagai pembuka proses konsultasi publik tentang ICC digelar FGD di Jakarta selama dua hari pada
tanggal 24-25 Juni 2008 di Hotel Harris, Jakarta. Proses ini dihadiri lebih dari 20 orang yang berasal dari institusi
pemerintah dan masyarakat sipil. Pada sesi hari pertama difokuskan pada topik urgensi Indonesia meratifikasi
Statuta Roma, konsekuensi-konsekuensi ratifikasi, dan isu- isu penting seperti non-surrender agreement, kedaulatan
negara, dan pelanggaran HAM masa lalu dengan narasumber Bhatara Ibnu Reza Tim Ahli - Imparsial dan Evelyn Balais
Serrano Coalition for The International Criminal Court - CICC.
Pada hari kedua, proses dilanjutkan dengan menfokuskan pada
perkembangan terakhir dalam proses persiapan ratifikasi, kendala yang
dihadapi dan upaya mencari kesepakatan jalan keluar, kebutuhan penyusunan
peraturan pelaksanaan yang terpadu dengan narasumber Nursyahbani Katjasungkana DPR RI
dan Prof Hakristuti Hakrisnowo, SH, MA, Ph.D Dirjen HAM-Depkumham RI
Dari proses selama dua hari ini, terpaparkan kendala-kendala yang dapat menjadi ganjalan upaya
ratifikasi ICC bagi Indonesia. Kendala-kendala tersebut adalah:
• Ratiikasi ICC tidak masuk dalam PROLEGNAS 2005-2009
• Hubungan antara ICC dan sistem hukum nasional, khususnya
dalam implementasi
peraturan dibutuhkan untuk meratifikasi Statuta Roma
112
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
• Ratiikasi Statuta Roma tergantung pada kebijakan dan sikap politik pemerintah
• Ada keengganan dari beberapa aktor politik di Indonesia
Menghadapi kendala-kendala ini disusun beberapa rekomendasi penting yang meliputi:
• Media memiliki peran penting untuk mendorong proses ratifikasi Statuta Roma, dan adalah hal yang
penting untuk melibatkan media dalam kerja-kerja koalisi
• Pentingya menyebarkan materi ICC kepada publik.
• Materi ICC akan sangat menarik dalam kuliah di universitas. Forum Dekan direkomendasikan
sebagai salah satu kelompok sasaran untuk diajak
113
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
bekerjasama dalam konteks menggelar kuliah di tingkat universitas.
• Di setiap
propinsi, Forum
RANHAM direkomendasikan sebagai kelompok sasaran
untuk diajak bekerjasama untuk mendorong proses ratifikasi Statuta Roma
• Pentingnya untuk bekerjasama dengan kelompok atau institusi yang menangani isu-isu perempuan
Pada acara ini juga, secara resmi diluncurkan keberadaan Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk
Mahkamah Pidana Internasional sebagai langkah konkrit dari masyarakat sipil untuk mendorong ratifikasi ICC di
Indonesia. Selain oleh Koalisi ini, dorongan agar Indonesia meratifikasi ICC juga dilakukan oleh Koalisi Internasional
untuk ICC CICC, sebuah koalisi internasional yang beranggotakan 2.500 organisasi. CICC meluncurkan
program Kampanye Ratifikasi Universal bulan Juni 2008 dengan target Indonesia. Sebagai bagian dari kampanye
tersebut, CICC telah mengirimkan surat ke Presiden SBY, Menkumham dan Menlu tanggal 11 Juni 2008.
Surabaya
P r o s e s konsultasi
publik dilanjutkan dengan
FGD di Surabaya yang
dilakukan pada 29 - 30 Juli
2008 dengan peserta
114
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
33 orang yang berasal dari lembaga pemerintah, akademisi dan masyarakat sipil seperti: Komisi A DPRD Jatim, SBMI-
Jatim, KPPD – Surabaya, ALHA-RAKA Syarikat-Jember, LPKP 65-Surabaya, MBH-Surabaya, BEM UWK-Surabaya,
BEM FISIP Unair- Surabaya, IKOHI-Malang, Forsam – Unair, LBH-Surabaya, Repdem – Jatim, Tim Advokasi TNI
Polri, Lakpesdam NU – Sumenep, AGRA – Jatim, Walhi – Jatim, CRCS, AJI Surabaya, Staff Pengajar HI FISIP Unair,
Korban Alas Tlogo – Pasuruan.
Fokus utama
proses FGD
adalah mengenai
bagaimana mekanisme ICC dapat diimplementasikan dalam kasus-
kasus pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah lokal. Meskipun
pelanggaran HAM masa lalu tidak termasuk dalam jurisdiksi
ICC, meratifikasi Statuta Roma merupakan sesuatu yang sangat
penting sebagai affirmative action
untuk mencegah pelanggaran HAM terjadi lagi dimasa yang akan datang. Adapaun untuk mengawal proses
diskusi dihadirkan narasumber Agung Yudhawiranata Tim ahli – ELSAM, Riawan Adi Ahli Hukum Pidana dan R.
Herlambang Perdana Dosen Hukum dan HAM, Universitas Airlangga.
Dalam proses ini dihasilkan kesepakatan umum bahwa pemerintah harus segera menyelesaikan kasus
pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Artinya selain segera meratifikasi Statuta Roma, pemerintah juga
harus berkonsentrasi untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, terutama kasus-kasus yang
terjadi di Jawa Timur. Organisasi lokal juga memiliki
115
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
komitmen untuk mendesak pemerintah daerah untuk mendeklarasikan bahwa mereka mendukung pemerintah
pusat di Jakarta untuk meratifikasi Statuta Roma.
Hal senada juga terjadi dalam proses konsultasi publik yang dilakukan di Makassar pada tanggal 4 dan 5
Agustus 2008, di Aceh pada tanggal 11 dan 12 Agustus 2008 dan di Medan pada tanggal 14 dan 15 Agustus 2008.
Papua
Proses konsultasi publik yang dilakukan oleh koalisi di Papua dilaksanakan pada 29-30 Agustus 2008 dalam
bentuk diskusi publik dan workshop. Banyaknya kasus- kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua juga karena
alasan sebaran representasi geografis menjadikan Papua salah satu daerah yang wajib masuk dalam daftar daerah
yang perlu dikunjungi dalam proses mendorong ratifikasi. Sebagaimana pula konsultasi yang dilakukan di daerah
116
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
lain, di Papua peserta berasal dari perwakilan organisasi masyarakat sipil, pemerintahan daerah, akademisi dan
keluarga korban pelanggaran HAM yang berjumlah kurang lebih enam puluhan.
Selain perwakilan
dari sekretariat
koalisi masyarakat sipil untuk ratifikasi Statuta Roma, hadir pula
sebagai pembicara dalam diskusi publik tersebut Bruder Budi Hermawan dari Serikat Keadilan Perdamaian dan Harry
Martubong dari Kontras Papua. Kegagalan menghadirkan Dirjen HAM Dephukham dan Ketua Komnas HAM dalam
diskusi ini menyebabkan banyak peserta diskusi kecewa karena tidak bisa mendapatkan kepastian resmi sejauh
apa proses ratifikasi di pemerintah sudah berjalan dan bagaimana komitmen sesungguhnya dari pemerintah baik
terkait kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu maupun paska ratifikasi.
Banyaknya kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang belum terungkap menyeret arah diskusi kepada
manfaat ratifikasi ICC terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu tersebut. Fakta bahwa ICC hanya
memiliki yurisdiksi paska ratifikasi, jelas menimbulkan kekecewaan dari sebagian besar peserta utamanya dari
keluarga korban yang semula sangat berharap akan mendapat manfaat langsung terhadap ratifikasi ICC. Dalam
diskusi bahkan sempat muncul pernyataan bahwa ratifikasi sama sekali tidak perlu dilakukan jika memang tidak ada
korelasi langsung dengan penyelesaian kasus-kasus HAM yang selama ini terjadi di Papua.
Karena banyaknya perbedaan opini selama diskusi, dan sulitnya mengontrol berkembangnya isu selama
diskusi berlangsung, sekretariat mengambil pendekatan yang berbeda dengan tidak menyimpulkan hasil diskusi
117
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
tapi memetakan kekhawatiran dan harapan peserta dari ratifikasi Statuta Roma. Kekhawatiran dan harapan
tersebutlah yang kemudian dikemas menjadi pernyataan bersama peserta diskusi untuk mendorong ratifikasi.
Harapan dan kekhawatiran yang berhasil direkam selama proses berlangsung tersebut adalah sebagai berikut:
Harapan Kekhawatiran
Pemerintah Indonesia 1.
segera meratifikasi Statuta Roma
Keuntungan Indonesia 2.
apabila ratifikasi Statuta Roma tercapai
Jaringan masyarakat 3.
sipil di setiap propinsi di Indonesia segera bekerja
Peraturan yang lebih 4.
baik untuk kompensasi, restitusi dan rehabilitasi
untuk korban pelanggaran HAM
dan keluarga korban pelanggaran HAM
Perlindungan yang lebih
5. baik agar pelanggaran
HAM tidak terjadi lagi dimasa yang akan
datang Konsistensi pemerintah dalam
1. proses ratifikasi
Pemerintah sering mengulur- 2.
ulur waktu dalam proses ratifikasi
ICC memiliki prinsip tidak 3.
berlaku surut sehubungan dengan pelanggaran HAM
masa lalu Masalah dalam implementasi
4. ICC dalam prosedur hukum
nasional
Harapan yang muncul dan paling banyak diungkapkan adalah bahwa ratifikasi Statuta Roma agar
segera dilakukan. Dari ratifikasi inilah nantinya keuntungan- keuntungan lainnya bisa didapatkan yang dapat mendorong
perbaikan proses peradilan di Indonesia yang kemudian berujung pada berkurangnya kasus-kasus pelanggaran
HAM di masa yang akan datang. Perbaikan yang dimaksud termasuk pula perbaikan terhadap sistem kompensasi,
118
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
restitusi dan rehabilitasi yang masih sangat tidak berpihak pada korban.
Dalam proses mendorong ratifikasi tersebut, peserta juga berharap agar jaringan kerjasama masyarakat
sipil antardaerah dapat segera terwujud untuk memperkuat dorongan pada pemerintah agar segera melakukan
ratifikasi.
Disisi lain ada banyak kekhawatiran yang muncul dari peserta terkait proses ratifikasi yang paling menonjol
adalah bahwa proses ratifikasi sendiri tidak dilakukan dengan serius oleh pemerintah. Dalam proses tersebut pemerintah
terlihat mengulur-ngulur waktu untuk melakukan ratifikasi dan tidak konsisten terhadap kebijakan pemerintah sendiri
yang sudah mencanangkan proses ratifikasi di Tahun 2008 tapi belum juga dilakukan bahkan belum ada persiapan
sama sekali.
Kekhawatiran lainnya adalah terkait relasi ratifikasi dengan kasus-kasus HAM berat masa lalu yang
tidak memiliki kaitan langsung. Seolah-olah kasus-kasus HAM yang selama ini belum terselesaikan tersebut sudah
terlupakan dan tidak lagi penting. Selain itu dikhawatirkan implementasi UU ratifikasi tidak ada sebagaimana praktek
yang banyak muncul dari ratifikasi konvensi-konvensi internasional lainnya. Karenanya, salah satu poin penting
yang dimunculkan dalam pernyataan bersama adalah terus diusutnya kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
119
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
Kampanye publik
Selain melakukan proses konsultasi publik, aktivitas kampanye diyakini akan memberikan kontribusi besar
dalam menggalang dukungan masyarakat untuk mendorong proses ratifikasi ICC di Indonesia. Berbagai seminar dan
diskusi publik dilakukan dalam kerangka tersebut. Dan untuk semakin meluaskan kampanye, dilakukan berbagai
talk-show radio jaringan nasional dengan harapan dapat menjangkau
publik yang lebih luas. Gambaran proses kampanye publik disajikan
sebagai bahan refleksi atas upaya yang dilakukan untuk menggalang
dukungan publik.
Untuk mendukung
kerja kampanye ratifikasi, Koalisi juga
memproduksi kampanye material,
120
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
diantaranya adalah penerbitan buku saku ICC yang berisi informasi dasar mengenai apa dan bagaimana mekanisme
ICC. Buku saku ini dibuat dalam format pertanyaan dan jawaban dengan cara penulisan yang populer. Buku saku
berisi informasi dasar mengenai ICC disebarakan kepada publik dan institusi pemerintah. Selain itu, Koalisi juga
memproduksi pin, tas dan block-note yang dibagiakan pada seluruh kegiatan yang diselenggarakan oleh Koalisi.
Seminar Nasional
Seminar nasional
sebelumnya direncanakan
akan digelar di Jakarta. Dengan beberapa pertimbangan diantaranya untuk mengumpulkan lebih banyak lagi
dukungan untuk ratifikasi Statuta Roma dari lebih banyak stakeholder diluar Jakarta, koalisi memutuskan untuk
menggelar seminar nasional di Yogyakarta.
121
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
Bekerjasama dengan Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia Yogyakarta PusHAM
UII, seminar dilaksanakan pada 6 April di Plaza Hotel Jogyakarta dengan topik “Tantangan Reformasi Hukum
dan Perlindungan HAM di Indonesia pasca Pemilu 2009”. Pembicara dalam seminar nasional ini adalah Ifdhal Kasim
dari Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab dari ELSAM, Bhatara Ibnu Reza salah satu tim ahli dari koalisi dan
Abdul Haris Semendawai dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK. T Kurang lebih 100 orang partisipan
dari beberapa aparat pemerintah, penegak hukum, NGO, akademisi, mahasiswa yang turut berpartisipasi dalam
seminar nasional ini.
Pada bagian akhir seminar, partisipan bersepakat bahwa siapapun yang terpilih pada Pemilu 2009 seharusnya
lebih memperhatikan penegakan HAM dalam rangka meningkatkan demokrasi sejati di Indonesia. Salah satu
kerja untuk membuat hal tersebut tercapai adalah dengan
122
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
meratifikasi perjanjian internasional atau mekanisme internasional, dimana salah satunya adalah Statuta Roma
ICC.
Talk-show Radio
Talk show radio dikemas sebagai media menyebarkan informasi mengenai pentingnya ratifikasi
Statuta Roma dan isu-isu terkait kepada publik. Koalisi mengadakan aktivitas ini dengan bekerjasama dengan KBR
68H dan VHRmedia Voice of Human Rights. Beberapa proses dan hasil talkshow akan dideskripsikan dibawah ini.
Diskusi radio dengan tema “Pentingnya Ratifikasi ICC di Indonesia” ini bekerjasama dengan KBR 68H. Diskusi
radio ini diadakan di Olive Tree Restaurant, Hotel Nikko dengan menghadirkan pembicara Mugiyanto IKOHI,
123
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
Djoko Susilo Komisi I DPR RI, dan Riyawan Pramudjo Direktur HAM, Ditjen HAM-Depkumham RI.
Kegiatan ini mengundang beberapa wartawan dan masyarakat umum. Selain itu memang diharapkan ada
respon dari pendengar KBR 68H yang menanggapi materi- materi yang dibawakan dari pembicara. Hal ini dilakukan
agar masyarakat umum dapat mengenal lebih jauh mengenai ICC dan merasa penting untuk mendukung ratifikasi ICC,
karena jelas mekanisme mahkamah pidana internasional ini akan berpengaruh besar pada kehidupan demokrasi di
Indonesia dan akan mencegah kasus-kasus pelanggaran HAM di kemudian hari. Kegiatan diskusi radio ini, selain
dipublikasikan oleh KBR 68H, juga dipublikasikan oleh Koran TEMPO pada tanggal 26 Juni 2008.
Dari diskusi radio ini memang diketahui bahwa ada komitmen pemerintah, khususnya Depkumham, untuk
segera meratifikasi ICC. Proses ratifikasi ICC yang dilakukan
124
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
oleh Depkumham sedang dalam tahap pengkajian oleh tim Litbang Depkumham. Namun sesungguhnya pengajuan
draft ratifikasi ICC ini sudah harus diserahkan kepada DPR pada tahun 2008. Karena hal ini tertuang dalam RANHAM
2004-2009 yang menyatakan Indonesia akan meratifikasi ICC pada tahun 2008.
Namun kelemahannya adalah tidak semua pejabat Negara yang berwenang dalam ratifikasi ICC ini memahami
secara jelas mengenai mekanisme ICC. Bahkan menurut Djoko Susilo, di Komisi III, komisi yang berhubungan
langsung dengan Depkumham, belum tentu memahami mengenai mekanisme ICC. Maka dari itu, harus segera
dibuat sebuah kegiatan untuk mensosialisasikan mekanisme ICC ini kepada anggota parlemen, khususnya anggota
Komisi III. Karena tentunya pemahaman yang tidak jelas terhadap mekanisme ICC akan menghambat berjalannya
proses ratifikasi ICC di tingkat parlemen.
125
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
Masyarakat umum yang mendengarkan diskusi ini melalui radio juga mendesak agar pemerintah dan parlemen
bekerja secara serius dalam meratifikasi ICC ini. Karena dari tanggapan masyarakat, mereka merasa bahwa proses
ratifikasi ICC ini akan dapat mencegah terjadinya kasus- kasus pelanggaran HAM dan menjadi sebuah pembelajaran
demokrasi di Indonesia.
Selain rangkaian diskusi radio reguler, Koalisi juga menyelenggarakan diskusi radio pada momen-momen yang
berhubungan dengan ICC. Sebagai contoh adalah pada momen peringatan Hari Keadilan Sedunia. Pada momen
peringatan ini Koalisi juga menyelenggarakan diskusi Radio dengan tema “ World Day of International Justice dan
Ratifikasi ICC di Indonesia” diadakan di Kedai Tempo pada tanggal 10 Juli 2008.
Diskusi kali ini menghadirkan pembicara Agung Yudhawiranata Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah
Pidana Internasional, Hakristuti Hakrisnowo Dirjen HAM Depkumham dan Ifdal Kasim Komnas HAM.
Pembahasan dalam diskusi kali ini adalah tentang World Day of International Justice yang diperingati sebagai hari
ditetapkannya Statuta Roma pada tanggal 17 Juli. Diskusi tersebut membahas mengenai mengapa hari tersebut
begitu bersejarah bagi keberlanjutan keadilan di dunia dan pentingnya Statuta Roma tersebut bagi kehidupan
berkeadilan. Karena Statuta Roma tersebut adalah cikal bakal dari terbentuknya sebuah mekanisme permanen untuk
mengadili para pelaku.
126
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Penyusunan Kertas Posisi dan Naskah Akademis
Sesuai dengan alur dan pembagian kerja, tim ahli bertanggungjawab penuh untuk membuat draft dan
menyelesaikan material pendukung ICC, seperti: kertas posisi, naskah akademik dan draft RUU ratifikasi yang
nantinya akan didistribusikan dan dijadikan bahan masukan kepada Pemerintah.
Untuk mendapatkan hasil yang optimal, tim ahli menggelar beberapa pertemuan untuk mengatur pembagian
kerja. Pada pertemuan pertama yang dilaksanakan pada tanggal 10 Juni 2008 disepakati mengenai pembagian dan
penanggungjawab kerja dalam rangka mengumpulkan referensi untuk kertas posisi dan naskah akademis. Selanjutnya
tim mulai bekerja dan melakukan berbagai pertemuan koordinasi. Akhirnya pada tanggal 2 Juli 2009, tim berhasil
menyelesaikan kertas posisi dan mempublikasikannya untuk mendukung kampanye pentingnya ratifikasi Statuta Roma
di Indonesia. Kertas posisi ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa inggis untuk kepentingan kampanye
internasional. Materi kampanye ini telah didistribusikan ke beberapa institusi dan publik, contohnya: dalam seminar
dan diplomatic briefing yang diadakan oleh Kedutaan Besar Swiss pada 28 Agustus 2008 di Hotel Ritz Carlton, Mega
Kuningan, Jakarta Selatan. Beberapa partisipan yang hadir dalam kegiatan tersebut adalah perwakilan dari Kedutaan
Jerman, Kedutaan Belanda, Kedutaan Kanada, Kedutaan Australia, Kedutaan Afrika Selatan, Kedutaan Swiss,
Kedutaan Inggris, Uni Eropa, IALDF, AusAID, United Nation, dan ICRC.
Sementara itu, proses pembuatan naskah akademik dan draft RUU Ratifikasi Statuta Roma dimulai pada
pertemuan tim ahli sehari penuh yang dilaksanakan pada
127
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
bulan Agustus 2008 di Imparsial dan dilanjutkan dengan pertemuan sehari penuh di Elsam pada bulan November
2008. Dalam pertemuan-pertemuan ini, tim ahli membuat draft naskah akademik dan draft RUU Statuta Roma dan
mendistribusikan naskah tersebut kepada tim ahli ad- hoc seperti: Enny Suprapto, Fadillah Agus, Ifdhal Kasim,
Kemala Chandrakirana dan Rudi Rizky untuk mendapatkan komentar dan masukan.
Dengan saran yang diberikan oleh tim ahli ad-hoc: Enny Suprapto dan Fadillah Agus, serta pembaca: Ifdhal
Kasih – Komnas HAM yang menyarankan kepada koalisi untuk mengembalikan isu ICC ke area hukum kriminal
dan tidak terlalu mengedepankan pelanggaran HAM masa lalu, dan revisi untuk naskah akademik final selesai pada
7 februari 2009 dalam pertemuan lain tim ahli di Aston Residence Jakarta. Dalam naskah akademis final, koalisi
memberi penjelasan lebih lanjut mengenai keuntungan ratifikasi Statuta Roma untuk Indonesia, misalnya seperti
perlindungan buruh migran dan misi menjaga perdamaian.
Workshop Bersama Parlemen
128
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Workshop bersama
dengan anggota
DPR dilaksanakan di gedung DPR pada 17 Februari 2009 dengan
bekerjasama dengan Parliament for Global Action PGA dengan tema “ICC: Indonesia Menuju Ratifikasi Statuta
Roma”. Workshop ini diadakan untuk meningkatkan pemahaman anggota DPR mengenai ICC dan mendorong
DPR untuk bekerja bersama koalisi dalam proses ratifikasi ICC di Indonesia. Workshop ini dilaksanakan bersamaan
dengan kedatangan delegasi internasional yang dipimpin oleh Senator Kanada Ms. A. Raynell Anreychuk ketua,
Komite HAM dan Australia MP Ms. Melissa Parke Ketua, Komisi Australia untuk integritas Penegakan Hukum.
Workshop tersebut dibuka oleh ketua PGA Indonesia Dr. Theo Sambuaga dan dilanjutkan dengan pembicara kunci
Mr. John Holmes, Duta Besa Kanada untuk Indonesia, yang menyatakan bahwa jurisdiksi ICC adalah tidak berlaku
surut, bersifat komplemener terhadap hukum nasional dan ICC didesign untuk memperkuat sistem hukum nasional,
dimana di dalamnya terdapat tanggungjawab utama untuk menyeret pelaku kejahatan serius untuk dihukum secara
adil.
129
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
Pembicara selanjutnya adalah, Prof. Harkristuti Harkrisnowo
Dirjen HAM
DepkumHAM yang
menjelaskan bahwa pemerintah telah terikat secara inklusif dengan proses konsultasi dan legal drafting ratifikasi ICC,.
Pemerintah juga sangat memahami bahwa batas waktu tahun 2008 untuk meratifikasi Statuta Roma telah lewat
dan sekarang naskah akademis harus menjadi prioritas.
Pembicara dari pihak koalisi, Reny Rawasita Pasaribu, menekankan mengenai dukungan dari masyarakat
sipil kepada pihak pemerintah dan DPR untuk meratifikasi ICC. Sementara Marzuki Darusman menyatakan bahwa
ratifikasi Statuta Roma harus disepakati di DPR antara bulan Mei dan Juni 2009. Pernyataan Marzuki Darusman
dipertegas oleh Partrice Morin dengan pernyataan: “DPR harus membuat perubahan dalam legislatif, dan ICC
hanyalah masalah waktu saja”
Pada momentum ini juga, sebagai tanggapan atas percepatan yang terjadi di DPR, koalisi membuat pernyataan
pers yang menekankan pada: • Pemerintah berkomitmen untuk meratiikasi ICC
sebelum pemilihan DPR baru 2009-2014. Dari perspektif pemerintah, ratifikasi Statuta Roma
akan memperkuat sistem perlindungan HAM di Indonesia
• Pertanyaan-pertanyaan mengenai kerahasiaan tidak lagi menjadi hal yang penting, mengingat ICC
memberikan jaminan hukum yang berlaku secara universal bagi semua orang.
130
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Lobby dan Audiensi
Audiensi dengan DPR
Audiensi dengan DPR, khususnya dengan Komisi I dan Komisi III yang berhubungan dengan isu ICC adalah
kegiatan penting dalam mendukung percepatan ratifikasi Statuta Roma. Sehubungan dengan tujuan ini, koalisi
menghadiri pertemuan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi III pada 26 Mei 2009 dan dengan Komisi
I pada 10 Juni 2009. Dalam pertemuan dengan Komisi III yang difasilitasi oleh Suripto, Nasir Djamil keduanya dari
Partai Keadilan Sejahtera dan Yudho Paripurno PPP, Komisi III memberikan komitmen untuk meratifikasi Statuta
Roma dan berencana untuk menggunakan Hak Inisiatif antar seluruh anggota Komisi III.
Pada 10 Juni 2009, koalisi mengadakan pertemuan dengan Komisi I yang difasilitasi oleh Theo Sambuaga
Ketua Komisi I, Marzuki Darusman dan Sidharto Danusubroto PDIP. Komisi I juga memberikan komitmen
untuk meratifikasi Statuta Roma dan memajukan beberapa isu “sensitif” yang berhubungan dengan ICC seperti:
• Prosedur legislatif: naskah akademis dan draft RUU ratifikasi ICC
• Salah satu kemungkinan yang dihadapi oleh pemerintah yang belum selesai adalah naskah
akademis dan RUU. Di beberapa kesempatan, Dirjen HAM menyatakan telah membuat tim
dan mencoba untuk menyelesaikan dua dokumen tersebut. Namun kenyataannya sampai April 2009
perkembangannya masih belum jelas.
131
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
• Fakta bahwa naskah akademis dan RUU, sebagai satu kondisi untuk mempercepat ratifikasi, belum
selesai dan harapan untuk ratifikasi pada tahun 2009 masih sangat jauh dari kenyataan. Ada beberapa
hal yang harus dipertimbangkan, pertama, adalah hal yang penting untuk menyebarkan naskah
akademik dan draft RUU kebeberapa departemen dan kepada publik untuk mendapatkan masukan;
kedua, membuat sinkronisasi dengan kebijakan lain yang akan dibuat oleh Dirjen Perundang-undangan
Depkumham untuk kemudian ditandatangani oleh Mentri Hukum dan HAM.
• Isu kedaulatan dan harmonisasi hukum • Ada dua isu besar yang muncul dalam ratiikasi
di Indonesia. Mengenai jurisdiksi ICC dan harmonisasi dengan peraturan nasional yang telah
ada. ICC memiliki prinsip tidak berlaku surut, hal tersebut yang tidak banyak diketahui, sehingga hal
tersebut menciptakan ketakutan bahwa dengan ratifikasi akan mengarah pada penghukuman
perwira TNI yang telah melakukan pelanggaran HAM dimasa lalu. Meskipun Menteri Pertahanan
Juwono Sudarsono telah memiliki perspektif yang jelas mengenai posisi dan implikasi ICC, namun
tetap saja ada ketakutan mengenai hubungan ICC dengan pengadilan nasional mekanisme domestik.
Prinsip ini jelas penting sebagai antisipasi isu kedaulatan nasional yang sering dimunculkan oleh
beberapa ahli hukum.
• Isu harmonisasi ICC dengan sistem hukum nasional, sebagai contoh, seperti yang tampak pada kehadiran
UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
132
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Beberapa pihak melihat bahwa Indonesia telah mengakomodir dua kejahatan intenasional dalam
UU tersebut, kejahatan melawan kemanusiaan dan genosida. Seperti hukum perang, hal tersebut bisa
dibawa ke pengadilan internasional.
• Isu “tidak mau dan tidak mampu” • Isu “tidak mau dan tidak mampu” dalam konteks
mekanisme pengadilan nasional dimunculkan oleh pihak militer dalam hubungannya dengan
pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia yang telah diadili di pengadilan HAM adhoc seperti
kasus Timor Leste, Tanjung Priok dan Penghilangan Paksa Aktivis 1998. Penjelasan atas intervensi ICC
dalam mekanisme nasional dibutuhkan untuk mempengaruhi pihak militer dan DPR bahwa
terminology “tidak mau dan tidak mampu” sangat mudah untuk dilaksanakan oleh prosecutor ICC
dan telah memiliki mekanisme yang sangat jelas untuk dijalankan.
Selain pertemuan-pertemuan formal yang digelar, koalisi juga secara rutin menghubungi para anggota DPR
terutama anggota PGA Indonesia seperti: Nursyabani Katjasungkana, Marzuki Darusman, Theo Sambuaga, untuk
mendiskusikan dan berbagi infomasi tentang perkembangan isu ICC.
Pertemuan dengan Depkumham
Koalisi Masyarakat SIpil Indonesia untuk Mahkamah Pidana Internasional mengadakan audiensi
dengan Prof. Harkristuti Harkrisnowo Dirjen HAM pada tanggal 27 Maret 2009. Dalam pertemuan tersebut,
133
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
ibu Harkristuti Harkrisnowo menyoroti perlunya para akademisi bicara mengenai sinkronisasi Statuta Roma ICC
dengan mekanisme hukum nasional. Dirjen HAM juga menjelaskan keuntungan apabila akademisi mendukung
untuk proses ratifikasi, khususnya untuk meyakinkan pihak militer dan pemerintah dalam isu ratifikasi.
Selain itu, pertemuan juga menghasilkan beberapa poin:
1. Dalam perkembangan di Depkumham, terjadi koordinasi antara Dirjen HAM dengan BPHN
untuk mendiskusikan naskah akademik dan draft RUU ratifikasi Statuta Roma
2. Ada masalah yang timbul sehubungan dengan sikap Departemen Luar Negeri yang menyatakan bahwa
ratifikasi harus menunggu sinkronisasi dengan peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan
ICC
3. Koalisi telah menyerahkan naskah akademis dan draft RUU Ratifikasi Statuta Roma kepada Dirjen
HAM dan akan terus mendukung proses dalam Departemen Hukum dan HAM untuk melakukan
percepatan proses ratifikasi ICC.
Pertemuan dengan Komnas HAM
Untuk mendukung proses ratifikasi, pertemuan dengan Komnas HAM diperlukan karena Komnas HAM
adalah salah satu stakeholder dalam isu ini. Tujuan dari pertemuan ini adalah untuk mendapatkan dukungan dari
Komnas HAM sebagai salah satu lembaga pemerintah dalam proses ratifikasi.
134
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Pertemuan pertama dengan Komnas HAM dilaksanakan pada 23 Juni 2008 di Jakarta. Pertemuan ini
dihadiri oleh Ifdal Kasim Komnas HAM, Evelyn CICC, Mugiyanto, Agung Yudha, Bhatara Ibnu Reza, Reny
Rawasita Pasaribu, Zainal Abidin, Ari Yurino dan Veronica Iswinahyu dari Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk
Mahkamah Pidana Internasional. Sebagai kesimpulan pertemuan, Komnas HAM sepakat untuk mendukung secara
aktif kerja-kerja yang dilakukan untuk meratifikasi Statuta Roma ICC di Indonesia.
Pertemuan kedua
dengan Komnas
HAM dilaksanakan pada 18 Februari 2009 di kantor Komnas
HAM. Pertemuan dihadiri oleh Ifdal Kasim Komnas HAM, Fadillah Agus tim ahli Ad-hoc, Enny Soeprapto tim ahli
Ad-hoc, Zaenal Abidin, Simon dan Agung Yudhawiranata Koalisi. Beberapa hasil pertemuan adalah:
1. Komnas HAM dalam waktu singkat akan mengeluarkan kertas posisi mengenai Statuta
Roma yang akan sangat berguna sebagai materi lobby kepada Deplu dan Depkumham
2. Komnas HAM akan mengadakan seminar publik dengan Menteri Hukum dan HAM dalam upaya
mendorong proses ratifikasi Statuta Roma 3. Sehubungan dengan kerja Komnas HAM dalam
revisi UU No. 262000 tentang pengadilan HAM, ratifikasi Statuta Roma masih dapat
berjalan, mengingat perdebatan mengenai prinsip komplimenter dapat melindungi prinsip retroaktif
dalam hukum pengadilan HAM
135
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
Roundtable discussion bersama Mr. Song Sang-hyun President ICC
Presiden ICC Song Sang-hyun mengunjungi Indonesia pada 28 April 2008. Koalisi mendapatkan
kesempatan untuk mengadakan diskusi komprehensif dengan Song Sang-hyun. Pertemuan diadakan di Hotel
Millenium Sirih – Jakarta dimulai pukul 14.00 – 15.30.
Prof. Dr. Komariah Emong Mahkamah Agung
dan Enny Suprapto juga terlibat dalam diskusi ini. Setelah
koalisi
mempresentasikan perkembangan
proses ratifikasi di Indonesia, Mr.
Song mengatakan
bahwa kedatangannya ke Indonesia
sangat penting karena ICC mempertimbangkan Indonesia
sebagai salah satu negara yang memiliki pengaruh di dunia, Indonesia harus menjadi bagian ICC. Kedatangan presiden
Song juga untuk mendorong Indonesia, yang di sebut
136
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
sebagai negara yang “penting” dan “berpengaruh” untuk menyelesaikan proses ratifikasi, dimana Mr. Song telah
diberitahu bahwa hal tersebut akan diselesaikan tahun lalu.
Media juga diundang dalam aktivitas ini, diantaranya adalah: Jakarta Post, Vivanews dan Voice
of Human Rights. Selama kedatangan presiden, banyak sekali peliputan media dan mereka sangat berguna bagi
perkembangan proses ratifikasi di Indonesia.
Pertemuan dengan Mr. Rod Rastan dari kantor Pros- ecutor – ICC
Pada 9 juni 2008 Badan Pembinaan Hukum Nasional BPHN - Depkumham menggelar FGD bersama
Mr. Rod Rastan dari Kantor Prosecutor Jurisdiction – ICC sebagai salah satu pembicara kunci dalam diskusi mengenai
Statuta Roma yang memfokuskan pada pengalaman empiris ICC dalam mendorong jurisdiksi tersebut selama 7 tahun
belakangan. Tujuan dari pertemuan ini juga untuk mendapat masukan atas draft naskah akademik ratifikasi Statuta Roma
yang sedang disusun oleh Departemen Hukum dan HAM.
Untuk merespon kedatangan Rod Rastan ini, Koalisi menggelar pertemuan untuk memberikan masukan
dan penjelasan kepada Mr. Rastan sehubungan dengan perkembangan terakhir dari proses ratifikasi dan persoalan
yang dihadapi. Pertemuan ini digelar sebagai input dari masyarakat sipil untuk Mr. Rastan.
137
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
Catatan Akhir
Program Indonesia Menuju Ratifikasi ICC merupakan inisiatif masyarakat sipil untuk berpartisipasi
dalam reformasi hukum dan mempromosikan perlindungan HAM di Indonesia. Dari persepsi masyarakat sipil, ratifikasi
Statuta Roma ICC diyakini akan meningkatkan mekanisme hukum di Indonesia, khususnya untuk mekanisme pidana,
juga untuk menangani pelanggaran berat HAM di Indonesia. Sejalan dengan tujuan fundamental dari Statuta Roma ICC,
masyarakat sipil percaya bahwa ratifikasi dan implementasi ICC akan mengakhiri praktek impunitas di Indonesia
Sehubungan dengan tujuan ini, pemerintah Indonesia telah memiliki tekad untuk meratifikasi ICC
Statuta Roma sejak 2004 dengan memasukkan Statuta Roma dalam RANHAM 2008. Lembaga negara atau institusi
negara yang berhubungan dengan menyoroti komitmen ini dengan pernyataan yang sering disampaikan oleh lembaga-
lembaga pemerintahan. Namun sangat disayangkan, sampai pada akhir kabinet SBY-JK pada 2009, tidak ada realisasi
atas komitmen mengenai ratifikasi.
Secara umum,
strategi dan
implementasi aktivitas koalisi menghasilkan beberapa perkembangan
untuk memajukan proses ratifikasi Statuta Roma ICC khususnya dalam hal kampanye publik dan pembukaan
jalur komunikasi antar berbagai pemangku kepentingan. Berdasarkan pengamatan dalam proses program, hambatan
dan dan posisi para stakeholder dapat dideskripsikan sebagai berikut:
138
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Masalah Deskripsi
Stakeholders Aktor Naskah Akademis
dan Draft RUU ratifikasi Statuta
Roma Naskah Akademis dan
Draft RUU Ratifikasi Statuta Roma yang di-
terima oleh pemerintah seharusnya diproduksi
oleh Kementrian untuk diberikan kepada presi-
den dan diajukan kepada DPR
Mentri Hukum dan HAM
Dukungan dari DPR
DPR, Komisi I dan Komisi III, memberikan
komitmen yang besar untuk ratifikasi
Komisi I dan Komisi III Anggota PGA di Indo-
nesia seperti: Marzuki Darusman
- Theo Sambuaga
- Nursyahbani K
- Djoko Susilo
- Resistensi dari
institusi militer Insitusi militer masih
memiliki keengganan dalam ratifikasi Statuta
Roma. Menteri Pertahanan
- MABES TNI
- Pendapat dari
Akademisi Pendapat dari akademisi
merupakan salah satu el- emen kunci dalam proses
ratifikasi. pada hari- hari terakhir, beberapa
akademisi memiliki ke- beratan dengan ratifikasi
Statuta Roma dengan berbagai mancam argu-
mentasi Akademisi hukum
terkemuka di Indonesia
Posisi Menteri Luar Negeri
Menteri Luar negeri merupakan salah satu
focal point dalam proses ratifikasi Statuta Roma,
namun bersikap pasif. Menteri Luar Negeri
Posisi Politik Presiden
Posisi politik presiden sehubungan dengan
Ratifikasi Statuta Roma masih belum jelas.
Presiden
Berdasarkan pemetaan hambatan dan pemetaan aktor serta pencapaian program dan perkembangan terakhir,
139
Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia
upaya untuk meneruskan dan mengembangkan inisiatif masyarakat sipil untuk mendorong ratifikasi Statuta roma
di Indonesia masih diperlukan. Upaya kedepan ini minimal meliputi beberapa area kerja, diantaranya:
• Penyebaran isu ratiikasi Statuta Roma ditingkatan publik untuk semakin menggalang dukungan yang
kuat untuk meyakinkan pemerintah RI. • Mendukung dan memfasilitasi proses dan membuat
Naskah Akademis dan Draft RUU ratifikasi pada Menteri Hukum dan HAM serta DPR
• Menginisiasi dan menjaga dukungan dari akademisi untuk mendukung ratifikasi Statuta Roma
• Melakukan pendekatan
dan memfasilitasi
penyebaran prinsip-prinsip Statuta Roma kepada institusi militer untuk mengatasi keengganan
mengenai Statuta Roma
141
Beberapa Pelajaran yang Bisa Dipetik
Mugiyanto
Segera setelah Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional disahkan dalam sebuah Konferensi
Diplomatik di Roma, Italia pada tanggal 17 Juli 1998, beberapa NGO hak asasi manusia, lembaga akademik
dan pemerintah di Indonesia telah melakukan kerja-kerja pengkajian dan advokasi agar Indonesia menjadi negara
pihak state party dari ICC. Pekerjaan tersebut terus berlangsung, dan semakin intens ketika ICC enter into force
pada tahun 2002, ketika 60 negara telah meratifikasinya.
Tidak hanya di tingkat nasional, kerja-kerja pengkajian dan advokasi juga dilakukan dengan terlibat
dan melibatkan komunitas internasional, baik itu pihak ICC sendiri yang berkedudukan di Den Haag negeri Belanda,
maupun dengan koalisi internasional untuk ratifikasi dan implementasi ICC, International Coalition on International
Criminal Court CICC yang juga berkedudukan di Den Haag dan New York, Amerika Serikat. Beberapa seminar,
workshop dan konferensi digelar di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia. Beberapa pakar hukum internasional dan
142
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
aktifis HAM juga terlibat secara aktif dalam beberapa forum internasional, termasuk dalam menghadiri sidang Majelis
Negara Pihak Assembly of States Party – ASP baik di Den Haag maupun di New York.
Berawal dari pekerjaan-pekerjaan dan aktifitas inilah, dalam sebuah workshop di Jakarta pada bulan Juni
2008 didirikan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional. Beberapa lembaga yang menjadi
inisiator pembentukan Koalisi ini adalah Elsam, Imparsial, YLBHI, PSHK dan IKOHI, yang kemudian meluas dan
melibatkan ratusan lembaga dan individu yang menaruh perhatian pada reformasi sistem hukum, penegakan keadilan
dan hak asasi manusia di Indonesia.
Pembentukan Koalisi ini didasari kebutuhan untuk mensinergikan langkah dan gerak lembaga-lembaga dan
individu-individu yang berada di dalamnya agar usaha untuk memastikan Indonesia meratifikasi ICC menjadi lebih
kuat dan efektif. Terbukti, tak lama setelah Koalisi berdiri, proses pengkajian, diseminasi informasi, kampanye dan
advokasi tentang ICC berjalan di hampir seluruh propinsi di Indonesia, dengan melibatkan berbagai stakeholder, baik
elemen masyarakat sipil maupun pemerintah dan parlemen. Dalam proses ini, Koalisi bahkan bisa berjalan beriringan
dengan focal point pemerintah untuk persiapan ratifikasi ICC, yaitu Depkumham dan Deplu dengan cukup baik.
Dalam masa kerja yang belum genap 2 tahun, Koalisi telah menerbitkan buku saku tentang ICC, kertas
kerja lobby paper, serta Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang tentang Ratifikasi ICC yang kesemuanya
sudah diserahkan ke focal point pemerintah untuk menjadi sandingan dokumen yang akan dibuat pemerintah, sebelum
nantinya diajukan ke DPR untuk disahkan.
143
Beberapa Pelajaran yang Bisa Dipetik
Sebagai anggota CICC, Koalisi setidaknya telah 3 kali menghadiri Sidang Majelis Negara Pihak ASP di Den
Haag dan New York, dimana laporan perkembangan ICC, penanganan-penanganan kasus situasi dan perdebatan-
perdebatan mengenai partisipasi korban, keadilan jender, kejahatan agresi dan lain-lain terjadi. Secara paralel, lobi-
lobi untuk mendapatkan dukungan internasional juga dilakukan oleh delegasi Koalisi dalam forum tersebut.
Sebagai tindak lanjut, pada tahun 2007 CICC menggelar Strategy Meeting di Jakarta, yang pada saat
yang sama melakukan lobi kepada pemerintah dan DPR. Bahkan pada bulan Juni 2009, Indonesia dijadikan sasaran
Universal Ratification Campaign URC CICC. Universal Ratification Campaign adalah strategi kampanye CICC yang
diluncurkan tiap bulan dengan menyasar satu negara untuk menjadi sasaran lobi dan kampanye ratifikasi. Untuk tujuan
tersebut, ratusan surat dari CICC dan lembaga-lembaga HAM internasional terkemuka dikirimkan ke President.
Tidak hanya itu, secara informal, Jaksa Penuntut Chief Prosecutor ICC, Luis Moreno Ocampo dan Hakim
Ketua Chief Judge, Judge Song Sang-hyun juga berkunjung ke Indonesia pada tahun 2008 dan 2009 untuk bertemu
dengan pemerintah dan masyarakat sipil, termasuk dengan Koalisi.
Di tingkat parlemen, pada tahun 2008 juga terbentuk Parliamentarian for Global Action PGA
Indonesia Chapter, yang salah satu fokus utamanya adalah mempersiapkan proses ratifikasi ICC. Sayangnya, anggota
PGA yang sudah sangat terbuka dan mendukung ratifikasi ICC ini tidak bias melakukan banyak hal, karena prosesnya
tengah dijalankan oleh pemerintah.
144
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Dalam kegiatan sosialisasi, kampanye dan advokasi ICC di Indonesia, Koalisi mendapatkan banyak
sekali masukan dan dukungan dari dari masyarakat sipil, terutama dari kalangan aktifis HAM dan keluarga korban
pelanggaran HAM. Akan tetapi, tantangan masih sangat besar, karena ICC masih merupakan hal baru dalam dunia
penegakan HAM, sehinga masih sering disalahartikan dengan Mahkamah Internasional International Court of
Justice - ICJ, termasuk minimnya pemahaman mengenai jurisdiksi dan kewenangannya.
Hal lain yang juga ditemukan dalam proses ini adalah masih belum nyaringnya suara-suara kalangan
akademisi dan ahli hukum internasional yang sejalan dengan semangat perlunya Indonesia bergabung dalam rejim
keadilan global ini. Suara yang kerap muncul justru dari kalangan ahli hukum konservatif, yang melihat ICC sebagai
ancaman, dan bukan sebagai peluang bagi perbaikan sistem hukum dan keadilan di Indonesia.
Sebagai penutup, rencana ratifikasi tahun 2008 memang sudah terlewati. Tetapi proses tetap berjalan.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai focal point masih terus menyusun Naskah Akademik dan
Rancangan Undang-Undang, untuk kemudian diajukan ke DPR untuk persetujuan. Namun nampaknya proses ini
tidak berjalan terlalu mulus. Ada indikasi, beberapa pihak terutama di Departemen Pertahanan dan Mabes TNI masih
belum nyaman dengan ICC. Isu kedaulatan nasional dan potensi intervensi asing, serta jurisdiksi ICC atas peristiwa
pelanggaran HAM masa lalu nampaknya dijadikan sebagai argumen bahwa Indonesia belum siap menjadi negara pihak.
Namun, ada argumen lain yang nampaknya juga dijadikan alasan penundaan ratifikasi yang mengatakan bahwa
Indonesia tidak perlu meratifikasi ICC karena sudah ada
145
Beberapa Pelajaran yang Bisa Dipetik
UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sebuah argumen gegabah dan menyesatkan.
Presiden SBY yang tengah mengemban mandat kedua diharapkan belajar dari kekurangan dan kegagalan
di masa pemerintahan sebelumnya. Terlebih lagi, penegakan hukum, keadilan dan hak asasi manusia kini semakin
menjadi buah bincang pemerintah. Ratifikasi ICC tidak hanya perlu dimasukkan kembali dalam RANHAM 2010
– 2015, tetapi harus dijadikan sebagai prioritas Program Legislasi Nasional 2010. Hanya dengan begitu, Indonesia
akan benar-benar membuktikan dirinya sejajar dengan negara-negara beradab lain yang telah menjadi bagian dari
sistem keadilan internasional.
Dan Koalisi, bersama kelompok masyarakat sipil lainnya akan terus mengawal dan mendampingi proses yang
sedang dilakukan oleh pemerintah.
Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang
Ratifikasi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana
Internasional International Criminal Court
Disusun Oleh: Elsam-Imparsial-IKOHI-PSHK-YLBHI
149
BAB I Latar Belakang Masalah
A. Latar Belakang Pendirian Mahkamah Pidana In- ternasional MPI
Empat Pengadilan Pidana Ad Hoc Internasional telah dibentuk selama abad ke-20 yakni; International
Military at Nuremberg, Tokyo Tribunal, International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia ICTY, dan
International Crimminal Tribunal for Rwanda ICTR. Kelebihan dan kekurangan dari keempat Mahkamah ini
secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pendirian
dari Mahkamah
Pidana Internasional
International Criminal Court yang selanjutnya disebut sebagai MPI. Khususnya dalam Draf International Law
Commission ILC tahun 1994 tentang MPI, mendapat pengaruh yang sangat besar dari Statuta ICTY.
1
Di bawah
1 Report of the ILC on the Work of Its 46
th
Sess, UN GAOR, 49
th
Sess, Supp No. 10A4910. Diambil dari Kriangsak Kittichaisaree, International Criminal
Law, Oxford University Press, January, 2001, p. 27.
150
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
ini akan diuraikan secara singkat mengenai Mahkamah- mahkamah Pidana Ad hoc tersebut dan berbagai kritikan-
kritikan masyarakat internasional yang mewarnai kinerja keempat mahkamah ad hoc tersebut yang pada akhirnya
bermuara pada pendirian MPI.
Mahkamah Militer Internasional di Nuremberg adalah sebuah pengadilan yang dibentuk oleh empat Negara
pemenang perang setelah Perang Dunia II untuk mengadili warganegara Jerman. Empat Negara tersebut adalah Inggris,
Perancis, Uni Soviet dan AS yang bertindak atas nama “semua negara”. Mahkamah ini telah mengadili 24 terdakwa penjahat
perang Nazi di mana 3 terdakwa dibebaskan, 12 dihukum mati, 3 dipenjara seumur hidup dan 4 dihukum penjara.
2
Namun, tidak semua pelaku kejahatan yang merupakan pemimpin Nazi tersebut dihadapkan ke pengadilan, bahkan
kebebasan dari penghukuman yang mereka terima nampak sebagai suatu balas jasa atas apa yang telah mereka lakukan
dan mereka mendapat pengampunan atas kejahatan mereka tersebut.
3
Mahkamah, yang dibentuk berdasarkan perjanjian London tanggal 8 Agustus 1945 ini, juga dikritik sebagai
Mahkamah bagi pemenang perang victor’s justice karena semua jaksa dan hakim berasal dari kekuatan sekutu, bukan
dari Negara yang netral. Semua terdakwa dan pembelanya berasal dari Jerman, dan mereka mendapat fasilitas yang
sangat terbatas dalam mempersiapkan kasus-kasus mereka serta mendapatkan pemberitahuan mengenai bukti-bukti
penuntutan.
4
Sehingga jelas Mahkamah ini bukanlah Mahkamah yang imparsial.
2 Kriangsak…ibid, p.18
3 Geofrey Robertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan : Perjuangan Untuk
Mewujudkan Keadilan Global, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia2002, p. 252.
4 Ibid, p.271
151
Lampiran
Terlepas dari segala kekurangan dan kegagalannya, Mahkamah Nuremberg sangat berarti bagi penegakkan hak
asasi manusia internasional karena telah meletakan prinsip- prinsip dasar pertanggungjawaban pidana secara individu
yang tertuang dalam Nuremberg Principle. Selain itu, definsi kejahatan terhadap kemanusiaan yang diatur dalam
Pasal 6c Piagam Nuremberg, belum pernah ditemukan dalam Konvensi-konvensi sebelumnya. Mahkamah ini juga
secara tegas menolak prinsip ‘impunitas kedaulatan negara’ seperti yang tertuang dalam pasal 7 Piagam Nuremberg.
Mahkamah Internasional Timur Jauh, atau dikenal dengan Mahkamah Tokyo, juga merupakan
mahkamah yang didirikan sekutu berdasarkan deklarasi Mc Arthur untuk mengadili penjahat perang. Julukan
Victors Justice juga melekat dalam Mahkamah ini karena: Jepang tidak diijinkan untuk membawa AS ke hadapan
Mahkamah Tokyo atas tindakan pemboman Hiroshima dan Nagasaki yang dilakukan AS, dan Jepang juga tidak
diijinkan untuk mengadili Uni Soviet atas pelanggarannya terhadap perjanjian kenetralan tanggal 13 April 1941.
5
Selain itu praktek impunitas juga sangat jelas terjadi dalam Mahkamah ini ketika Amerika Serikat memutuskan untuk
tidak membawa Kaisar Hirohito ke meja pengadilan, tapi justru melanggengkan kedudukannya dalam Kekaisaran
Jepang.
6
Hal ini sangat bertolak belakang mengingat sumbangan yang paling besar dari Pengadilan ini adalah
konsep “pertanggungjawaban komando” ketika mengadili Jenderal Tomoyuki Yamashita teori ini kemudian menjadi
dasar penuntutan di ICTY atas kasus Mladic dan Karadzic. Impunitas lain yang dipraktekan dalam pengadilan ini adalah
5 Lihat. Y Onuma, “The Tokyo Trial : Between Law and Politics, in C.Hosoya.N.Ando,
Y.Onuma and R Minear eds, The Tokyo War Crimes Trial : An Internasional Symposium Kodansha, 1986, p.45. Diambil dari Kriangsak…Op.cit,p. 19
6 Geofrey Robertson…Op.Cit, p. 252
152
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
tidak diadilinya para industrialis Jepang yang menjajakan perang serta pemimpin-pemimpin nasionalis yang senang
kekerasan.
Hampir setengah abad setelah Perang Dunia berakhir, masyarakat internasional kembali dikejutkan
dengan praktek pembersihan etnis yang lagi-lagi terjadi di Eropa yakni di Negara bekas Yugoslavia. Konflik di
Bosnia-Herzegovina, sejak April 1992 dan berakhir bulan November 1995, merupakan praktek pembersihan etnis
yang kekejamannya sudah mencapai tingkat yang tidak pernah dialami Eropa sejak Perang Dunia II. Kamp-kamp
konsentrasi, perkosaan yang sistematis, pembunuhan besar-besaran, penyiksaan, dan pemindahan penduduk
sipil secara massal adalah bukti-bukti yang tidak dapat diingkari yang akhirnya mendorong Dewan Keamanan
PBB untuk mendirikan International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia ICTY berdasarkan Resolusi
808 tanggal 22 February 1993, dengan pertimbangan bahwa sudah meluasnya tindakan pelanggaran terhadap
hukum humaniter termasuk praktek pembersihan etnis sehingga sangat mengancam perdamaian dan keamanan
internasional.
7
Berbagai kritikan kembali muncul seiring terbentuknya ICTY ini, banyak kalangan yang menganggap
bahwa mahkamah ini hanyalah kebetulan belaka mengingat berbagai kegagalan diplomasi dan sanksi serta penolakan
PBB untuk mengorbankan tentara keamanannya melalui intervensi bersenjata membuat mahkamah terhadap penjahat
perang sebagai alat satu-satunya untuk menyelamatkan muka PBB.
8
7 Florence Hartman, Bosnia
, diambil dari Roy Gutman and David Rief, Crimes of War : What Public Shuld Know, W.W Norton Company, New York-London,
1999, p. 53. 8
Geofrey Robertson, …Op.Cit, p. 352-353.
153
Lampiran
Walaupun mahkamah ini bukan lagi merupakan keadilan pemenang perang namun justru dikenal sebagai
keadilan yang selektif selective justice karena hanya mendirikan Mahkamah untuk mengadili kejahatan yang
dilakukan di Negara-negara tertentu, serta Mahkamah ini juga jelas berdasarkan pada anti-Serbian bias.
9
Selain itu, Mahkamah ini juga tidak mengadili angkatan bersenjata
NATO yang ikut melakukan pemboman di Negara bekas Yugoslavia. Padahal, sangatlah jelas serangan udara yang
dilakukan NATO terhadap Kosovo seharusnya menuntut pertanggungjawaban para pemimpin NATO atas pilihan
target pemboman yang mereka lakukan karena jelas merupakan pelanggaran terhadap hukum perang.
10
Kritikan yang sama mengenai “selective justice” juga ditujukan kepada PBB ketika Dewan Keamanannya
mendirikan International Criminal Tribunal for Rwanda ICTR berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan 955 tanggal
8 November 1994 di kota Arusha, Tanzania. Pengadilan ini didirikan untuk merespon terjadinya praktek genosida, serta
kejahatan terhadap kemanusiaan yang sudah meluas yang terjadi di Rwanda.
11
Banyak kalangan menilai, ICTY dan ICTR ini hanyalah Mahkamah Internasional yang didirikan
dengan alasan yang sangat politis, dan berdasarkan prinsip yang abstrak dan tidak jelas. Bagaimana dengan penyiksaan
yang terjadi di Beijing terhadap anggota Falun Gong hingga meninggal dan menjual organ-organ vital mereka?
9 Antonio Cassese, International Criminal Law, Oxford University Press, 2003,
p. 337. 10
Professor Jeremy Rabkin, The UN Criminal Tribunal for Yugoslavia and Rwanda : International Justice or Show of Justice?, diambil dari William Driscoll,
Joseph Zompetti and Suzette W. Zompetti, The International Criminal Court: Global Politcs and The Quest for Justice, The International Debate Education
Association, New York, 2004, p. 131.
11 Kriangsak Kittichaisaree, Op.Cit,p. 24.
154
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Bagaimana dengan pembunuhan besar-besaran di Shabra dan Shatila terhadap wanita dan anak-anak Palestina?
Akankah pelaku kejahatan-kejahatan tersebut juga dibawa ke Mahkamah seperti halnya Mahkamah untuk Yugoslavia
dan Rwanda? Akankah PBB memiliki keberanian untuk itu? Selective Justice adalah keadilan yang ditunda dan itu sama
saja dengan victors justice.
12
Berbagai kekurangan
dan kegagalan
dari mahkamah-mahkamah internasional di atas akhirnya
menggerakkan PBB untuk melaksanakan konferensi pada tahun 1998 untuk mendirikan suatu Mahkamah Pidana
yang permanen yang diharapkan dapat menyempurnakan berbagai kelemahan dari Mahkamah Internasional
sebelumnya. Aspirasi untuk mendirikan MPI telah muncul di era 1980-an melalui proposal yang diajukan Negara-negara
Amerika Latin yang diketuai oleh Trinidad dan Tobago kepada Majelis Umum PBB.
13
Selanjutnya, setelah pendirian ICTY dan ICTR, Majelis Umum PBB mendirikan Komite yang bernama
Komite Persiapan untuk pendirian MPI Preparatory Committee for The Establishment of an International
Criminal Court, yang telah bertemu enam kali sejak 1996- 1998 untuk mempersiapkan teks Konvensi sebagai dasar
MPI.
14
Puncak dari proses yang panjang tersebut adalah disahkannya Statuta MPI dalam Konferensi di Roma
tanggal 17 Juli 1998 sehingga Statuta tersebut akhirnya
12 Taki, Unpopular Truht: Selective Justice, from “Slobodamnation”, New York
Press, Volume 14, issued 28. This Article was found at http : www.issues- views.com.
13 Surat tanggal 21 Agustus 1989 dari Perwakilan Permanen Trinidad dan
Tobago kepada Sekretaris Jenderal PBB, UNGAOR, 47
th
Sess, Annex 44, Agenda item 152, Un.Doc.A44195 1989, diambil dari Kriangsak Kittichasairee, …
Op.Cit,p. 27. 14
Kriangsak Kittichasairee, ibid,p. 28.
155
Lampiran
dikenal dengan nama Statuta Roma. Seperti yang tertuang dalam Mukadimah dari Statuta Roma tentang Mahkamah
Pidana Internasional, bahwa Mahkamah ini bertujuan untuk mewujudkan keadilan yang global Global Justice,
memutuskan rantai kekebalan hukum impunity bagi para pelaku kejahatan, serta mengefektifkan kinerja mekanisme
hukum nasional dalam menghukum pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan genosida.
B. Pendirian Mahkamah Pidana Internasional Inter- national Criminal Court
MPI didirikan berdasarkan Statuta Roma tanggal 17 Juli 1998, ketika 120 negara berpartisipasi dalam “United
Nations Diplomatic Conference on Plenipotentiaries on the Establishment of an International Criminal Court” telah
mesahkan Statuta Roma tersebut.
15
Dalam pengesahan Statuta Roma tersebut, 21 negara abstain, dan 7 negara menentang
termasuk Amerika Serikat, Cina, Israel, dan India
16
. Kurang dari empat tahun sejak Konferensi diselenggarakan, Statuta
yang merupakan dasar pendirian Mahkamah bagi kejahatan yang paling serius yakni genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, kejahatan perang serta kejahatan agresi ini, sudah berlaku efektif sejak 1 Juli 2002 yakni setelah
60 negara meratifikasinya. Ini adalah waktu yang sangat cepat jika dibandingkan dengan perjanjian multilateral
lain dan jauh lebih cepat dari waktu yang diharapkan oleh masyaratakat internasional. Hingga saat ini telah ada 108
negara peratifikasi Statuta Roma
17
.
15 William Driscoll, Joseph Zompetti and Suzette W. Zompetti, The International
Criminal Court: Global Politcs and The Quest for Justice, The International Debate Education Association, New York, 2004,p.30
16 ibid, p. 131.
17 Berdasarkan data tanggal 28 Juli 2008 dari www.iccnow.org.
156
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Mahkamah Pidana Internasional MPI sendiri secara resmi dibuka di Den Haag tanggal 11 Maret 1998
dalam sebuah upacara khusus yang dihadiri oleh Ratu Beatrix dari Belanda serta Sekretaris Jendral PBB Kofi Annan.
18
Berbeda dengan
mahkamah internasional
sebelumnya yang sifatnya ad hoc, Mahkamah ini merupakan pengadilan yang permanen Pasal 31 Statuta Roma.
Mahkamah ini hanya berlaku bagi kejahatan yang terjadi setelah Statuta Roma berlaku Pasal 24 Statuta Roma.
Mahkamah ini merupakan mahkamah yang independent dan bukan merupakan organ dari PBB, karena dibentuk
berdasarkan perjanjian multilateral. Namun antara Mahkamah dengan PBB tetap memiliki hubungan formal
Pasal 2 Statuta Roma. Pasal 13b serta Pasal 16 Statuta Roma juga menjelaskan mengenai tugas yang cukup
signifikan dari Dewan Keamanan PBB yang berhubungan dengan pelaksanaan yurisdiksi Mahkamah yakni Dewan
Keamanan PBB memiliki wewenang untuk memulai atau menunda dilakukannya investigasi berdasarkan bab VII
Piagam PBB. Mahkamah ini juga hanya boleh mengadili para pelaku di atas usia 18 tahun.
Yurisdiksi MPI terbagi empat : a. territorial jurisdiction rationae loci: bahwa
yurisdiksi MPI hanya berlaku dalam wilayah negara pihak, yurisdiksi juga diperluas bagi kapal
atau pesawat terbang yang terdaftar di Negara pihak, dan dalam wilayah bukan negara pihak yang
mengakui yurisdiksi MPI berdasarkan deklarasi ad hoc. Pasal 12 Statuta Roma
18 Hans Peter Kaul, Developments at The International Criminal Court : Construction
Site for More Justice: The ICC After Two Years, April 2005, p. 170.
157
Lampiran
b. material jurisdiction rationae materiae: bahwa kejahatan yang menjadi yurisdiksi MPI terdiri
dari kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, genosida dan kejahatan agresi Pasal 5-8
Statuta Roma
c. temporal jurisdiction rationae temporis: bahwa MPI baru memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan
yang diatur dalam Statuta setelah Statuta Roma berlaku yakni 1 Juli 2002. Pasal 11 Statuta
Roma
d. personal jurisdiction rationae personae: bahwa MPI memiliki yurisdiksi atas orang natural person,
dimana pelaku kejahatan dalam yurisdiksi MPI harus mempertanggungjawabkan perbuatannya
secara individu individual criminal responsibility, termasuk pejabat pemerintahan, komandan baik
militer maupun sipil. Pasal 25 Statuta Roma.
Selanjutnya, dalam hal penerapan dari keempat yurisdiksi MPI diatas pada suatu Negara, terdapat prinsip
yang paling fundamental yakni MPI “harus merupakan komplementer pelengkap dari yurisdiksi pidana nasional
suatu Negara” complementarity principle. Hal ini secara eksplisit dijelaskan dalam paragraph 10 Mukadimah Statuta
Roma serta dalam Pasal 1 Statuta Roma. Penjelasan lebih lanjut mengenai prinsip ini akan diuraikan secara lengkap
dalam Bab II. Namun pada intinya prinsip komplementer complementarity principle ini menegaskan bahwa fungsi
MPI bukanlah untuk menggantikan fungsi sistem hukum nasional suatu Negara, namun MPI merupakan mekanisme
pelengkap bagi Negara ketika Negara tidak mau unwilling atau tidak mampu unable untuk menghukum pelaku
kejahatan yang merupakan yurisdiksi MPI.
158
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
Kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional secara keseluruhan tidak boleh
dibiarkan tak dihukum dan bahwa penuntutan terhadap pelaku kejahatan tersebut secara efektif harus dijamin
dengan mengambil langkah-langkah di tingkat nasional dan dengan memajukan kerja sama internasional. Sehingga
pada akhirnya kejahatan-kejahatan seperti itu dapat dicegah dan tidak akan terulang di kemudian hari. Karena
pada hakikatnya, keadilan yang tertunda akan meniadakan keadilan itu sendiri justice delayed can be justice denied
19
.
C. Indonesia dan Mahkamah Pidana Internasional
Pengalaman penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM dimasa lalu harus menjadi pelajaran berharga
bagaimana Indonesia di masa depan seharusnya bersikap. MPI sebagai sebuah pengadilan yang diakui secara
internasional yang bekerja dengan menggunakan standar, rasa keadilan dan hukum internasional pastinya menjadi
jaminan penyelesaian kasus serupa di masa yang akan datang, meniadakan praktek impunitas.
Berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia HAM yang terjadi di Indonesia menunjukan lemahnya
upaya penyelesaian kasus-kasus tersebut. Praktek Pengadilan HAM baik yang Ad Hoc untuk kasus Tanjung Priok
maupun permanen untuk kasus Abepura yang diadili melalui Pengadilan HAM Makassar terbukti sulit untuk
menjangkau dan menghukum orang yang paling bertanggung jawab dalam kasus tersebut. Tidak terselesaikannya berbagai
kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara memadai menunjukan bahwa ada masalah dalam mekanisme
penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang saat
19 Geofrey Robertson, …Op.Cit,p. 254.
159
Lampiran
ini dimiliki oleh Indonesia baik itu terkait sistem hukum maupun kapasitas aparat penegak hukumnya.
Ketidakberhasilan pengadilan HAM ini, selain bebasnya para terdakwa, juga tidak mampu memenuhi hak-
hak korban pelanggaran HAM yang berat. Hak-hak korban yang meliputi hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi
sampai saat ini tidak satupun yang diterima oleh korban. Padahal para korban pelanggaran HAM yang berat berhak
mendapat kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.
Studi dan pengkajian yang dilakukan oleh berbagai pihak menunjukkan bahwa kelemahan proses peradilan HAM
terjadi dalam tahap mulai dari penyelidikan sampai dengan pemeriksaan di pengadilan. Persoalan ketidakcukupan
regulasi menjadi salah satu faktor yang mendorong kegagalan pengadilan. Faktor lainnya yang memperlemah
pengadilan HAM adalah kapasitas para penegak hukumnya baik mulai tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan
dan tidak terkecuali para hakim yang mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat ini.
Kebutuhan terhadap mekanisme yang tepat dalam menyelesaikan pelbagai kejahatan hak asasi manusia berat
juga menjadi isu di dunia internasional yang kemudian berujung pada lahirnya Mahkamah Pidana Internasional
International Criminal Court pada 17 Juli 1998.
Dengan demikian Indonesia memiliki kesamaan dengan masyarakat internasional dalam hal kebutuhan akan
mekanisme yang tepat dan efektif untuk menyelesaikan kasus-kasus kejahatan paling serius dan memberikan
keadilan pada korban.
161
Lampiran
BAB II Kebutuhan Indonesia untuk
Meratifikasi Statuta Roma
Indonesia hingga saat ini belum meratifikasi Statuta Roma walaupun “sebagian” kejahatan yang merupakan
yurisdiksi dari Statuta ini sudah diadopsi oleh Undang- Undang No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hanya
saja ada banyak kritik terhadap bagaimana UU tersebut telah salah mengadopsi dan bahkan tidak mengambil beberapa
ketentuan dalam Statuta Roma. Hal-hal penting yang tidak terambil seperti misalnya tidak masuknya kejahatan perang,
perlindungan saksi yang tidak maksimal, dan hukum acaranya yang masih menggunakan hukum acara KUHP.
Ketidaklengkapan aturan ini sangat berkontribusi terhadao bolong besar dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran
HAM di masa lalu.
Berangkat dari kenyataan bahwa Indonesia masih banyak menemukan kendala dalam hal penegakkan
hukum khususnya Hukum HAM, uraian di bawah ini akan menjelaskan betapa ternyata Indonesia sangat memerlukan
162
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
ratifikasi Statuta Roma ini sebagai sarana pendorong untuk membenahi berbagai kelemahan dan kekurangan dari segi
instrumen hukum, aparat penegak hukum, serta prosedur penegakkan hukumnya sehingga Indonesia dapat benar-
benar mampu memberikan jaminan perlindungan HAM bagi warganegaranya.
a. Menghapus Berbagai Praktek Impunity
Salah satu tujuan didirikannya MPI adalah untuk menghapuskan praktek impunitas impunity. Pasal 28
Statuta Roma secara rinci mengatur bahwa seorang atasan baik militer maupun sipil, harus bertanggungjawab secara
pidana ketika terjadi kejahatan dalam yurisdiksi MPI yang dilakukan oleh anak buahnya. Aturan yang telah ada sejak
Piagam Nuremberg, Tokyo, Konvensi Jenewa 1949, ICTY, ICTR dan kemudian disempurnakan dalam Pasal 28 Statuta
Roma, memiliki tujuan untuk dapat menghukum “the most responsible person” walaupun orang tersebut memiliki posisi
sebagai pemegang kekuasaan yang seringkali sulit terjangkau hukum. Pasal 28 Statuta Roma telah diadopsi dalam pasal
42 Undang-Undang 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, namun terdapat banyak kesalahan penterjemahan
yang justru menjadi celah bebasnya para atasankomandan tersebut.
20
Secara umum impunitas dipahami sebagai “tindakan yang mengabaikan tindakan hukum terhadap
pelanggaran hak asasi manusia” atau dalam kepustakaan umum diartikan sebagai “absence of punishment”. Dalam
perkembangannya istilah impunity digunakan hampir secara ekslusif dalam konteks hukum, untuk menandakan suatu
20 Uraian rinci tentang kesalahan penterjemahan pasal 42 tersebut dapat dilihat
dalam Bab I Sub Bab ii. Mengatasi kelemahan sistem hukum di Indonesia tentang Undang-undang 262000, p.13-14.
163
Lampiran
proses di mana sejumlah individu luput dari berbagai bentuk penghukuman terhadap berbagai tindakan illegal maupun
kriminal yang pernah mereka lakukan.
21
Praktek impunitas ini telah terjadi sejak berabad yang lalu diantaranya
adalah gagalnya Negara-negara Eropa untuk mengadili Raja Wilhelm II sebagaimana yang direkomendasikan oleh
Perjanjian Versailles, tidak diadilinya Kaisar Hirohito oleh Mahkamah Tokyo atas keputusan AS, berbagai pengadilan
pura-pura yang mengadili serdadu-serdadu rendah dengan hukuman yang ringan dan melawan hari nurani keadilan
masyarakat.
22
Praktek ini menunjukan bahwa setiap Negara selalu memiliki kecenderungan untuk melindungi pelaku
kejahatan yang merupakan warganegaranya sendiri apalagi apabila pelaku tersebut merupakan orang yang memegang
kekuasaan di Negara tersebut. Fenomena ini menunjukan betapa kepentingan politik dan ekonomi jangka pendek masih
dominan ketimbang penegakkan HAM dan keadilan.
Bagaimana impunity dalam konteks Indonesia, terutama setelah jatuhnya rezim Soeharto? Peralihan
kekuasaan Soeharto ke Habibie menyisakan sejumlah catatan penting dalam penegakan HAM di Indonesia. Meskipun
Peradilan Militer dibentuk di masa Habibie untuk mengadili sejumlah petinggi dan anggota Kopassus yang tergabung
dalam Tim Mawar, atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan penculikan orang secara paksa, tetapi tidak pernah
ada penjelasan mengenai siapa yang harus bertanggung jawab atas korban-korban penghilangan paksa yang belum
kembali hingga saat ini. Peradilan ini lebih kepada kompromi politik elit-elit politik dan militer, untuk tidak menjatuhkan
21 Genevieve Jacques, Beyond Impunity: An Ecumenical Approach to Truth, Justice
and Reconciliation, Geneva: WWC Publication, 2000, p.1 . 22
Abdul Hakim G Nusantara, Sebuah Upaya Memutus Impunitas : Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat HAM, Jurnal HAM Komisi Nasional HAM
Vol.2 No.2, November 2004, p.v
164
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
hukuman yang dinilai mampu mengakibatkan keguncangan dalam tubuh militer. Sekaligus mencoba untuk berkompromi
dengan korban-korban yang sudah dilepaskan. Yang pasti peradilam militer kasus penculikan tersebut gagal untuk
memenuhi prinsip-prinsip keadilan.
23
b. Mengatasi Kelemahan Sistem Hukum Indonesia
Meratifikasi Statuta Roma serta memasukkan kejahatan internasional serta prinsip-prinsip umum
hukum pidana internasional ke dalam sistem hukum pidana nasional, akan meningkatkan kemampuan negara
untuk mengadili sendiri para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan serta kejahatan perang. Bahkan negara secara
efektif akan menghalangi dan mencegah terjadinya kejahatan yang paling serius yang menjadi perhatian masyarakat
internasional tersebut. Dengan melaksanakan kewajibannya untuk mengadili pelaku kejahatan internasional yang paling
serius tersebut, negara secara langsung akan memberikan kontribusi terhadap keamanan, stabilitas, kedamaian
nasional, regional, bahkan internasional.
24
Sebagai bagian dari masyarakat internasional yang juga ingin berperan aktif dalam perdamaian dunia,
serta menyadari begitu banyaknya kelemahan dalam sistem hukumnya seringkali membuat Indonesia sulit
untuk memenuhi kewajibannya dalam menghukum pelaku kejahatan internasional. Indonesia harus melakukan begitu
23 Daniel Hutagalung, Negara dan Pelanggaran Masa Lalu : Tuntutan
Pertanggungjawaban Versus Impunitas diambil dari Dignitas : Jurnal HAM ELSAM, Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri, Volume No.1, 2005, p. 230-
231.
24 Michael Cottier, The Ratiication of the Rome Statute and the Adoption of
Legislation Providing Domestic Jurisdiction over International Crimes, makalah disampaikan dalam acara :
accra conference
on
“
domestic implementation
of the
rome statute
of the
international criminal
court
”, 21 - 23 f
ebruary
2001.
165
Lampiran
banyak pembenahan khususnya dalam hal instrumen hukum serta sumber daya manusianya. Fenomena yang terjadi di
Indonesia saat ini adalah terlalu banyaknya Undang-Undang yang antara satu dan lainnya saling bertentangan sehingga
dalam hal kepastian hukum seringkali membingungkan. Tidak hanya di tingkat Undang-Undang, namun juga di
tingkat aturan pelaksanaannya seperti Peraturan Daerah. Selain itu, sistem hukum Indonesia khususnya dalam
mengasorbsi hukum internasional ke dalam hukum nasional Indonesia masih sangat tidak jelas.
Praktek di Indonesia menunjukan bahwa setelah meratifikasi suatu konvensi Internasional baik dalam
bentuk Undang-undang maupun Keppres maka harus segera disertai dengan aturan pelaksanaan implementing
legislation yang memuat lembaga pelaksana dan sanksi pidana efektif suatu kejahatan tertentu sehingga konvensi itu
bisa benar-benar berlaku efektif terhadap warga negaranya.
25
Padahal berdasarkan Pasal 72 Undang-Undang 39 tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa
“ketentuan hukum internasional yang telah diterima Negara Republik Indonesia yang menyangkut Hak Asasi Manusia
menjadi hukum nasional”.
Sementara itu, banyak aparat penegak hukum yang tidak memahami aturan hukum internasional dan
berbagai praktek internasional yang terjadi, bahkan banyak diantara mereka cenderung tidak memiliki keberanian untuk
melakukan terobosan dengan mendasarkan suatu kejahatan yang terjadi dengan praktek internasional. Sehingga, sangat
jarang ditemukan suatu putusan pengadilan di Indonesia
25 Misalnya dalam hal kejahatan perang. Sejak tahun 1958 melalui Undang-Undang
No.59 tahun 1958, Indonesia telah meratiikasi Konvensi Jenewa 1949. Namun hingga saat ini Konvensi tersebut tidak dapat berlaku efektif karena tidak adanya
aturan pelaksanaan yang memuat sanksi pidana efektif dari kejahatan perang tersebut.
166
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
yang mendasarkan pada kasus-kasus internasional atau hukum kebiasaan internasional.
Di bawah ini akan diuraikan beberapa kelemahan sistem hukum Indonesia sehingga ratifikasi Statuta Roma
sangat dibutuhkan untuk membenahinya, yaitu :
a. Instrumen hukum
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP: Banyak aturan dalam KUHP yang sudah tidak
lagi relevan dan memadai untuk mengakomodir jenis-jenis
kejahatan yang
sudah semakin
berkembang. Khususnya dalam hal penegakan hukum HAM, beberapa jenis kejahatan seperti
pembunuhan, perampasan
kemerdakaan, perkosaan, penganiayaan adalah jenis kejahatan
yang diatur dalam KUHP. Namun jenis kejahatan tersebut adalah jenis kejahatan yang biasa
ordinary crimes yang jika dibandingkan dengan pelanggaran HAM yang berat atau kejahatan-
kejahatan dalam yurisdiksi MPI harus memenuhi unsur atau karateristik tertentu. Perumusan yang
berbeda ini tidak mungkin menyamakan perlakuan dalam menyelesaikan masalahnya, artinya KUHP
tidak dapat untuk menjerat secara efektif pelaku pelanggaran HAM yang berat.
26
2. Hukum Acara: Dalam pasal 10 Undang-Undang 262000 dijelaskan bahwa ketika terjadi pelanggaran
HAM yang berat maka hukum acara yang digunakan adalah Kitab-Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana KUHAP. Tentu saja hal ini
26 Agung Yudhawiranata, Pengadilan HAM di Indonesia : Prosedur dan Praktek, p.
1.
167
Lampiran
tidak lah memadai mengingat jenis-jenis kejahatan yang diatur dalam undang-undang ini adalah extra
ordinary crimes sehingga banyak hal yang baru yang tidak diatur dalam KUHAP. Sebagian dari hal-hal
baru tersebut telah diatur dalam Undang-Undang 262000 yakni mengenai
27
: a Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim
ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad hoc, dan hakim ad hoc
b Penyelidik hanya dilakukan oleh KOMNAS HAM sedangkan penyidik tidak diperkenankan
menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam KUHAP
c Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu
tertentu melakukan
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan.
d Ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi
Namun terdapat aturan khusus lain yang tidak diatur baik dalam KUHAP maupun Undang-
Undang 262000 sehingga sangat diperlukan hukum acara dan pembuktian yang khusus seperti
bentuk rules of procedure and evident dari Statuta Roma sebagai dasar hukumnya. Hal-hal yang
tidak diatur baik dalam KUHAP maupun dalam Undang-Undang 262000 diantaranya adalah dasar
hukum sub poena power yang dimiliki penyelidik dalam hal ini KOMNAS HAM.
27 ibid, p. 7.
168
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
3. Undang-Undang 262000 tentang Pengadilan HAM: Undang-undang 262000 tentang Pengadilan
HAM dibentuk untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat. Yurisdiksi Pengadilan ini adalah
kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Walaupun undang-undang ini dikatakan sebagai
pengadopsian dari Statuta Roma namun terdapat banyak kelemahan entah disengaja atau tidak
yang akhirnya sangat berpengaruh terhadap penegakan hukum bagi pelanggaran HAM yang
berat di Indonesia. Misalnya Undang-Undang 262000 hanya mencantumkan kejahatan terhadap
kemanusiaan dan genosida sebagai yurisdiksinya sementara kejahatan perang yang juga merupakan
yurisdiksi Statuta Roma tidak dicantumkan dalam Undang-Undang ini. Akibatnya, ketika terjadi
kejahatan perang di Indonesia maka belum ada Undang-undang yang mengatur mengenai sanksi
pidana yang efektif bagi kejahatan ini.
Berbagai kesalahan penterjemahan juga banyak ditemukan dalam pasal-pasal di undang-undang
ini. Misalnya dalam pasal 9 mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan
28
, terdapat kata-kata
“serangan tersebut ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil” sementara dalam teks asli
Statuta Roma “directed against civilian population” yang artinya “ditujukan kepada penduduk sipil”.
Penambahan kata “secara langsung” di sini dapat berakibat sulitnya menjangkau para pelaku yang
bukan pelaku lapangan. Para pelaku di tingkat
28 Pasal 9 UU 262000 : “Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan
tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :…”
169
Lampiran
pemberi kebijakan sulit terjangkau berdasarkan pasal ini.
Dalam Pasal 42 1 mengenai pertanggungjawaban komando bagi komandan militer
29
terdapat kata-
kata “dapat bertanggungjawab”. Sementara dalam teks asli Statuta Roma kata yang digunakan adalah
“shall be criminally responsible” lihat Pasal 28 Statuta Roma yang berarti “harus bertanggung
jawab secara pidana”. Penggantian kata “harus” dengan “dapat” diartikan bahwa komandan tidak
selalu harus bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan bawahannya. Dan penghilangan
kata “pidana” diartikan bahwa komandan tidak harus bertanggung jawab secara pidana tetapi
tanggungjawab administratif saja sudah cukup. Sehingga tidak lah mengherankan jika banyak para
komandan militer terbebas dari jeratan hukum dalam Pengadilan HAM baik Ad Hoc maupun
permanen di Indonesia. Anehnya lagi, kata-kata “dapat bertanggungjawab” tidak ditemukan dalam
ayat 2 yang berlaku bagi atasan sipil. Hal ini menunujukan adanya inkonsistensi penerjemahan
dalam Undang-Undang ini.
Dalam Statuta Roma terdapat penjelasan mengenai unsur-unsur kejahatan yang menjadi yurisdiksinya
29 Pasal 42 UU 262000:
1 komandan militer atau seseorang yg secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam
jurisdiksi ... 2 seseorang atasan, baik polisi maupun sipil, bertanggungjawab secara pidana
terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif,
karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni : ...”
170
Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia
yaitu unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida dan kejahatan perang, serta unsur
dari pertanggungjawaban komando. Penjelasan mengenai unsur-unsur ini dapat memudahkan aparat
penegak hukum ketika menafsirkan kejahatan ini dalam proses pembuktian, penuntutan maupun
sebagai pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan. Dalam Undang-undang 262000 tidak
ada penjelasan mengenai unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan maupun genosida, baik
dalam penjelasan undang-undang maupun terpisah dalam bentuk buku pedoman lain. Hal ini tentu
saja seringkali menyulitkan aparat penegak hukum dalam berproses di Pengadilan. Ketidakjelasan
uraian yang menunjukan delik kejahatan yang diatur dalam Undang-undang 262000 khususnya unsur
kejahatan terhadap kemanusiaan mengakibatkan hakim seringkali memberikan penafsiran yang
berbeda dalam putusannya karena rujukan yang digunakan pun berbeda-beda.
Terlepas dari begitu banyaknya kelemahan dalam Undang-Undang 262000 namun Undang-
undang ini juga banyak melakukan terobosan misalnya dalam hal alat bukti, praktek Pengadilan
HAM Ad Hoc untu Timor-Timur membuktikan dimungkinkannya digunakan alat bukti lain diluar
yang diatur dalam KUHAP
30
seperti rekaman baik dalam bentuk film atau kaset, siaran pers,
wawancara korban, wawancara pelaku, kondisi keadaan tempat kejadian, kliping, Koran, artikel
lepas, dll.
31
30 Alat bukti menurut Pasal 184 KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli,
surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. 31
Progress report pemantauan pengadilan HAM Ad Hoc ELSAM ke X tanggal 28
171
Lampiran
b. Sumber Daya Manusia
Dengan meratifikasi Statuta Roma, akan banyak sekali manfaat bagi Indonesia sebagai Negara
Pihak, khususnya dalam hal meningkatkan kapasitas sumber daya manusia. Dengan menjadi
Negara Pihak MPI maka secara otomatis Indonesia menjadi anggota dari Majelis Negara Pihak
Assembly of States Parties yang memiliki fungsi sangat penting dalam MPI
32
. Majelis Negara Pihak ini kurang lebih sama dengan fungsi dari Majelis
Umum dalam Badan PBB. Fungsi penting dari Majelis Negara Pihak diantaranya adalah dapat
ikut serta melakukan pemilihan terhadap semua posisi hukum di MPI. Posisi tersebut diantaranya
adalah posisi hakim dan penuntut umum.
33
Tujuh bulan setelah Statuta Roma berlaku, yakni tanggal 7 Februari 2003, tujuh wanita dan sebelas
laki-laki dari lima kawasan berbeda di dunia telah dipilih oleh Majelis Negara Pihak sebagai delapan
belas hakim MPI pertama
34
. Selain itu, pada bulan Maret, Luis Moreno-Ocampo Argentina juga
telah dipilh oleh Majelis Negara Pihak untuk
Januari 2003, diambil dari makalah Agung Yudhawiranata, Pengadilan HAM di Indonesia : Prosedur dan Praktek.
32 Berbagai keuntungan menjadi anggota dari Assembly of State Parties diantaranya
adalah setiap Negara pihak memiliki perwakilan di Assembly, mereka memiliki suara dan setiap masalah susbstansi di ICC harus disetujui oleh 23 suara anggota
yang hadir. lebih lengkap mengenai Assembly of State Parties dapat dilihat dalam Pasal 112 Statuta Roma.
33 International Centre for Criminal Law Reform and Criminal Justice Policy
ICCLR, Update on the International Criminal Court, Vancouver, Canada, 2002,p.5
34 Hans Peter Kaul, Developments at The International Criminal Court : Construction
Site for More Justice: The ICC After Two Years, April 2005,p. 370.