Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

72 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia Indonesia RI untuk mewujudkan bergabung Indonesia bersama-sama dengan negara-negara di dunia yang telah menjadi pihak dalam kampanye menegakan keadilan internasional. Adapun diantara kendala-kendala tersebut adalah lambannya kejelasan proses yang dilakukan negara dalam menentukan focal point dalam proses peratifikasian yang kemudian oleh belakangan negera menetapkan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal lain yang tak kalah penting adalah tantangan yang kuat dari tubuh Tentara Nasional Indonesia TNI yang secara jelas mengungkapkan keberatan-keberatan mereka jika Indonesia menjadi negara pihak dari Statuta Roma. Berbagai alasan mereka ungkapkan salah satunya berkait dengan belum siapnya perangkat hukum nasional yang compatible dengan Statuta Roma. Namun dibalik alasan itu adalah kekhawatiran TNI terhadap kemungkinan- kemungkinan mereka untuk menjadi target dari Mahkamah Pidana Internasional jika terdapat dugaan pelanggaran- pelanggaran serius yang diakui dalam hukum internasional serious violations recognized by international law sebagaimana termaktub dalam Statuta Roma. Kekhawatiran ini jelaslah sangat berlebihan mengingat personil TNI tidak selalu menjadi target tetapi juga dapat menjadi korban. Perspektif salah kaprah ini dapat saja diartikan bahwa TNI dalam setiap operasi militernya selalu menggunakan kekerasan yang berujung pada pelanggaran HAM sehingga dengan Indonesia menjadi pihak dalam Statuta Roma, TNI tidak dapat lagi leluasa menggunakan kekerasan terutama terhadap penduduk sipil. Bila ditelisik lebih jauh sudah sepantasnya pemahaman yang benar mengenai Statuta Roma dilakukan oleh Indonesia mengingat keikutsertaan aktifnya dalam 73 Statuta Roma dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia pembahasan dan pengadopsian Statuta Roma pada 17 Juli 1998 dalam Konferensi Diplomatik PBB di Roma, Italia. Konferensi yang digelar selama tiga hari 15-17 Juli 1998 ini dihadiri oleh wakil dari 160 negara dan ratusan peserta mewakili LSM internasional. Tulisan ini mencoba melihat bagaimana reformasi sektor keamanan Indonesia dalam kaitannya dengan reformasi peradilan militer serta Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer yang justeru merupakan upaya militer untuk memperkuat posisi dan kedudukannya dalam hukum di Indonesia. Selain itu perubahan tersebut akan memperlihatkan bagaimana upaya militer untuk memperluas yurisdiksi formalnya dengan menarik orang sipil sebagai pelaku kejahatan militer serta yurisdiksi material yaitu memasukan kejahatan perang dalam Kitan Undang-ndang Hukum Pidana Militer KUHPM. Reformasi Sektor Keamanan Indonesia Indonesia yang masih berada dalam masa transisi masih terus dibayangi dengan kemungkinan-kemungkinan kembalinya peran besar yang dimiliki militer dalam perpolitikan nasional dengan cara yang lebih halus dan legal. Akan tetapi, reformasi politik menuntut posisi militer dalam supremasi sipil serta mengembalikannya sebagai institusi pertahanan dan profesional. Tidak hanya militer, lembaga kepolisian, lembaga intelijen serta seluruh lembaga pelaksana sektor keamanan juga mengalami reformasi yang terus berlanjut hingga saat ini yaitu menempatkan fungsi- fungsi sebagai aktor keamanan dalam negeri sekaligus aktor yang menjunjung tinggi HAM. Untuk memperbesar otoritas sipil diperlukan dua 74 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia pendekatan, pertama, militer haruslah tidak terlibat dalam arena politik dan kedua, otoritas sipil harus terlibat dalam permasalahan-permasalahan militer sebagaimana fungsinya dalam pertahanan nasional negara dibawah pengawasan dan kontrol sipil. 1 Keterlibatan sipil dalam hal ini tidak hanya diwakili oleh para elit politik namun oleh elemen warga negara seperti kelompok masyarakat sipil yang concern dengan perubahan dalam reformasi sektor keamanan dilakukan dengan keterlibatannya melalui penanataan ulang institusi keamanan dan pertahanan melalui regulasi politik atau reformasi legislasi. Dengan melakukan perubahan pada regulasi politik tersebut diharapkan terjadinya perubahan terhadap para aktor keamanan untuk menjadi lebih profesional dibawah kontrol sipil. Hal ini juga dimungkinkan karena perubahan politik pascajatuhnya Soeharto yang turut serta mengubah konfigurasi politik menjadi lebih demokratis yang membuka kesempatan atau peluang bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijaksanaan umum sehingga yang dihasilkan adalah sebuah produk hukum yang berkarakter yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. 2 Adapun tolok ukur dalam melihat suksesnya reformasi sektor keamanan ditentukan oleh tujuh komponen: 3 1 Lihat Terence Lee, “The Nature and Future of Civil-Military Relations in Indonesia”, Asian Survey at 703-704, Vol. 40, No. 4 Jul.-Aug., 2000. 2 Moh. Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, Cet.2, 2001, hal. 24-25. 3 Lihat Nicolle Ball, Tsjeard Bouta dan Luc van de Goor, Enhancing Democratic Governance of the Security Sector, An Institutional Assessment Framework, Clingendael: The Netherlands Ministry of Foreign AffairsTheNetherlands Institute of International Relations, 2003 75 Statuta Roma dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 1. Tertatanya ketentuan perundang-undangan berdasarkan the rule of law. 2. Terbangunnya kemampuan pengembangan kebijakan, menyusun perencanaan pertahanan dan keamanan defense and security planning. 3. Terlaksanannya pelaksanaan dari kebijakan Implementasi kebijakan. 4. Terwujudnya profesionalisme aktor pelaksana. 5. Kemampuan dan efektifitas pengawasan. 6. Penggelolaan anggaran yang logis dan proporsional. 7. Terselesaikannya penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Tolok ukur tersebut bukanlah merupakan pilihan- pilihan yang harus dilakukan oleh otoritas politik akan tetapi merupakan satu rangkaian yang tidak terpisahkan. Indonesia saat ini masih belum mampu untuk menyelesaikan reformasi sektor keamanan disebabkan ketidakpahaman politisi sipil akan posisi militer pada Negara demokrasi. Yang terjadi kemudian adalah politisi sipil masih berpikir bahwa keterlibatan militer adalah suatu keharusan tidak hanya dalam ranah politik tetapi dalam semua aspek kehidupan bernegara. Di Indonesia, militerisasi terhadap semua aspek kehidupan telah dimulai jauh sebelumnya hingga Soeharto 76 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia berkuasa pada 1966 posisi militer semakin kuat. 4 Salah satu aspek penting adalah melakukannya dengan peraturan perundang-undangan sehingga memberikan legitimasi bagi militer secara sah terlibat dalam kehidupan politik negara. Terdapat enam karakter masyarakat yang telah termiliterisasi, pertama, secara nyata kehadiran militer dalam pemerintahan baik diwujudkan sebagai rejim militer atau sebuah kekuatan yang dipaksa force established kedalam ruang politik langsung dibawah kekuatan eksekutif executive power. 5 Kedua, kehadiran militer dalam kehidupan ekonomi masyarakat dari pusat hingga ke daerah hinga tingkat desa sehingga mendekati negara korporasi yang mendukung perekonomian militer. 6 Ketiga, terjadi proses pembelokan nilai-nilai tradisional dan norma- norma atau sedang dalam proses pembelokan dengan nilai- nilai dan norma-norma militer dengan militerisasi terhadap institusi-insitusi sosial. 7 Keempat, administrasi dengan cara melakukan pelanggaran HAM merupakan bagian yang tidak 4 Literatur-literatur sejarah dan politik militer Indonesia yang diangkat dengan berbagai tema oleh penulis-penulis dalam dan luar negeri seperti Ulf Sundhaussen Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945 -1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI, [The Road to Power: Indonesian Military Politics 1945-1967], [Dirterjemahkan oleh Hasan Basari], Jakarta: LP3ES, 1986; Nugroho Notosusanto, Ed., Pejuang dan Prajurit: konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI, Jakarta: Sinar Harapan, 1991; Iswandi, Bisnis Militer Orde Baru: Keterlibatan ABRI dalam Bidang Ekonomi dan Pengaruhnya Terhadap Pembentukan Rezim Otoriter, Bandung: Rosda Karya, 1998; Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, Cet. Kedua, 2002; Dwi Pratomo Yulianto, Militer dan Kekuasaan: Puncak- puncak Krisis Hubungan Sipil-Militer di Indonesia, Yogyakarta: Narasi, 2005; Salim Said, Legitimizing Military Rule: Indonesian Armed Forces Ideology 1958- 2000, Jakarta: Sinar Harapan, 2006; Leonard C. Sebastian, Realpolitik Ideology: Indonesia’s Use of Military Forces, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies-ISEAS, 2006. 5 Mathews George Chunakara, The Militarisation of Politics and Society: Southeast Asian Experiences, Hongkong: DagaPress, 1994, hal. 21. 6 Ibid. hal. 21. 7 Ibid. hal. 21. 77 Statuta Roma dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia terpisahkan dari kehidupan negara. Kelima, operasi terhadap pemberontak counterinsurgency operation yang tidak lain sebagai sebuah ekspresi militer dengan sikap represifnya. 8 Dan terakhir adalah negara memiliki kebijakan perluasan program transfer persenjataan militer serta produksi senjata domestik yang menjadi bagian dari sumber budget militer. 9 Sejumlah karakteristik masih dapat terlihat terutama karakter pertama yaitu insitusi Tentara Nasional Indonesia TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia Polri masih berada dibawah Presiden. Alhasil, militerisasi mengakibatkan intervensi kehidupan warga sipil dan tentunya mengancam HAM dan kekebasan-kebebasan dasar fundamental freedoms yang telah dijamin oleh konstitusi. Perlu kiranya juga untuk mengingat kembali tolok ukur suksesnya reformasi sektor keamanan yaitu tertatanya ketentuan peraturan perundang-undangan berdasarkan rule of law dan terwujudnya profesionalisme aktor pelaksana. 10 Maksud dari rule of law adalah semangat hukum yang mengadopsi prinsip-prinsip demokrasi, HAM dan keadilan sehingga legislasi yang dihasilkan tidak sekedar dasar dari kekuasaan belaka. Prinsip demokrasi dalam legislasi sektor keamanan haruslah diiringi dengan semangat ketertundukan militer atas kontrol otoritas sipil yang sah. Sedangkan dalam kaitannya dengan profesionalisme, tentunya legislasi yang dihasilkan menjadikan serta mendukung terwujudnya kemampuan aktor pelaksana untuk menjadi profesional dan tidak menjadikan mereka terlibat dalam politik. 8 Ibid. hal. 21. 9 Ibid. hal. 21. 10 78 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia Upaya Menghalangi Mahkamah Pidana Internasional: Reformasi Peradilan Militer dan Perluasan Yurisdiksi Formal dan Material Peradilan Militer Upaya untuk menjadikan Indonesia menjadi bagian dari masyarakat internasional memutus rantai impunitas dengan meratifikasi Statuta Roma justeru mendapatkan rintangan dari berbagai pihak khususnya militer Indonesia. Sebagaimana telah diulas dimuka bahwa kekhawatiran utama dari militer Indonesia adalah mereka akan menjadi target utama dari pemberlakukan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Alasan lain yang sering diungkapkan Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan nasional yang mengadopsi Statuta Roma sehingga dipandang tidak siapa untuk meratifikasinya. Padahal Indonesia juga memiliki peraturan perundang-undangan yang memang diadopsi dari Statuta Roma yaitu UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM meski dalam praktiknya justeru tidak mengindahkan standar internasional. Alasan-alasan tersebut merupakan bentuk kekhawatiran berlebihan yang tidak didasarkan pada kenyataan dan pemahaman terhadap hukum internasional secara benar. Selain itu, alasan tersebut muncul dari “trauma” saat Indonesia menghadapi tekanan masyarakat internasional untuk bertanggungjawab dalam pelanggaran berat HAM gross violations of human rights pascajajak pendapat di Timor Timur pada 1999. Karena itulah reformasi sektor keamanan yang salah satu tujuannya untuk melakukan penataan terhadap hukum justeru digunakan untuk menambah kekebalan 79 Statuta Roma dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia militer dari yurisdiksi pengadilan yang mengadili kejahatan- kejahatan serius yang dikenal dalam hukum internasional serious violations recognized by international law sebagaimana diatur dalam Statuta Roma yaitu kejahatan perang. Dengan kata lain upaya pertama yang dilakukan oleh adalah militer mencoba mempertahankan eksistensi peradilan militer tetap berada dalam pengaturannya meski fakta-fakta telah menunjukannya sebagai sarana impunitas. Kedua, adalah dengan melakukan perluasan yurisdiksi peradilan militer dengan dua sasaran yaitu orang sipil dan memasukan kejahatan-kejahatan serius yang diakui dalam hukum internasional sebagai bagian dari kejahatan militer.

1. Perluasan Yurisdiksi Formal Peradilan Militer: Superi- oritas Peradilan Militer

Sepanjang 2004-2009, pemerintah melalui Departemen Pertahanan dengan Dewan Perwakilan Rakyat DPR membahas RUU Perubahan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Pemerintah melalui Departemen Pertahanan sejak Oktober 2005 saat pertama kali pembahasan telah dengan sengaja menarik ulur persoalan-persoalan yang krusial dalam rangka menempatkan peradilan militer dalam sistem kekuasaan kehakiman yang benar. Dalam upayanya yang pertama, terdapat tiga hal penting yang menjadi fokus utama dalam pembahasan RUU ini yaitu soal yurisdiksi; pengadilan dengan acara koneksitas dan keterlibatan perangkat penegak hukum militer seperti Polisi Militer PM dalam penyelidikan kasus di peradilan umum serta pelaksanaan putusan. Ketiga hal ini tidak hanya menempatkan kedudukan peradilan militer menjadi superior tetapi juga merupakan contoh konkrit penggambaran dari upaya menempatkan militer sebagai kelas superior dalam masyarakat Indonesia. 80 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia Perihal yurisdiksi dimana RUU tersebut menyatakan prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum diadili di Peradilan Umum dan jika melakukan kejahatan militer akan diadili di Peradilan Militer sebagaimana amanat TAP MPR No. VIIMPR2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri dan UU No. 34 Tahun tentang TNI. 11 Namun dalam hal ini akhirnya Persoalan yurisdiksi ini sempat menjadikan pembahasan RUU ini menjadi berlarut-larut karena Departemen Pertahanan bersikukuh untuk tidak menerima yurisdiksi peradilan umum terhadap prajurit TNI. Akan tetapi pada akhir November 2006, ketika masih berada di Tokyo Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan melalui Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra dan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin bahwa Pemerintah setuju prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum diadili di peradilan umum. Dengan pernyataan tersebut, maka kebuntuan yang selama ini terjadi antara DPR dengan Pemerintah sudah menemui jalan keluar dan sepakat untuk melanjutkan pembahasan. 12 Kedua, tentang pengadilan dengan acara koneksitas yaitu jika suatu tindak pidana dilakukan secara bersama- sama antara anggota militer dengan warga sipil dan untuk tidak menimbulkan konflik yurisdiksi maka penentuannya dilakukan dengan melihat apakah tindak pidana yang dilakukan mereka merugikan kepentingan militer atau kepentingan publik secara umum. Dalam pembahasannya, Panitia Kerja RUU Perubahan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer akhirnya menerima pendapat pemerintah mengenai perlunya mempertahankan peradilan koneksitas dalam peradilan militer yang kali ini mencoba 11 Ibid. hal. 229. 12 Ibid. hal. 229. 81 Statuta Roma dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia menjaring warga sipil yang melakukan tindak pidana militer yang pada praktik sebelumnya apakah sebuh tindak pidana merugikan kepentingan pada salah satu pihak apakah militer atau sipil. Argumen pemerintah yang terdengar absurd ini mengandaikan keterlibatan warga sipil bersama- sama dengan militer dalam tindak pidana militer. Dalam praktiknya koneksitas merupakan cara yang dilakukan militer untuk melindungi anggotannya mengingat sesuai ketentuan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menitikberatkan pada status pelaku kejahatan dan bukan jenis kejahatan. Walhasil tindak kejahatan yang tidak memiliki sangkut paut dengan kejahatan yang memang khas militer menjadi yurisdiksi peradilan militer. Bahkan acara koneksitas telah terbukti sebagai bagian dari superioritas militer terhadap berbagai kasus yang tidak ada hubungannya dengan tindak pidana militer. Aturan tentang kejahatan yang dilakukan secara bersama-sama oleh anggota militer dengan warga sipil pertama kali diatur dalam UU No. 5 Tahun 1950 tentang Susunan dan Kekuasaan PengadilanKejaksaan dalam Lingkungan Peradilan Ketentaraan. Akan tetapi penggunaan istilah koneksitas baru diperkenalkan di masa Orde Baru ketika ditabalkan dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasan Kehakiman dan kemudian diatur juga oleh Pasal 8 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP. Untuk pelaksanaan penanganan perkara koneksitas itu kemudian dikeluarkan sebuah Keputusan Bersama antara Menteri Kehakiman, MenhankamPangab, Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung MA RI yang dituangkan dalam No. KEPB61XII1971 tentang Kebijaksanaan dalam Pemeriksaan yang Dilakukan Bersama-sama oleh Orang 82 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia yang Termasuk dalam Yurisdiksi Pengadilan di Lingkungan Peradilan MiliterAngkatan Bersenjata dan Orang yang Termasuk dalam Yurisdiksi di Lingkungan Peradilan Umum yang diterbitkan pada 7 Desember 1971. Dari segi hukum, surat ini jelas bermasalah mengingat tidak terdapat batas antara MA sebagai pemegang kekuasaan yudikatif dengan sebagian pihak yang merupakan lembaga yang berada di bawah kekuasaan legislatif. Hal ini terjadi karena pengaruh luar biasa ABRI saat itu dalam sistem peradilan Indonesia di mana lembaga peradilan dan penuntutan telah mengalami kooptasi dan militerisasi. Selain itu keputusan ini lebih mencerminkan politik hukum Pemerintahan Soeharto daripada sebuah peraturan perundang-undangan. Terbitnya KUHAP bagi ABRI saat itu dianggap tidak cukup memadai sehingga kemudian dikeluarkan Keputusan Bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman KEP.10MXII1983 dan KEP.57. PR.09.03 Tahun 1983 tanggal 29 Desember 1983 tentang Pembentukan Tim Tetap untuk Penyidikan Perkara Tindak Pidana Koneksitas. Setelah diterbitkannya Keputusan Bersama tersebut di atas, selanjutnya Mabes ABRI menerbitkan sebuah surat keputusan yaitu Skep Pangab No. 809IX1988 tangggal 2 November 1988 tentang Pengendalian dan Pengawasan Atas Kegiatan Tim Tetap untuk Penyidikan Tindak Surat Keputusan itu kemudian direspon oleh Oditur Jendral Orjen ABRI dengan menerbitkan Surat Edaran Orjen ABRI No. SEB95VII1991 tanggal 29 Agustus 1991 tentang Penunjuk Sementara Pelaksanaan Penyidikan Perkara Pidana Koneksitas dan Petunjuk Pelaksana Orjen 83 Statuta Roma dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia ABRI No. Juklak01IV1993 tanggal 7 Juni 1993 tentang Penyidikan Perkara Pidana Koneksitas. Adalah fakta sejarah yang tak dapat dipungkiri dimana terdapar warga sipil yang diadili oleh peradilan militer khususnya oleh Mahkamah Militer Luar Biasa Mahmilub. Mahmilub yang memiki kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir perkara- perkara khusus yang ditentukan oleh Presiden dalam bentuk keputusan presiden sebagaimana diatur dalam UU No. 16 Pnps Tahun 1963 tentang PembentukanMahkamah Militer Luar Biasa. Sederetan kasus yang telah diadili melalui mekanisme melalui Mahmilub berdasarkan keputusan presiden tersebut diantaranya pengadilan terhadap tokoh RMS, Dr. Soumokil dengan Keppres No. 6 Tahun 1964, perkara H. Bachrum Effendi auctor intellectualis peristiwa Idhul Adha dengan Keppres No. 156 Tahun 1964, perkara Ibnu Hajar dalam kasus pemberontakan DITII di Kalimantan Selatan dengan Keppres No. 1571964 serta pengadilan terhadap sejumlah perwira dan tokoh PKI di tahun 1965 dengan Keppres No. 370 Tahun 1965. Namun bila kita ditelisik lebih dalam, pengadilan dengan menggunakan mekanisme Mahmilub merupakan pelaksanaan politik hukum Demokrasi Terpimpin yang memberikan ruang kekuasaan intervensi terhadap independensi peradilan kepada Presiden Soekarno. Saat itu kekuasaan kehakiman dalam hal ini pengadilan merupakan alat revolusi sesuai dengan UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang- undang ini kemudian memberikan kewenangan penuih bagi PresidenPemimpin Besar Revolusi untuk campur tangan dalam pengadilan demi kepentingan revolusi, kehormatan 84 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia bangsa dan negara atau kepentingan masyarakat. Hakikatnya setiap peristiwa yang melibatkan warga sipil dan kelompok militer bersenjata dalam tindak pidana menggulingkan pemerintah atau makar adalah merupakan yurisdiksi peradilan umum. Di berbagai belahan dunia praktik peradilan terhadap kejahatan makar atau yang disebut sebagai high treason ini merupakan wilayah kewenangan peradilan umum meski terdapat keterlibatan militer didalamnya. Selain itu pengertian high treason tidak hanya menyangkut upaya untuk meenggulingkan pemerintah yang sah tetapi juga termasuk tindak pengkhianatan terhadap kedaulatan negara. Untuk yang terakhir ini kembali sejarah peradilan Indonesia pada masa keemasannya pernah melakukannya sekali dan belum pernah terulang kembali adalah kasus Sultan Hamid II. Dalam kasus ini, Sultan Hamid II terlibat berkolaborasi dengan Kapten Raymond Westerling dalam usaha percobaan pembunuhan terhadap sejumlah menteri diantaranya Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang kemudian memunculkan Peristiwa APRA di Bandung yang menewaskan sejumlah perwira APRIS. Persidangan kasus yang mendapatkan perhatian masyarakat saat itu digelar MA dan dipimpin langsung ketuanya yaitu Prof. Mr. Wirjono Projodikoro selaku ketua majelis hakim serta Jaksa Agung Soeprapto selaku penuntut umum. 13 Dengan melihat berbagai kasus tersebut dapat dikatakan peradilan koneksitas tidak dapat lagi menjadi jawaban dalam menangani kasus-kasus pidana militer. Jika praktik mekanisme Mahmilub yang menjadi dasar argumen 13 Lihat Iip D. Yahya, Mengadili Menteri Memeriksa Perwira: Jaksa Agung Suprapto dan Penegakan Hukum di Indonesesia Periode 1950-1959, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004. 85 Statuta Roma dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia bagi pemerintah sebagai dasar pembenar untuk menyeret warga sipil masuk ke dalam yurisdiksi peradilan militer adalah kesalahan besar. Preseden yang digunakan justeru menafikan independensi dan imparsialitas peradilan yang telah menjadi prinsip yang diakui oleh seluruh bangsa di dunia. Ditambah lagi, praktik tersebut muncul dari sejarah kelam hukum Indonesia yang imbasnya masih kita rasakan sehingga tidak tepat juga untuk dijadikan contoh ditengah- tengah upaya mereformasi dunia peradilan Indonesia. Ketiga, persoalan ketelibatan Polisi Militer dalam penyelidikan dalam kasus-kasus tindak pidana umum. Usulan ini datang dari pemerintah dengan alasan bahwa meski anggota militer yang melakukan tindak pidana umum tunduk pada yurisdiksi peradilan umum akan tetapi prosesnya tetap dilakukan dalam yurisdiksi peradilan militer dan kasusnya akan dilimpahkan oleh Oditur Militer. Konsep ini jelas memosisikan superioritas peradilan militer terhadap peradilan umum. Upaya ini dilakukan persoalan kedudukan polisi militer dijadikan pemerintah untuk mengganjal yurisdiksi peradilan umum berkait dengan tindak pidana umum. Selain itu, upaya pemerintah untuk memasukan hal ini dalam pembahasan merupakan upaya menarik ulur pembahasan rancangan legislasi ini. 14 DPR sebagai pembuat undang-undang harus secara tegas melihat bahwa persoalan kendala psikologis tidak dapat dijadikan alasan dalam upaya penegakan hukum. Bagaimanapun juga Kepolisian Negara RI merupakan aktor utama sistem peradilan pidana integrated criminal justice system dalam penyelidikan tindak pidana umum dan 14 Lihat Pernyataan Bersama, “Pansus Peradilan Militer jangan Terjebak Permainan Pemerintah” Konferensi Persi Ruang Wartawan Nusantara III DPR, 19 Desember 2008. Lihat www. vivanews.com, “Pemerintah Dinilai Sengaja Tarik Ulur”, http:politik.vivanews.comnewsread16763-pemerintah_dinilai_sengaja_tarik_ ulu, Diakses pada 17April 2009. 86 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia bukan polisi militer. Sehingga menempatkan polisi militer kedalam sistem peradilan pidana umum menjadikan mereka seakan-akan memiliki yurisdiksi dalam peradilan umum dan berujung pada kekacauan penerapan hukum acara pidana. Tidak hanya itu, superioritas peradilan militer kedepan akan berpengaruh pada proses penyelidikan yang akan dilakukan oleh lembaga lain seperti Komnas HAM selaku penyelidik dalam kasus pelanggaran HAM berat yang diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, serta penyelidikan kasus korupsi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi KPK sesuai dengan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi. Dengan keterlibatan PM serta Oditur selau jaksa penuntut umum dilingkup peradilan militer artinya sama saja bahwa prinsip yurisdiksi peradilan umum terhadap pelaku militer sama sekali diabaikan dan malah yang terjsdi adalah penguatan kedudukan peradilan militer terhadap peradilan umum. Superioritas peradilan militer juga semakin Nampak jika kewenangan Atasan yang Berhak Menghukum Ankum serta mekanisme Perwira Penyerah Perkara Papera tidak mengalami perubahan dalam rancangan legislasi ini dan turut serta berperan dalam menangani tindak pidana umum yang dilakukan oleh prajurit TNI. Ankum memiliki kewenangan sebagai penyelidik sekaligus penyidik perkara dalam lingkup peradilan militer sehingga jikalau mekanisme ini dipakai maka jalannya perkara akan ditentukan oleh tiga aktor yaitu PM, Oditur Milter serta Ankum. Sedangkan Papera adalah perwira yang memiliki kewenangan khusus untuk menentukan suatu perkara pidana yang dilakukan prajurit TNI yang berada dibawah komandonya diserahkan kepada atau diselesaiakan diluar pengadilan militer. Jikalau peran Papera juga masuk dalam 87 Statuta Roma dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia penanganan tindak pidana umum kemungkinan akan terjadi impunitas mengingat Papera untuk tidak menyerahkan anak buahnya terutama dengan alasan-alasan bahwa prajurit tersebut memiliki keahlian yang dibutuhkah dalam operasi militer. Dengan kata lain, Papera memiliki kewenangan yang cukup kuat untuk menutup sebuah perkara tidak hanya di peradilan militer tetapi juga dilingkup peradilan umum Hingga tulisan ini dibuat, pemerintah masih tetap bersikukuh atas pendapatnya yang menjadikan pembahasan melalui Panitia Sinkronisasi antara DPR dengan Pemerintah mengalami deadlock. Hal ini seharusnya dapat dihindari apabila DPR tetap pada pendiriannya untuk melakukan reformasi total terhadap peradilan militer. Adalah benar dalam proses pembuatan undang-undang, DPR melakukannya bersama-sama dengan pemerintah. Namun dalam hal ini DPR lebih memiliki peranan mengingat kedudukan dan kewenangannya selaku pembuat undang- undang yang telah dikuatkan dalam konstitusi. Dengan kata lain, DPR seharusnya dapat mengambil langkah-langkah tegas untuk tidak berkompromi dikarenakan DPR telah membaca gelagat niat tidak baik pemerintah selama proses pembahasan berlangsung. Padahal jikalau menilik lebih jauh terhada substansi RUU ini, yang tak kalah penting juga adalah perihal jaminan hak terhadap prajurit. Meski prajurit adalah bagian dari negara akan tetaoi mereka masih memiliki Hak Asasi Manusia HAM yang terbatas termasuk dimana hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana yang termasuk dalam rumpun hak-hak yang tidak dapat dkurangi dalam keadaan apapun non- derogable rights. Dalam kaitan itu terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara penerapan hak-hak tersebut antara UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab 88 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia Undang-undang Hukum Pidana dengan RUU Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Pembatasan-pembatasan ini jelas menjadikan peradilan militer secara tidak langsung melakukan pelanggaran HAM terhadap hak-hak non-derogable rights para prajurit. Bagaimanapun hak-hak ini dapat menimbulkan efek ketidakadilan terutama bagi prajurit sendiri serta keluarganya jika hendak melakukan keluhan atau langkah hukum jika dikemudian hari peradilan militer melakukan kesalahan dalam penerapan hukum. Seharusya dalam pembahasan rancangan legislasi ini, DPR hendaknya dapat mendasarkan diri pada sejumlah prinsip-prinsip guna mewujudkan TNI yang profesional, dalam konteks Peradilan Militer berdasarkan pengalaman sejarah, amanat reformasi serta perkembangan dan perbandingan internasional, ada beberapa prinsip yang harus dipenuhi dan mendasari UU Peradilan Militer yang baru, yaitu 15 , prinsip pertama, peradilan militer harus menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia, sesuai dengan amanat konstitusi. Prinsip kedua, Indonesia adalah negara hukum rechstaat. Oleh karena itu di dalam peradilan militer juga harus dijamin asas persamaan di muka hukum equality before the law. Prinsip ketiga, reformasi peradilan militer harus mengarah pada penguatan wibawa peradilan militer untuk memperkuat disiplin anggota militer, dengan tetap mengacu 15 Lihat Bhatara Ibnu Reza, et,al, Reformasi Peradilan Militer di Indonesia, Jakarta: Imparsial, 2007. hal. 65-66. 89 Statuta Roma dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia kepada nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Prinsip keempat, posisi dan komposisi peradilan militer harus diatur sedemikian rupa sehingga meskipun merupakan bagian dari TNI, namun peradilan militer dapat bekerja independen tanpa terpengaruh oleh rantai komando yang berlaku di TNI. Prinsip kelima, peradilan militer harus menjamin keadilan bagi semua prajurit TNI dan melindungi hak asasi prajurit TNI. Tidak boleh ada diskriminasi dalam sistem peradilan militer, artinya baik prajurit maupun perwira harus diposisikan sama di muka hukum. Dalam hal prajurit TNI yang melakukan tindak pidana, maka hak untuk didampingi pengacara, hak untuk menghubungi keluarga, hak untuk tidak disiksa, hak untuk segera diadili, dan lain- lain harus dijamin dengan Undang-undang. Prinsip keenam, peradilan militer harus memiliki yurisdiksi yang jelas. Dalam hal ini yurisdiksi peradilan militer harus didasarkan terutama oleh tindak pidana yang disangkakan, dan bukan semata-mata pada subyek pelaku, waktu, atau lokasi terjadinya kejahatan. Dengan demikian, yurisdiksi peradilan militer terbatas pada tindak pidana yang diatur dalam KUHP Militer. Yurisdiksi berdasarkan tindak pidana yang disangkakan tersebut ratione materiae dapat diperluas jika dan hanya jika Indonesia sedang mengalami situasi perang. Dari aspek subyek pelaku tindak pidana ratione personae, yurisdiksi peradilan militer terbatas pada mereka yang menjadi anggota militer serta yang dipersamakan. Sedangkan dari segi lokasi kejadian perkara ratione loci, yurisdiksi peradilan militer hanya terbatas pada medan pertempuran ketika Indonesia sedang dalam situasi perang. Dalam situasi perang, aspek-aspek ratione 90 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia materiae, personae dan loci di atas dapat diperluas dengan berdasarkan keputusanpersetujuan DPR. Maka dari itu, dengan prinsip ini praktek peradilan koneksitas menjadi tidak relevan dan harus dihapuskan dari sistem peradilan militer. Prinsip ketujuh, peradilan militer harus bersifat terbuka sehingga bisa dikontrol dan dapat dipertanggungjawabkan. Segala bentuk pelanggaran serta tindakan terhadap pelanggaran hukum pidana dan disiplin militer, harus dilaporkan dan dapat di-review oleh eksekutif melalui Menteri Pertahanan. Dengan demikian diharapkan dapat dicegah terjadinya pemidanaan militer dan mekanisme disiplin militer terhadap tindakan yang semestinya masuk yurisdiksi peradilan umum. Prinsip kedelapan, menyangkut akuntabilitas peradilan militer, harus ada aturan yang jelas dan terukur mengenai mekanisme hukum dan disiplin militer yang berlaku di lingkungan internal militer. Oleh karena itu mekanisme-mekanisme ekstra-yudisial seperti Dewan Kehormatan Militer atau Dewan Kehormatan Perwira harus dihapus. Kalaupun diperlukan mekanisme ekstra-yudisial semacam itu, tidak boleh bersifat subtitutif terhadap sistem hukum yang berlaku. Mekanisme-mekanisme ekstra-yudisial tersebut harus ditempatkan sebagai komplemensuplemen dari sistem hukum yang berlaku. Prinsip kesembilan, sebagai bagian dari unifikasi hukum dan menghindari dualisme rezim hukum tata usaha di Indonesia, maka Undang-undang Peradilan Militer tidak semestinya mengatur tata usaha militer. Perluasan Yurisdiksi Material Peradilan Militer: Perebutan 91 Statuta Roma dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia Setelah sebelumnya melakukan perluasan yurisdiksi formal dengan memasukan orang sipil dalam yurisdiksi Pengadilan militer. Kali ini fokus utamanya adalah perluasan yurisdiksi material berkait dengan upaya militer untuk memasukan salah satu kejahatan serius dalam hukum internasional. Dalam draft RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer 2005, dimana dimasukan kejahatan seperti kejahatan perang. Sedangkan Komnas HAM dalam Draft RUU Amandemen UU No. 26 Tahun 2000 telah memasukan pula kejahatan perang sebagai yurisdiksinya. Dengan kata lain militer “berlomba” dengan Komnas HAM untuk memperebutkan yurisdiksi kejahatan perang bagi Pengadilan militer dan Pengadilan HAM. Padahal bila ditelisik dengan seksama dari praktik- praktik pengadilan internasional seperti International Military Tribunal IMT atau Nuremberg Tribunal 1945; International Military Tribunal for the Far East IMTFE atau dikenal sebagai Tokyo Tribunal 1945; International Criminal Tribunal for former Yugoslavia ICTY 1994 serta International Criminal Tribunal for Rwanda 1996, menunjuklan bahwa tidak hanya anggota militer yang dapat didakwa melakukan kejahatan perang melainkan juga orang sipil. Salah satu contoh kasus adalah ketika bekas Presiden Yugoslavia, Slobodan Milosevic akhirnya diadili oleh ICTY dalam dengan salah satu dakwaannya adalah kejahatan perang. Preseden ini juga bukan menjustifikasi kejahatan perang berada dalam yurisdiksi material Pengadilan Militer dengan fokus keterlibatan orang sipil. Sama sekali tidak karena justeru Pengadilan Militer harus dan hanya mengadili kasus-kasus kejahatan yang memang khas militer serta mengeluarkan kejahatan perang didalamnya. 92 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia Jika menelisik KUHPM dimaksudkan sebagai tambahan dari KUHP, namun berlaku khusus untuk militer dan orang-orang lainnya yang tunduk kepada yurisdiksi peradilan militer. 16 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa selain tunduk pada KUHPM mereka juga masih tunduk pada ketentuan-ketentuan KUHP selama tidak ada ketentuan-ketentuan lain yang mengecualikannya. 17 Alasan- alasan di mana keberadaan KUHPM merupakan tambahan dari KUHP antara lain bahwa ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat dalam KUHP dianggap belum atau tidak cukup keras terhadap beberapa perbuatan tertentu di mana perbuatan itu jika dilakukan oleh seorang militer di dalam keadaan tertentu akan mempunyai sifat yang sangat berat. Misalnya adalah kejahatan pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP dengan Pasal 140 KUHPM. Selain itu beberapa perbuatan yang terdapat dalam KUHPM hanya dapat dilakukan oleh militer. Misalnya sengaja tidak menaati perintah kedinasan Pasal 103 KUHPM atau menghindarkan diri dari kewajiban-kewajiban dinas Pasal 118 KUHPM. 18 Pada Buku II KUHPM mengatur perihal kejahatan dan membaginya atas tujuh bab yaitu: 1. Kejahatan-kejahatan terhadap keamanan negara. 2. Kejahatan-kejahatan terhadap kewajiban- kewajiban militer tidak dengan maksud untuk memberikan bantuan kepada musuh atau merugikan negara terhadap musuh. 16 Marjoto, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnja Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politea, 1965, hal. 8. 17 Ibid. hal. 8. Lihat juga Pasal 1 dan 2 KUHPM. 18 Ibid. hal 8-9. 93 Statuta Roma dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia 3. Kejahatan-kejahatan yang merupakan suatu cara bagi seorang militer menarik diri dari pelaksaan kewajiban dinas. 4. Kejahatan-kejahatan pengabdian. 5. Kejahatan-kejahatan tentang pelbagai keharusan dinas. 6. Pencurian dan penadahan. 7. Merusak, membinasakan atau menghilangkan barang-barang keperluan angkatan perang. Sebagian besar kejahatan itu sebenarnya diatur juga dalam KUHP. Salah satu kejahatan yang sama-sama diatur oleh KUHPM dan KUHP adalah kejahatan-kejahatan terhadap keamanan negara. Dalam KUHPM kejahatan tersebut diatur dalam Pasal 64 hingga Pasal 72 sedangkan pada KUHP diatur dalam Pasal 104 hingga 129. Berangkat dari berbagai macam kejahatan itu serta hubungannya dengan KUHP, tindak pidana militer sebagaimana yang diatur dalam KUHPM dibagi dalam dua bagian yaitu: 19 1. Tindak pidana militer murni yaitu tindakan- tindakan yang pada prinsipnya hanya mungkin dilanggar oleh seorang militer karena keadaanya yang bersifat khusus atau karena suatu kepentingan militer menghendaki tindakan tersebut ditentukan sebagai tindak pidana. Adapun contohnya: a. Seorang militer yang dalam keadaan 19 S.R. Sianturi, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Ja- karta: Alumni AHAEM-PETEHAEM, 1985, hal. 19. 94 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia perang dengan sengaja menyerahkan seluruh atau sebagian dari suatu pos yang diperkuat kepada musuh tanpa ada usaha mempertahankannya sebagaimana dituntutdiharuskan dari padanya Pasal 73 KUHPM. b. Kejahatan Desersi Pasal 87 KUHPM c. Meninggalkan pos penjagaan Pasal 118 KUHPM 2. Tindak Pidana Militer Campuran yaitu tindakan- tindakan yang pada pokoknya sudah ditentukan dalam perundang-undangan lain namun diatur kembali dalam KUHPM atau undang-undang hukum pidana militer lainnya karena adanya suatu keadaan yang khas militer atau karena adanya sesuatu yang sifatnya lain sehingga diperlukan ancaman pidana yang lebih berat dari ancaman pidana semula sebagaimana telah diatur dalam Pasal 52 KUHP. Contoh dari tindak pidana tersebut adalah seorang militer yang ikut serta melakukan pemberontakan diatur dalam Pasal 65 KUHPM yang pada intinya juga diatur dalam Pasal 108 KUHP. Perbedaan dari kedua Pasal tersebut adalah subyek dan ancaman pidananya. Dalam melihat tindak militer campuran, sebagaimana telah dijelaskan dalam kaitannya dengan kejahatan makar kita haruslah jeli melihat bahwa yurisdiksi yang berlaku adalah peradilan umum. Kekosongan pengaturan kejahatan perang dalam hukum nasional kita juga dapat menjadi permasalahan. Selain itu kita dapat melihat contoh berkait dengan praktik pasukan 95 Statuta Roma dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia perdamaian PBB dimana Indonesia sangat aktif dalam peran sertanya menjaga perdamaian dunia. 20 Asas Komplementer tetap berlaku namun permasalahannya Indonesia tidak memiliki mekanisme hukum nasional untuk mengadili para pelaku khususnya berkait dengan kejahatan perang. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tidak mengatur kejahatan perang dalam yurisdiksinya. Sehingga dapat dimungkinkan kemungkinan dikategorikan tidak mampu unable untuk mengadili para pelaku kejahatan. Namun sepertinya militer mengmabil kesempatan ini untuk mereka dapat mengadili sendiri kasus-kasus kejahatan perang baik dalam penugasan nasional maupun internasional. Simpulan Berangkat dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa reformasi sektor keamanan Indonesia lebih banyak mengakomodasi kepentingan-kepentingan militer yang sebenarnya tidak beranjak dari persoalan-persoalan yang seharusnya direformasi. Reformasi peradilan militer yang menjadi bagian didalamnya telah membuktikan kegagalan Indonesia untuk memutus rantai impunitas yang selama ini dipraktikan oleh peradilan Militer. Perubahan-perubahan seperti perluasan yurisdiksi formal dan terutama sekali yurisdiksi material merupakan bukti lain dimana militer mencoba menjadi sangat superior dalam dunia peradilan. Statuta Roma, preseden-perseden serta keputusan-keputusan pengadilan internasional berkait dengan kejahatan perang tidak menjadi tolok ukur bahwa pengadilan militer tidak memiliki yurisdiksi dalam mengadili kejahatan tersebut. 20 Secara khusus dapat dibaca dalam pembahasan perihal Perlindungan Pasukan Perdamaian dan Buruh Migran 96 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia Sungguhpun demikian, jalan keluar dari persoalan ini adalah Indonesia secepatnya meratifikasi Statuta Roma. Ratifikasi Statuta Roma justeru menjadi pemicu dari upaya Indonesia untuk perbaikan serta penguatan atas mekanisme hukum nasionalnya. Dengan demikian adalah tepat memasukan kejahatan perang dalam Amandemen UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sekaligus sebagai bentuk implementasi Statuta Roma dalam hukum nasional Indonesia. 97 Tentang Complementarity dan Retroactivity Agung Yudhawiranata Asas Komplementer Terdapat kekhawatiran di beberapa kalangan bahwa dengan meratifikasi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional ICC berarti menyetujui dan mengikatkan diri terhadap semua aturan dalam Statuta Roma. 1 Hal ini menurut beberapa kalangan sangat beresiko khususnya bagi negara berkembang, dikarenakan pandangan bahwa ICC akan merongrong kedaulatan hukum nasional melalui intervensi kewenangan ICC terhadap pengadilan sistem hukum suatu negara. 1 Merupakan reaksi terhadap prinsip non-reservasi yang dianut oleh Statuta Roma 1998 dalam Pasal 120 yang menyatakan bahwa “No reservation may be made to this statute.” Artinya bila suatu Negara meratiikasi dan menjadi pihak dalam Statuta ini maka Negara harus menerima dan melaksanakan semua ketentuan dalam Statuta Roma tanpa kecuali. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari penyimpangan dan tidak sampainya tujuan yang dimaksud dalam pembuatan Statuta. Lihat William Schabas, An Introduction to the International Criminal Court, Cambridge University Press, 2001, hlm.159-160., Otto Triffterer ed, Commentary on the Rome Statute of the International Criminal Court, Baden- Baden : Nomos Verl Ges., 1999, hlm. 1251-1263. 98 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia Kekhawatiran sebagian masyarakat akan adanya intervensi internasional oleh ICC ke dalam hukum nasional Indonesia sebenarnya terjawab dengan uraian mengenai prinsip komplementer complementarity principle yang merupakan prinsip fundamental dari keberlakuan ICC dalam suatu Negara. Prinsip ini tertuang dalam paragraf 10 Mukadimah 2 yang berarti bahwa ICC hanya merupakan pelengkap bilamana pengadilan nasional tidak mau unwilling atau tidak mampu unable mengadili suatu pelanggaran berat terhadap kemanusiaan menjadi alasan dasar yang menepis kekhawatiran Negara akan intervensi internasional dalam kedaulatan negaranya bilamana menjadi negara pihak Statuta Roma. Pasal 1 Statuta Roma juga menyatakan bahwa tujuan pembentukan Mahkamah adalah untuk menerapkan jurisdiksi atas pelaku tindak pidana internasional sebagaimana terdapat dalam Statuta dan memiliki fungsi untuk melengkapi complementarity sistem peradilan nasional Negara. 3 Perlu ditegaskan bahwa Mahkamah adalah sebuah hasil proses perundingan demokratis yang ingin menciptakan “international justice” dan lebih mengedepankan nilai-niliai hukum sesuai dengan tujuan utama PBB Pasal 1 ayat 1 Piagam PBB 4 diantaranya untuk mencegah berkembangnya 2 Paragraf 10 Preamble Statuta Roma: “Emphasizing that the International Criminal Court established under this Statute shall be complementary to national criminal jurisdictions”. 3 Hans-Peter Kaul, Breakthrough in Rome Statute of the International Criminal Court; Law and State, vol.5960, Supp.10 a4910 4 Pasal 1 ayat 1 Piagam PBB: “Tujuan PBB adalah memelihara perdamaian dan keamanan internasional dan untuk tujuan itu: mengadakan tindakan-tindakan bersama yang efektif untuk mencegah dan melenyapkan ancaman-ancaman terhadap pelanggaran-pelanggaran terhadap perdamaian; dan akan menyelesaikan dengan jalan damai, serta sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum internasional, mencari penyesuaian atau penyelesaian pertikaian-pertikaian internasional atau keadaan-keadaan yang dapat mengganggu perdamaian” 99 Tentang Complementarity dan Retroactivity kejahatan-kejahatan internasional. 5 Singkatnya, Mahkamah Pidana Internasional dilarang melaksanakan yurisdiksinya terhadap kejahatan ketika pengadilan nasional sedang mengadili kejahatan yang sama dan i Kasusnya sedang diselidiki atau dituntut oleh suatu Negara yang mempunyai jurisdiksi atas kasus tersebut, ii Kasusnya telah diselidiki oleh suatu Negara yang mempunyai jurisdiksi atas kasus tersebut dan Negara itu telah memutuskan untuk tidak menuntut orang yang bersangkutan, kecuali kalau keputusan itu timbul dari ketidaksediaan atau ketidak-mampuan Negara tersebut untuk benar-benar melakukan penuntutan; iii kasusnya tidak cukup gawat untuk membenarkan tindakan lebih lanjut oleh Mahkamah Pasal 17 Statuta Roma. Dan sebagai tambahan, iv orang yang bersangkutan telah dihukum atau dibebaskan atas kejahatan yang sama, melalui pengadilan dan layak dan adil Pasal 17c dan 20 Statuta Roma. 6 Ini berarti bahwa Mahkamah harus mendahulukan mekanisme hukum nasional suatu Negara kecuali jika Negara tersebut “tidak mau” unwilling atau “tidak mampu” unable untuk melakukan penyelidikan atau penuntutan terhadap pelaku sehingga kejahatan tersebut menjadi yurisdiksi Mahkamah Pasal 17 Statuta Roma. Selain itu, prinsip komplementer ini tidak hanya berlaku terhadap Negara pihak Statuta saja tetapi juga terhadap negara yang bukan merupakan pihak Statuta Roma Pasal 18 1 tetapi memberikan pernyataan sebagai pengakuannya atas jurisdiksi ICC. Misalnya, seorang warga 5 Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2003, hlm.544. 6 Antonio Cassese, International Criminal Law, Oxford University Press, 2003, p. 342. 100 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia negara bukan pihak Statuta yaitu negara A telah melakukan kejahatan internasional dalam wilayah teritori negara B yang merupakan pihak dari Statuta Roma, kemudian ia kabur ke negara C yang bukan merupakan pihak Statuta Roma. Negara C melaksanakan yurisdiksinya terhadap warga negara A tersebut dengan dasar bahwa kejahatan tersebut merupakan kejahatan yang diatur dalam perjanjian internasional dan tersangka berada dalam wilayah teritorinya the forum deprehensionis principle atau juga karena didasarkan pada prinsip universalitas. Dan Mahkamah tidak dapat melaksanakan yurisdiksinya apabila terbukti bahwa Negara C memiliki kemauan dan mampu untuk melaksanakan pengadilan yang layak dan adil. 7 Paparan di atas secara jelas menggambarkan bahwa ICC tidak berfungsi untuk menggantikan pengadilan nasional suatu Negara melaksanakan kewajiban penghukuman terhadap pelaku kejahatan yang termasuk dalam jurisdiksi ICC. Bahwa tanggungjawab utama untuk menghukum pelaku kejahatan yang merupakan yurisdiksi ICC adalah Negara, bukan ICC. Karena itu mekanisme penegakkan hukum di Negara tersebut harus benar-benar efektif, misalnya dengan memasukkan kejahatan dalam yurisdiksi ICC sebagai kejahatan dalam sistem hukum nasionalnya. Pengalaman Indonesia dalam menegakkan hukum khususnya hukum HAM dengan disertai berbagai hambatan dalam instrumen hukum, aparat penegak hukum serta sarana dan prasarana yang tidak memadai, menjadikan peratifikasian Statuta Roma terasa begitu penting untuk mendorong Indonesia segera membenahi berbagai kekurangan dan kelemahannya tersebut. Peratifikasian Statuta Roma merupakan bentuk komitmen nyata dalam rangka upaya perlindungan HAM dan penegakan hukumnya 7 ibid 101 Tentang Complementarity dan Retroactivity yang dapat memberi banyak keuntungan baik secara hukum maupun politis. ICC merupakan the last resort atau disebut juga ultimum remedium. Pasal 17 ayat 1 huruf a, b dan c menegaskan bahwa pengadilan nasional yang merupakan kedaulatan Negara tidak dapat dikontrol oleh ICC, jadi bila Negara mampu melakukan penuntutan maka ICC tidak akan mencampuri jurisdiksi nasional Negara tersebut. Ini merupakan jaminan bahwa ICC bertujuan untuk mengefektifkan sistem pengadilan pidana nasional suatu Negara. Asas Non-retroaktif Selain prinsip complementarity, Statuta Roma juga menganut prinsip non-retroktif. Artinya, kejahatan- kejahatan yang masuk dalam yurisdiksi Statuta Roma namun terjadi sebelum disahkannya Statuta Roma, tidak akan dapat diadili di Mahkamah Pidana Internasional ICC. Dengan demikian, Indonesia tidak perlu khawatir bahwa para pejabat negaranya akan diadili di Mahkamah Pidana Internasional dengan tuduhan bertanggung jawab atas kejahatan HAM yang terjadi di masa lalu. Khususnya mengenai prinsip non-retroaktif ini, terjadi pemahaman yang keliru mengenai penerapannya dalam sistem dan mekanisme hukum Indonesia. Sebagian kalangan mengkhawatirkan, jika Statuta Roma diratifikasi maka mekanisme pengadilan HAM ad hoc yang dibentuk oleh UU No.26 Tahun 2000 untuk mengadili kejahatan serius HAM di masa lalu terpaksa dihapuskan atas nama mentaati prinsip non-retroaktif yang dijunjung tinggi dalam Statuta Roma, dan oleh karenanya akan menghilangkan harapan 102 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia korban pelanggaran HAM masa lalu akan keadilan. 8 Berdasarkan praktek hukum internasional, kewenangan untuk mengadili pelanggaran masa lalu yang dimungkinkan melalui mekanisme pengadilan HAM ad hoc berdasarkan UU No.262000 bukanlah merupakan pelanggaran terhadap asas non-retroaktif, karena yang ada adalah kewenangan pelaksanaan yurisdisksi retrospektif exercising retrospective jurisdiction dan bukan pengakuan atas asas retroaktif. Dalam hukum internasional tidak dikenal adanya asas retroaktif, yang dikenal adalah asas non- retroaktif yang menjadi prinsip dasar cardinal principle dari hukum internasional. Menurut prinsip-prinsip hukum umum general principles of law yang menjadi sumber hukum internasional, pelanggaran HAM berat yang menjadi yurisdiksi dari UU No.26 Tahun 2000 yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan crimes against humanity dan kejahatan genosida crimes of genocide merupakan kejahatan internasional paling serius most serious international crimes yang tunduk pada yurisdiksi hukum internasional sebagai ius cogens dimana pelakunya dianggap musuh semua umat manusia hostis humane generis dan merupakan kewajiban semua bangsa obligatio erga omnes untuk mengadili pelakunya. Sejak diselenggarakannya pengadilan Nuremberg 1946 dan Pengadilan Tokyo 1946 maka pengadilan atas kejahatan internasional paling serius tersebut tidak lagi dianggap pelanggaran terhadap asas non-retroaktif. 8 Pendapat ini muncul berdasarkan pemahaman bahwa mekanisme Pengadilan HAM Ad Hoc yang dibentuk oleh UU No.26 Tahun 2000 adalah penerapan asas retroaktif. Pemahaman ini keliru, karena dalam hukum pidana internasional tidak dikenal adanya asas retroaktif, yang ada hanya asas non-retroaktif sebagai pengejawantahan dari asas kardinal nulla poena sine lege primae. 103 Tentang Complementarity dan Retroactivity Selain itu, perlu kembali diingat bahwa Statuta Roma menjunjung tinggi asas complementarity yang mengutamakan proses pidana domestik sebelum dapat diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional. Ini merupakan pengakuan eksplisit bahwa kepentingan nasional Negara Pihak menjadi hal yang diutamakan. Maka, mekanisme pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili pelanggaran berat HAM masa lalu sebagaimana diatur dalam UU No.26 Tahun 2000 dapat diletakkan dengan tepat dalam konteks argumen “demi kepentingan nasional” karena memang ada kebutuhan obyektif untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia agar dapat menatap masa depan Indonesia yang lebih baik, dan karenanya mekanisme internasional tidak dapat mengganggu gugat kondisi ini. Kepentingan Nasional Tujuan Statuta Roma untuk memberikan jaminan penghukuman bagi kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan genosida, menghapuskan rantai impunity dan mengefektifkan mekanisme hukum nasional, dapat menjadi sarana pendorong bagi Indonesia untuk segera membenahi kekurangannya tersebut dan mewujudkan komitmennya sebagai negara yang menjunjung tinggi penegakkan HAM. Diharapkan, dengan diratifikasinya Statuta Roma disertai dengan penyerbarluasan informasi yang terstruktur dan sistematis, maka pemahaman tentang aturan hukum HAM dan kewajiban negara dalam menegakkan hukum HAM internasional dapat lebih baik lagi. Dan tentu saja, untuk mewujudkannya diperlukan kerjasama yang baik serta peran aktif berbagai pihak baik pemerintah sebagai pembuat kebijakan, legislatif sebagai sarana legitimasi, para penegak hukum, akademisi dan seluruh masyarakat Indonesia pada umumnya. 104 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia Implikasi ratifikasi sendiri tidak hanya keluar, tapi juga ke dalam. Selama ini ratifikasi instrumen internasional absorbsi nilai-nilai universal dianggap melemahkan integritas nasional bukan menguatkan, sehingga dalam penerapannya ada resistensi-resistensi. Harus dibangun wacanaargumen bahwa meratifikasi ini justru adalah upaya untuk memperkuat ikatan-ikatan kebangsaan, NKRI, dsb termasuk bahwa nilai-nilai yg diperjuangkan ICC khususnya dan gerakan HAM pada umumnya selaras dengan nilai-nilai Pancasila seperti kemanusiaan yg adil dan beradab perlu dielaborasi. Misalnya tentang jaminan keadilan, jaminan pencegahan kekejaman di masa depan, dan sebagainya. ini diletakkan dalam prinsip-prinsip ratifikasi yang tidak menyerang nasionalisme. Sebaliknya, proses ratifikasi ini justru diharapkan dapat melakukan purifikasi terhadap pemahaman yang salah atas nasionalisme selama ini. Mengingat pentingnya arti Statuta Roma dalam upaya perlindungan HAM internasional, dan menyadari kelemahan Indonesia dalam memberikan jaminan perlindungan HAM bagi warganegaranya ditandai dengan masih terjadinya praktek impunity, ketidakmemadaian instrumen hukum HAM, aparat penegak hukum serta sarana prasarana perlindungan saksi dan korban di Indonesia menjadikan peratifikasian Statuta Roma sebagai suatu kebutuhan yang mendesak untuk dilakukan. Dalam konteks ini, perlu dibangun pemahaman bersama bahwa national interest Indonesia bukan hanya menjaga sovereignty of the State, tapi bahwa menghormati HAM juga bagian dari national interest yang diakui dalam konstitusi seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu ikut serta secara aktif dalam memelihara perdamaian, ketertiban dan keamanan dunia. 105 REKAM PROSES PERAN MASYARAKAT SIPIL DALAM UPAYA MENDORONG RATIFIKASI STATUTA ROMA DI INDONESIA Pengantar Ratifikasi Statuta Roma ICC – International Criminal Court merupakan agenda penting bagi kemajuan hukum dan keadilan di Indonesia. Ratifikasi Statuta Roma akan memberikan kontribusi yang sangat positif dalam penegakan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia, ditingkat regional dan internasional. Kegagalan mekanisme hukum nasional untuk memenuhi keadilan bagi korban dan semakin berkembangnya fenomena impunitas menjadi dasar kebutuhan Indonesia akan mekanisme hukum internasional 106 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia yang dapat memberikan keadilan bagi korban dan melindungi masyarakat dari tindak pelanggaran HAM. Pentingnya posisi Statuta Roma ICC sebagai salah satu mekanisme internasional yang dapat menjamin penegakan dan perlindungan HAM menjadikan ratifikasi ICC sebagai agenda bersama bagi komunitas korban pelanggaran HAM dan organisasi HAM di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir ini, perkembangan upaya Indonesia dalam meratifikasi ICC menunjukkan perkembangan positif dengan adanya komitmen dari Pemerintah Indonesia untuk melakukan ratifikasi pada tahun 2008 seperti tertuang dalam Keputusan Presiden No. 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 2004-2009. Di sisi lain, perkembangan positif ini juga menghadirkan beberapa tantangan untuk memenuhi komitmen ratifikasi ICC pada tahun 2008. Tantangan ini bisa dideskripsikan sebagai: pertama, bagaimana publik dapat memastikan Pemerintah melaksanakan komitmen untuk meratifikasi ICC dan, kedua, pada waktu yang beriringan juga untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan mengenai ICC dalam insitusi pemerintahan dan anggota DPR yang berada dalam level pemerintahan. Selain itu, ketiga, peningkatan pemahaman publik mengenai apa itu ICC dan alasan mengapa masyarakat membutuhkan ICC harus dilakukan secara lebih massif dengan mengumpulkan berbagai perspektif dan pendapat masyarakat mengenai ICC. Dalam perspektif tersebut, IKOHI dengan dukungan dari Indonesia-Australia Legal Development Facility IALDF, menjalankan program “Indonesia Menuju Ratifikasi Statuta Roma ICC” sebagai sebuah upaya untuk mendorong ratifikasi ICC di Indonesia. Program ini bertujuan untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut 107 Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia diatas. Tantangan ini memang bukan tantangan yang mudah dan sederhana karena mencakup dua ranah kerja yang kadang sangat sulit berhubungan: masyarakat dan pemerintah. Namun dengan pendekatan dan strategi yang tepat dan didukung berbagai aktivitas, diyakini mampu menjawab tantangan tersebut. Setelah melalui pergulatan dan kerja keras selama lebih dari satu tahun, berbagai perkembangan positif telah dicapai. Menguatnya wacana ratifikasi Statuta Roma ICC dalam masyarakat dan konsolidasi masyarakat sipil dalam mendorong proses ratifikasi adalah sebagian perkembangan positif yang telah dicapai. Tulisan ini mencoba merekam proses dan upaya yang telah dilakukan sebagai sebuah bahan refleksi dari upaya masyarakat sipil dalam mendorong ratifikasi ICC di Indonesia. Membangun dan Mengelola Dukungan Masyarakat Sipil Dalam rangka merancang dan melaksanakan strategi kerja yang komprehensif dalam proses ratifikasi Statuta Roma ICC di Indonesia, pada tanggal 10 Juni 2008 di Jakarta diadakan sebuah pertemuan untuk membentuk tim ahli dan sekaligus motor kerja untuk membuat draft naskah akademis dan mempersiapkan seluruh aktivitas yang berhubungan dengan rancangan strategi tersebut. Tim ini beranggotakan lima orang berdasarkan latar belakang kemampuan dan bidang kerja yang ditekuni. Mereka adalah Mugiyanto dari IKOHI yang berkecimpung dalam perjuangan keadilan dan hak-hak korban pelanggaran HAM, Agung Yudhawiranata ELSAM yang selama ini mengeluti riset dan kajian mengenai HAM, Bhatara Ibnu Reza IMPARSIAL yang menekuni isu HAM dan security sector reform, Reny Rawasita Pasaribu PSHK yang intens 108 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia dalam kajian dan penguatan instrumen hukum, serta Zainal Abidin YLBHI yang berpengalaman dalam riset dan pembelaan kepada masyarakat. Pada bulan April 2009, posisi Reni Rawasita Pasaribu digantikan oleh Herni Sri Nurbayanti PSHK karena Reny harus pindah ke Perancis. Untuk memastikan implementasi dan penerapan strategi serta menjadi jembatan komunikasi bagi anggota tim, dibentuklah tim kesekretariatan yang berlokasi di IKOHI. Keberadaan tim ahli inilah, beserta dengan lembaga masing- masing, yang menjadi pencetus sekaligus tulang punggung berdirinya Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Mahkamah Pidana Internasional ICC. Untuk memberikan penguatan dan masukan terhadap berbagai draft yang diproduksi, Koalisi meminta beberapa orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam berbagai isu seputar ICC sebagai Dewan Pengarah dalam Koalisi. Dewan Pengarah ini terdiri dari: Enny Soeprapto, Ph.D, Fadillah Agus, S.H., M.H, Galuh Wandita, B.A., LL.M, Ifdhal Kasim, S.H, Kemala Tjandrakirana, M.A dan Dr. Rudi M. Rizki, S.H., LL.M. Dalam memperkuat dukungan publik untuk proses ratifikasi di Indonesia, dalam workshop Statuta Roma yang diadakan di Jakarta pada bulan Juni 2008, seluruh partisipan sepakat untuk membuat koalisi yang lebih luas untuk mensupport ratifikasi. Koalisi sendiri dinamakan “Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional” yang diluncurkan pada tanggal 25 Juni 2008. Anggota koalisi terdiri dari banyak sector dari akademisi, media, kelompok perempuan, komunitas korban dan NGO. Koalisi juga terdiri dari person individu yang memiliki kepedulian tentang reformasi hukum, keadilan, dan HAM di Indonesia. 109 Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia Koalisi Indonesia juga menjadi anggota koalisi internasional untuk ICC CICC, sebuah koalisi internasional dengan lebih dari 2,500 organisasi di seluruh dunia, koalisi ini dibangun untuk mendukung kampanye dalam proses ratifikasi. Menggelar Konsultasi Publik untuk Isu ICC Sebagai elemen penting dalam upaya mendorong ratifikasi ICC, konsultasi publik adalah sebuah proses yang sangat penting. Konsultasi publik merupakan sebuah wadah untuk menghimpun pandangan dan masukan dari berbagai elemen masyarakat mengenai isu ICC. Untuk mengoptimalkan prose’s konsultasi publik ini, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional menyusun serangkaian proses konsultasi publik dalam format focused group discussion FGD di enam daerah yaitu Jakarta, Surabaya, Makassar, Medan, Aceh dan Papua. 110 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia Masing-masing FGD mendiskusikan dan memuat masukan strategis dari 15 orang stakeholder utama dan ahli-ahli ditingkat daerah. Partisipan yang terlibat termasuk pejabat pemerintah, akademisi, pengacara dan pemuka masyarakat dalam bidang yang relevan. Secara lebih spesifik, rangkaian FGD ini memiliki tujuan untuk: 1 mendapatkan pemahaman mengenai tujuan ratifikasi Statuta Roma dalam konteks hukum, politik dan ekonomi serta mendiskusikan strategi kampenye dan penyebaran informasi mengenai pentingnya ratifikasi Statuta Roma kepada publik, 2 berbagi pengetahuan dan sumber daya antara pemerintah, parlemen, akademisi dan masyarakat sipil untuk mengatur dan mempercepat proses ratifikasi dan 3 pembagian peran dan kerja diantara stakeholder dan peserta dalam rangka mempercepat proses ratifikasi Statuta Roma. Rangkaian proses dan hasil dari konsultasi publik atau FGD dapat dipaparkan sebagai berikut: Jakarta 111 Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia Sebagai pembuka proses konsultasi publik tentang ICC digelar FGD di Jakarta selama dua hari pada tanggal 24-25 Juni 2008 di Hotel Harris, Jakarta. Proses ini dihadiri lebih dari 20 orang yang berasal dari institusi pemerintah dan masyarakat sipil. Pada sesi hari pertama difokuskan pada topik urgensi Indonesia meratifikasi Statuta Roma, konsekuensi-konsekuensi ratifikasi, dan isu- isu penting seperti non-surrender agreement, kedaulatan negara, dan pelanggaran HAM masa lalu dengan narasumber Bhatara Ibnu Reza Tim Ahli - Imparsial dan Evelyn Balais Serrano Coalition for The International Criminal Court - CICC. Pada hari kedua, proses dilanjutkan dengan menfokuskan pada perkembangan terakhir dalam proses persiapan ratifikasi, kendala yang dihadapi dan upaya mencari kesepakatan jalan keluar, kebutuhan penyusunan peraturan pelaksanaan yang terpadu dengan narasumber Nursyahbani Katjasungkana DPR RI dan Prof Hakristuti Hakrisnowo, SH, MA, Ph.D Dirjen HAM-Depkumham RI Dari proses selama dua hari ini, terpaparkan kendala-kendala yang dapat menjadi ganjalan upaya ratifikasi ICC bagi Indonesia. Kendala-kendala tersebut adalah: • Ratiikasi ICC tidak masuk dalam PROLEGNAS 2005-2009 • Hubungan antara ICC dan sistem hukum nasional, khususnya dalam implementasi peraturan dibutuhkan untuk meratifikasi Statuta Roma 112 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia • Ratiikasi Statuta Roma tergantung pada kebijakan dan sikap politik pemerintah • Ada keengganan dari beberapa aktor politik di Indonesia Menghadapi kendala-kendala ini disusun beberapa rekomendasi penting yang meliputi: • Media memiliki peran penting untuk mendorong proses ratifikasi Statuta Roma, dan adalah hal yang penting untuk melibatkan media dalam kerja-kerja koalisi • Pentingya menyebarkan materi ICC kepada publik. • Materi ICC akan sangat menarik dalam kuliah di universitas. Forum Dekan direkomendasikan sebagai salah satu kelompok sasaran untuk diajak 113 Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia bekerjasama dalam konteks menggelar kuliah di tingkat universitas. • Di setiap propinsi, Forum RANHAM direkomendasikan sebagai kelompok sasaran untuk diajak bekerjasama untuk mendorong proses ratifikasi Statuta Roma • Pentingnya untuk bekerjasama dengan kelompok atau institusi yang menangani isu-isu perempuan Pada acara ini juga, secara resmi diluncurkan keberadaan Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Mahkamah Pidana Internasional sebagai langkah konkrit dari masyarakat sipil untuk mendorong ratifikasi ICC di Indonesia. Selain oleh Koalisi ini, dorongan agar Indonesia meratifikasi ICC juga dilakukan oleh Koalisi Internasional untuk ICC CICC, sebuah koalisi internasional yang beranggotakan 2.500 organisasi. CICC meluncurkan program Kampanye Ratifikasi Universal bulan Juni 2008 dengan target Indonesia. Sebagai bagian dari kampanye tersebut, CICC telah mengirimkan surat ke Presiden SBY, Menkumham dan Menlu tanggal 11 Juni 2008. Surabaya P r o s e s konsultasi publik dilanjutkan dengan FGD di Surabaya yang dilakukan pada 29 - 30 Juli 2008 dengan peserta 114 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia 33 orang yang berasal dari lembaga pemerintah, akademisi dan masyarakat sipil seperti: Komisi A DPRD Jatim, SBMI- Jatim, KPPD – Surabaya, ALHA-RAKA Syarikat-Jember, LPKP 65-Surabaya, MBH-Surabaya, BEM UWK-Surabaya, BEM FISIP Unair- Surabaya, IKOHI-Malang, Forsam – Unair, LBH-Surabaya, Repdem – Jatim, Tim Advokasi TNI Polri, Lakpesdam NU – Sumenep, AGRA – Jatim, Walhi – Jatim, CRCS, AJI Surabaya, Staff Pengajar HI FISIP Unair, Korban Alas Tlogo – Pasuruan. Fokus utama proses FGD adalah mengenai bagaimana mekanisme ICC dapat diimplementasikan dalam kasus- kasus pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah lokal. Meskipun pelanggaran HAM masa lalu tidak termasuk dalam jurisdiksi ICC, meratifikasi Statuta Roma merupakan sesuatu yang sangat penting sebagai affirmative action untuk mencegah pelanggaran HAM terjadi lagi dimasa yang akan datang. Adapaun untuk mengawal proses diskusi dihadirkan narasumber Agung Yudhawiranata Tim ahli – ELSAM, Riawan Adi Ahli Hukum Pidana dan R. Herlambang Perdana Dosen Hukum dan HAM, Universitas Airlangga. Dalam proses ini dihasilkan kesepakatan umum bahwa pemerintah harus segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Artinya selain segera meratifikasi Statuta Roma, pemerintah juga harus berkonsentrasi untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, terutama kasus-kasus yang terjadi di Jawa Timur. Organisasi lokal juga memiliki 115 Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia komitmen untuk mendesak pemerintah daerah untuk mendeklarasikan bahwa mereka mendukung pemerintah pusat di Jakarta untuk meratifikasi Statuta Roma. Hal senada juga terjadi dalam proses konsultasi publik yang dilakukan di Makassar pada tanggal 4 dan 5 Agustus 2008, di Aceh pada tanggal 11 dan 12 Agustus 2008 dan di Medan pada tanggal 14 dan 15 Agustus 2008. Papua Proses konsultasi publik yang dilakukan oleh koalisi di Papua dilaksanakan pada 29-30 Agustus 2008 dalam bentuk diskusi publik dan workshop. Banyaknya kasus- kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua juga karena alasan sebaran representasi geografis menjadikan Papua salah satu daerah yang wajib masuk dalam daftar daerah yang perlu dikunjungi dalam proses mendorong ratifikasi. Sebagaimana pula konsultasi yang dilakukan di daerah 116 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia lain, di Papua peserta berasal dari perwakilan organisasi masyarakat sipil, pemerintahan daerah, akademisi dan keluarga korban pelanggaran HAM yang berjumlah kurang lebih enam puluhan. Selain perwakilan dari sekretariat koalisi masyarakat sipil untuk ratifikasi Statuta Roma, hadir pula sebagai pembicara dalam diskusi publik tersebut Bruder Budi Hermawan dari Serikat Keadilan Perdamaian dan Harry Martubong dari Kontras Papua. Kegagalan menghadirkan Dirjen HAM Dephukham dan Ketua Komnas HAM dalam diskusi ini menyebabkan banyak peserta diskusi kecewa karena tidak bisa mendapatkan kepastian resmi sejauh apa proses ratifikasi di pemerintah sudah berjalan dan bagaimana komitmen sesungguhnya dari pemerintah baik terkait kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu maupun paska ratifikasi. Banyaknya kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang belum terungkap menyeret arah diskusi kepada manfaat ratifikasi ICC terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu tersebut. Fakta bahwa ICC hanya memiliki yurisdiksi paska ratifikasi, jelas menimbulkan kekecewaan dari sebagian besar peserta utamanya dari keluarga korban yang semula sangat berharap akan mendapat manfaat langsung terhadap ratifikasi ICC. Dalam diskusi bahkan sempat muncul pernyataan bahwa ratifikasi sama sekali tidak perlu dilakukan jika memang tidak ada korelasi langsung dengan penyelesaian kasus-kasus HAM yang selama ini terjadi di Papua. Karena banyaknya perbedaan opini selama diskusi, dan sulitnya mengontrol berkembangnya isu selama diskusi berlangsung, sekretariat mengambil pendekatan yang berbeda dengan tidak menyimpulkan hasil diskusi 117 Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia tapi memetakan kekhawatiran dan harapan peserta dari ratifikasi Statuta Roma. Kekhawatiran dan harapan tersebutlah yang kemudian dikemas menjadi pernyataan bersama peserta diskusi untuk mendorong ratifikasi. Harapan dan kekhawatiran yang berhasil direkam selama proses berlangsung tersebut adalah sebagai berikut: Harapan Kekhawatiran Pemerintah Indonesia 1. segera meratifikasi Statuta Roma Keuntungan Indonesia 2. apabila ratifikasi Statuta Roma tercapai Jaringan masyarakat 3. sipil di setiap propinsi di Indonesia segera bekerja Peraturan yang lebih 4. baik untuk kompensasi, restitusi dan rehabilitasi untuk korban pelanggaran HAM dan keluarga korban pelanggaran HAM Perlindungan yang lebih 5. baik agar pelanggaran HAM tidak terjadi lagi dimasa yang akan datang Konsistensi pemerintah dalam 1. proses ratifikasi Pemerintah sering mengulur- 2. ulur waktu dalam proses ratifikasi ICC memiliki prinsip tidak 3. berlaku surut sehubungan dengan pelanggaran HAM masa lalu Masalah dalam implementasi 4. ICC dalam prosedur hukum nasional Harapan yang muncul dan paling banyak diungkapkan adalah bahwa ratifikasi Statuta Roma agar segera dilakukan. Dari ratifikasi inilah nantinya keuntungan- keuntungan lainnya bisa didapatkan yang dapat mendorong perbaikan proses peradilan di Indonesia yang kemudian berujung pada berkurangnya kasus-kasus pelanggaran HAM di masa yang akan datang. Perbaikan yang dimaksud termasuk pula perbaikan terhadap sistem kompensasi, 118 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia restitusi dan rehabilitasi yang masih sangat tidak berpihak pada korban. Dalam proses mendorong ratifikasi tersebut, peserta juga berharap agar jaringan kerjasama masyarakat sipil antardaerah dapat segera terwujud untuk memperkuat dorongan pada pemerintah agar segera melakukan ratifikasi. Disisi lain ada banyak kekhawatiran yang muncul dari peserta terkait proses ratifikasi yang paling menonjol adalah bahwa proses ratifikasi sendiri tidak dilakukan dengan serius oleh pemerintah. Dalam proses tersebut pemerintah terlihat mengulur-ngulur waktu untuk melakukan ratifikasi dan tidak konsisten terhadap kebijakan pemerintah sendiri yang sudah mencanangkan proses ratifikasi di Tahun 2008 tapi belum juga dilakukan bahkan belum ada persiapan sama sekali. Kekhawatiran lainnya adalah terkait relasi ratifikasi dengan kasus-kasus HAM berat masa lalu yang tidak memiliki kaitan langsung. Seolah-olah kasus-kasus HAM yang selama ini belum terselesaikan tersebut sudah terlupakan dan tidak lagi penting. Selain itu dikhawatirkan implementasi UU ratifikasi tidak ada sebagaimana praktek yang banyak muncul dari ratifikasi konvensi-konvensi internasional lainnya. Karenanya, salah satu poin penting yang dimunculkan dalam pernyataan bersama adalah terus diusutnya kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. 119 Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia Kampanye publik Selain melakukan proses konsultasi publik, aktivitas kampanye diyakini akan memberikan kontribusi besar dalam menggalang dukungan masyarakat untuk mendorong proses ratifikasi ICC di Indonesia. Berbagai seminar dan diskusi publik dilakukan dalam kerangka tersebut. Dan untuk semakin meluaskan kampanye, dilakukan berbagai talk-show radio jaringan nasional dengan harapan dapat menjangkau publik yang lebih luas. Gambaran proses kampanye publik disajikan sebagai bahan refleksi atas upaya yang dilakukan untuk menggalang dukungan publik. Untuk mendukung kerja kampanye ratifikasi, Koalisi juga memproduksi kampanye material, 120 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia diantaranya adalah penerbitan buku saku ICC yang berisi informasi dasar mengenai apa dan bagaimana mekanisme ICC. Buku saku ini dibuat dalam format pertanyaan dan jawaban dengan cara penulisan yang populer. Buku saku berisi informasi dasar mengenai ICC disebarakan kepada publik dan institusi pemerintah. Selain itu, Koalisi juga memproduksi pin, tas dan block-note yang dibagiakan pada seluruh kegiatan yang diselenggarakan oleh Koalisi. Seminar Nasional Seminar nasional sebelumnya direncanakan akan digelar di Jakarta. Dengan beberapa pertimbangan diantaranya untuk mengumpulkan lebih banyak lagi dukungan untuk ratifikasi Statuta Roma dari lebih banyak stakeholder diluar Jakarta, koalisi memutuskan untuk menggelar seminar nasional di Yogyakarta. 121 Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia Bekerjasama dengan Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia Yogyakarta PusHAM UII, seminar dilaksanakan pada 6 April di Plaza Hotel Jogyakarta dengan topik “Tantangan Reformasi Hukum dan Perlindungan HAM di Indonesia pasca Pemilu 2009”. Pembicara dalam seminar nasional ini adalah Ifdhal Kasim dari Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab dari ELSAM, Bhatara Ibnu Reza salah satu tim ahli dari koalisi dan Abdul Haris Semendawai dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK. T Kurang lebih 100 orang partisipan dari beberapa aparat pemerintah, penegak hukum, NGO, akademisi, mahasiswa yang turut berpartisipasi dalam seminar nasional ini. Pada bagian akhir seminar, partisipan bersepakat bahwa siapapun yang terpilih pada Pemilu 2009 seharusnya lebih memperhatikan penegakan HAM dalam rangka meningkatkan demokrasi sejati di Indonesia. Salah satu kerja untuk membuat hal tersebut tercapai adalah dengan 122 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia meratifikasi perjanjian internasional atau mekanisme internasional, dimana salah satunya adalah Statuta Roma ICC. Talk-show Radio Talk show radio dikemas sebagai media menyebarkan informasi mengenai pentingnya ratifikasi Statuta Roma dan isu-isu terkait kepada publik. Koalisi mengadakan aktivitas ini dengan bekerjasama dengan KBR 68H dan VHRmedia Voice of Human Rights. Beberapa proses dan hasil talkshow akan dideskripsikan dibawah ini. Diskusi radio dengan tema “Pentingnya Ratifikasi ICC di Indonesia” ini bekerjasama dengan KBR 68H. Diskusi radio ini diadakan di Olive Tree Restaurant, Hotel Nikko dengan menghadirkan pembicara Mugiyanto IKOHI, 123 Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia Djoko Susilo Komisi I DPR RI, dan Riyawan Pramudjo Direktur HAM, Ditjen HAM-Depkumham RI. Kegiatan ini mengundang beberapa wartawan dan masyarakat umum. Selain itu memang diharapkan ada respon dari pendengar KBR 68H yang menanggapi materi- materi yang dibawakan dari pembicara. Hal ini dilakukan agar masyarakat umum dapat mengenal lebih jauh mengenai ICC dan merasa penting untuk mendukung ratifikasi ICC, karena jelas mekanisme mahkamah pidana internasional ini akan berpengaruh besar pada kehidupan demokrasi di Indonesia dan akan mencegah kasus-kasus pelanggaran HAM di kemudian hari. Kegiatan diskusi radio ini, selain dipublikasikan oleh KBR 68H, juga dipublikasikan oleh Koran TEMPO pada tanggal 26 Juni 2008. Dari diskusi radio ini memang diketahui bahwa ada komitmen pemerintah, khususnya Depkumham, untuk segera meratifikasi ICC. Proses ratifikasi ICC yang dilakukan 124 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia oleh Depkumham sedang dalam tahap pengkajian oleh tim Litbang Depkumham. Namun sesungguhnya pengajuan draft ratifikasi ICC ini sudah harus diserahkan kepada DPR pada tahun 2008. Karena hal ini tertuang dalam RANHAM 2004-2009 yang menyatakan Indonesia akan meratifikasi ICC pada tahun 2008. Namun kelemahannya adalah tidak semua pejabat Negara yang berwenang dalam ratifikasi ICC ini memahami secara jelas mengenai mekanisme ICC. Bahkan menurut Djoko Susilo, di Komisi III, komisi yang berhubungan langsung dengan Depkumham, belum tentu memahami mengenai mekanisme ICC. Maka dari itu, harus segera dibuat sebuah kegiatan untuk mensosialisasikan mekanisme ICC ini kepada anggota parlemen, khususnya anggota Komisi III. Karena tentunya pemahaman yang tidak jelas terhadap mekanisme ICC akan menghambat berjalannya proses ratifikasi ICC di tingkat parlemen. 125 Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia Masyarakat umum yang mendengarkan diskusi ini melalui radio juga mendesak agar pemerintah dan parlemen bekerja secara serius dalam meratifikasi ICC ini. Karena dari tanggapan masyarakat, mereka merasa bahwa proses ratifikasi ICC ini akan dapat mencegah terjadinya kasus- kasus pelanggaran HAM dan menjadi sebuah pembelajaran demokrasi di Indonesia. Selain rangkaian diskusi radio reguler, Koalisi juga menyelenggarakan diskusi radio pada momen-momen yang berhubungan dengan ICC. Sebagai contoh adalah pada momen peringatan Hari Keadilan Sedunia. Pada momen peringatan ini Koalisi juga menyelenggarakan diskusi Radio dengan tema “ World Day of International Justice dan Ratifikasi ICC di Indonesia” diadakan di Kedai Tempo pada tanggal 10 Juli 2008. Diskusi kali ini menghadirkan pembicara Agung Yudhawiranata Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional, Hakristuti Hakrisnowo Dirjen HAM Depkumham dan Ifdal Kasim Komnas HAM. Pembahasan dalam diskusi kali ini adalah tentang World Day of International Justice yang diperingati sebagai hari ditetapkannya Statuta Roma pada tanggal 17 Juli. Diskusi tersebut membahas mengenai mengapa hari tersebut begitu bersejarah bagi keberlanjutan keadilan di dunia dan pentingnya Statuta Roma tersebut bagi kehidupan berkeadilan. Karena Statuta Roma tersebut adalah cikal bakal dari terbentuknya sebuah mekanisme permanen untuk mengadili para pelaku. 126 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia Penyusunan Kertas Posisi dan Naskah Akademis Sesuai dengan alur dan pembagian kerja, tim ahli bertanggungjawab penuh untuk membuat draft dan menyelesaikan material pendukung ICC, seperti: kertas posisi, naskah akademik dan draft RUU ratifikasi yang nantinya akan didistribusikan dan dijadikan bahan masukan kepada Pemerintah. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, tim ahli menggelar beberapa pertemuan untuk mengatur pembagian kerja. Pada pertemuan pertama yang dilaksanakan pada tanggal 10 Juni 2008 disepakati mengenai pembagian dan penanggungjawab kerja dalam rangka mengumpulkan referensi untuk kertas posisi dan naskah akademis. Selanjutnya tim mulai bekerja dan melakukan berbagai pertemuan koordinasi. Akhirnya pada tanggal 2 Juli 2009, tim berhasil menyelesaikan kertas posisi dan mempublikasikannya untuk mendukung kampanye pentingnya ratifikasi Statuta Roma di Indonesia. Kertas posisi ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa inggis untuk kepentingan kampanye internasional. Materi kampanye ini telah didistribusikan ke beberapa institusi dan publik, contohnya: dalam seminar dan diplomatic briefing yang diadakan oleh Kedutaan Besar Swiss pada 28 Agustus 2008 di Hotel Ritz Carlton, Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Beberapa partisipan yang hadir dalam kegiatan tersebut adalah perwakilan dari Kedutaan Jerman, Kedutaan Belanda, Kedutaan Kanada, Kedutaan Australia, Kedutaan Afrika Selatan, Kedutaan Swiss, Kedutaan Inggris, Uni Eropa, IALDF, AusAID, United Nation, dan ICRC. Sementara itu, proses pembuatan naskah akademik dan draft RUU Ratifikasi Statuta Roma dimulai pada pertemuan tim ahli sehari penuh yang dilaksanakan pada 127 Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia bulan Agustus 2008 di Imparsial dan dilanjutkan dengan pertemuan sehari penuh di Elsam pada bulan November 2008. Dalam pertemuan-pertemuan ini, tim ahli membuat draft naskah akademik dan draft RUU Statuta Roma dan mendistribusikan naskah tersebut kepada tim ahli ad- hoc seperti: Enny Suprapto, Fadillah Agus, Ifdhal Kasim, Kemala Chandrakirana dan Rudi Rizky untuk mendapatkan komentar dan masukan. Dengan saran yang diberikan oleh tim ahli ad-hoc: Enny Suprapto dan Fadillah Agus, serta pembaca: Ifdhal Kasih – Komnas HAM yang menyarankan kepada koalisi untuk mengembalikan isu ICC ke area hukum kriminal dan tidak terlalu mengedepankan pelanggaran HAM masa lalu, dan revisi untuk naskah akademik final selesai pada 7 februari 2009 dalam pertemuan lain tim ahli di Aston Residence Jakarta. Dalam naskah akademis final, koalisi memberi penjelasan lebih lanjut mengenai keuntungan ratifikasi Statuta Roma untuk Indonesia, misalnya seperti perlindungan buruh migran dan misi menjaga perdamaian. Workshop Bersama Parlemen 128 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia Workshop bersama dengan anggota DPR dilaksanakan di gedung DPR pada 17 Februari 2009 dengan bekerjasama dengan Parliament for Global Action PGA dengan tema “ICC: Indonesia Menuju Ratifikasi Statuta Roma”. Workshop ini diadakan untuk meningkatkan pemahaman anggota DPR mengenai ICC dan mendorong DPR untuk bekerja bersama koalisi dalam proses ratifikasi ICC di Indonesia. Workshop ini dilaksanakan bersamaan dengan kedatangan delegasi internasional yang dipimpin oleh Senator Kanada Ms. A. Raynell Anreychuk ketua, Komite HAM dan Australia MP Ms. Melissa Parke Ketua, Komisi Australia untuk integritas Penegakan Hukum. Workshop tersebut dibuka oleh ketua PGA Indonesia Dr. Theo Sambuaga dan dilanjutkan dengan pembicara kunci Mr. John Holmes, Duta Besa Kanada untuk Indonesia, yang menyatakan bahwa jurisdiksi ICC adalah tidak berlaku surut, bersifat komplemener terhadap hukum nasional dan ICC didesign untuk memperkuat sistem hukum nasional, dimana di dalamnya terdapat tanggungjawab utama untuk menyeret pelaku kejahatan serius untuk dihukum secara adil. 129 Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia Pembicara selanjutnya adalah, Prof. Harkristuti Harkrisnowo Dirjen HAM DepkumHAM yang menjelaskan bahwa pemerintah telah terikat secara inklusif dengan proses konsultasi dan legal drafting ratifikasi ICC,. Pemerintah juga sangat memahami bahwa batas waktu tahun 2008 untuk meratifikasi Statuta Roma telah lewat dan sekarang naskah akademis harus menjadi prioritas. Pembicara dari pihak koalisi, Reny Rawasita Pasaribu, menekankan mengenai dukungan dari masyarakat sipil kepada pihak pemerintah dan DPR untuk meratifikasi ICC. Sementara Marzuki Darusman menyatakan bahwa ratifikasi Statuta Roma harus disepakati di DPR antara bulan Mei dan Juni 2009. Pernyataan Marzuki Darusman dipertegas oleh Partrice Morin dengan pernyataan: “DPR harus membuat perubahan dalam legislatif, dan ICC hanyalah masalah waktu saja” Pada momentum ini juga, sebagai tanggapan atas percepatan yang terjadi di DPR, koalisi membuat pernyataan pers yang menekankan pada: • Pemerintah berkomitmen untuk meratiikasi ICC sebelum pemilihan DPR baru 2009-2014. Dari perspektif pemerintah, ratifikasi Statuta Roma akan memperkuat sistem perlindungan HAM di Indonesia • Pertanyaan-pertanyaan mengenai kerahasiaan tidak lagi menjadi hal yang penting, mengingat ICC memberikan jaminan hukum yang berlaku secara universal bagi semua orang. 130 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia Lobby dan Audiensi Audiensi dengan DPR Audiensi dengan DPR, khususnya dengan Komisi I dan Komisi III yang berhubungan dengan isu ICC adalah kegiatan penting dalam mendukung percepatan ratifikasi Statuta Roma. Sehubungan dengan tujuan ini, koalisi menghadiri pertemuan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi III pada 26 Mei 2009 dan dengan Komisi I pada 10 Juni 2009. Dalam pertemuan dengan Komisi III yang difasilitasi oleh Suripto, Nasir Djamil keduanya dari Partai Keadilan Sejahtera dan Yudho Paripurno PPP, Komisi III memberikan komitmen untuk meratifikasi Statuta Roma dan berencana untuk menggunakan Hak Inisiatif antar seluruh anggota Komisi III. Pada 10 Juni 2009, koalisi mengadakan pertemuan dengan Komisi I yang difasilitasi oleh Theo Sambuaga Ketua Komisi I, Marzuki Darusman dan Sidharto Danusubroto PDIP. Komisi I juga memberikan komitmen untuk meratifikasi Statuta Roma dan memajukan beberapa isu “sensitif” yang berhubungan dengan ICC seperti: • Prosedur legislatif: naskah akademis dan draft RUU ratifikasi ICC • Salah satu kemungkinan yang dihadapi oleh pemerintah yang belum selesai adalah naskah akademis dan RUU. Di beberapa kesempatan, Dirjen HAM menyatakan telah membuat tim dan mencoba untuk menyelesaikan dua dokumen tersebut. Namun kenyataannya sampai April 2009 perkembangannya masih belum jelas. 131 Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia • Fakta bahwa naskah akademis dan RUU, sebagai satu kondisi untuk mempercepat ratifikasi, belum selesai dan harapan untuk ratifikasi pada tahun 2009 masih sangat jauh dari kenyataan. Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan, pertama, adalah hal yang penting untuk menyebarkan naskah akademik dan draft RUU kebeberapa departemen dan kepada publik untuk mendapatkan masukan; kedua, membuat sinkronisasi dengan kebijakan lain yang akan dibuat oleh Dirjen Perundang-undangan Depkumham untuk kemudian ditandatangani oleh Mentri Hukum dan HAM. • Isu kedaulatan dan harmonisasi hukum • Ada dua isu besar yang muncul dalam ratiikasi di Indonesia. Mengenai jurisdiksi ICC dan harmonisasi dengan peraturan nasional yang telah ada. ICC memiliki prinsip tidak berlaku surut, hal tersebut yang tidak banyak diketahui, sehingga hal tersebut menciptakan ketakutan bahwa dengan ratifikasi akan mengarah pada penghukuman perwira TNI yang telah melakukan pelanggaran HAM dimasa lalu. Meskipun Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono telah memiliki perspektif yang jelas mengenai posisi dan implikasi ICC, namun tetap saja ada ketakutan mengenai hubungan ICC dengan pengadilan nasional mekanisme domestik. Prinsip ini jelas penting sebagai antisipasi isu kedaulatan nasional yang sering dimunculkan oleh beberapa ahli hukum. • Isu harmonisasi ICC dengan sistem hukum nasional, sebagai contoh, seperti yang tampak pada kehadiran UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. 132 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia Beberapa pihak melihat bahwa Indonesia telah mengakomodir dua kejahatan intenasional dalam UU tersebut, kejahatan melawan kemanusiaan dan genosida. Seperti hukum perang, hal tersebut bisa dibawa ke pengadilan internasional. • Isu “tidak mau dan tidak mampu” • Isu “tidak mau dan tidak mampu” dalam konteks mekanisme pengadilan nasional dimunculkan oleh pihak militer dalam hubungannya dengan pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia yang telah diadili di pengadilan HAM adhoc seperti kasus Timor Leste, Tanjung Priok dan Penghilangan Paksa Aktivis 1998. Penjelasan atas intervensi ICC dalam mekanisme nasional dibutuhkan untuk mempengaruhi pihak militer dan DPR bahwa terminology “tidak mau dan tidak mampu” sangat mudah untuk dilaksanakan oleh prosecutor ICC dan telah memiliki mekanisme yang sangat jelas untuk dijalankan. Selain pertemuan-pertemuan formal yang digelar, koalisi juga secara rutin menghubungi para anggota DPR terutama anggota PGA Indonesia seperti: Nursyabani Katjasungkana, Marzuki Darusman, Theo Sambuaga, untuk mendiskusikan dan berbagi infomasi tentang perkembangan isu ICC. Pertemuan dengan Depkumham Koalisi Masyarakat SIpil Indonesia untuk Mahkamah Pidana Internasional mengadakan audiensi dengan Prof. Harkristuti Harkrisnowo Dirjen HAM pada tanggal 27 Maret 2009. Dalam pertemuan tersebut, 133 Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia ibu Harkristuti Harkrisnowo menyoroti perlunya para akademisi bicara mengenai sinkronisasi Statuta Roma ICC dengan mekanisme hukum nasional. Dirjen HAM juga menjelaskan keuntungan apabila akademisi mendukung untuk proses ratifikasi, khususnya untuk meyakinkan pihak militer dan pemerintah dalam isu ratifikasi. Selain itu, pertemuan juga menghasilkan beberapa poin: 1. Dalam perkembangan di Depkumham, terjadi koordinasi antara Dirjen HAM dengan BPHN untuk mendiskusikan naskah akademik dan draft RUU ratifikasi Statuta Roma 2. Ada masalah yang timbul sehubungan dengan sikap Departemen Luar Negeri yang menyatakan bahwa ratifikasi harus menunggu sinkronisasi dengan peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan ICC 3. Koalisi telah menyerahkan naskah akademis dan draft RUU Ratifikasi Statuta Roma kepada Dirjen HAM dan akan terus mendukung proses dalam Departemen Hukum dan HAM untuk melakukan percepatan proses ratifikasi ICC. Pertemuan dengan Komnas HAM Untuk mendukung proses ratifikasi, pertemuan dengan Komnas HAM diperlukan karena Komnas HAM adalah salah satu stakeholder dalam isu ini. Tujuan dari pertemuan ini adalah untuk mendapatkan dukungan dari Komnas HAM sebagai salah satu lembaga pemerintah dalam proses ratifikasi. 134 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia Pertemuan pertama dengan Komnas HAM dilaksanakan pada 23 Juni 2008 di Jakarta. Pertemuan ini dihadiri oleh Ifdal Kasim Komnas HAM, Evelyn CICC, Mugiyanto, Agung Yudha, Bhatara Ibnu Reza, Reny Rawasita Pasaribu, Zainal Abidin, Ari Yurino dan Veronica Iswinahyu dari Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Mahkamah Pidana Internasional. Sebagai kesimpulan pertemuan, Komnas HAM sepakat untuk mendukung secara aktif kerja-kerja yang dilakukan untuk meratifikasi Statuta Roma ICC di Indonesia. Pertemuan kedua dengan Komnas HAM dilaksanakan pada 18 Februari 2009 di kantor Komnas HAM. Pertemuan dihadiri oleh Ifdal Kasim Komnas HAM, Fadillah Agus tim ahli Ad-hoc, Enny Soeprapto tim ahli Ad-hoc, Zaenal Abidin, Simon dan Agung Yudhawiranata Koalisi. Beberapa hasil pertemuan adalah: 1. Komnas HAM dalam waktu singkat akan mengeluarkan kertas posisi mengenai Statuta Roma yang akan sangat berguna sebagai materi lobby kepada Deplu dan Depkumham 2. Komnas HAM akan mengadakan seminar publik dengan Menteri Hukum dan HAM dalam upaya mendorong proses ratifikasi Statuta Roma 3. Sehubungan dengan kerja Komnas HAM dalam revisi UU No. 262000 tentang pengadilan HAM, ratifikasi Statuta Roma masih dapat berjalan, mengingat perdebatan mengenai prinsip komplimenter dapat melindungi prinsip retroaktif dalam hukum pengadilan HAM 135 Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia Roundtable discussion bersama Mr. Song Sang-hyun President ICC Presiden ICC Song Sang-hyun mengunjungi Indonesia pada 28 April 2008. Koalisi mendapatkan kesempatan untuk mengadakan diskusi komprehensif dengan Song Sang-hyun. Pertemuan diadakan di Hotel Millenium Sirih – Jakarta dimulai pukul 14.00 – 15.30. Prof. Dr. Komariah Emong Mahkamah Agung dan Enny Suprapto juga terlibat dalam diskusi ini. Setelah koalisi mempresentasikan perkembangan proses ratifikasi di Indonesia, Mr. Song mengatakan bahwa kedatangannya ke Indonesia sangat penting karena ICC mempertimbangkan Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki pengaruh di dunia, Indonesia harus menjadi bagian ICC. Kedatangan presiden Song juga untuk mendorong Indonesia, yang di sebut 136 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia sebagai negara yang “penting” dan “berpengaruh” untuk menyelesaikan proses ratifikasi, dimana Mr. Song telah diberitahu bahwa hal tersebut akan diselesaikan tahun lalu. Media juga diundang dalam aktivitas ini, diantaranya adalah: Jakarta Post, Vivanews dan Voice of Human Rights. Selama kedatangan presiden, banyak sekali peliputan media dan mereka sangat berguna bagi perkembangan proses ratifikasi di Indonesia. Pertemuan dengan Mr. Rod Rastan dari kantor Pros- ecutor – ICC Pada 9 juni 2008 Badan Pembinaan Hukum Nasional BPHN - Depkumham menggelar FGD bersama Mr. Rod Rastan dari Kantor Prosecutor Jurisdiction – ICC sebagai salah satu pembicara kunci dalam diskusi mengenai Statuta Roma yang memfokuskan pada pengalaman empiris ICC dalam mendorong jurisdiksi tersebut selama 7 tahun belakangan. Tujuan dari pertemuan ini juga untuk mendapat masukan atas draft naskah akademik ratifikasi Statuta Roma yang sedang disusun oleh Departemen Hukum dan HAM. Untuk merespon kedatangan Rod Rastan ini, Koalisi menggelar pertemuan untuk memberikan masukan dan penjelasan kepada Mr. Rastan sehubungan dengan perkembangan terakhir dari proses ratifikasi dan persoalan yang dihadapi. Pertemuan ini digelar sebagai input dari masyarakat sipil untuk Mr. Rastan. 137 Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia Catatan Akhir Program Indonesia Menuju Ratifikasi ICC merupakan inisiatif masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam reformasi hukum dan mempromosikan perlindungan HAM di Indonesia. Dari persepsi masyarakat sipil, ratifikasi Statuta Roma ICC diyakini akan meningkatkan mekanisme hukum di Indonesia, khususnya untuk mekanisme pidana, juga untuk menangani pelanggaran berat HAM di Indonesia. Sejalan dengan tujuan fundamental dari Statuta Roma ICC, masyarakat sipil percaya bahwa ratifikasi dan implementasi ICC akan mengakhiri praktek impunitas di Indonesia Sehubungan dengan tujuan ini, pemerintah Indonesia telah memiliki tekad untuk meratifikasi ICC Statuta Roma sejak 2004 dengan memasukkan Statuta Roma dalam RANHAM 2008. Lembaga negara atau institusi negara yang berhubungan dengan menyoroti komitmen ini dengan pernyataan yang sering disampaikan oleh lembaga- lembaga pemerintahan. Namun sangat disayangkan, sampai pada akhir kabinet SBY-JK pada 2009, tidak ada realisasi atas komitmen mengenai ratifikasi. Secara umum, strategi dan implementasi aktivitas koalisi menghasilkan beberapa perkembangan untuk memajukan proses ratifikasi Statuta Roma ICC khususnya dalam hal kampanye publik dan pembukaan jalur komunikasi antar berbagai pemangku kepentingan. Berdasarkan pengamatan dalam proses program, hambatan dan dan posisi para stakeholder dapat dideskripsikan sebagai berikut: 138 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia Masalah Deskripsi Stakeholders Aktor Naskah Akademis dan Draft RUU ratifikasi Statuta Roma Naskah Akademis dan Draft RUU Ratifikasi Statuta Roma yang di- terima oleh pemerintah seharusnya diproduksi oleh Kementrian untuk diberikan kepada presi- den dan diajukan kepada DPR Mentri Hukum dan HAM Dukungan dari DPR DPR, Komisi I dan Komisi III, memberikan komitmen yang besar untuk ratifikasi Komisi I dan Komisi III Anggota PGA di Indo- nesia seperti: Marzuki Darusman - Theo Sambuaga - Nursyahbani K - Djoko Susilo - Resistensi dari institusi militer Insitusi militer masih memiliki keengganan dalam ratifikasi Statuta Roma. Menteri Pertahanan - MABES TNI - Pendapat dari Akademisi Pendapat dari akademisi merupakan salah satu el- emen kunci dalam proses ratifikasi. pada hari- hari terakhir, beberapa akademisi memiliki ke- beratan dengan ratifikasi Statuta Roma dengan berbagai mancam argu- mentasi Akademisi hukum terkemuka di Indonesia Posisi Menteri Luar Negeri Menteri Luar negeri merupakan salah satu focal point dalam proses ratifikasi Statuta Roma, namun bersikap pasif. Menteri Luar Negeri Posisi Politik Presiden Posisi politik presiden sehubungan dengan Ratifikasi Statuta Roma masih belum jelas. Presiden Berdasarkan pemetaan hambatan dan pemetaan aktor serta pencapaian program dan perkembangan terakhir, 139 Rekam Proses Peran Masyarakat Sipil dalam Upaya Mendorong Ratifikasi Statuta Roma Di Indonesia upaya untuk meneruskan dan mengembangkan inisiatif masyarakat sipil untuk mendorong ratifikasi Statuta roma di Indonesia masih diperlukan. Upaya kedepan ini minimal meliputi beberapa area kerja, diantaranya: • Penyebaran isu ratiikasi Statuta Roma ditingkatan publik untuk semakin menggalang dukungan yang kuat untuk meyakinkan pemerintah RI. • Mendukung dan memfasilitasi proses dan membuat Naskah Akademis dan Draft RUU ratifikasi pada Menteri Hukum dan HAM serta DPR • Menginisiasi dan menjaga dukungan dari akademisi untuk mendukung ratifikasi Statuta Roma • Melakukan pendekatan dan memfasilitasi penyebaran prinsip-prinsip Statuta Roma kepada institusi militer untuk mengatasi keengganan mengenai Statuta Roma 141 Beberapa Pelajaran yang Bisa Dipetik Mugiyanto Segera setelah Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional disahkan dalam sebuah Konferensi Diplomatik di Roma, Italia pada tanggal 17 Juli 1998, beberapa NGO hak asasi manusia, lembaga akademik dan pemerintah di Indonesia telah melakukan kerja-kerja pengkajian dan advokasi agar Indonesia menjadi negara pihak state party dari ICC. Pekerjaan tersebut terus berlangsung, dan semakin intens ketika ICC enter into force pada tahun 2002, ketika 60 negara telah meratifikasinya. Tidak hanya di tingkat nasional, kerja-kerja pengkajian dan advokasi juga dilakukan dengan terlibat dan melibatkan komunitas internasional, baik itu pihak ICC sendiri yang berkedudukan di Den Haag negeri Belanda, maupun dengan koalisi internasional untuk ratifikasi dan implementasi ICC, International Coalition on International Criminal Court CICC yang juga berkedudukan di Den Haag dan New York, Amerika Serikat. Beberapa seminar, workshop dan konferensi digelar di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia. Beberapa pakar hukum internasional dan 142 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia aktifis HAM juga terlibat secara aktif dalam beberapa forum internasional, termasuk dalam menghadiri sidang Majelis Negara Pihak Assembly of States Party – ASP baik di Den Haag maupun di New York. Berawal dari pekerjaan-pekerjaan dan aktifitas inilah, dalam sebuah workshop di Jakarta pada bulan Juni 2008 didirikan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional. Beberapa lembaga yang menjadi inisiator pembentukan Koalisi ini adalah Elsam, Imparsial, YLBHI, PSHK dan IKOHI, yang kemudian meluas dan melibatkan ratusan lembaga dan individu yang menaruh perhatian pada reformasi sistem hukum, penegakan keadilan dan hak asasi manusia di Indonesia. Pembentukan Koalisi ini didasari kebutuhan untuk mensinergikan langkah dan gerak lembaga-lembaga dan individu-individu yang berada di dalamnya agar usaha untuk memastikan Indonesia meratifikasi ICC menjadi lebih kuat dan efektif. Terbukti, tak lama setelah Koalisi berdiri, proses pengkajian, diseminasi informasi, kampanye dan advokasi tentang ICC berjalan di hampir seluruh propinsi di Indonesia, dengan melibatkan berbagai stakeholder, baik elemen masyarakat sipil maupun pemerintah dan parlemen. Dalam proses ini, Koalisi bahkan bisa berjalan beriringan dengan focal point pemerintah untuk persiapan ratifikasi ICC, yaitu Depkumham dan Deplu dengan cukup baik. Dalam masa kerja yang belum genap 2 tahun, Koalisi telah menerbitkan buku saku tentang ICC, kertas kerja lobby paper, serta Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang tentang Ratifikasi ICC yang kesemuanya sudah diserahkan ke focal point pemerintah untuk menjadi sandingan dokumen yang akan dibuat pemerintah, sebelum nantinya diajukan ke DPR untuk disahkan. 143 Beberapa Pelajaran yang Bisa Dipetik Sebagai anggota CICC, Koalisi setidaknya telah 3 kali menghadiri Sidang Majelis Negara Pihak ASP di Den Haag dan New York, dimana laporan perkembangan ICC, penanganan-penanganan kasus situasi dan perdebatan- perdebatan mengenai partisipasi korban, keadilan jender, kejahatan agresi dan lain-lain terjadi. Secara paralel, lobi- lobi untuk mendapatkan dukungan internasional juga dilakukan oleh delegasi Koalisi dalam forum tersebut. Sebagai tindak lanjut, pada tahun 2007 CICC menggelar Strategy Meeting di Jakarta, yang pada saat yang sama melakukan lobi kepada pemerintah dan DPR. Bahkan pada bulan Juni 2009, Indonesia dijadikan sasaran Universal Ratification Campaign URC CICC. Universal Ratification Campaign adalah strategi kampanye CICC yang diluncurkan tiap bulan dengan menyasar satu negara untuk menjadi sasaran lobi dan kampanye ratifikasi. Untuk tujuan tersebut, ratusan surat dari CICC dan lembaga-lembaga HAM internasional terkemuka dikirimkan ke President. Tidak hanya itu, secara informal, Jaksa Penuntut Chief Prosecutor ICC, Luis Moreno Ocampo dan Hakim Ketua Chief Judge, Judge Song Sang-hyun juga berkunjung ke Indonesia pada tahun 2008 dan 2009 untuk bertemu dengan pemerintah dan masyarakat sipil, termasuk dengan Koalisi. Di tingkat parlemen, pada tahun 2008 juga terbentuk Parliamentarian for Global Action PGA Indonesia Chapter, yang salah satu fokus utamanya adalah mempersiapkan proses ratifikasi ICC. Sayangnya, anggota PGA yang sudah sangat terbuka dan mendukung ratifikasi ICC ini tidak bias melakukan banyak hal, karena prosesnya tengah dijalankan oleh pemerintah. 144 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia Dalam kegiatan sosialisasi, kampanye dan advokasi ICC di Indonesia, Koalisi mendapatkan banyak sekali masukan dan dukungan dari dari masyarakat sipil, terutama dari kalangan aktifis HAM dan keluarga korban pelanggaran HAM. Akan tetapi, tantangan masih sangat besar, karena ICC masih merupakan hal baru dalam dunia penegakan HAM, sehinga masih sering disalahartikan dengan Mahkamah Internasional International Court of Justice - ICJ, termasuk minimnya pemahaman mengenai jurisdiksi dan kewenangannya. Hal lain yang juga ditemukan dalam proses ini adalah masih belum nyaringnya suara-suara kalangan akademisi dan ahli hukum internasional yang sejalan dengan semangat perlunya Indonesia bergabung dalam rejim keadilan global ini. Suara yang kerap muncul justru dari kalangan ahli hukum konservatif, yang melihat ICC sebagai ancaman, dan bukan sebagai peluang bagi perbaikan sistem hukum dan keadilan di Indonesia. Sebagai penutup, rencana ratifikasi tahun 2008 memang sudah terlewati. Tetapi proses tetap berjalan. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai focal point masih terus menyusun Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang, untuk kemudian diajukan ke DPR untuk persetujuan. Namun nampaknya proses ini tidak berjalan terlalu mulus. Ada indikasi, beberapa pihak terutama di Departemen Pertahanan dan Mabes TNI masih belum nyaman dengan ICC. Isu kedaulatan nasional dan potensi intervensi asing, serta jurisdiksi ICC atas peristiwa pelanggaran HAM masa lalu nampaknya dijadikan sebagai argumen bahwa Indonesia belum siap menjadi negara pihak. Namun, ada argumen lain yang nampaknya juga dijadikan alasan penundaan ratifikasi yang mengatakan bahwa Indonesia tidak perlu meratifikasi ICC karena sudah ada 145 Beberapa Pelajaran yang Bisa Dipetik UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sebuah argumen gegabah dan menyesatkan. Presiden SBY yang tengah mengemban mandat kedua diharapkan belajar dari kekurangan dan kegagalan di masa pemerintahan sebelumnya. Terlebih lagi, penegakan hukum, keadilan dan hak asasi manusia kini semakin menjadi buah bincang pemerintah. Ratifikasi ICC tidak hanya perlu dimasukkan kembali dalam RANHAM 2010 – 2015, tetapi harus dijadikan sebagai prioritas Program Legislasi Nasional 2010. Hanya dengan begitu, Indonesia akan benar-benar membuktikan dirinya sejajar dengan negara-negara beradab lain yang telah menjadi bagian dari sistem keadilan internasional. Dan Koalisi, bersama kelompok masyarakat sipil lainnya akan terus mengawal dan mendampingi proses yang sedang dilakukan oleh pemerintah. Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Ratifikasi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional International Criminal Court Disusun Oleh: Elsam-Imparsial-IKOHI-PSHK-YLBHI 149

BAB I Latar Belakang Masalah

A. Latar Belakang Pendirian Mahkamah Pidana In- ternasional MPI Empat Pengadilan Pidana Ad Hoc Internasional telah dibentuk selama abad ke-20 yakni; International Military at Nuremberg, Tokyo Tribunal, International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia ICTY, dan International Crimminal Tribunal for Rwanda ICTR. Kelebihan dan kekurangan dari keempat Mahkamah ini secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pendirian dari Mahkamah Pidana Internasional International Criminal Court yang selanjutnya disebut sebagai MPI. Khususnya dalam Draf International Law Commission ILC tahun 1994 tentang MPI, mendapat pengaruh yang sangat besar dari Statuta ICTY. 1 Di bawah 1 Report of the ILC on the Work of Its 46 th Sess, UN GAOR, 49 th Sess, Supp No. 10A4910. Diambil dari Kriangsak Kittichaisaree, International Criminal Law, Oxford University Press, January, 2001, p. 27. 150 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia ini akan diuraikan secara singkat mengenai Mahkamah- mahkamah Pidana Ad hoc tersebut dan berbagai kritikan- kritikan masyarakat internasional yang mewarnai kinerja keempat mahkamah ad hoc tersebut yang pada akhirnya bermuara pada pendirian MPI. Mahkamah Militer Internasional di Nuremberg adalah sebuah pengadilan yang dibentuk oleh empat Negara pemenang perang setelah Perang Dunia II untuk mengadili warganegara Jerman. Empat Negara tersebut adalah Inggris, Perancis, Uni Soviet dan AS yang bertindak atas nama “semua negara”. Mahkamah ini telah mengadili 24 terdakwa penjahat perang Nazi di mana 3 terdakwa dibebaskan, 12 dihukum mati, 3 dipenjara seumur hidup dan 4 dihukum penjara. 2 Namun, tidak semua pelaku kejahatan yang merupakan pemimpin Nazi tersebut dihadapkan ke pengadilan, bahkan kebebasan dari penghukuman yang mereka terima nampak sebagai suatu balas jasa atas apa yang telah mereka lakukan dan mereka mendapat pengampunan atas kejahatan mereka tersebut. 3 Mahkamah, yang dibentuk berdasarkan perjanjian London tanggal 8 Agustus 1945 ini, juga dikritik sebagai Mahkamah bagi pemenang perang victor’s justice karena semua jaksa dan hakim berasal dari kekuatan sekutu, bukan dari Negara yang netral. Semua terdakwa dan pembelanya berasal dari Jerman, dan mereka mendapat fasilitas yang sangat terbatas dalam mempersiapkan kasus-kasus mereka serta mendapatkan pemberitahuan mengenai bukti-bukti penuntutan. 4 Sehingga jelas Mahkamah ini bukanlah Mahkamah yang imparsial. 2 Kriangsak…ibid, p.18 3 Geofrey Robertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan : Perjuangan Untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia2002, p. 252. 4 Ibid, p.271 151 Lampiran Terlepas dari segala kekurangan dan kegagalannya, Mahkamah Nuremberg sangat berarti bagi penegakkan hak asasi manusia internasional karena telah meletakan prinsip- prinsip dasar pertanggungjawaban pidana secara individu yang tertuang dalam Nuremberg Principle. Selain itu, definsi kejahatan terhadap kemanusiaan yang diatur dalam Pasal 6c Piagam Nuremberg, belum pernah ditemukan dalam Konvensi-konvensi sebelumnya. Mahkamah ini juga secara tegas menolak prinsip ‘impunitas kedaulatan negara’ seperti yang tertuang dalam pasal 7 Piagam Nuremberg. Mahkamah Internasional Timur Jauh, atau dikenal dengan Mahkamah Tokyo, juga merupakan mahkamah yang didirikan sekutu berdasarkan deklarasi Mc Arthur untuk mengadili penjahat perang. Julukan Victors Justice juga melekat dalam Mahkamah ini karena: Jepang tidak diijinkan untuk membawa AS ke hadapan Mahkamah Tokyo atas tindakan pemboman Hiroshima dan Nagasaki yang dilakukan AS, dan Jepang juga tidak diijinkan untuk mengadili Uni Soviet atas pelanggarannya terhadap perjanjian kenetralan tanggal 13 April 1941. 5 Selain itu praktek impunitas juga sangat jelas terjadi dalam Mahkamah ini ketika Amerika Serikat memutuskan untuk tidak membawa Kaisar Hirohito ke meja pengadilan, tapi justru melanggengkan kedudukannya dalam Kekaisaran Jepang. 6 Hal ini sangat bertolak belakang mengingat sumbangan yang paling besar dari Pengadilan ini adalah konsep “pertanggungjawaban komando” ketika mengadili Jenderal Tomoyuki Yamashita teori ini kemudian menjadi dasar penuntutan di ICTY atas kasus Mladic dan Karadzic. Impunitas lain yang dipraktekan dalam pengadilan ini adalah 5 Lihat. Y Onuma, “The Tokyo Trial : Between Law and Politics, in C.Hosoya.N.Ando, Y.Onuma and R Minear eds, The Tokyo War Crimes Trial : An Internasional Symposium Kodansha, 1986, p.45. Diambil dari Kriangsak…Op.cit,p. 19 6 Geofrey Robertson…Op.Cit, p. 252 152 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia tidak diadilinya para industrialis Jepang yang menjajakan perang serta pemimpin-pemimpin nasionalis yang senang kekerasan. Hampir setengah abad setelah Perang Dunia berakhir, masyarakat internasional kembali dikejutkan dengan praktek pembersihan etnis yang lagi-lagi terjadi di Eropa yakni di Negara bekas Yugoslavia. Konflik di Bosnia-Herzegovina, sejak April 1992 dan berakhir bulan November 1995, merupakan praktek pembersihan etnis yang kekejamannya sudah mencapai tingkat yang tidak pernah dialami Eropa sejak Perang Dunia II. Kamp-kamp konsentrasi, perkosaan yang sistematis, pembunuhan besar-besaran, penyiksaan, dan pemindahan penduduk sipil secara massal adalah bukti-bukti yang tidak dapat diingkari yang akhirnya mendorong Dewan Keamanan PBB untuk mendirikan International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia ICTY berdasarkan Resolusi 808 tanggal 22 February 1993, dengan pertimbangan bahwa sudah meluasnya tindakan pelanggaran terhadap hukum humaniter termasuk praktek pembersihan etnis sehingga sangat mengancam perdamaian dan keamanan internasional. 7 Berbagai kritikan kembali muncul seiring terbentuknya ICTY ini, banyak kalangan yang menganggap bahwa mahkamah ini hanyalah kebetulan belaka mengingat berbagai kegagalan diplomasi dan sanksi serta penolakan PBB untuk mengorbankan tentara keamanannya melalui intervensi bersenjata membuat mahkamah terhadap penjahat perang sebagai alat satu-satunya untuk menyelamatkan muka PBB. 8 7 Florence Hartman, Bosnia , diambil dari Roy Gutman and David Rief, Crimes of War : What Public Shuld Know, W.W Norton Company, New York-London, 1999, p. 53. 8 Geofrey Robertson, …Op.Cit, p. 352-353. 153 Lampiran Walaupun mahkamah ini bukan lagi merupakan keadilan pemenang perang namun justru dikenal sebagai keadilan yang selektif selective justice karena hanya mendirikan Mahkamah untuk mengadili kejahatan yang dilakukan di Negara-negara tertentu, serta Mahkamah ini juga jelas berdasarkan pada anti-Serbian bias. 9 Selain itu, Mahkamah ini juga tidak mengadili angkatan bersenjata NATO yang ikut melakukan pemboman di Negara bekas Yugoslavia. Padahal, sangatlah jelas serangan udara yang dilakukan NATO terhadap Kosovo seharusnya menuntut pertanggungjawaban para pemimpin NATO atas pilihan target pemboman yang mereka lakukan karena jelas merupakan pelanggaran terhadap hukum perang. 10 Kritikan yang sama mengenai “selective justice” juga ditujukan kepada PBB ketika Dewan Keamanannya mendirikan International Criminal Tribunal for Rwanda ICTR berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan 955 tanggal 8 November 1994 di kota Arusha, Tanzania. Pengadilan ini didirikan untuk merespon terjadinya praktek genosida, serta kejahatan terhadap kemanusiaan yang sudah meluas yang terjadi di Rwanda. 11 Banyak kalangan menilai, ICTY dan ICTR ini hanyalah Mahkamah Internasional yang didirikan dengan alasan yang sangat politis, dan berdasarkan prinsip yang abstrak dan tidak jelas. Bagaimana dengan penyiksaan yang terjadi di Beijing terhadap anggota Falun Gong hingga meninggal dan menjual organ-organ vital mereka? 9 Antonio Cassese, International Criminal Law, Oxford University Press, 2003, p. 337. 10 Professor Jeremy Rabkin, The UN Criminal Tribunal for Yugoslavia and Rwanda : International Justice or Show of Justice?, diambil dari William Driscoll, Joseph Zompetti and Suzette W. Zompetti, The International Criminal Court: Global Politcs and The Quest for Justice, The International Debate Education Association, New York, 2004, p. 131. 11 Kriangsak Kittichaisaree, Op.Cit,p. 24. 154 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia Bagaimana dengan pembunuhan besar-besaran di Shabra dan Shatila terhadap wanita dan anak-anak Palestina? Akankah pelaku kejahatan-kejahatan tersebut juga dibawa ke Mahkamah seperti halnya Mahkamah untuk Yugoslavia dan Rwanda? Akankah PBB memiliki keberanian untuk itu? Selective Justice adalah keadilan yang ditunda dan itu sama saja dengan victors justice. 12 Berbagai kekurangan dan kegagalan dari mahkamah-mahkamah internasional di atas akhirnya menggerakkan PBB untuk melaksanakan konferensi pada tahun 1998 untuk mendirikan suatu Mahkamah Pidana yang permanen yang diharapkan dapat menyempurnakan berbagai kelemahan dari Mahkamah Internasional sebelumnya. Aspirasi untuk mendirikan MPI telah muncul di era 1980-an melalui proposal yang diajukan Negara-negara Amerika Latin yang diketuai oleh Trinidad dan Tobago kepada Majelis Umum PBB. 13 Selanjutnya, setelah pendirian ICTY dan ICTR, Majelis Umum PBB mendirikan Komite yang bernama Komite Persiapan untuk pendirian MPI Preparatory Committee for The Establishment of an International Criminal Court, yang telah bertemu enam kali sejak 1996- 1998 untuk mempersiapkan teks Konvensi sebagai dasar MPI. 14 Puncak dari proses yang panjang tersebut adalah disahkannya Statuta MPI dalam Konferensi di Roma tanggal 17 Juli 1998 sehingga Statuta tersebut akhirnya 12 Taki, Unpopular Truht: Selective Justice, from “Slobodamnation”, New York Press, Volume 14, issued 28. This Article was found at http : www.issues- views.com. 13 Surat tanggal 21 Agustus 1989 dari Perwakilan Permanen Trinidad dan Tobago kepada Sekretaris Jenderal PBB, UNGAOR, 47 th Sess, Annex 44, Agenda item 152, Un.Doc.A44195 1989, diambil dari Kriangsak Kittichasairee, … Op.Cit,p. 27. 14 Kriangsak Kittichasairee, ibid,p. 28. 155 Lampiran dikenal dengan nama Statuta Roma. Seperti yang tertuang dalam Mukadimah dari Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional, bahwa Mahkamah ini bertujuan untuk mewujudkan keadilan yang global Global Justice, memutuskan rantai kekebalan hukum impunity bagi para pelaku kejahatan, serta mengefektifkan kinerja mekanisme hukum nasional dalam menghukum pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan genosida. B. Pendirian Mahkamah Pidana Internasional Inter- national Criminal Court MPI didirikan berdasarkan Statuta Roma tanggal 17 Juli 1998, ketika 120 negara berpartisipasi dalam “United Nations Diplomatic Conference on Plenipotentiaries on the Establishment of an International Criminal Court” telah mesahkan Statuta Roma tersebut. 15 Dalam pengesahan Statuta Roma tersebut, 21 negara abstain, dan 7 negara menentang termasuk Amerika Serikat, Cina, Israel, dan India 16 . Kurang dari empat tahun sejak Konferensi diselenggarakan, Statuta yang merupakan dasar pendirian Mahkamah bagi kejahatan yang paling serius yakni genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang serta kejahatan agresi ini, sudah berlaku efektif sejak 1 Juli 2002 yakni setelah 60 negara meratifikasinya. Ini adalah waktu yang sangat cepat jika dibandingkan dengan perjanjian multilateral lain dan jauh lebih cepat dari waktu yang diharapkan oleh masyaratakat internasional. Hingga saat ini telah ada 108 negara peratifikasi Statuta Roma 17 . 15 William Driscoll, Joseph Zompetti and Suzette W. Zompetti, The International Criminal Court: Global Politcs and The Quest for Justice, The International Debate Education Association, New York, 2004,p.30 16 ibid, p. 131. 17 Berdasarkan data tanggal 28 Juli 2008 dari www.iccnow.org. 156 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia Mahkamah Pidana Internasional MPI sendiri secara resmi dibuka di Den Haag tanggal 11 Maret 1998 dalam sebuah upacara khusus yang dihadiri oleh Ratu Beatrix dari Belanda serta Sekretaris Jendral PBB Kofi Annan. 18 Berbeda dengan mahkamah internasional sebelumnya yang sifatnya ad hoc, Mahkamah ini merupakan pengadilan yang permanen Pasal 31 Statuta Roma. Mahkamah ini hanya berlaku bagi kejahatan yang terjadi setelah Statuta Roma berlaku Pasal 24 Statuta Roma. Mahkamah ini merupakan mahkamah yang independent dan bukan merupakan organ dari PBB, karena dibentuk berdasarkan perjanjian multilateral. Namun antara Mahkamah dengan PBB tetap memiliki hubungan formal Pasal 2 Statuta Roma. Pasal 13b serta Pasal 16 Statuta Roma juga menjelaskan mengenai tugas yang cukup signifikan dari Dewan Keamanan PBB yang berhubungan dengan pelaksanaan yurisdiksi Mahkamah yakni Dewan Keamanan PBB memiliki wewenang untuk memulai atau menunda dilakukannya investigasi berdasarkan bab VII Piagam PBB. Mahkamah ini juga hanya boleh mengadili para pelaku di atas usia 18 tahun. Yurisdiksi MPI terbagi empat : a. territorial jurisdiction rationae loci: bahwa yurisdiksi MPI hanya berlaku dalam wilayah negara pihak, yurisdiksi juga diperluas bagi kapal atau pesawat terbang yang terdaftar di Negara pihak, dan dalam wilayah bukan negara pihak yang mengakui yurisdiksi MPI berdasarkan deklarasi ad hoc. Pasal 12 Statuta Roma 18 Hans Peter Kaul, Developments at The International Criminal Court : Construction Site for More Justice: The ICC After Two Years, April 2005, p. 170. 157 Lampiran b. material jurisdiction rationae materiae: bahwa kejahatan yang menjadi yurisdiksi MPI terdiri dari kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, genosida dan kejahatan agresi Pasal 5-8 Statuta Roma c. temporal jurisdiction rationae temporis: bahwa MPI baru memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang diatur dalam Statuta setelah Statuta Roma berlaku yakni 1 Juli 2002. Pasal 11 Statuta Roma d. personal jurisdiction rationae personae: bahwa MPI memiliki yurisdiksi atas orang natural person, dimana pelaku kejahatan dalam yurisdiksi MPI harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara individu individual criminal responsibility, termasuk pejabat pemerintahan, komandan baik militer maupun sipil. Pasal 25 Statuta Roma. Selanjutnya, dalam hal penerapan dari keempat yurisdiksi MPI diatas pada suatu Negara, terdapat prinsip yang paling fundamental yakni MPI “harus merupakan komplementer pelengkap dari yurisdiksi pidana nasional suatu Negara” complementarity principle. Hal ini secara eksplisit dijelaskan dalam paragraph 10 Mukadimah Statuta Roma serta dalam Pasal 1 Statuta Roma. Penjelasan lebih lanjut mengenai prinsip ini akan diuraikan secara lengkap dalam Bab II. Namun pada intinya prinsip komplementer complementarity principle ini menegaskan bahwa fungsi MPI bukanlah untuk menggantikan fungsi sistem hukum nasional suatu Negara, namun MPI merupakan mekanisme pelengkap bagi Negara ketika Negara tidak mau unwilling atau tidak mampu unable untuk menghukum pelaku kejahatan yang merupakan yurisdiksi MPI. 158 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia Kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional secara keseluruhan tidak boleh dibiarkan tak dihukum dan bahwa penuntutan terhadap pelaku kejahatan tersebut secara efektif harus dijamin dengan mengambil langkah-langkah di tingkat nasional dan dengan memajukan kerja sama internasional. Sehingga pada akhirnya kejahatan-kejahatan seperti itu dapat dicegah dan tidak akan terulang di kemudian hari. Karena pada hakikatnya, keadilan yang tertunda akan meniadakan keadilan itu sendiri justice delayed can be justice denied 19 . C. Indonesia dan Mahkamah Pidana Internasional Pengalaman penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM dimasa lalu harus menjadi pelajaran berharga bagaimana Indonesia di masa depan seharusnya bersikap. MPI sebagai sebuah pengadilan yang diakui secara internasional yang bekerja dengan menggunakan standar, rasa keadilan dan hukum internasional pastinya menjadi jaminan penyelesaian kasus serupa di masa yang akan datang, meniadakan praktek impunitas. Berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia HAM yang terjadi di Indonesia menunjukan lemahnya upaya penyelesaian kasus-kasus tersebut. Praktek Pengadilan HAM baik yang Ad Hoc untuk kasus Tanjung Priok maupun permanen untuk kasus Abepura yang diadili melalui Pengadilan HAM Makassar terbukti sulit untuk menjangkau dan menghukum orang yang paling bertanggung jawab dalam kasus tersebut. Tidak terselesaikannya berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara memadai menunjukan bahwa ada masalah dalam mekanisme penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang saat 19 Geofrey Robertson, …Op.Cit,p. 254. 159 Lampiran ini dimiliki oleh Indonesia baik itu terkait sistem hukum maupun kapasitas aparat penegak hukumnya. Ketidakberhasilan pengadilan HAM ini, selain bebasnya para terdakwa, juga tidak mampu memenuhi hak- hak korban pelanggaran HAM yang berat. Hak-hak korban yang meliputi hak atas kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sampai saat ini tidak satupun yang diterima oleh korban. Padahal para korban pelanggaran HAM yang berat berhak mendapat kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Studi dan pengkajian yang dilakukan oleh berbagai pihak menunjukkan bahwa kelemahan proses peradilan HAM terjadi dalam tahap mulai dari penyelidikan sampai dengan pemeriksaan di pengadilan. Persoalan ketidakcukupan regulasi menjadi salah satu faktor yang mendorong kegagalan pengadilan. Faktor lainnya yang memperlemah pengadilan HAM adalah kapasitas para penegak hukumnya baik mulai tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan tidak terkecuali para hakim yang mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat ini. Kebutuhan terhadap mekanisme yang tepat dalam menyelesaikan pelbagai kejahatan hak asasi manusia berat juga menjadi isu di dunia internasional yang kemudian berujung pada lahirnya Mahkamah Pidana Internasional International Criminal Court pada 17 Juli 1998. Dengan demikian Indonesia memiliki kesamaan dengan masyarakat internasional dalam hal kebutuhan akan mekanisme yang tepat dan efektif untuk menyelesaikan kasus-kasus kejahatan paling serius dan memberikan keadilan pada korban. 161 Lampiran

BAB II Kebutuhan Indonesia untuk

Meratifikasi Statuta Roma Indonesia hingga saat ini belum meratifikasi Statuta Roma walaupun “sebagian” kejahatan yang merupakan yurisdiksi dari Statuta ini sudah diadopsi oleh Undang- Undang No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hanya saja ada banyak kritik terhadap bagaimana UU tersebut telah salah mengadopsi dan bahkan tidak mengambil beberapa ketentuan dalam Statuta Roma. Hal-hal penting yang tidak terambil seperti misalnya tidak masuknya kejahatan perang, perlindungan saksi yang tidak maksimal, dan hukum acaranya yang masih menggunakan hukum acara KUHP. Ketidaklengkapan aturan ini sangat berkontribusi terhadao bolong besar dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Berangkat dari kenyataan bahwa Indonesia masih banyak menemukan kendala dalam hal penegakkan hukum khususnya Hukum HAM, uraian di bawah ini akan menjelaskan betapa ternyata Indonesia sangat memerlukan 162 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia ratifikasi Statuta Roma ini sebagai sarana pendorong untuk membenahi berbagai kelemahan dan kekurangan dari segi instrumen hukum, aparat penegak hukum, serta prosedur penegakkan hukumnya sehingga Indonesia dapat benar- benar mampu memberikan jaminan perlindungan HAM bagi warganegaranya.

a. Menghapus Berbagai Praktek Impunity

Salah satu tujuan didirikannya MPI adalah untuk menghapuskan praktek impunitas impunity. Pasal 28 Statuta Roma secara rinci mengatur bahwa seorang atasan baik militer maupun sipil, harus bertanggungjawab secara pidana ketika terjadi kejahatan dalam yurisdiksi MPI yang dilakukan oleh anak buahnya. Aturan yang telah ada sejak Piagam Nuremberg, Tokyo, Konvensi Jenewa 1949, ICTY, ICTR dan kemudian disempurnakan dalam Pasal 28 Statuta Roma, memiliki tujuan untuk dapat menghukum “the most responsible person” walaupun orang tersebut memiliki posisi sebagai pemegang kekuasaan yang seringkali sulit terjangkau hukum. Pasal 28 Statuta Roma telah diadopsi dalam pasal 42 Undang-Undang 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, namun terdapat banyak kesalahan penterjemahan yang justru menjadi celah bebasnya para atasankomandan tersebut. 20 Secara umum impunitas dipahami sebagai “tindakan yang mengabaikan tindakan hukum terhadap pelanggaran hak asasi manusia” atau dalam kepustakaan umum diartikan sebagai “absence of punishment”. Dalam perkembangannya istilah impunity digunakan hampir secara ekslusif dalam konteks hukum, untuk menandakan suatu 20 Uraian rinci tentang kesalahan penterjemahan pasal 42 tersebut dapat dilihat dalam Bab I Sub Bab ii. Mengatasi kelemahan sistem hukum di Indonesia tentang Undang-undang 262000, p.13-14. 163 Lampiran proses di mana sejumlah individu luput dari berbagai bentuk penghukuman terhadap berbagai tindakan illegal maupun kriminal yang pernah mereka lakukan. 21 Praktek impunitas ini telah terjadi sejak berabad yang lalu diantaranya adalah gagalnya Negara-negara Eropa untuk mengadili Raja Wilhelm II sebagaimana yang direkomendasikan oleh Perjanjian Versailles, tidak diadilinya Kaisar Hirohito oleh Mahkamah Tokyo atas keputusan AS, berbagai pengadilan pura-pura yang mengadili serdadu-serdadu rendah dengan hukuman yang ringan dan melawan hari nurani keadilan masyarakat. 22 Praktek ini menunjukan bahwa setiap Negara selalu memiliki kecenderungan untuk melindungi pelaku kejahatan yang merupakan warganegaranya sendiri apalagi apabila pelaku tersebut merupakan orang yang memegang kekuasaan di Negara tersebut. Fenomena ini menunjukan betapa kepentingan politik dan ekonomi jangka pendek masih dominan ketimbang penegakkan HAM dan keadilan. Bagaimana impunity dalam konteks Indonesia, terutama setelah jatuhnya rezim Soeharto? Peralihan kekuasaan Soeharto ke Habibie menyisakan sejumlah catatan penting dalam penegakan HAM di Indonesia. Meskipun Peradilan Militer dibentuk di masa Habibie untuk mengadili sejumlah petinggi dan anggota Kopassus yang tergabung dalam Tim Mawar, atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan penculikan orang secara paksa, tetapi tidak pernah ada penjelasan mengenai siapa yang harus bertanggung jawab atas korban-korban penghilangan paksa yang belum kembali hingga saat ini. Peradilan ini lebih kepada kompromi politik elit-elit politik dan militer, untuk tidak menjatuhkan 21 Genevieve Jacques, Beyond Impunity: An Ecumenical Approach to Truth, Justice and Reconciliation, Geneva: WWC Publication, 2000, p.1 . 22 Abdul Hakim G Nusantara, Sebuah Upaya Memutus Impunitas : Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat HAM, Jurnal HAM Komisi Nasional HAM Vol.2 No.2, November 2004, p.v 164 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia hukuman yang dinilai mampu mengakibatkan keguncangan dalam tubuh militer. Sekaligus mencoba untuk berkompromi dengan korban-korban yang sudah dilepaskan. Yang pasti peradilam militer kasus penculikan tersebut gagal untuk memenuhi prinsip-prinsip keadilan. 23

b. Mengatasi Kelemahan Sistem Hukum Indonesia

Meratifikasi Statuta Roma serta memasukkan kejahatan internasional serta prinsip-prinsip umum hukum pidana internasional ke dalam sistem hukum pidana nasional, akan meningkatkan kemampuan negara untuk mengadili sendiri para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan serta kejahatan perang. Bahkan negara secara efektif akan menghalangi dan mencegah terjadinya kejahatan yang paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional tersebut. Dengan melaksanakan kewajibannya untuk mengadili pelaku kejahatan internasional yang paling serius tersebut, negara secara langsung akan memberikan kontribusi terhadap keamanan, stabilitas, kedamaian nasional, regional, bahkan internasional. 24 Sebagai bagian dari masyarakat internasional yang juga ingin berperan aktif dalam perdamaian dunia, serta menyadari begitu banyaknya kelemahan dalam sistem hukumnya seringkali membuat Indonesia sulit untuk memenuhi kewajibannya dalam menghukum pelaku kejahatan internasional. Indonesia harus melakukan begitu 23 Daniel Hutagalung, Negara dan Pelanggaran Masa Lalu : Tuntutan Pertanggungjawaban Versus Impunitas diambil dari Dignitas : Jurnal HAM ELSAM, Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri, Volume No.1, 2005, p. 230- 231. 24 Michael Cottier, The Ratiication of the Rome Statute and the Adoption of Legislation Providing Domestic Jurisdiction over International Crimes, makalah disampaikan dalam acara : accra conference on “ domestic implementation of the rome statute of the international criminal court ”, 21 - 23 f ebruary 2001. 165 Lampiran banyak pembenahan khususnya dalam hal instrumen hukum serta sumber daya manusianya. Fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini adalah terlalu banyaknya Undang-Undang yang antara satu dan lainnya saling bertentangan sehingga dalam hal kepastian hukum seringkali membingungkan. Tidak hanya di tingkat Undang-Undang, namun juga di tingkat aturan pelaksanaannya seperti Peraturan Daerah. Selain itu, sistem hukum Indonesia khususnya dalam mengasorbsi hukum internasional ke dalam hukum nasional Indonesia masih sangat tidak jelas. Praktek di Indonesia menunjukan bahwa setelah meratifikasi suatu konvensi Internasional baik dalam bentuk Undang-undang maupun Keppres maka harus segera disertai dengan aturan pelaksanaan implementing legislation yang memuat lembaga pelaksana dan sanksi pidana efektif suatu kejahatan tertentu sehingga konvensi itu bisa benar-benar berlaku efektif terhadap warga negaranya. 25 Padahal berdasarkan Pasal 72 Undang-Undang 39 tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa “ketentuan hukum internasional yang telah diterima Negara Republik Indonesia yang menyangkut Hak Asasi Manusia menjadi hukum nasional”. Sementara itu, banyak aparat penegak hukum yang tidak memahami aturan hukum internasional dan berbagai praktek internasional yang terjadi, bahkan banyak diantara mereka cenderung tidak memiliki keberanian untuk melakukan terobosan dengan mendasarkan suatu kejahatan yang terjadi dengan praktek internasional. Sehingga, sangat jarang ditemukan suatu putusan pengadilan di Indonesia 25 Misalnya dalam hal kejahatan perang. Sejak tahun 1958 melalui Undang-Undang No.59 tahun 1958, Indonesia telah meratiikasi Konvensi Jenewa 1949. Namun hingga saat ini Konvensi tersebut tidak dapat berlaku efektif karena tidak adanya aturan pelaksanaan yang memuat sanksi pidana efektif dari kejahatan perang tersebut. 166 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia yang mendasarkan pada kasus-kasus internasional atau hukum kebiasaan internasional. Di bawah ini akan diuraikan beberapa kelemahan sistem hukum Indonesia sehingga ratifikasi Statuta Roma sangat dibutuhkan untuk membenahinya, yaitu :

a. Instrumen hukum

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP: Banyak aturan dalam KUHP yang sudah tidak lagi relevan dan memadai untuk mengakomodir jenis-jenis kejahatan yang sudah semakin berkembang. Khususnya dalam hal penegakan hukum HAM, beberapa jenis kejahatan seperti pembunuhan, perampasan kemerdakaan, perkosaan, penganiayaan adalah jenis kejahatan yang diatur dalam KUHP. Namun jenis kejahatan tersebut adalah jenis kejahatan yang biasa ordinary crimes yang jika dibandingkan dengan pelanggaran HAM yang berat atau kejahatan- kejahatan dalam yurisdiksi MPI harus memenuhi unsur atau karateristik tertentu. Perumusan yang berbeda ini tidak mungkin menyamakan perlakuan dalam menyelesaikan masalahnya, artinya KUHP tidak dapat untuk menjerat secara efektif pelaku pelanggaran HAM yang berat. 26 2. Hukum Acara: Dalam pasal 10 Undang-Undang 262000 dijelaskan bahwa ketika terjadi pelanggaran HAM yang berat maka hukum acara yang digunakan adalah Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP. Tentu saja hal ini 26 Agung Yudhawiranata, Pengadilan HAM di Indonesia : Prosedur dan Praktek, p. 1. 167 Lampiran tidak lah memadai mengingat jenis-jenis kejahatan yang diatur dalam undang-undang ini adalah extra ordinary crimes sehingga banyak hal yang baru yang tidak diatur dalam KUHAP. Sebagian dari hal-hal baru tersebut telah diatur dalam Undang-Undang 262000 yakni mengenai 27 : a Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut ad hoc, dan hakim ad hoc b Penyelidik hanya dilakukan oleh KOMNAS HAM sedangkan penyidik tidak diperkenankan menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam KUHAP c Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan. d Ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi Namun terdapat aturan khusus lain yang tidak diatur baik dalam KUHAP maupun Undang- Undang 262000 sehingga sangat diperlukan hukum acara dan pembuktian yang khusus seperti bentuk rules of procedure and evident dari Statuta Roma sebagai dasar hukumnya. Hal-hal yang tidak diatur baik dalam KUHAP maupun dalam Undang-Undang 262000 diantaranya adalah dasar hukum sub poena power yang dimiliki penyelidik dalam hal ini KOMNAS HAM. 27 ibid, p. 7. 168 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia 3. Undang-Undang 262000 tentang Pengadilan HAM: Undang-undang 262000 tentang Pengadilan HAM dibentuk untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat. Yurisdiksi Pengadilan ini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Walaupun undang-undang ini dikatakan sebagai pengadopsian dari Statuta Roma namun terdapat banyak kelemahan entah disengaja atau tidak yang akhirnya sangat berpengaruh terhadap penegakan hukum bagi pelanggaran HAM yang berat di Indonesia. Misalnya Undang-Undang 262000 hanya mencantumkan kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida sebagai yurisdiksinya sementara kejahatan perang yang juga merupakan yurisdiksi Statuta Roma tidak dicantumkan dalam Undang-Undang ini. Akibatnya, ketika terjadi kejahatan perang di Indonesia maka belum ada Undang-undang yang mengatur mengenai sanksi pidana yang efektif bagi kejahatan ini. Berbagai kesalahan penterjemahan juga banyak ditemukan dalam pasal-pasal di undang-undang ini. Misalnya dalam pasal 9 mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan 28 , terdapat kata-kata “serangan tersebut ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil” sementara dalam teks asli Statuta Roma “directed against civilian population” yang artinya “ditujukan kepada penduduk sipil”. Penambahan kata “secara langsung” di sini dapat berakibat sulitnya menjangkau para pelaku yang bukan pelaku lapangan. Para pelaku di tingkat 28 Pasal 9 UU 262000 : “Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :…” 169 Lampiran pemberi kebijakan sulit terjangkau berdasarkan pasal ini. Dalam Pasal 42 1 mengenai pertanggungjawaban komando bagi komandan militer 29 terdapat kata- kata “dapat bertanggungjawab”. Sementara dalam teks asli Statuta Roma kata yang digunakan adalah “shall be criminally responsible” lihat Pasal 28 Statuta Roma yang berarti “harus bertanggung jawab secara pidana”. Penggantian kata “harus” dengan “dapat” diartikan bahwa komandan tidak selalu harus bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan bawahannya. Dan penghilangan kata “pidana” diartikan bahwa komandan tidak harus bertanggung jawab secara pidana tetapi tanggungjawab administratif saja sudah cukup. Sehingga tidak lah mengherankan jika banyak para komandan militer terbebas dari jeratan hukum dalam Pengadilan HAM baik Ad Hoc maupun permanen di Indonesia. Anehnya lagi, kata-kata “dapat bertanggungjawab” tidak ditemukan dalam ayat 2 yang berlaku bagi atasan sipil. Hal ini menunujukan adanya inkonsistensi penerjemahan dalam Undang-Undang ini. Dalam Statuta Roma terdapat penjelasan mengenai unsur-unsur kejahatan yang menjadi yurisdiksinya 29 Pasal 42 UU 262000: 1 komandan militer atau seseorang yg secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam jurisdiksi ... 2 seseorang atasan, baik polisi maupun sipil, bertanggungjawab secara pidana terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni : ...” 170 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia yaitu unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida dan kejahatan perang, serta unsur dari pertanggungjawaban komando. Penjelasan mengenai unsur-unsur ini dapat memudahkan aparat penegak hukum ketika menafsirkan kejahatan ini dalam proses pembuktian, penuntutan maupun sebagai pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan. Dalam Undang-undang 262000 tidak ada penjelasan mengenai unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan maupun genosida, baik dalam penjelasan undang-undang maupun terpisah dalam bentuk buku pedoman lain. Hal ini tentu saja seringkali menyulitkan aparat penegak hukum dalam berproses di Pengadilan. Ketidakjelasan uraian yang menunjukan delik kejahatan yang diatur dalam Undang-undang 262000 khususnya unsur kejahatan terhadap kemanusiaan mengakibatkan hakim seringkali memberikan penafsiran yang berbeda dalam putusannya karena rujukan yang digunakan pun berbeda-beda. Terlepas dari begitu banyaknya kelemahan dalam Undang-Undang 262000 namun Undang- undang ini juga banyak melakukan terobosan misalnya dalam hal alat bukti, praktek Pengadilan HAM Ad Hoc untu Timor-Timur membuktikan dimungkinkannya digunakan alat bukti lain diluar yang diatur dalam KUHAP 30 seperti rekaman baik dalam bentuk film atau kaset, siaran pers, wawancara korban, wawancara pelaku, kondisi keadaan tempat kejadian, kliping, Koran, artikel lepas, dll. 31 30 Alat bukti menurut Pasal 184 KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. 31 Progress report pemantauan pengadilan HAM Ad Hoc ELSAM ke X tanggal 28 171 Lampiran

b. Sumber Daya Manusia

Dengan meratifikasi Statuta Roma, akan banyak sekali manfaat bagi Indonesia sebagai Negara Pihak, khususnya dalam hal meningkatkan kapasitas sumber daya manusia. Dengan menjadi Negara Pihak MPI maka secara otomatis Indonesia menjadi anggota dari Majelis Negara Pihak Assembly of States Parties yang memiliki fungsi sangat penting dalam MPI 32 . Majelis Negara Pihak ini kurang lebih sama dengan fungsi dari Majelis Umum dalam Badan PBB. Fungsi penting dari Majelis Negara Pihak diantaranya adalah dapat ikut serta melakukan pemilihan terhadap semua posisi hukum di MPI. Posisi tersebut diantaranya adalah posisi hakim dan penuntut umum. 33 Tujuh bulan setelah Statuta Roma berlaku, yakni tanggal 7 Februari 2003, tujuh wanita dan sebelas laki-laki dari lima kawasan berbeda di dunia telah dipilih oleh Majelis Negara Pihak sebagai delapan belas hakim MPI pertama 34 . Selain itu, pada bulan Maret, Luis Moreno-Ocampo Argentina juga telah dipilh oleh Majelis Negara Pihak untuk Januari 2003, diambil dari makalah Agung Yudhawiranata, Pengadilan HAM di Indonesia : Prosedur dan Praktek. 32 Berbagai keuntungan menjadi anggota dari Assembly of State Parties diantaranya adalah setiap Negara pihak memiliki perwakilan di Assembly, mereka memiliki suara dan setiap masalah susbstansi di ICC harus disetujui oleh 23 suara anggota yang hadir. lebih lengkap mengenai Assembly of State Parties dapat dilihat dalam Pasal 112 Statuta Roma. 33 International Centre for Criminal Law Reform and Criminal Justice Policy ICCLR, Update on the International Criminal Court, Vancouver, Canada, 2002,p.5 34 Hans Peter Kaul, Developments at The International Criminal Court : Construction Site for More Justice: The ICC After Two Years, April 2005,p. 370.