Pengesahan; Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

52 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia penyesuaian dengan hukum Indonesia lewat ketentuan pelaksananya. Penyesuaian tersebut dapat dilakukan dengan cara membuat atau mengubah hukum positif yang berlaku. Pekerjaan harmonisasi dan sinkronisasi bukan pekerjaan gampang. Butuh kajian mendalam dan komprehensif karena memiliki akibat hukum yang luar biasa jika harmonisasi dan sinkronisasi tidak maksimal. Kekosongan hukum, tabrakan nilai dan silang kewenangan akan menimbulkan chaos di masyarakat. Mirisnya, harmonisasi dan sinkronisasi terkait ratifikasi perjanjian internasional sangat lambat akibatnya ratifikasi hanya sebatas formalitas saja tanpa makna dan dampak langsung ke masyarakat. Jika harmonisasi dan sinkronisasi sudah dilakukan maka dapat terlihat apakah perlu dibuat aturan pelaksana baru atau perubahan terhadap peraturan yang sudah ada. Badan Pembinaan Hukum Nasional pernah mengeluarkan sebuah buku mengenai metode harmonisasi dan sinkronisasi yang menjadi panduan bagi BPHN dalam melakukan setiap kajian harmonisasi dan sinkronisasi. Menurut panduan tersebut harmonisasi dalam hukum adalah mencakup penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan hakim, sistem hukum dan asas-asas hukum dengan tujuan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan dan kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum, tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralism hukum kalau memang dibutuhkan. Panduan ini sudah memasukan ratifikasi perjanjian internasional sebagai salah satu kemungkinan terjadinya disharmoni peraturan perundang-undangan karenanya perlu dilakukan harmonisasi. 53 Pengesahan Statuta Roma dan Harmonisasi Hukum Nasional Harmonisasi adalah suatu proses upaya menuju harmoni. Tujuan yang disebut harmoni ini merupakan pengertian abstrak yang sulit untuk dirumuskan. Akan tetapi mudah jika kita berpangkal tolak dari pengertian disharmoni, yaitu alasan mengapa diperlukan dan diupayakan harmonisasi. Disharmonisasi dibidang hukum dapat terjadi karena: a. Adanya perbedaan antara rumusan peraturan dalam berbagai undang-undang atau perundang- undangan. Selain itu jumlah peraturan yang makin besar menyebabkan kesulitan untuk mengetahui atau mengenal peraturan tersebut secara keseluruhan. Ketentuan yang mengatakan bahwa semua orang dianggap mengetahui semua hukum yang berlaku menjadi tidak efektif. b. Adanya perbedaan pengaturan antara peraturan perundang-undangan nasional dan perjanjian- perjanjian atau konvensi internasional c. Adanya perbedaan pengaturan antara peraturan perundang-undangan dengan hukum kebiasaan, hukum adat dan atau hukum agama d. Adanya perbedaan pengaturan antara undang- undnag dengan peraturan pelaksanaannya, dan antara peraturan perundang-undnagan dengan kebijakan pemerintah lainnya. Deasa ini dikenal berbagai juklak petunjuk pelaksanaan atau juknis petunjuk teknis yang sifatnya kebijaksanaan, yang dalam prakteknya mungkin saja bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang akan 54 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia dilaksanakan e. Adanya perbedaan pengaturan antara peraturan perundang-undangan dengan yurisprudensi dan surat edaran mahkamah agung f. Kebijaksanaan-kebijaksanaan antar instansi pemerintah pusat yang saling bertentangan, serta adanya perbedaan antara kebijaksanaan Pemerintah Pusat dan Daerah g. Adanya rumusan ketentuan yang kurang tegas dan mengundang perbedaan tafsiran h. Adanya benturan antara wewenang instansi- instansi pemerintah karena pembagian wewenang yang tidak sistematis dan jelas. Pertama yang harus dikerjakan adalah identifikasi masalah dengan melihat bagian yang berbenturan atau berhimpitan yang memerlukan harmonisasi, sebab dan akibat benturan tersebut, siapa atau instansi mana yang terlibat serta apa maksud dan tujuan, demikian pula pangkal tolak serta dasar hukum masing-masing. Jika hal-hal ini sudah jelas baru diambil langkah-langkah harmonisasi. Dasar dan orientasi setiap langkah harmonisasi adalah tujuan harmonisasi, nilai-niai, dan asas hukum serta tujuan hukum itu sendiri yaitu harmoni antara keadilan, kepastian hukum dan atau sesuai tujuan. Secara umum, langkah-langkah untuk melaksanakan kegiatan harmonisasi hukum adalah sebagai berikut: 1. Mengkaji secara mendalam rancangan peraturan perundang-undangan baik RUU maupun RPP yang telah disusun oleh departemenLPND teknis, 55 Pengesahan Statuta Roma dan Harmonisasi Hukum Nasional baik dari segi materi muatan maupun dari aspek teknis perundang-undangan 2. Inventarisasi permasalahan-permasalahan pokok yang tertuang dalam rancangan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan 3. Pembahasan terhadap materi-materi tidak semata- mata dilandasi oleh analisis hukum, tetapi harus dilakukan analisis interdisipliner termasuk analisis ekonomi 4. Inventarisasi keterkaitan materi muatan yang dituangkan dalam rancangan peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku dan atau konvensi-konvensiperjanjian internasional yang telah diratifikasi Indonesia dan yang telah berlaku efektif atau telah diimplementasikan dalam perundang-undangan nasional 5. Memberikan pandangan-pandangan umum menyangkut materi muatan yang tertuang dalam rancangan suatu peraturan perundang-undangan yang dikaji 6. Mengambil kesimpulan danatau rekomendasi guna penyempurnaan rancangan peraturan perundang- undangan yang diharmonis 14 . Di tingkat nasional Departemen Hukum dan HAM adalah pihak yang memiliki peran paling signifikan dalam menjalankan fungsi harmonisasi dan sinkronisasi peraturan 14 Moh. Hasan Wargakusumah, Perumusan Harmonisasi Hukum tentang Metodologi Harmonisasi hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta 19961997. 56 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia perundang-undangan. Kesimpulan ini diambil berdasarkan berbagai ketentuan dalam UU 10 Tahun 2004 dan Perpres 61 Tahun 2005. Belum ada kejelasan soal harmonisasi yang dilakukan ketika suatu peraturan sudah berjalan sudah diimplementasikan. Selama ini kegiatan harmonisasi baru dilakukan ketika ada pembuatan peraturan baru. Padahal untuk mendapatkan pengaturan yang komprehensif perlu dilakukan monitoring yang berkelanjutan atas implementasi peraturan-peraturan terkait sektor tertentu secara spesifik. Secara spesifik memang target kegiatan harmonisasi hukum dilaksanakan dalam rangka penyempurnaan rancangan peraturan perundang-undangan khususnya yang berbentuk Naskah Akademis RUURPP dan Rancangan Undang-UndangRancangan Peraturan Pemerintah. Dari pengaturan ini ada pembagian peran antara BPHN dan Dirjen PP dephukham, sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap produk legislasi pemerintah. BPHN di desain untuk melakukan kajian harmonisasi di tingkat penyusunan RUURPPRPerpres. Sedangkan Dirjen PP Dephukham memiliki lebih banyak peran untuk melakukan harmonisasi selama pembahasan RUURPPRPerpres sedang dilakukan dan ketika sudah diimplementasikan. Pentingnya harmonisasi peraturan perundang- undangan paska pengesahan perjanjian internasional untuk dapat bekerja secara maksimal maka seharusnya perlu dibuat mekanisme dimana menjamin segera dibuatnya ketentuan pelaksana sebagai turunan dari undang-undang pengesahan perjanjian internasional tersebut. Sebagaimana yang saat ini sudah diatur dalam UU 10 Tahun 2004 soal harus 57 Pengesahan Statuta Roma dan Harmonisasi Hukum Nasional diaturnya secara jelas batas waktu pembentukan PP, Perpres atau Perda sebagai turunan dari UU, maka dikemudian hari seharusnya UU pengesahan perjanjian internasional dapat mengakomodir hal yang sama dengan mencantumkan pasal yang mengatur mengenai aturan pelaksana apa saja yang perlu dibuat atau diubah agar selaras dan memenuhi standar perjanjian yang diratifikasi tersebut beserta batas waktu pembuatannya. Batas waktu ini penting untuk memastikan bahwa ketentuan pelaksana tersebut sungguh dibuat dan tidak ditunda-tunda sehingga UU pengesahan perjanjian internasional tersebut segera efektif berlaku. Pencantuman pasal soal ketentuan pelaksana ini bukan hal yang mustahil dilakukan saat ini. Meski belum pernah dilakukan dalam UU pengesahan perjanjian internasional namun jika merujuk pada UU 10 Tahun 2004 yang menggunakan kata pada dasarnya dalam pasal yang mengatur soal jumlah pasal dalam UU pengesahan perjanjian internasional maka jika memang perlu penambahan pasal selain dua pasal yang secara tegas disebutkan dalam UU 10 tahun 2004 tersebut maka sangat mungkin dilakukan. 15 Pentingnya harmonisasi hukum untuk memastikan bekerjanya UU pengesahan perjanjian internasional dipahami betul oleh koalisi masyarakat sipil sehingga dalam naskah akademis, RUU dan berbagai kertas kerja dan materi advokasi koalisi daftar harmonisasi peraturan perundang- undangan yang diperlukan terkait rencana ratifikasi Statuta Roma juga disertakan. Sinkronisasi dilakukan secara 15 Lampiran UU 10 Tahun 2004 huruf F menyebutkan bahwa: Batang tubuh Undang-Undang tentang pengesahan perjanjian internasional pada dasarnya terdiri atas dua pasal yaitu: Pasal 1 memuat pengesahan perjanjian internasional dengan memuat pernyataan melampirkan salinan naskah aslinya atau naskah asli bersama dengan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia. ii Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai berlaku. 58 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia vertikal dan horisontal. Secara vertikal dilakukan terhadap nilai-nilai hak asasi manusia universal dengan nilai-nilai hak asasi manusia lokal nasional. Sedangkan secara horisontal dilakukan terhadap perundang-undangan yang mempunyai derajat yang sama. 16 Pembandingan ini dilakukan melalui interpretasi hukum penafsiran hukum. Interpretasi bertujuan untuk mempelajari arti yang sebenarnya dan isi dari peraturan- peraturan hukum yang berlaku. Dalam hukum Indonesia, dikenal beberapa bentuk interpretasi, diantaranya: 17 1. Interpretasi tata bahasa taalkundige atau gramatikale interpretetie yaitu cara penafsiran berdasarkan bunyi ketentuan undang – undang, dengan berpedoman pada arti perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat yang dipakai dalam undang – undang; yang dianit adalah arti perkataan menurut tatabahasa sehari-hari. 2. Interpretasi sahih atau autentik atau resmi, yaitu penafsiran sebagaimana maksud pembuat undang – undang itu sendiri dengan maksud agar mengikat seperti ketentuan atau pasal lainnya. 3. Interpretasi historis atau sejarah rechthistorische – interpretatie, yaitu sejarah terjadinya hukum dan undang – undang atau ketentuan hukum tertulis. 16 Hassan Suryono, Implementasi dan Sinkronisasi Hak Asaasi Manusia Internasional dan Nasional, dalam Muladi ed, Hak Asasi Manusia: Hakekat Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung: Relika Aditama, 2005, hlm.88. 17 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Buku I, Bandung: Alumni, 2000, hlm. 99-111, CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm.66- 69. 59 Pengesahan Statuta Roma dan Harmonisasi Hukum Nasional 4. Interpretasi sistematis atau dogmatis, yaitu penafsiran dengan menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu maupun dengan undang-undang lainnya yang terkait dengan yang sedang ditafsir. 5. Interpretasi sosiologis, yaitu penafsiran yang mempertimbangkan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat yang melatarbelakangi pembuatan suatu undang-undang 6. Interpretasi teleologis, yaitu penafsiran yang mengemukakan maksud dan tujuan dari si pembuat undang-undang. 7. Interpretasi ekstentif, yaitu memperluas arti kata dalam suatu peraturan sehingga suatu peristiwa atau perbuatan dapat dimasukan ke dalamnya. 8. Interpreatasi restriktif, yaitu penafsiran dengan mempersempit membatasi arti kata-kata dalam suatu peraturan. 9. Interpretasi analogis, yaitu memberi tafsiran pada suatu peraturan hukum dengan menggunakan perumpamaan pengibaratan terhadap kata- kata dalam peraturan tersebut sesuai dengan asas hukumnya. 10. Interpretasi argumentum a contrario atau pengingkaran, yaitu cara menafsirkan suatu undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dengan soal yang diatur dalam suatu perundang-undangan. Sehinga diperoleh kesimpulan bahwa soal yang 60 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia dihadapi tidak diatur dalam undang-undang tersebut. Interpretasi terhadap aturan internasional konvensi 18 yang menggunakan bahasa yang berbeda digunakan interpretasi secara gramatikal dan sistematis agar tidak terjadi perbedaan makna. Selain terhadap substansi, sinkronisasi dan interpretasi dilakukan juga terhadap komponen kultur, yaitu gagasan-gagasan, harapan-harapan dari semua peraturan hak asasi manusia. 19 Berikut secara rinci inventarisir disharmonisasi dan kebutuhan harmonisasi yang berhasil ditemukan oleh koalisi masyarakat sipil untuk ratifikasi Statuta Roma.

I. Disharmoni hukum positif Indonesia dengan Statuta Roma

1. Aturan mengenai kejahatan yang merupakan yurisdiksi ICC.

Aturan mengenai kejahatan dalam yurisdiksi ICC memang belum memadai dalam sistem hukum di Indonesia. Undang-Undang No. 262000 tentang Pengadilan HAM hanya mengatur mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida pasal 8 untuk kejahatan genosida, dan pasal 9 untuk kejahatan terhadap kemanusiaan, sedangkan kejahatan perang belum terakomodir dalam aturan hukum di Indonesia. Namun jika merujuk dalam Rancangan KUHP Indonesia ketiga kejahatan yang merupakan yurisdiksi ICC 18 Dalam hal ini Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional International Criminal CourtICC. 19 Hassan Suryono, op. cit., hlm. 89. 61 Pengesahan Statuta Roma dan Harmonisasi Hukum Nasional ini sudah diatur 20 , sayangnya hingga saat ini rancangan tersebut belum disahkan sehingga belum bisa dijadikan dasar hukum. Saat ini di Indonesia memang masih terjadi perdebatan panjang mengenai aturan kejahatan dalam yurisdiksi ICC. Sejauh ini, ada tiga usulan: 1. Mengamandemen Undang-Undang 262000 tentang pengadilan HAM, dan memasukkan kejahatan perang ke dalamnya; 2. Memasukkan ketiga jenis kejahatan itu menjadi tindak pidana dalam KUHP yang baru. Seperti yang sudah diatur dalam Rancangan KUHP 2004; 3. Membuat undang-undang baru yang mengakomodir ketiga jenis kejahatan tersebut Lemahnya aturan dalam Undang-Undang di Indonesia tidak hanya dalam soal ketiga jenis kejahatan dalam yurisdiksi ICC namun juga dalam hal aturan beracara serta unsur-unsur kejahatan yang merupakan yurisdksi ICC. Sehingga seiring dengan dibenahinya aturan perundangan yang mengatur kejahatan dalam yurisdiksi ICC, maka aturan beracaranya pun harus segera dibenahi. Dan agar terdapat satu visi yang sama antara aparat penegak hukum dalam mengimplementasikan ketiga kejahatan tersebut sebagai suatu delik pidana maka seharusnya ada aturan yang jelas mengenai unsur-unsur kejahatannya, baik dituangkan dalam penjelasan Undang-Undang maupun dalam buku pedoman 20 Kejahatan yang merupakan yurisdiksi ICC diatur dalam BAB IX Rancangan KUHP 2004 tentang tindak pidana terhadap hak asasi manusia, yakni dalam Pasal 390 tentang tindak pidana genosida, Pasal 391 tentang tindak pidana kemanusiaan dan Pasal 392 mengenai tindak pidana perang dan konlik bersenjata. 62 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia tersendiri seperti element of crimes dalam Statuta Roma. 21

2. Aturan mengenai kadaluarsa

Aturan kadaluarsa tidak berlaku bagi kejahatan dalam yurisdiksi ICC. Aturan tidak berlakunya kadaluarsa bagi kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang juga telah lama diatur dalam Konvensi tentang Tindak Berlakunya Kadaluarsa Bagi Kejahatan Perang dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan tahun 1968. 22 Sementara dalam KUHP di Indonesia, aturan kadaluarsa masih berlaku sebagai salah satu faktor gugurnya kewenangan penuntutan dan pelaksanaan pidana, hal yang sama juga masih tetap diatur dalam Rancangan KUHP 2004 23 . Namun dalam Undang-Undang 262000, secara eksplisit dinyatakan bahwa aturan kadaluarsa tidak berlaku bagi pelanggaran berat HAM 24 . Agar tidak menimbulkan kebingungan dalam menerapkan aturan kadaluarsa tersebut, aturan implementasi Statuta Roma di Indonesia nantinya harus secara eksplisit 21 The Asia Foundation bekerjasama dengan ELSAM telah merampungkan pembuatan Hukum Acara dan Pembuktian bagi Undang-Undang 262000 serta Unsur-Unsur Kejahatan Genosida, Kejahatan terhadap Kemanusiaan serta Unsur- Unsur Pertanggungjawaban Komando. Saat ini draft yang sudah inal tersebut telah diteruskan ke Mahkamah Agung untuk lebih lanjut disahkan sebagai PERMA. 22 Pasal 1b 1968 Convention on Non-Applicability of Statutory Limitation to War Crimes and Crimes Against Humanity menyatakan statuta ini berlaku bagi kejahatan terhadap kemanusiaan baik yang terjadi pada saat damai maupun konlik bersenjata seperti yang diatur dalam Piagam Nuremberg serta kejahatan genosida seperti yang diatur dalam Konvensi Genosida 1948 23 Kadaluarsa dalam hal penuntutan dan pelaksanaan pidana diatur dalam : Pasal 76, 78-82, 84,85 KUHP, Pasal 146, 147, 148, 149, 150, 152, 153 Rancangan KUHP 2004. 24 Pasal 46 Undang-Undang 262000 menyatakan bahwa : “Untuk pelanggaran HAM yang berat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa. 63 Pengesahan Statuta Roma dan Harmonisasi Hukum Nasional menyatakan bahwa aturan kadaluarsa tidak berlaku bagi kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. 3. Aturan mengenai Ne bis in Idem Ne bis in idem berarti seseorang tidak boleh diadili dua kali atas suatu perbuatan yang telah mendapatkan putusan pengadilan yang berkekuatan tetap. Ne bis in idem adalah merupakan prinsip-prinsip umum hukum pidana general principle of criminal law, dan prinsip ini diatur dalam Statuta Roma Pasal 21 juga dalam KUHP Indonesia Pasal 76 seperti halnya prinsip-prinsip umum hukum pidana lainnya nullum crimen sine lege, nulla poena sine lege, non-retroaktif, dll . Namun, prinsip ini tidak ditemukan dalam Undang-Undang 26 Tahun 2000 yang justru merupakan satu-satunya Undang-Undang di Indonesia yang mengatur mengenai pelanggaran HAM yang berat. Sebagai prinsip umum hukum pidana, maka sudah seharusnya prinsip-prinsip umum ini selalu dicantumkan di setiap konvensi atau Undang-Undang yang berkaitan dengan hukum pidana, demikian pula dalam aturan implementasi Statuta Roma Indonesia nantinya, jangan sampai prinsip- prinsip umum ini tidak dicantumkan seperti dalam Undang- Undang 26 Tahun 2000.

4. Aturan mengenai pidana mati

Statuta Roma menjelaskan bahwa pidana mati tidak berlaku bagi kejahatan dalam yurisdiksi Mahkamah. Pidana maksimum yang berlaku bagi kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida dan kejahatan perang adalah pidana penjara seumur hidup. 64 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia Indonesia adalah termasuk Negara yang masih menerapkan pidana mati. Aturan pidana mati diatur baik dalam KUHP dan Undang-Undang 262000 tentang Pengadilan HAM 25 . Sementara dalam Rancangan KUHP baru 2004, dijelaskan bahwa pidana mati tidak berlaku bagi tindak pidana hak asasi manusia. 26 Jika Indonesia meratifikasi Statuta Roma, tentu saja aturan pidana mati ini akan bertentangan dengan Statuta, kecuali jika pada akhirnya Rancangan KUHP sudah disahkan.

5. Aturan mengenai amnesti

Dalam berbagai konvensi internasional aturan hukum amnesti sudah dianggap sebagai aturan hukum yang bertentangan dengan aturan-aturan hukum mengenai Hak Asasi Manusia, khususnya aturan yang mengatur bahwa semua pelaku kejahatan internasional harus dihukum. 27 Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa tidak selamanya amnesty bertentangan dengan hukum internasional, karena amnesty bisa dibenarkan sebagai bentuk derogation pengurangan yang dibenarkan dalam hukum internasional. 28 Jose Zalaquett, mantan pengacara HAM Amnesti International, berkewarganegaraan Chille, menyatakan 25 Pidana mati diatur dalam Pasal 10 dan 11 KUHP dan Pasal 36-37 Undang-Undang 262000. 26 Rancangan KUHP 2004 menjelaskan pidana maksimum untuk genosida adalah 15 tahun Pasa390, tindak pidana kemanusiaan maksimum 15 tahun Pasal 391, dan tindak pidana perang dan konlik bersenjata maksimum 15 tahun Pasal 392. 27 Misalnya, Konvensi Genosida 1948 dan Konvensi Jenewa 1949 mewajibkan semua Negara pihak untuk menuntut dan menghukum orang-orang yang diduga melakukan kejahatan yang diatur dalam perjanjian tersebut genosida dan kejahatan perang. Sehingga, memberlakukan hukum amnesti terhadap para pelaku kejahatan tersebut merupakan hal yang sangat bertentangan dengan Konvensi tersebut. 28 Ifdhal Kasim,…Op.Cit,p. 6 65 Pengesahan Statuta Roma dan Harmonisasi Hukum Nasional bahwa negara yang sedang menghadapi masa transisi, dapat masuk ke dalam konteks ”public emergency” yang diatur dalam pasal 4 Persetujuan Internasional hak-Hak Sipil dan Politik, sehingga diperbolehkan mengurangi derogation sebagian kewajiban internasionalnya. 29 Namun, masih menurut Pepe panggilan akrab Zalaquett terdapat syarat- syarat yang harus dipenuhi untuk pemberian amnesty yaitu 30 : a. Kebenaran terlebih dahulu harus ditegakkan; b. Amnesty tidak diberikan untuk pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida; c. Amnesty harus sesuai dengan ”keinginan” rakyat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemberian amnesty bagi kejahatan yang merupakan yurisdiksi ICC adalah tetap merupakan hal yang bertentangan dengan hukum internasional. Harmonisasi yang Harus Dilakukan Paska Ratifikasi KUHP, RKUHP dan KUHAP a. Pelanggaran HAM yang berat tidak diatur dalam KUHP sehingga pengaturan secara khusus di luar KUHP dibenarkan menurut sistem hukum Indonesia karena 29 Argumen penggunaan azas derogation itu dikemukakan oleh Naomi Roth- Arriaza, “Special Problems of a Duty to Prosecute Derogation, Amnesties, Statute of Limitation, and Superior Orders”, dalam Impunity and Human Rights in International Law and Practice, New York :Oxford University Press, 1995,p. 57- 70, dikutip dari Ifdhal Kasim,…ibid,p. 9. 30 Ibid. 66 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia sifatnya yang khusus. Beberapa pakar hukum pidana mengemukakan bahwa tindak pidana yang diatur dalam ICC sama dengan tindak pidana yang diatur dalam KUHP Indonesia. Kesamaan tersebut diantaranya dalam beberapa prinsip yang dianut oleh ICC yang juga telah diatur dalam KUHP Indonesia, yakni prinsip legalitas non retroactive principle, pertanggungjawaban individual, hal tentang penyertaan, percobaan dan pembantuan serta pemufakatan. Namun pengaturan secara teknis memang tidak sepenuhnya sama, karena dalam KUHP tidak diatur sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri. 31 Secara substansi, tidak ada masalah antara KUHP dan Statuta Roma diantaranya prinsip legalitas non- retroaktif, pengaturan mengenai penghukuman terhadap pelaku pembunuhan. Meskipun banyak hal yang belum sesuai 32 diantaranya KUHP yang masih menganut ancaman hukuman mati pada terpidana, hal ini tidak dikenal dalam ICC. Disamping itu masalah mengenai kadaluwarsa yang masih dianut dalam KUHP, sedangkan dalam kejahatan berat terhadap HAM yang diatur dalam ICC, tidak dikenal adanya kadaluwarsa. Perbedaan yang cukup besar terdapat dalam hukum acara. Dalam Statuta Roma semua unsur penegak hukum dalam sistem peradilan ICC bersifat independen, berdiri sendiri tanpa pengaruh pihak manapun, begitu juga dengan proses beracaranya yang berbeda dengan perkara pidana biasa. Sistem yang digunakan ICC merupakan gabungan hasil kesepakatan negara-negara bersistem Anglo- Saxon dan Eropa Kontinental. Sedangkan dalam Pengadilan HAM kita yang diatur oleh Undang-Undang No.26 Tahun 31 op cit, hlm.38. 32 lihat selanjutnya dalam Bab 3, Implementasi Efektif Statuta Roma. 67 Pengesahan Statuta Roma dan Harmonisasi Hukum Nasional 2000, hukum acara yang digunakan adalah sama dengan acara yang terdapat dalam KUHAP dengan sistem kita yang menganut Eropa Kontinental.

b. Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang ini merupakan awal tonggak pengaturan HAM secara khusus, dan juga merupakan Undang-Undang yang menunjuk KOMNAS HAM sebagai badan penyelidik dan penyidik kasus pelanggaran HAM yang berat, bersifat independen sebagai salah satu unsur penegak hukum dalam pelanggaran HAM yang berat. Lembaga independen ini diantaranya memiliki fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantuan dan meditasi tentang hak asasi manusia. 33 Pengakuan terhadap nilai-nilai HAM diatur lebih spesifik. Meskipun demikian undang-undang ini belum menyebutkan unsur-unsur tindak pidana seperti dalam jurisdiksi ICC sehingga perlu penyelarasan dengan substansi dari statute roma

c. Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Undang – undang ini dibuat atas dasar kesadaran dan kepentingan bahwa Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Pertimbangan yang dilakukan tentunya didasari prinsip dasar pembentukan suatu peraturan perundangan di Indonesia, diantaranya landasan filosofis, sosiologis, yuridis dan politis. Sebagi landasan filosofis, Undang-Undang ini dibuat sebagai penerapan cita-cita bangsa yang dipelopori oleh para pendiri bangsa ini dalam rangka pencapaian tujuan bangsa diantaranya mensejahterakan rakyat Indonesia 33 Pasal 76 ayat 1 Undang Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 68 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia melalui perlindungan HAM. Pertimbangan yuridis yang menjadi landasan Undang-Undang ini yaitu untuk menjamin keadilan dan kepastian hukum, dikarenakan KUHP Indonesia tidak mengatur pelanggaran berat terhadap HAM yang merupakan kejahatan luar biasa extra ordinary crimes. Dalam sistem hukum Indonesia, suatu hal yang belum diatur dalam KUHP dapat diatur dalam peraturan tersendiri sehingga Undang-Undang 26 Tahun 2000 banyak melakukan terobosan-terobosan aturan hukum yang tidak diatur sebelumnya dalam KUHAP seperti yang telah dijelaskan dalam Bab I. Landasan sosiologis dalam Undang-Undang ini yaitu sebagai upaya menjaga dan meningkatkan upaya perlindungan HAM, dan mencegah terjadinya kembali pelanggaran-pelanggaran HAM yang berat masa lalu. Sedangkan alasan politik dalam Undang-Undang ini yaitu bahwa pelanggaran HAM yang berat bersifat politis yang dilakukan oleh sekelompok orang yang memegang kekuasaan. Adanya Undang-Undang No.26 Tahun 2000 yang isinya banyak mengadopsi dari Statuta Roma ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan Indonesia untuk menunjukan bahwa Indonesia mampu melaksanakan peradilan sendiri yang sesuai dengan standar internasional Statuta Roma dan untuk menguatkan prinsip komplementaritas yang dianut oleh ICC. Undang-Undang ini menunjukan niat dan itikad baik pemerintah Indonesia untuk melaksanakan penghukuman terhadap pelaku pelanggaran HAM yang berat di negaranya. d. UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Sejak tahun 2006, Indonesia telah mempunyai UU khusus tentang Perlindungan Saksi dan Korban. UU ini 69 Pengesahan Statuta Roma dan Harmonisasi Hukum Nasional mengatur tentang hak-hak korban dan saksi, termasuk dalam saksi dan korban kejahatan-kejahatan yang merupakan pelanggaran HAM yang berat. Beberapa hak saksi yang diatur diantaranya hak-hak saksi untuk diberikan perlindungan pergantian identitas dan relokasi saksi pasal 5. Selain itu juga mengadopsi berbagai ketentuan dalam Statuta Roma tentang perlindungan saksi diantaranya pemeriksaan saksi in camera, atau pemberian kesaksian melalui media elektronik lainnnya pasal 9. Meski demikian masih banyak standar perlindungan yang perlu disesuaikan dengan standar yang diatur dalam Statuta Roma. Dalam rangka melindungi saksi dan korban secara lebih baik, UU ini juga memandatkan pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK. Lembaga ini merupakan lembaga yang mandiri dengan anggota yang mewakili lembaga-lembaga penegak hukum dan masyarakat dan dengan sistem kerja yang berkoordinasi dengan lembaga- lembaga penegak hukum lainnya. Meskipun berbeda konsepnya dengan unit perlindungan saksi dan korban di ICC, namun dalam beberapa hal lembaga ini mempunyai kesamaan tujuan dan fungsi. Adanya UU Perlindungan saksi dan korban ini menunjukkan komitmen Indonesia untuk memenuhi kewajibannya dalam menuntut kejahatan-kejahatan yang termasuk pelanggaran HAM yang berat dengan adanya sistem perlindungan bagi saksi dan korban. Demikian juga komitmen untuk memberikan hak-hak reparasi pemulihan kepada para korban, yang sesuai dengan hukum internasional dan Statuta Roma. Harmonisasi yang dilakukan oleh koalisi masyarakt sipil untuk ratifikasi Statuta Roma ini lebih kepada membuat aturan turunanpelaksana dari Statute Roma ketimbang 70 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia mentransformasikannya kedalam hukum nasional dengan membuat undang-undang baru yang membahasakan ulang pasal-pasal dari Statuta Roma. 71 Statuta Roma dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia Bhatara Ibnu Reza Pendahuluan Komitmen Indonesia untuk meratifikasi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional International Criminal Court telah dinyatakan dalam Peraturan Presiden No. 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia RAN HAM. Akan tetapi komitmen tersebut yang seharusnya dilaksanakan pada 2008 ternyata masih harus tertunda untuk waktu yang tidak dapat ditentukan. Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Ratifikasi Mahkamah Pidana Internasional selanjutnya di sebut Koalisi telah memprediksi beberapa kendala yang akan dihadapi dalam upaya mendesak Pemerintah Republik 72 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia Indonesia RI untuk mewujudkan bergabung Indonesia bersama-sama dengan negara-negara di dunia yang telah menjadi pihak dalam kampanye menegakan keadilan internasional. Adapun diantara kendala-kendala tersebut adalah lambannya kejelasan proses yang dilakukan negara dalam menentukan focal point dalam proses peratifikasian yang kemudian oleh belakangan negera menetapkan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal lain yang tak kalah penting adalah tantangan yang kuat dari tubuh Tentara Nasional Indonesia TNI yang secara jelas mengungkapkan keberatan-keberatan mereka jika Indonesia menjadi negara pihak dari Statuta Roma. Berbagai alasan mereka ungkapkan salah satunya berkait dengan belum siapnya perangkat hukum nasional yang compatible dengan Statuta Roma. Namun dibalik alasan itu adalah kekhawatiran TNI terhadap kemungkinan- kemungkinan mereka untuk menjadi target dari Mahkamah Pidana Internasional jika terdapat dugaan pelanggaran- pelanggaran serius yang diakui dalam hukum internasional serious violations recognized by international law sebagaimana termaktub dalam Statuta Roma. Kekhawatiran ini jelaslah sangat berlebihan mengingat personil TNI tidak selalu menjadi target tetapi juga dapat menjadi korban. Perspektif salah kaprah ini dapat saja diartikan bahwa TNI dalam setiap operasi militernya selalu menggunakan kekerasan yang berujung pada pelanggaran HAM sehingga dengan Indonesia menjadi pihak dalam Statuta Roma, TNI tidak dapat lagi leluasa menggunakan kekerasan terutama terhadap penduduk sipil. Bila ditelisik lebih jauh sudah sepantasnya pemahaman yang benar mengenai Statuta Roma dilakukan oleh Indonesia mengingat keikutsertaan aktifnya dalam