Aturan mengenai amnesti Disharmoni hukum positif Indonesia dengan Statuta Roma

69 Pengesahan Statuta Roma dan Harmonisasi Hukum Nasional mengatur tentang hak-hak korban dan saksi, termasuk dalam saksi dan korban kejahatan-kejahatan yang merupakan pelanggaran HAM yang berat. Beberapa hak saksi yang diatur diantaranya hak-hak saksi untuk diberikan perlindungan pergantian identitas dan relokasi saksi pasal 5. Selain itu juga mengadopsi berbagai ketentuan dalam Statuta Roma tentang perlindungan saksi diantaranya pemeriksaan saksi in camera, atau pemberian kesaksian melalui media elektronik lainnnya pasal 9. Meski demikian masih banyak standar perlindungan yang perlu disesuaikan dengan standar yang diatur dalam Statuta Roma. Dalam rangka melindungi saksi dan korban secara lebih baik, UU ini juga memandatkan pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK. Lembaga ini merupakan lembaga yang mandiri dengan anggota yang mewakili lembaga-lembaga penegak hukum dan masyarakat dan dengan sistem kerja yang berkoordinasi dengan lembaga- lembaga penegak hukum lainnya. Meskipun berbeda konsepnya dengan unit perlindungan saksi dan korban di ICC, namun dalam beberapa hal lembaga ini mempunyai kesamaan tujuan dan fungsi. Adanya UU Perlindungan saksi dan korban ini menunjukkan komitmen Indonesia untuk memenuhi kewajibannya dalam menuntut kejahatan-kejahatan yang termasuk pelanggaran HAM yang berat dengan adanya sistem perlindungan bagi saksi dan korban. Demikian juga komitmen untuk memberikan hak-hak reparasi pemulihan kepada para korban, yang sesuai dengan hukum internasional dan Statuta Roma. Harmonisasi yang dilakukan oleh koalisi masyarakt sipil untuk ratifikasi Statuta Roma ini lebih kepada membuat aturan turunanpelaksana dari Statute Roma ketimbang 70 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia mentransformasikannya kedalam hukum nasional dengan membuat undang-undang baru yang membahasakan ulang pasal-pasal dari Statuta Roma. 71 Statuta Roma dan Reformasi Sektor Keamanan Indonesia Bhatara Ibnu Reza Pendahuluan Komitmen Indonesia untuk meratifikasi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional International Criminal Court telah dinyatakan dalam Peraturan Presiden No. 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia RAN HAM. Akan tetapi komitmen tersebut yang seharusnya dilaksanakan pada 2008 ternyata masih harus tertunda untuk waktu yang tidak dapat ditentukan. Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Ratifikasi Mahkamah Pidana Internasional selanjutnya di sebut Koalisi telah memprediksi beberapa kendala yang akan dihadapi dalam upaya mendesak Pemerintah Republik 72 Jalan Panjang menuju Ratifikasi ICC di Indonesia Indonesia RI untuk mewujudkan bergabung Indonesia bersama-sama dengan negara-negara di dunia yang telah menjadi pihak dalam kampanye menegakan keadilan internasional. Adapun diantara kendala-kendala tersebut adalah lambannya kejelasan proses yang dilakukan negara dalam menentukan focal point dalam proses peratifikasian yang kemudian oleh belakangan negera menetapkan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal lain yang tak kalah penting adalah tantangan yang kuat dari tubuh Tentara Nasional Indonesia TNI yang secara jelas mengungkapkan keberatan-keberatan mereka jika Indonesia menjadi negara pihak dari Statuta Roma. Berbagai alasan mereka ungkapkan salah satunya berkait dengan belum siapnya perangkat hukum nasional yang compatible dengan Statuta Roma. Namun dibalik alasan itu adalah kekhawatiran TNI terhadap kemungkinan- kemungkinan mereka untuk menjadi target dari Mahkamah Pidana Internasional jika terdapat dugaan pelanggaran- pelanggaran serius yang diakui dalam hukum internasional serious violations recognized by international law sebagaimana termaktub dalam Statuta Roma. Kekhawatiran ini jelaslah sangat berlebihan mengingat personil TNI tidak selalu menjadi target tetapi juga dapat menjadi korban. Perspektif salah kaprah ini dapat saja diartikan bahwa TNI dalam setiap operasi militernya selalu menggunakan kekerasan yang berujung pada pelanggaran HAM sehingga dengan Indonesia menjadi pihak dalam Statuta Roma, TNI tidak dapat lagi leluasa menggunakan kekerasan terutama terhadap penduduk sipil. Bila ditelisik lebih jauh sudah sepantasnya pemahaman yang benar mengenai Statuta Roma dilakukan oleh Indonesia mengingat keikutsertaan aktifnya dalam