Kedudukan sita pidana atas sita umum dalam kepailitan

kasus ini terjadi persengketaan antara Bareskrim Polri dengan Kurator PT. Sinar Central Rejeki berkaitan dengan sita. PT. Sinar Central Rejeki dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.Pernyataan pailit ini berakibat diletakkannya sita umum atas seluruh kekayaan debitor.Setelah diletakkan sita umum ini ternyata Bareskrim Polri menyatakan bahwa asset dari PT. Sinar Central Rejeki diduga hasil tindak pidana korupsi dan pencucian uang, sehingga harus dilakukan sita pidana.Terhadap kasus ini, Pengadilan tingkat pertama mengabulkan gugatan kurator.Tetapi tidak demikian halnya di tingkat Mahkamah Agung.Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Niaga tersebut. Dari kasus ini ada beberapa permasalahan yang akan dianalisa dan diselesaikan oleh penulis, yaitu:

a. Kedudukan sita pidana atas sita umum dalam kepailitan

Barang milik Tergugat yang telah disita tidak dapat disita lagi.HIR atau RBg tidak mengaturnya.Namun dapat dikatakan, pada prinsipnya barang yang telah dilakukan sita tidak boleh disita lagi untuk kedua kalinya. Mahkamah Agung menjelaskan lebih lanjut, dalam “Buku Tanya Jawab”, halaman 119 yaitu “Sita jaminan atas barang yang sudah disita terlebih dahulu dijaminkan pada pihak lain”, baik secara Fidusia maupun secara hipotik hak tanggungan harus ditolak. Apabila terdapat suatu barang sengketa lebih dahulu diletakkan sita jaminan, maka Pengadilan Negeri Dapat melakukan “Catatan” dalam berita acara sita jaminan, bahwa barang- Universitas Sumatera Utara barang tersebut telah dikenakandiletakkan sita jaminan dan tidak dapat disita untuk kedua kalinya. 126 Ketentuan ini juga telah diterima dalam praktiknya sebagaimana yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 1362.KSip1982 yang menyatakan bahwa “jika benar atas barang-barang yang disita dalam pokok perkara lain belum mempunyai kekuatan hukum tetap, dapat dimohonkan sita penyesuaianpersamaan verkelijkend beslag oleh pihak yang bersangkutan. 127 Kasus PT. Sinar Central Rejeki ini mengajak kita untuk mengkaji terlebih dahulu bagaimana sebenarnya kedudukan sita pidana atas sita umum dalam kepailitan. Pasal 39 ayat 2 KUHAP menyatakan bahwa: Hal ini menegaskan bahwa tidak dimungkinkan meletakkan sita umum dalam kepailitan dan sita pidana dalam waktu yang bersamaan. Untuk itulah harus dipilih sita apa yang akan dikenakan terhadap benda tersebut, apakah sita umum dalam kepailitan ataukah sita pidana. “Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat 1.” Menurut Pasal 39 ayat 2 KUHAP ini, penyitaan dalam proses perkara pidana menjangkau: a. Penyitaan barang yang telah disita khusus consevatoir beslag, revindicatoir beslag, dan marital beslag dalam sitaan perkara perdata; 126 R. Soeparmono, Masalah Sita Jaminan C.B. dalam Hukum Acara Perdata, Mandar Maju, Bandung, 2006, hal. 40. 127 Ibid, hal. 69. Universitas Sumatera Utara b. Penyitaan barang yang berada dalam “sita umum” atau “budel pailit. Jadi menurut Pasal 39 ayat 2 KUHAP, untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana, barang yang disita dalam perkara pailit, dapat disita dalam perkara pidana. Akan tetapi di dalam Pasal 31 ayat 2 Undang- Undang No. 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa “Semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus dan jika diperlukan Hakim Pengawas harus memerintahkan pencoretannya.” Kedua pasal ini mengakibatkan lahirnya benturan pemikiran di antara ahli hukum.Pasal 39 ayat 2 KUHAP dan Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 ini saling bertolak belakang dan tidak sinkron.Disinilah letak kecacatan para legislator kita dalam memproduksi suatu Undang- Undang. Para legislator gagal dalam mengharmonisasikan antara Undang- Undang yang satu dengan Undang yang lain. Para praktisi juga hukum tidak dapat menggunakan asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis dikarenakan kedua Pasal tersebut merupakan dua bidang hukum yang berbeda. Menurut Bagir Manan ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu: a. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut; Universitas Sumatera Utara b. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis undang-undang dengan undang-undang; c. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum rezim yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang- Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan. 128 Ketentuan point ketiga dari pendapat Bagir Manan inilah yang tidak memungkinkan penerapan asas lex specialis derogate lex generalis. Disatu sisi Pasal 39 ayat 2 KUHAP merupakan ranahnya bidang publik Pidana sementara disisi lain Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 merupakan ranahnya bidang privat Perdata Khusus. Namun, apabila kita melihat dari kepentingan yang diatur di dalam hukum perdata dan hukum pidana.Penulis sepakat bahwa untuk Pasal 39 ayat 2 KUHAP harus lebih didahulukan dibandingkan dengan dengan Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004.Sejalan dengan pendapat dari Perwakilan Hukum Polri AKBP W Marbun yang mengatakan sita pidana lebih didahulukan daripada sita umum pailit.Hal ini merujuk pada asas kepentingan hukum publik lebih diutamakan dibandingkan dengan hukum privat perdata. Senada dengan W Marbun, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Edward Omar Sharif Harief mengatakan 128 Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta, 2004, hal. 56. Universitas Sumatera Utara hukum publik lebih diutamakan daripada hukum privat.Hukum pidana adalah hukum publik.Untuk itu, hukum publik memiliki karakteristik pemaksaan oleh aparat Negara. 129 Lantas apakah kemudian sita pidana tunduk pada Pasal 436 Rv yang mengatur prinsip saisie sur saisie ne vaut. Prinsip ini menyatakan bahwa: Atas dasar inilah maka sita pidana atas sita umum dalam kepailitan harus lebih didahulukan.  Sita jaminan atau sita eksekusi atau sita pada umumnya, hanya boleh diletakkan satu kali atas suatu barang yang sama pada saat yang bersamaan;  Oleh karena itu, apabila pihak ketiga meminta sita diletakkan atas suatu barang debitur atau tergugat yang telah diletakkan sita sebelumnya, atas permintaan kreditor atau penggugat, permintaan sita tersebut yang belakangan harus dinyatakan tidak diterima atau ditolak. Sebagai gantinya, hanya dapt diletakkan sita persamaan, yang dinyatakan dan dicatat dalam berita sita yang menjelaskan. Oleh karena atas barang yang diminta sita telah lebih dahulu disita atas permintaan orang lain maka yang dapat dikabulkan adalah sita penyesuaian. 130 Penyitaan untuk kepentingan poses penyelesaian tindak pidana atas barang yang disita dalam perkara perdata, tidak dikualifikasi atau disamakan sebagai sita penyesuaian vergelijkende beslag. Karena jika 129 Hukumonline, Prokontra Sita Pidana VS Sita Umum Pailit, http:www.hukumonline.comberitabacalt51836ecd9bbf8prokontra-sita-pidana-vs-sita-umum- pailit, diakses Tanggal 24 Februari 2014, Pukul 10.00 WIB 130 M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 316. Universitas Sumatera Utara penyitaan berdasarkan tindak pidana didudukan sebagai sita penyesuaian, berarti memberi kedudukan yang lebih tinggi kepada sita perdata daripada sita pidana. Penempatan kedudukan dan kualitas yang demikian, bertentangan dengan ketentuan Pasal 46 ayat 2 KUHAP yang memberi wewenang kepada hakim dalam putusannya : “Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.” 131 Memperhatikan penjelasan tersebut, sita pidana atas barang yang berada di bawah sita perdata, tidak tunduk kepada ketentuan Pasal 436 Rv, tetapi sepenuhnya berlaku ketentuan Pasal 39 ayat 2 KUHAP jo. Pasal 46 ayat 2 KUHAP. 132

b. Hak eksekutorial kreditor separatis berkaitan dengan sita pidana