Juara Tingkat Provinsi

Juara Tingkat Provinsi

Setelah bulan Maret 2015 merebut piala juara I tingkat kabupaten, Widya melaju ke tingkat provinsi Jawa Tengah pada September. “Jadi, ada waktu enam bulan untuk bikin karya ilmiah lagi yaitu karya inovatif. Saya melakukan penelitian lagi. Karena yang dikirim ke tingkat provinsi itu karya inovatif. Bukan PTK. Jadi, melakukan riset lagi,” kata jebolan Universitas Widya Gama Malang ini.

Di Kanwil Kemenag Jateng, kontingen Pati beranggotakan sembilan guru dari RA, MI, MTs, dan MA. Mereka didampingi para kepala sekolah dan pengawas. Itu adalah perjuangan yang luar biasa. Pasalnya, dari kesembilan anggota ini belum ada yang berpengalaman ikut perlombaan.

“Jadi, apa saja yang dibutuhkan itu kami mempersiapkan diri sendiri. Sampai sana ketemu para peserta yang rata-rata memiliki NIP yang mana mereka sudah sering kali mengikuti kegiatan seperti itu yang digelar oleh PGRI, KKM, sedangkan kami tidak pernah sama sekali. Jadi, mereka itu sudah berpengalaman,” tuturnya.

Keteladanan... 179

Meski demikian, Widya cukup berbangga sebab nilai karya tulis ilmiahnya mendapat nilai tertinggi, yakni 92, kendati hanya mendapat juara tiga. Juara I dari Kabupaten Demak, dan Pekalongan mendapat juara II. Kontingen dari dua kabupaten ini nantinya yang akan mewakili Jawa Tengah untuk lomba di Jakarta.

“Juara satu dan dua nilainya justru di bawah saya. Yang satu 90, satunya lagi 89. Itu nilai karya ilmiahnya. Saya hanya kalah di presentasi. Jadi, karena kurang berpengalaman. Yang kacau lagi itu di power point. Mestinya sedikit saja, tapi punya saya terlalu banyak,” ungkapnya seraya tertawa.

Selain itu, kata dia, waktunya juga hanya sekitar dua minggu. Meski demikian, ia mengaku bangga bisa mewakili Pati di tingkat provinsi. Ia merasa mendapat ilmu banyak sekali dari kegiatan tersebut. Waktu itu, dewan juri dari Univeritas Negeri Semarang (UNNES) dan UIN Walisongo. Tempatnya di hotel Usma Ambarawa.

Widya merasa, sebagai satu-satunya guru MA yang tidak ber-NIP yang lolos tiga besar dengan pengalaman lokakarya dan seminar yang minim sekali dan pertama kalinya. Ia pernah menggagas bersama teman-teman guru ekonomi untuk membuat MGMP Ekonomi khusus guru aliyah swasta.

“Tiga tahun lalu, itu saya namakan gerakan Guru Ekonomi Madrasah Aliyah Swasta (GEMAS) sebagai perlawanan kultural sekaligus mewakili kegemasan kami terkait kesenjangan di antara guru swasta dan negeri,” ujarnya mantap.

180 Keteladanan...

Awal mula yang memiliki ide tersebut adalah guru Ekonomi SMA Widya. “Orang asli Ngagel namanya Pak Agus Miftah. Itu guru Ekonomi saya. Beliau lalu mengajak saya. Ayo nduk, kita kalau njagakke dari Depag (Kemenag-red) nggak bakalan ada. Anggotanya sekitar 16 orang. Saya selama ini ikut MGMP Diknas,” tuturnya.

Selama di Malang, Widya memiliki banyak kegiatan yang sangat berpengaruh di kemudian hari. “Saya anggota teater, forum kajian islam masjid (kisma), anggota himpunan mahasiswa jurusan (HMJ) ekonomi, juga di senatnya. Jadi, di macam-macam tempat dan wahana organisasi,” ungkapnya.

Bahkan, di dunia olahraga pun Widya bergabung di klub voli. Meski multitalent tapi tidak ada yang menonjol. “Saya lebih senang menjadi inspirator dan motivator saja,” katanya sambil tersipu malu.

Widya menceritakan, untuk lomba tingkat provinsi, merupakan inovasi dalam pembelajaran. “Metode pembelajaran itu kan banyak sekali. Saya membuat metode pembelajaran yang belum pernah ada. Inovasi saya, yaitu saya melakukan Study Excursion, yakni belajar di luar kelas. Karena materinya memang tentang koperasi, anak-anak saya beri surat tugas mendatangi koperasi di sekitar Kecamatan Margoyoso, Trangkil, dan Tayu,” ujarnya.

Karena para siswinya merupakan anak pondok, jadi areanya terbatas maksimal Kecamatan Trangkil untuk selatan dan tayu untuk daerah utara. Mereka mendatangi koperasi-koperasi itu hanya Jumat (hari libur) secara berkelompok.

Keteladanan... 181

“Tiap kelompok beranggotakan enam orang. Mereka ke sana sendiri. Saya tidak mengikuti mereka. Tapi saya berikan gambaran kepada mereka terkait informasi yang harus ditanyakan untuk membuat laporan yang nanti akan dipresentasikan di kelas dan dilanjutkan pembahasan materi. Jadi, mereka langsung visitiasi ke koperasi lalu wawancara dengan pengelola atau manajer lembaga terkait,” kata dia.

Sebelumnya, Widya menghubungi para manajer itu baik dengan surat maupun menelpon melalui ponselnya. “Yang saya punya nomor kontaknya langsung saya hubungi biar segera tahu maksud saya,” ujar Master Managemen jebolan Universitas Sebelas Maret Surakarta ini.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa studi lapangan ini hanya berlaku untuk anak kelas III MA yang ia ajar. “Kelas I pun juga saya berlakukan metode yang sama ketika saya mengajar mereka. Tapi mereka ke bank, lebih parah lagi. Jadi, saya sesuaikan dengan materi. Kelas III pernah dua kali. Sebelumnya ke pasar. Karena materinya akuntansi dagang. Jadi, mereka ke pasar langsung,” tutur Widya.

Ia mengaku menggunakan metode tersebut supaya para siswi setidaknya mendapatkan dua hal: refreshing keluar, dan materi lebih mengena karena langsung ke objek. “Jadi, kalau saya memberi contoh mereka langsung memahaminya dengan baik,” ujarnya bangga.

Widya melihat respon anak-anak senang sekali. Pasalnya, anak pondok bisa jalan keluar. “Mereka benar- benar mendapatkan pengalaman baru, ternyata dunia

182 Keteladanan...

usaha dan dunia kerja seperti itu ya? Terus mereka pun punya harapan bahwa besok saya pengen kerja seperti ini. Besok kalau misalnya saya nggak bisa kuliah bisa melamar di sini atau kalau saya kuliah saya mau ambil jurusan ini dan ini,” paparnya.

Yang paling membuat Widya bangga adalah, akhirnya sekolah mendirikan koperasi yang baru diresmikan tahun ini. Ditanya soal seberapa persen keberhasilan pembelajaran metode ini, jika dilihat dari Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM)-nya mereka tuntas semua. “Jadi, batas minimal nilai itu 82. Mereka tuntas semua, rata-rata 85 ke atas. Bahkan, ada yang dapat nilai 90. Kalau presentasinya bagus otomatis bisa tembus angka itu,” ujarnya sembari tersenyum.

Tak heran jika fakta tersebut membuat ibu tiga anak ini bangga dan bahagia. Ia mengaku sangat puas ketika terobosan pembelajarannya menjadi inspirasi bagi para siswinya.