Potret Guru Teladan di Madrasah Teladan

Potret Guru Teladan di Madrasah Teladan

B stabilitas dan keunggulan madrasah, diperlukan

eberapa guru memang perlu berorientasi keluar, mengantarkan siswa-siswi berprestasi di berbagai kompetisi. Namun untuk mempertahankan

juga sosok guru yang “menjaga gawang”, istiqamah berada di dalam dan memberikan teladan. Inilah yang diperankan oleh Hendro Murjoko, guru senior yang mengajar kimia di MAN Insan Cendekia Gorontalo. Datang dari daerah yang jauh bersama keluarga, ia tidak berpikir akan berpindah tugas ke luar daerah. Ia sudah menikmati hidup di Gorontalo bersama keluarga dan para siswanya. Ia datang ke madrasah paling pagi, dan pulang paling sore. Ia hampir tidak pernah kemana- mana selain madrasah. Sesekali waktu ia mengundang

Keteladanan...

guru kimia dari sekolah lain ke MAN Insan Cendekia untuk belajar bersama.

Ditemui di sekretariat MAN Insan Cendekia Gorontalo, Rabu (7/10/2015), bapak tiga anak ini keliahatan segar. Badannya yang tegap dan atletis menunjukkan kalau ia gemar berolahraga. Usianya sudah hampir kepala lima, tapi ia kelihatan lebih muda. Kesan paling menarik ketika berbincang dengan Pak Hendro adalah ketika ia bercerita tentang kepala sekolahnya dulu sewaktu ia sekolah di Lampung. Namanya Pak Mardi R. Ia sangat fasih kalau mengatakan huruf “R”.

Ia bercerita banyak hal tentang pengalaman pribadinya, sampai akhirnya menjadi guru dan sempat menjadi kepala madrasah di MAN Insan Cendekia Gorontalo. Ia merasa belum tuntas belajar agama. Dan di madrasah ini, sembari mengajar kimia, ia merasa “terkondisikan” untuk memperdalam agama.

Hidayah dari Langgar Kampung

Hendro Murjoko lahir dari keluarga non muslim. Ayahnya yang berasal dari Solo menganut agama Kristen Protestan. Ibunya dari Wonosobo sempat Muslim kemudian pindah agama. Mereka menikahnya secara Islam tetapi tidak menjalankan agama. Kemudian sekitar tahun 1965 setelah peristiwa Gestapu, mereka kembali ke Kristen. Namun keluarganya memberikan kebebasan kepada Hendro kecil dan saudaranya untuk menganut agama yang diyakini. Ia bercerita bagaimana pertama kali ia mengucap dua kalimat syahadat

70 Keteladanan...

dan mempertahankannya dari rayuan pendeta yang mengajaknya ikut agama Protestan.

Pintu hidayah datang saat Hendro masih duduk di kelas 3 SD. Waktu itu ia diajak temannya mengaji di sebuah langgar kampung, sekitar 200 m dari rumahnya di Lampung. Ayah dan ibunya pindah dari Jawa ke Lampung dan ia lahir di sana.

“Saya ngomong sama orang tua. Pak saya mau ke masjid tapi nggak punya sarung sama kopyah. Kata bapak saya, besok kalau bapak dapat uang akan bapak belikan. Ternyata benar, saya dibelikan sarung dan kopyah baru,” kenangnya.

Setelah mendapat sarung dan peci baru ia pergi ke langgar. Guru mengaji di kampungnya bernama Kang Sukito yang kemudian berganti menjadi Zainal Abidin, berusia lima tahun diatasnya dan sudah dianggap seperti kakak sendiri. Gurunya bertanya, “Dro kog kamu ngaji ayo baca syahadat dulu saya bimbing,” kata Kang Kito, panggilan akrabnya. Sejak itu sampai lulus SMP selama 6-7 tahun Hendro sering tidur di langgar.

Namun ternyata ia masih tetap dirayu untuk kembali ke gereja. Kata pendeta kepada keluarganya, nanti tidak bahagia kalau ada anaknya yang ‘murtad’. Bahkan ia selalu diajak dialog oleh pendeta sampai ia beranjak SMA dan diajak ke gereja. “Tapi bapak saya tidak masalah,” kata Hendro. Ia kukuh menjalankan agama Islam.

Ketika duduk SMA, Hendro mengikuti pelajaran agama Islam. Ada satu cerita ketika ia dites lisan

Keteladanan...

bacaan shalat oleh guru agamanya yang bernama Pak Ali Supaat.

“Waktu dites saya betul-betul tidak bunyi. Guru saya menyarankan setelah lulus dari sini kamu mondok ya itu jalan satu-satunya. Saat itu baru terketuk saya harus belajar lagi,” kata Hendro. Sejak itu ia memperdalam agama kepada guru agama di sekitarnya. Ia juga gemar membaca buku-buku agama dan belajar secara otodidak.

Gerbang MAN Insan Cendekia Gorontalo

Sejak tahun 1990-an ia sudah mengajar di Lampung. Tahun 1995, ketika ada lowongan menjadi guru di Insan Cendekia yang diproyeksikan sebagai sekolah Islam unggulan dan mengadopsi sistem belajar pesantren, Hendro langsung teringat pesan dari gurunya yang menyarankan ia mondok atau belajar di pesantren. Mungkin itulah cara Yang Kuasa memberikan jalan. Di Insan Cendekia, ia semakin mantap memperdalam agama. “Di sini (Insan Cendekia Gorontalo) semua guru terkondisikan untuk memperdalam agama,” katanya.

72 Keteladanan...

Tes Masuk Insan Cendekia

Sejak tahun 1990 Hendro sudah mengajar di SMA Utama Wacana Metro Lampung Tengah, tempat ia sekolah SMA. Kemudian tahun 1995 ia mengikuti tes menjadi guru untuk Insan Cendekia, waktu itu masih berada di bawah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BBPT). Ia membaca pengumuman penerimaan guru di salah satu koran nasional. Ia dan beberapa temannya sesama guru mengirimkan lamaran. “Bahkan saya mengirim tiga hari terakhir cap pos. Ternyata dari sekian temen guru, saya yang dipanggil tes,” katanya.

Tes penerimaan guru baru dilakukan di awal tahun 1996, di kantor BPPT Jl Tamrim Jakarta Pusat. Tes meliputi beberapa tahap, dan memakai sistem gugur. Ada tes akademis, psikologi lalu wawancara, setelah itu baru tes kesehatan. Di masa Orde Baru juga ada tahap Litsus atau Penelitian Khusus . Hendro berhasil melewati semua tahap tes dan dinyatakan lulus.

Waktu itu Insan Cendekia akan didirikan di dua lokasi, Serpong dan Gorontalo. Hendro memilih Gorontalo. “Padahal waktu itu saya belum tahu Gorontalo itu dimana, tapi katanya Sulawesi, kampungnya Pak Habibi. Wah menarik ini. Saya tertarik ikut tahu daerah lain seperti orang tua saya. Orang tua saya dari Jawa lalu merantau ke Lampung lalu lahirlah saya,” katanya.

Sebelum ke Gorontalo karena waktu itu IC yang siap baru di Serpong, ada 47 guru yang lulus semua ditempatkan di Serpong. Pada 10 Juli 1997, 23 guru berangkat ke Gorontalo dan mulai mengajar. “Sejak itu saya berada di Gorontalo sampai hari ini,” katanya.

Keteladanan...

Saat berangkat ke Gorontalo, Hendro sudah berkeluarga dan mempunyai seorang anak berusia 2 tahun. Orang tua dan mertuanya mengikhlaskannya merantau ke Gorontalo bersama anak dan istri. “Sempat sebenarnya mertua saya ajak ke Gorontalo setelah saya

13 tahun di sini. Kata mertua saya, wah di sini enak pantes kamu betah,” kata Hendro.

Sejak pertama berdomisili di Gorontalo bersama istrinya Purwantini dan anak pertamanya, Hendro sudah mengurus surat pindah domisili dan siap hidup sebagai warga Gorontalo. Sekarang ia sudah mempuanyai 3 orang anak: Oman Setianto, Sena Abraham Irsyad, Gantara Lara Janitra. Dua anak yang terakhir lahir di Gorontalo.

Terkondisikan Belajar Agama

Menurut Hendro, sekolah Islam itu akan mengkondisikan para gurunya untuk lebih banyak belajar agama. Ini tentunya bagi guru yang mengajar materi umum. Hendro Murjoko mengajar kimia.

“Sedikit-sedikit saya belajar ilmu agama melalui otodidak. Background pendidikan dari SD sampai S-1 dan S-2 saya semuanya umum dan fokus ke kimia. Saya memang suka membaca buku-buku agama sejak

di rumah terutama fiqih. Nah saya juga suka membaca buku khutbah Jum’at, walaupun sampai sekarang saya

belum pernah maju khutbah tapi saya suka membaca buku khutbah,” katanya.

Insan Cendekia menjadi Madrasah Aliyah pada tahun 2000. Namun konsep awal lembaga pendidikan

74 Keteladanan...

ini adalah sekolah Islam. Menurut Hendro, pada saat awal ia ke Gorontalo, pelajaran agama di Man Insan Cendekia masuk nomenklatur “pelajaran agama masjid”. “Tapi sebenarnya itu isinya seperti yang diajarkan di Madrasah Aliyah seperti aqidah, akhlaq, fiqih dan Al-

Qur’an-Hadits,” katanya. Di Insan Cendekia, para guru pelajaran umum

juga diarahkan untuk mengaitkan materi-materi yang disampaikan dengan agama. Hendro bercerita, misalnya saat ia mengajarkan tentang bahan kimia tertentu, ia menghubungkan dengan Hadits Rasulullah. “Kita menikmati cuka saat ini itu bagian dari sunnah Rasul karena di zaman Rasul cuka itu termasuk lauk pauk,” katanya.

Guru Kimia

Hendro Murjoko mengajar kimia sejak berada di Lampung, tepatnya di almamaternya SMA Utama Wacana Metro pada saat ia masih kuliah. Ia lulus kuliah tahun 1991, namun sudah mulai mengajar tahun 1990.

“Ketika saya sekolah di SMA Utama Wacana Metro, saya dibebaskan dari SPP karena berprestasi. Saya adalah lulusan terbaik jurusan IPA, tahun 1986 dan meraih NEM tertingi di sekolah 45,92,” katanya.

Kepala sekolahnya Pak Mardi R menyarankannya, masuk ke perguruan tinggi melalui jalur penelusuran minat dan kemampuan, atau jalur tanpa tes, Universtas Lampung dan mengambil jurusan pendidikan kimia. “Kalau kamu keterima diberi bekal selama kuliah Rp. 20.000 perbulan dari sekolah ini. Dan nanti klo

Keteladanan...

sudah merasa cukup dan sekolah membutuhkan kamu walaupun belum lulus kamu mengajar ke sini karena sini butuh guru kimia,” kata Hendro.

Di SMA itu, Hendro juga belajar kimia dari seorang guru kimia yang sangat bagus. Namanya I Wayan Wirya. Ia hanya guru honorer sekaligus dosen Universitas Lampung. “Jadi saya ketemu beliau lagi. Ada beberapa mata kuliah diajar oleh beliau. Di SMA beliau juga luar biasa, memberikan pelayanan sangat bagus. Beliau yang menginspirasi saya memberikan pelayanan belajar kimia dengan bagus. Saya mengikuti semangat beliau,” kenangnya.

Hendro mengajarkan ilmu kimia dasar, terutama terkait materi dan perubahannya, serta berkaitan dengan reaksi-reaksi kimia. Ia membekali siswa masuk ke perguruan tinggi terutama yang mau ingin melanjutkan ke jurusan kedokteran, teknik kimia, teknik metalurgi, biokimia, dan kimia murni.

“Pelayanan” Terbaik buat Siswa

Menurut Hendro, aktivitas pembelajaran hasus disesuaikan dengan gaya anak-anak, serta disesuaikan dengan fasilitas yang tersedia. Ia beruntung mengajar di Insan Cendekia karena sudah mempunyai Laboratorium kimia, dan waktu itu ada teknologi OHP.

“Pemanfaatkan lab kimia kita gunakan semaksimal mungkin untuk pelayanan. Lab langsung dikondisikan sedemikian sehingga siswa siap belajar. OHP juga kita gunakan semaksimal mungkin. Kita mulai menyiapkan slide-nya untuk siswa,” katanya.

76 Keteladanan...

Namun, kata Hendro, para guru tidak harus mengandalkan fasilitas. Ia bercerita, OHP di Insan Cendekia waktu itu jumlahnya terbatas dan semua guru memerlukannya. Maka ia membuat alat peraga sendiri dari bahan karton dan cat warna. Ia masuk sekolah dengan membawa “papan pajangan”. Alat-alat yang ia persiapkan itu cukup efektif membantunya dalam menyampaikan materi.

“Daripada menulis sambil bicara, lebih baik kita membawa alat. Kita membuat alat sendiri. Tidak perlu menunggu disediakan. Ini kan sederhana,” katanya.

Untuk memudahkan siswa berlatih menyelesaikan soal, ia mengumpulkan banyak sekali soal dan mengetikkannya. Sebelum masuk kelas ia sudah membawa fotocopy soal dan dibagikannya kepada siswa. Jika menulis di papan, lalu siswa juga menulis, akan butuh waktu lama. Dalam latihan-latihan soal itu siswanya sudah menerima handout copy-an soal dan tinggal dikerjakan.

“Bagi saya memang lebih baik kalau soal kita ketik. Selain berguna untuk latihan, itu juga berguna untuk menyusun soal-soal yang lain, misalnya untuk midle semester, uji coba dan lain sebagainya. Kita punya data yang telah diketik yang rapi, karena waktu itu belum jamannya internet. Saya mengajak temen-teman untuk mengetik semua soal ujian Ebtanas. Setelah diketik

diedit rapi baru kita klasifikasi sesuai pokok bahasan,” katanya.

Hendro juga mengumpulkan dan mengetik semua soal kimia untuk masuk perguruan tinggi. Semua soal yang dikumpulkan menjadi semacam “bank soal”.

Keteladanan...

Itulah salah satu sebab MAN Insan Cendekia mempunyai keunggulan dalam hal materi ajar. Seringkali madrasah ini diminta oleh pihak lain Diknas kabupaten atau provinsi untuk memberikan pelatihan guru dalam rangka peningkatan kompetensi profesional. Bank soal sangat berguna untuk keperluan pelatihan.

Selain itu, bank soal yang dipersiapkan juga sangat penting dalam membantu siswa melakukan uji coba soal ujian semester, ujian akhir bahkan ujian masuk ke perguruan tinggi. Tidak heran jika siswa-siswi MAN Insan Cendekia berhasil masuk ke perguruan favorit karena semua sudah dipersiapkan oleh guru-guru mereka sejak di Madrasah Aliyah.

Ajak Guru Sekolah Lain Maju

Hendro bercerita, awal ia masuk Insan Cendekia Gorontalo, ada dua guru kimia. Kemudian bertambah satu lagi menjadi bertiga. Kemudian ada yang pulang kampung, berikutnya ada guru baru lagi. “Di sini akhirnya saya paling tua,” katanya tertawa.

Di sela mengajar siswanya sendiri, waktu itu Hendro dengan seorang guru kimia berinisiatif untuk mengundang guru-guru kimia dari sekolah lain untuk berkumpul dan belajar bersama. Pihak Diknas setempat saat itu mengeluhkan banyak siswa sekolah yang lemah, terutama untuk materi kimia. Waktu itu Ujian Nasional masih menjadi penentu kelulusan. Ada batas minimal dan sebagian siswa sekolah di Gorontalo tidak melampuai batas minimal itu.

78 Keteladanan...

“Saya dan teman saya Bu Mul, guru kimia juga, berinisiatif untuk menhubungi teman-teman guru sekolah lain untuk belajar bersama di Insan Cendekia. Nanti tutornya saya. Jadi mereka saya ajak meningkatkan kompetensi profesional, menguasai materi ajar, materi kimia,” katanya.

Pertemuan diadakan satu bulan sekali. Pertemuan dimulai dari tes awal untuk mengetahui kemampuan, lalu materi dan metode pembelajaran. Para guru kimia sangat bersemangat, terutama karena untuk mengejar nilai siswa-siswa mereka. Pertemuan rutin itu berjalan sampai dua tahun.

“Hasilnya alhamdulillah ada peningkatan kemampuan. Awalnya para guru kita uji dengan soal Ujian Nasional, ternyata hasil tes guru itu rendah. Kesimpulannya, guru juga tidak menguasai, lalu bagaimana dengan siswanya?” katanya.

Hendro mengorganisir para guru kimia di Gorontalo untuk belajar bersama dan dibiayai bersama. “Pertemuan diadakan pada Sabtu awal bulan, saat para guru baru gajian. Mereka membayar transport pakai uang sendiri. Makan minum kita urunan (iuran). Ada sekitar 40 guru kimia yang berasal dari 25-an sekolah,” katanya.

Di hadapan para guru sekolah lain, Hendro menciptakan ‘keresahan’. “Saya ajari mereka untuk resah. Kita ajari praktikum. Sebagian dari mereka mengatakan, di sekolah kami belum diterapkan praktikum. Namun, saya ajari mereka utuk resah. Kalu

Keteladanan...

sudah resah kan nanti lapor ke pimpinan supaya ada praktikum. Saya menciptakan keresahan dulu,” katanya.

Selain praktikum, para guru juga diajak mempelajari SKL , Standar Kompetensi Lulusan. Jadi saat datang ke Insan Cendekia mereka diberikan pre-test, materi- materi, lalu ada post-tes. Dari situ baru kelihatan ada peningkatan kemampuan. Hasilnya, kepercayaan diri para guru kimia di Gorontalo meningkat.

Guru Teladan

Hendro Murjoko adalah sosok guru yang supel dan mudah bergaul. Ia mudah sekali akrab. Cara berbicaranya tegas dan suaranya jelas. Kalimat-kalimatnya sederhana. Saat bercerita, terkadang ia mengulang-ngulang kalimatnya, seperti sedang memberikan penjelasan di depan kelas. Orang yang diajak bicara akan mudah sekali paham.

Siswa MAN Insan Cendekia Gorontalo sedang menghafal Al-Qur’an di pagi hari sebelum bersiap masuk kelas

80 Keteladanan...

Ia adalah sosok yang sangat disiplin. Tinggal di luar komplek MAN Insan Cendekia Gorontalo, ia datang pagi-pagi sekali. Pukul 06.05 ia berangkat dari rumah dan sampai di madrasah pukul 06.15 waktu setempat. Ia mengendarai “motor lelaki” yang kelihatan masih baru. “Guru kimia kan harus tampil beda,” katanya ketika berpapasan di pintu gerbang MAN Insan Cendekia.

Datang paling pagi, ia juga selalu pulang paling sore, setelah para siswanya pulang. Menurutnya, kebiasaan seperti itu ia tiru dari sosok guru dan kepala sekolahnya dulu sewaktu di Lampung, Pa Mardi R. atau Mardi Rahardjo.

“Saya ingat betul Pak Mardi R. Beliau datang paling awal seakan beliau yang membuka pintu. Meskipun siang beliau ke luar sekoalah, sebagai pegawai negeri, namun beliau balik lagi ke sekolah dan beliau pulang paling terakhir. Jadi beliau datang pagi sebelum siswa datang dan pulang paling lama. Itu yang saya ingat. Jadi saya pulang setelah shalat ashar,” katanya

Saat berhadapan dengan siswa guru harus dalam kondisi prima dan bersemangat. “Kalau gurunya bersemangat, akan membuat siswa bersemangat.

Kalau guru berfikir positif, siswa akan berpikir positif. Kalau saya senyum siswa akan senyum. Kalau saya

mengucapkan ‘Assalamau’alaikum’ dengan senyum mereka juga senyum. Itu fakta lho!”

“Kalau saya tidak semangat, ya siswa-siswa jadi tidak semangat. Kalau saya disiplin waktu insyaallah siswa akan mengikuti. Kalau saya tidak terlambat masuk kelas, anak-anak akan mengkondisikan supaya tidak terlambat,” tambahnya.

Keteladanan...

Sekitar tahun 2010 lalu, para guru di MAN Insan Cendekia Gorontalo sepakat memilihnya sebagai guru teladan. “Entah mereka memilih dari sisi apa saya tidak pernah mikir,” kata Hendro yang pernah menjabat Kepala Madrasah.

“Ketika pertama saya sampai di sini (Insan Cendekia Gorontalo) karena waktu itu tidak ada yang bisa nyupir, saya yang menjadi sopir. Saya yang mengantarkan guru atau anak amak ke dokter. Jadi saya guru kimia sekaligus nyupir. Kalau guru kimia menjadi kepala laboratorium itu kan sudah biasa. Tetapi saya nyupir juga waktu itu. Saya punya kemampuan ya saya manfaatkan untuk madrasah. Saya juga pernah menjadi ketua panitia lelang, lalu ikut mengurus rehap penggantian atap madrasah, menghitung biaaya, mencarikan dan mengawasi tukang, itu kan luar biasa,” katanya tertawa.

Betah di Gorontalo

Hendro Murjoko menjadi Kepala MAN Insan Cendekia Gorontalo pada bulan Oktober 2000 sampai Juni 2001. Setelah selesai bertugas, ia kembali menjadi guru biasa, spesialis mata pelajaran kimia. Ia berangkat pagi dan pulang sore selepas shalat ashar. Di sela mengajar ia membaca buku. Selain buku-buku agama, ia membaca banyak sekali novel, dari novel sejarah sampai detektif. Terkadang ia tunjukkan ke siswanya kalau ia suka membaca. “Saya ini memberikan inspirasi pada siswa. Kalau gurunya suka baca, harapannya mereka itu juga ikut,” katanya.

82 Keteladanan...

Apa yang membuatnya betah di Gorontalo? Ia tertawa mendapat pertanyaan ini.

“Sebenarnya itu kompromi saya dengan anak istri. Di Gorontalo kita sekeluarga tidak punya saudara kandung. Saudara saya 9 orang, istri 6 orang semua di Lampung. Kadang kami merasa sepi. Kog rasa-rasanya enak kalau pulang ke Lampung,” katanya.

Sesekali Hendro dan keluarga pulang ke Lampung bersama istri dan anak-anaknya. Namun baru beberapa hari di Lampung, anak-anaknya sudah ingin kembali ke Gorontalo. “Ternyata yang punya lampung itu saya dan istri saya. Anak-anak saya itu punyanya Gorontalo,” katanya.

“Sebenarnya saya pribadi menikmati di Gorontao. Lebih-lebih anak-anak tahunya tumpah darah mereka itu Gorontalo. Kalau saya dimana-mana bisa menikmati,” katanya.

Kementerian Agama mendirikan beberapa MAN Insan Cendekia baru di berbagai daerah. Sempat bisik- bisik diantara beberapa guru untuk berpindah ke tempat yang baru. Hendro juga pernah mendapatkan tawaran, namun ia tidak tertarik. Di tempat baru, ia harus memulai yang baru. “Mungkin yang agak sulit itu mengkondisikan anak-anak,” katanya. Putra pertamanya kini sudah kuliah di Universitas Brawijaya Malang pada jurusan kedokteran hewan. Namun dua anak lainya masih kecil. Anak kedua masih dudu di kelas XI dan satu lagi masih duduk di kelas 5 SD.

Keteladanan...

Jadi ia memutuskan untuk tetap tinggal dan menetap di Gorontalo. Di daerah berpenduduk mayoritas Muslim ini, ia juga bertemu dengan teman-teman dari daerah yang jauh. Istilahnya, ia punya banyak teman senasib sepenanggungan. Ia juga sudah bergaul akrab dan menjadi bagian dari masyarakat Gorontalo selama bertahun-tahun. (*)

84 Keteladanan...