Pencetus “Akar Ilalang”

Pencetus “Akar Ilalang”

Di luar sekolah dan kampus, Widya juga masih meluangkan waktu untuk anak-anak sekitar rumahnya belajar. Anak-anak asuhnya ini diberi nama “Akar Ilalang”. Bercerita tentang aktivitas anak-anak Akar Ilalang, mereka belajarnya usai Maghrib. “Jika mereka mau pentas, maka saya suruh datang lebih awal,” ujar ibu yang enerjik ini.

Widya yang memiliki tiga anak: Jelang Sasi Siam (10 tahun) kelas V SD, Juang Anugrah Langit (4,5 tahun),

Keteladanan... 189 Keteladanan... 189

“Rumah Akar Ilalang itu merupakan satu impian saya. Saya pengen memiliki lembaga pendidikan yang diperuntukkan bagi anak-anak miskin dan mereka bisa sekolah gratis tanpa harus membayar apapun dan direpoti dengan apapun. Itu masih impian saya. Tapi untuk mencapai impian itu kan nggak mudah. Sebab, kita harus punya gedung, harus punya sumber daya dan lain sebagainya,” ujarnya.

Nah, karena keterbatasan-keterbatasan itu akhirnya Widya berpikir apakah dengan keterbatasan yang ada ini apakah ia tidak bisa berbuat apa-apa? Can’t do something? “Akhirnya saya berfikir gini, anak saya itu kalau saya tinggal, jam setengah lima sore belum juga mandi. Masih maen ke mana-mana. Nah, terus saya berpikir ini bagaimana caranya, sudahlah gini aja, saya bawa mereka ke musholla dulu di depan rumah. Berarti, anak saya harus sudah mandi,” kata dia.

Widya lalu menyuruh anaknya ke musholla bersama teman-temannya. Jadi tidak ada yang main- main lagi. Semula ia juga melibatkan anak-anak remaja untuk gabung. Di musholla itu ia buat jadwal. Misalnya, hari senin cerita tentang kisah nabi, lalu selasa membaca cerita tentang orang-orang hebat. Rabu, belajar mewarnai. Trus hari kamis, belajar lain lagi atau hafalan surat pendek, sambil nyanyi-nyanyi ‘Tepuk Anak Sholeh’, misalnya. “Ada sekitar 40 anak yang aktif di situ,” kata Widya.

190 Keteladanan...

Seiring berjalannya waktu, anak-anak di situ makin rajin belajar hinggga maghrib menjelang. “Mereka terus sholat maghrib. Lalu, ngaji kepada kiainya musholla. Nah, yang selesai ngaji belajar sama saya tentang pelajaran sekolah. Tapi lama-lama, itu ternyata tidak disukai para orang tua. Alasannya, musholla tidak boleh digunakan untuk kegiatan selain mengaji dan ibadah,” kata Widya menirukan warga.

Daripada terjadi konflik dengan warga, Widya lalu melapor ke Pak RT untuk memindahkan belajar anak-

anak ke rumahnya. “Saya bilang ke beliau, lebih baik saya pindah ke rumah saja belajarnya. Terus, kegiatan itu pindah ke sana semua, tepatnya rumah ibu saya. Akhirnya, guru ngajinya juga mutung ngajari ngaji. Malah sekarang guru ngaji tersebut pergi dari desa ini,” tuturnya.

Lalu, anak-anak ngaji di luar. Ke sininya usai maghrib. Mereka tidak lagi seperti yang sebelumnya. Mereka kalau usai maghrib belajar semua. Untuk hari Jumat dan Ahad mereka latihan menari, baca puisi, drama.

Ditanya soal nama Akar Ilalang, Widya menjelaskan sebenarnya yang memberi nama adalah teman- temannya dari perkumpulan pecinta seni dan sastra se-Margoyoso bernama “Gandrung Sastra”. Beberapa waktu lalu, saat ia mendirikan kegiatan ini mereka ramai-ramai datang ke sini.

“Ini mestinya kamu kasih nama gitu. Nama apa yaa?! Ya apa aja lah. Lalu adik saya usul gini, Akar

Keteladanan... 191

Ilalang aja. Kenapa akar ilalang? Itu kan mereka anak kecil dari kalangan tidak mampu. Jadi, kami berharap akar ilalang itu kan nggak kepakai. Apalagi akarnya, lha wong ilalangnya aja nggak kepakai kok. Betul nggak? Tapi, kita buat supaya kepakai,” ungkapnya.

Terbukti, anak-anak asuhnya itu termasuk golongan orang miskin, kelihatan tidak pandai dan kumel. Rata- rata mereka tidak pernah diberi kesempatan oleh pihak sekolah untuk berprestasi. Sebab, yang diberi kesempatan pasti anak yang cantik, ganteng, bersih, pinter, atau anaknya orang kaya. Lalu, anak-anak yang kebetulan tidak seperti kategori ini tidak akan pernah dapat kesempatan untuk menunjukkan talentanya.

“Di sini, mereka kami beri kebisaan. Mereka pun lalu bisa mementaskan kebisaan mereka di beberapa tempat. Dan itu menjadi kebanggaan yang besar bagi mereka dan orang tua mereka. Contohnya anak saya, saya kan tidak pernah menunjukkan jati diri saya kepada pihak sekolah. Anak saya tidak pernah diberi kesempatan untuk berprestasi apapun. Lomba apapun tidak pernah diikutkan. Begitu mengetahui anak saya pernah pentas di beberapa kesempatan di kecamatan, akhirnya diberi kesempatan,” ujarnya bangga.

Bahkan, kemarin anaknya diminta melatih kawan- kawan sekelasnya belajar tari saman untuk pentas Hardiknas. Di situ diumumkan bahwa ini adalah kreasi dari Mbak Sasi dari akar ilalang. Dan ini membanggakan bagi semua. “Bahkan, anak-anak MI di desa saya ini lulus dengan NEM terbaik dan bisa melanjutkan dan diterima di SMP favorit di kecamatan ini,” kata dia.

192 Keteladanan...

Biasanya, nilai anak-anak MI di daerahnya rendah. Banyak orang tua yang tidak percaya, kok bisa ya anak itu diterima di SMP 1 Margoyoso?! “Kan nggak mungkin nyogok karena anaknya orang miskin. Jadi, kalau nggak cerdas nggak mungkin keterima kan?! Kan ada tuh yang keterima di Mathole’ (Matholi’ul Falah) juga tanpa tes,” ungkapnya.

Anak-anak Akar Ilalang biasanya belajar usai Maghrib. Selain menari, mereka juga latihan baca puisi dan bermain drama. Bagi Widya, pendidikan melalui seni sangat bermanfaat bagi perkembangan anak. “Saya hanya ingin memberi inspirasi bagi mereka, bahwa jika mereka memiliki satu keahlian yang bisa bisa dilihat banyak orang kan mereka seperti mendapatkan pengakuan,” ujarnya bangga.

Mengutip teori Maslow, Widya menyebut kebutuhan yang paling tinggi adalah aktualisasi diri. “Nah, ini lho saya. Kan bisa meningkatkan motivasi diri. Meski demikian, pinter nari dan puisi kalau tidak punya nilai tinggi di sekolah juga sama saja kosong. Setelah saya bilang begitu, mereka lalu tergerak dan bersemangat untuk belajar mata pelajaran sekolah. Kalian bisa lebih berprestasi tidak hanya pandai di satu bidang,” kata Widya suatu ketika.

Menjelang penampilan seni, anak-anak Akar Ilalang tetap semangat dan merasa tidak terbebani oleh padatnya jadwal latihan. Mereka tetap enjoy dan riang gembira. (*)

Keteladanan... 193