Prestasi Formal dan Nonformal

Prestasi Formal dan Nonformal

Widya (38), demikian ia akrab disapa, mendedikasikan ilmu dan pengalamannya bagi kemajuan siswa dan madrasah tempatnya mengajar. Itu sudah dilakukannya sejak di bangku kuliah. Salah satu yang dilakukannya antara lain, mengikuti lomba guru berprestasi baik di tingkat kabupaten maupun provinsi.

Untuk tingkat Kabupaten Pati, Widya dapat juara

I Guru MA Berprestasi. Ia juga menyabet gelar Guru Berprestasi tingkat Provinsi Jawa Tengah pada tahun

172 Keteladanan...

2015. “Itu yang secara formal. Terus dikirim ke provinsi, alhamdulillah masih dapat juara tiga,” tutur Widya bangga.

Meski itu pengalaman pertama, namun bagi dia merupakan pencapaian yang luar biasa. Pasalnya, selain tidak ada pengalaman dan pembinaan dari siapapun, ia mempersiapkan sendiri materi dan segala hal terkait perlombaan. “Kami membuat karya ilmiah sendiri, mempersiapkan segala sesuatunya sendiri. Jadi, itu adalah satu capaian yang luar biasa bagi saya,” tandasnya.

Widya merasa, prestasi formal bukan segala- galanya. Ia lebih bersyukur memiliki prestasi nonformal. “Untuk prestasi nonformal, saya pikir saya sudah menjadi teladan bagi anak saya. Itu sudah satu prestasi. Apalagi saat saya tanya, pengen jadi apa dek? Anak saya bilang, ingin jadi seperti ibu, jadi guru. Berarti sikap saya selama ini sudah menjadi teladan bagi dia, minimal itu,” ujarnya merendah.

Widya merasa anak-anak didiknya memiliki kesan dirinya merupakan prototipe guru yang galak. Meski demikian, kesan tersebut tidak membuatnya dibenci murid. Justru ia merasa dicintai dan dihormati mereka. “Kalau bagi murid saya yang lain memang saya terkenal sebagai guru yang katanya galak, tapi dicintai banyak murid,” ujarnya sembari tergelak.

Mengapa demikian? Menurut dia, karena sikap galak yang ditunjukkannya bagi anak-anak merupakan galak yang mendidik. Contoh misalnya, ia sering

Keteladanan... 173 Keteladanan... 173

“Saya bilang, kalau berjilbab ya rambutnya nggak boleh kelihatan. Jadi, kalau ada rambut yang koser- koser di belakang itu pasti saya jambak. Mesti seperti

itu. Ini kuda apa gadis Aliyah Salafiyah ini. Kan nggak ada bedanya antara kuda yang di pasar dengan anak MA salafiyah ini. Yang kayak gitu langsung saya jambak,” ujarnya.

Widya juga sangat memperhatikan soal pakaian khususnya seragam. Terus jika ada anak anak MA

Salafiyah yang pakai seragam streat, agak pendek, gitu kan dikeluarin ya, karena pendek gitu, itu biasanya saya

kerjain, di papan tulis saya suruh nulis kan tangannya gini (sambil memperagakan menulis) jadi kan kelihatan karena terbuka. Waw keren banget. Saya bilang gitu,” katanya sembari tertawa.

Ia juga memiliki trik jitu mengatasi anak didik yang malas mengerjakan pekerjaan rumah (PR). “Mungkin galaknya itu kalau muridnya nggak ngerjain PR. Saya bilang ke anak-anak, oke, saya beri kesempatan. Tapi ngerjainnya sampai lima kali yaa. Besok biar mereka nggak mengulangi lagi,” ujar Widya.

Meski mengaku wajahnya kelihatan galak, ia tetap ramah kepada siapapun. Ia mengakui orang yang pertama kali melihatnya pasti terkesan jika ia galak. “Kalau pertama kali ngeliat saya pasti hmmm, galak banget yaa. Tapi kalau sudah kenal, nggak kok,” kata Widya sembari tertawa.

174 Keteladanan...

Agar para siswa memperhatikannya, ia sering menyelipkan kalimat-kalimat petuah setiap kali ia mengajar. “Apapun itu. Contoh misalnya, saya mengajar Akuntansi. Tantangannya berat sekali. Ya, mengajar Akuntansi di madrasah yang mereka itu entah bagaimana ceritanya ada kiai yang mengatakan bahwa ilmu ekonomi itu nggak bisa dibawa masuk surga. Tidak bisa menjawab pitakon kubur.”

Ia pun membenarkan pendapat kiai tersebut. “Saya jawab betul. Kiaimu betul sekali,” kata dia sembari mengangkat jempol. Memang nggak ada pertanyaan kubur yang bisa dijawab dengan ilmu ekonomi, tambahnya. “Nggak bisa karena yang dibawa bawa mati hanya tiga, iya to?! Salah satunya adalah ilmu yang bermanfaat,” ujarnya.

“Kenapa kalian sekolah, mencari ilmu. Buat apa? Cari pekerjaan bukan? Nah, itu. Pekerjaan itu adalah nanti memanfaatkan ilmu yang dimiliki, itu yang bisa dibawa mati. Memang nggak bisa dipakai untuk menjawab pitakon kubur tapi bisa dibawa mati karena ilmunya yang bermanfaat. Tapi kalau kalian sekolah tidak bisa memanfaatkan ilmu ya tidak bisa dibawa mati,” tegasnya.

Yang kedua, lanjutnya, supaya pelajaran masuk di otak mereka, ia merujuk ke Al-Qur’an. Meski orang ekonomi yang tidak pernah sekolah di madrasah, ia berani menunjukkan kebenaran. “Baca al-Baqarah ayat 282. Di situ diperintahkan setiap kalian bertransaksi, catatlah. Nah, Akuntansi itu jadi ilmu pencatatan itu. Jadi dasarnya jelas. Siapa bilang Akuntansi bukan ilmu

Keteladanan... 175 Keteladanan... 175