Evaluasi Sistem TPTJ
C. Evaluasi Sistem TPTJ
sampai 34,64 (Beni, 2006)
Sistem TPTJ yang diberlakukan sejak tahun 1997 dalam
Tabel 19. Dampak pemanenan pada jalur antara sistem TPTJ
skala terbatas masih belum menunjukkan hasil akhir yang nyata. Namun baru 5 tahun berjalan (tahun 2002), sistem ini
dibekukan karena dengan penerapan variasi lebar jalur bersih
40 cm up
dianggap rawan penyalahgunaan dan membahayakan
Tebang Penyarad
keberadaan biodiversity dan kelestarian hutan. Tiga tahun
an an
kemudian (tahun 2005) dikeluarkan juknis sistem TPTI Intensif
72 yang sangat mirip dengan TPTJ, dengan tidak memberi variasi 28
lebar jalur bersih melainkan hanya satu teknik dengan lebar jalur bersih (jalur tanam) sebesar 3 m dan jalur antara 17 m.
b. Pada jalur bersih
Pada sistem TPTII dan TPTJ 2009, jarak antar tanaman dalam jalur tanam selebar 5 m (jarak tanam 5 m x 20 m) namun dalam
Pada jalur bersih (lebar 3 meter) penutupan lahan hampir
perkembangan selanjutnya dan dengan menekankan pada aspek
sudah tidak ada lagi. Namun demikian bahan organik bawah
silvikultur intensif, diterapkan jarak antar tanaman dalam jalur
berupa sisa-sisa tunggak dan perakaran, serasah dan humus
tanam selebar 2,5 m (jarak tanam 2,5 m x 20 m). Perbedaan
masih dipertahankan. Horison tanah berupa lapisan O (litter
jarak tanam ini berkaitan dengan kerapatan tanaman dan
and duff - fermentation, humus), lapisan A, B, C sampai
prediksi hasil panen pada akhir daur.
bedrock masih dipertahankan dengan baik. Jalur bersih mempunyai intensitas sinar dan suhu yang lebih banyak serta ruang tumbuh lebih besar.
Menurut Mori (2001) dan Romell (2007), pertumbuhan
berupa parit, jalan angkutan, rawa, sungai, daerah berbatu dan
tanaman dalam jalur tanam lebih banyak disebab faktor cahaya
kelerengan sangat curam yang tidak dapat dipergunakan
yang berasal dari pembukaan jalur, disamping faktor lain yang
sebagai areal penanaman. Areal efektif tanaman di PT Sari
menyertai sebagai efek dari pembukaan jalur tersebut, seperti
Bumi Kusuma sebesar 53-79 (PT SBK 2010) dan PT
suhu dan kelembaban. Namun perlu diwaspadai efek kenaikan
Sarmiento Parakantja Timber sebesar 71,7-85,06 (PT
suhu terhadap akumulasi bahan organik dalam jalur tanam,
Sarpatim 2010). Dengan demikian, jumlah tanaman efektif
karena menurut Kikuchi (1996), suhu udara yang meningkat
pada sistem TPTJ (jarak tanam 2,5 m x 20 m) bukan lagi 200
akan mengurangi kandung bahan organik. Faktor lain yang
batang per ha melainkan 106 batang sampai 170 batang per ha
mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah sifat fisik, kimia
saja.
dan biologi tanah.
Menurut Wahyudi et al. (2010) tingkat penutupan tajuk pada
2. Implikasi pada kelestarian produksi
jalur tanam berkisar antara 25-65 densiometer scale (ds) atau berada pada kelompok penutupan tajuk 1 (1-25 ds), 2 (26-50
a. Pada jalur antara
ds) dan 3 (51-75 ds) namun rata-rata berada dalam kelompok
Penebangan sistem TPTJ dengan limit diameter 40 cm
penutupan tajuk 3 dengan skor 53,5 ds. Gambaran tingkat
menyebabkan intensitas sinar dan suhu lebih banyak dan
penutupan tajuk pada kelompok 3 di jalur tanam terlihat pada
menciptakan ruang tumbuh yang lebih baik bagi tegakan
Gambar 23.
tinggal serta menyisakan pohon inti berdiameter 20-39 cm. Dengan asumsi riap diameter sebesar 1 cmth serta siklus tebang 25 tahun maka pada daur ke-2, pohon inti telah berubah menjadi pohon tebang dengan diameter 45-64 cm (Beberapa penelitian menunjukkan riap diameter tegakan tinggal sebesar 0,5-0,9 cmth namun hasil penelitian Indrawan (1992) menunjukkan riap diameter tegakan tinggal sebesar 1,2 cmth).
Riap diameter pohon pada sistem TPTJ diperkirakan akan bertambah (dibanding TPTI) karena intensitas penutupan canopi yang berkurang, sehingga meningkatkan intensitas sinar dan suhu serta memberi ruang tumbuh yang lebih baik pada pertumbuhan permudaan alam (natural regeneration) terutama
a b
pohon inti. Menurut Maman Sutisna (1996) pertumbuhan
Gambar 23. Gambaran tingkat penutupan tajuk kelompok 3
pohon, khususnya meranti, akan melambat setelah mencapai
berdasarkan skala densiometer (ds). Jalur tanam
diameter 40 cm. Oleh karena itu penebangan dengan limid
lebar 3 m (a) tampak horisontal (b) tampak
diameter 40 cm adalah langkah yang tepat untuk meningkatkan
vertikal
produktifitas hutan.
Menurut Wahyudi (2011) jumlah areal efektif tanaman pada jalur tanam sebesar 76,8 dan sisanya areal tidak efektif
Wahyudi (2011) menunjukkan kurva pertumbuhan sigmoid
Kelemahan sistem ini terletak pada penurunan diameter kayu-
serta kurva MAI dan CAI pada pohon meranti di PUP hutan
kayu yang diproduksi dibanding pada virgin forest.
bekas tebangan dengan persamaan sebagai berikut
a. Pertumbuhan meranti (sigmoid growth):
b. Pada jalur bersih
G = -0,007 X 2 + 1,9105X – 4,6489
Pada jalur bersih ditanam anakan dengan jenis terpilih, yang
b. Pertumbuhan tahunan rata-rata (MAI):
mempunyai pertumbuhan lebih cepat dan kualitas batang yang
M = -0,0009X + 0,0578X + 0,6618
baik. Pertumbuhan anakan memerlukan intensitas sinar, suhu
c. Pertumbuhan tahunan berjalan (CAI):
dan ruang tumbuh yang cukup. Jalur bersih telah memberikan
C = -0,0026X + 0,1193X + 0,5465
tempat tumbuh yang optimal bagi pertumbuhan anakan.
Gambar 24 menunjukkan bahwa daur ekonomis pohon
Menurut Soekotjo (2009), dengan menggunakan asumsi siklus
meranti tercapai pada tahun ke-35 yang ditandai dengan kurva
tebang 30 tahun maka diprediksi potensi produksi sebesar 400
sigmoid mulai mendatar dan terjadi perpotongan kurva MAI
m 3 ha yang berasal dari 160 pohon masak tebang (80 dari
dan CAI. Sebelum tahun ke-35 pertumbuhan pohon meranti
stok) berdiameter rata-rata 50 cm.
masih menguntungkan secara signifikans dan setelah tahun ke-
Berdasarkan hasil pemodelan terhadap pertumbuhan
35 pertumbuhannya mengalami menurunan secara ekonomis.
tanaman Shorea leprosula pada jalur tanam sistem TPTJ di PT
Pada tahun ke-35, diameter pohon meranti diprediksi telah
GM, diperoleh daur ke-1 selama 32 tahun dengan pencapaian
mencapai 55 cm.
3 kubikasi sebesar 136,72 m 3 ha, yang terdiri dari 125,14 m ha
berdiameter 40 cm ke atas dan 11,58 m ha berdiameter 30-39
Pertumbuhan Sigmoid
cm. Pencapaian kubikasi pada siklus ke-1 ini lebih besar
dibanding kubikasi yang diperoleh dari hasil tebang penyiapan
lahan sistem TPTJ sebesar 22, 41 m 3
ha (40 cm ke atas) atau
dari sistem TPTI sebesar 34,56 m ha (60 cm ke atas) sehingga
produktifitas hutan meningkat sebesar 458,41 dari
Pada sistem TPTJ diperkirakan perusahaan akan
mendapatkan hasil hutan kayu yang lebih besar dibanding pada periode sebelumnya meskipun hanya memanfaatkan hasil
0 10 20 30 40 50 60 0 10 20 30 40 50 tanaman dalam jalur tanam. Oleh karena itu pada siklus
Tahun
berikutnya sebaiknya tegakan tinggal pada jalur antara dijadikan sebagai jalur konservasi.
Tahun
Menurut Wasis (2006), pada daur ke-2 akan terjadi
Gambar 24. Kurva sigmoid, MAI dan CAI pohon meranti
penurunan kualitas tempat tumbuh sebesar 26,6 di hutan tanaman yang berdampak pada penurunan pertumbuhan
Melihat data-data tersebut, maka kelestarian produksi pada
diameter sebesar 19,8; biomassa sebesar 16,8 dan volume
jalur antara masih dapat dipertahankan, apalagi bila disertai
batang sebesar 19,0. Hal ini disebabkan adanya penurunan
pembinaan pohon inti (pohon binaan) secara lebih intensif.
pH tanah C organik, N, Ca dan Mg. Berdasarkan asumsi ini,
sepenuhnya dapat diterapkan karena masih terdapat jalur antara
maka untuk menciptakan kelestarian produksi tanaman Shorea
yang mampu menopang kondisi lingkungan di sekitarnya.
leprosula pada jalur tanam pada daur ke-2 diperlukan waktu
Oleh karena itu penelitian lanjutan untuk mengetahui tingkat
yang lebih panjang, yaitu 39 tahun (Gambar 25).
penurunan kualitas tempat tumbuh pada jalur tanam sistem TPTJ perlu dilakukan.