Sistem TPTI

1. Sistem TPTI

  Sistem TPTI termasuk Polycyclic system dengan menerapkan tebang pilih individu dengan limit diameter

  Gambar 40. Kawasan hutan produksi terfragmentasi: (a)

  (individual selective cutting). Secara umum sistem seperti ini

  berhutan (b) semak belukar (c) lahan kosong.

  tidak memberi produktifitas yang tinggi namun sangat

  Multisistem silvikultur cocok diterapkan di sini.

  bersahabat dengan lingkungan karena masih menyisakan sebagian besar tegakan tinggal (Mitlöhner 2009, Wahyudi

  Upaya untuk meningkatkan produktifitas dan kelestarian

  2009). Sistem seperti ini akan selalu mempertahankan pola all-

  hutan yang telah terfragmentasi ini dapat ditempuh melalui

  aged forest, sebagai indikator awal kelestarian struktur dan

  penerapan multi sistem silvikultur (multiple silvicultural

  komposisi tegakan tinggal (Wahyudi 2010).

  system) yaitu penerapan beberapa sistem silvikultur dalam satu

  Syarat kelayakan pengelolaan hutan mengacu pada jumlah

  unit manajemen sesuai dengan struktur, komposisi dan kondisi

  pohon masak tebang minimal yang boleh ditebang per hektar

  penutupan lahannya agar diperoleh manfaat yang optimal.

  yang harus terdapat pada areal yang dikelola agar dapat

  Menurut Indrawan (2008) multisistem silvikultur adalah sistem

  memberikan keuntungan secara finansial (Suhendang 1985).

  pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dua atau lebih

  Salah satu indikator pengelolaan hutan alam produksi lestari

  Berdasarkan penemuan di atas, siklus tebang sistem TPTI

  adalah terciptanya tingkat pemanenan lestari untuk setiap jenis

  tergantung pada struktur dan komposisi tegakan tinggal

  hasil hutan kayu dan nir kayu pada setiap tipe ekosistem (SK

  masing-masing serta target produksi yang diinginkan sehingga

  Menhut Nomor 4795Kpts-II2002 tentang Kriteria dan

  tidak bisa dibuat sama untuk semua kawasan hutan produksi.

  Indikator Pengelolan Hutan Alam Produksi Lestari Lestari:

  Siklus tebang ke-2 selalu lebih panjang dibanding siklus

  Kriteria 2, indikator 2.2.).

  sebelumnya yang mengindikasikan telah terjadi penurunan

  Dalam kasus di PT Gunung Meranti, rata-rata produksi

  kualitas tempat tumbuh sebagai dampak dari penebangan.

  sistem TPTI dari tahun 1990 sampai 2009 adalah 34,56 m 3 ha dengan jumlah pohon 5,1 pohonha (PT GM 2008).

  2. Sistem TPTJ

  Berdasarkan hasil pemodelan, untuk memulihkan kondisi

  Sistem TPTJ menggabungan konsep tebang pilih individu

  seperti semula diperlukan waktu pada siklus ke-1 dan ke-2

  pada jalur antara dan tebang habis dengan penanaman butan

  masing-masing selama 29 dan 37 tahun.

  (THPB) pada jalur antara. Riap tahunan rata-rata (MAI) diameter dan tinggi tanaman Shorea leprosula dalam jalur tanam yang berumur 2 tahun masing-masing sebesar 1,06 cmth dan 145 cmth, sedangkan MAI diameter tanaman meranti yang telah berumur 11 dan 16 tahun masing-masing sebesar 1,22 cmth dan 1,31 cmth.

  Tanaman meranti mencapai daur ke-1 pada umur 32 tahun dengan potensi sebesar 136,72 m 3 ha yang terdiri dari 125,14

  3 m 3 ha berdiameter 40 cm ke atas dan 11,58 m ha berdiameter 30-39 cm. Pencapaian kubikasi tanaman pada daur ke-1 ini

  lebih besar dibanding kubikasi yang diperoleh dari hasil tebang penyiapan lahan sistem TPTJ sebesar 22, 41 m 3

  ha atau dari

  sistem TPTI sebesar 34,56 m 3

  ha, sehingga sistem ini mampu meningkatkan produktifitas hutan. Tidak semua tanaman meranti telah mencapai diameter 50 cm pada umur 32 tahun.

  Gambar 41. Respon perkembangan kerapatan pohon masak

  Pencapaian tertinggi terjadi pada umur 39 tahun, namun

  tebang terhadap pemanenan jenis komersial

  demikian penetapan siklus tebang selama 35 tahun sudah dapat

  ditebang sistem TPTI di IUPHHK PT Gunung

  memberi keuntungan yang baik (Wahyudi 2010a).

  Meranti, Kalimantan Tengah

  Pada daur ke-2 diperkirakan terjadi penurunan kualitas tempat tumbuh sehingga untuk mencapai tingkat produksi yang

  Untuk mencapai siklus yang lestari pada PT Inhutani II di

  sama diperlukan daur 39 tahun. Upaya untuk memperpendek

  Pulau Laut (Kalsel) diperlukan siklus ke-1 dan ke-2 masing-

  siklus tebang ke-2 dapat dilakukan dengan pemberian input

  masing selama 24 dan 37 tahun (Indrawan 2003a) sedangkan

  unsur hara dari luar, seperti pemupukan, pemulsaan dan lain-

  pada PT Ratah Timber (Kaltim) diperlukan waktu masing-

  lain.

  masing selama 30 dan 43 tahun (Indrawan 2003b).

  Riap tahunan rata-rata (MAI) diameter tegakan tinggal

  3. Program Reboisasi

  tingkat tiang dan pohon pada jalur antara berkisar antara 0,21

  Reboisasi adalah penanaman yang dilakukan pada kawasan

  sampai 0,76 cmth dengan tingkat pertumbuhan tertinggi berada

  hutan yang telah terdegradasi, seperti areal semak belukar dan

  pada pohon-pohon berdiameter 30 sampai 40 cm. Kelompok

  lahan kosong. Lahan kritis dan terdegradasi di dalam kawasan

  meranti dan dipterocarpa non meranti mempunyai pertumbuhan

  hutan seluas 21,94 juta ha (Tarigan et al 2009) yang tersebar

  yang lebih tinggi dibanding kelompok komersial lain.

  secara sporadis. Upaya untuk meningkatkan produktifitas

  Kelestarian produksi pada jalur antara sistem TPTJ dapat

  lahan seperti ini melalui THPB. Berdasarkan hasil penelitian,

  tercapai dengan menerapkan siklus tebang ke-1 dan ke-2

  penanaman tanaman jabon, sengon, sungkai dan akasia

  masing-masing selama 26 tahun dan 40 tahun.

  mangium pada lahan seperti ini masih mampu memberikan keuntungan yang baik. Perhitungan dilakukan pada lahan netto, artinya areal tidak efektif untuk produksi dianggap nol atau semua lahan dianggap dapat ditanami.

  Pada umur 5 tahun, pertumbuhan tahunan rata-rata (MAI) dan kerapatan tanaman akasia mangium, jabon, sengon dan

  sungkai masing-masing sebesar 6,79 m 3 hath dan 840

  3 pohonha; 15,96 m 3 hath dan 751 pohonha; 24,32 m hath dan 756 pohonha serta 1,85 m 3 hath dan 1.045 pohonha

  (Wahyudi 2006).

  Gambar 42. Respon perkembangan kerapatan pohon masak

  tebang terhadap pemanenan jenis komersial ditebang sistem TPTJ di IUPHHK PT Gunung Meranti, Kalimantan Tengah

  Dengan demikian, siklus tebang ke-1 pada sistem TPTJ, khususnya di PT Gunung Meranti, sebaiknya selama 35 tahun dan jalur antara sebaiknya dijadikan jalur konservasi yang dapat digunakan untuk penelitian, konservasi sumber daya genetik dan pemanfaatan hasil hutan non kayu seperti rotan,

  Gambar 43. Tanaman sengon dibangun pada lahan kosong

  gaharu, minyak, tengkawang, bahan obat, senyawa kimia dan

  dalam kawasan hutan produksi

  bioaktif, karena peningkatan produktifitas hutan telah terjadi hanya dengan mengandalkan hasil tanaman pada jalur antara.

  sebesar 3,2 ton ha -1 pada tahun pertama dan sebesar 2,4 ton

  Pada umur 10 tahun, pertumbuhan tahunan rata-rata (MAI) -1 ha pada tahun kedua (Wahyudi 2010b).

  dan kerapatan tanaman akasia mangium, jabon, sengon dan sungkai masing-masing sebesar 15,17 m 3 hath dan 683

  3 pohonha; 19,60 m 3 hath dan 684 pohonha; 23,96 m hath dan 510 pohonha serta 6,22 m 3 hath dan 1.016 pohonha

  (Wahyudi 2006).

  Daur ekonomis tanaman akasia mangium adalah 8-20 tahun dan daur terbaik pada umur 13 tahun dengan keuntungan Rp. 2,35 jutaha. Daur ekonomis tanaman jabon adalah 5-20 tahun dan terbaik pada umur 10 tahun dengan keuntungan Rp. 5,33 jutaha. Daur ekonomis tanaman sengon adalah 5-15 tahun dan daur terbaik pada umur 10 tahun dengan keuntungan Rp. 1,07 jutaha. Daur ekonomis tanaman sungkai adalah 15-20 tahun dan daur terbaik pada umur 17 tahun dengan keuntungan Rp.5,97 jutaha (Wahyudi 2006).

  Gambar 44. Sistem agroforestry tanaman sengon dan padi

  4. Sistem Agroforestry

  gogo

  Pada areal yang ditumbuhi alang-alang serta lahan kosong

  Sistem agroforestry menjadi pilihan terbaik karena

  agroforestry. Penelitian

  disamping memberi hasil pertumbuhan tanaman sengon

  agroforestry menggunakan contoh tanaman sengon yang

  (Paraserianthes falcataria) yang baik (tidak berbeda nyata)

  dikombinasikan dengan padi gunung. Untuk membuktikan

  dengan pola monokultur intensif, sistem ini juga mampu

  keunggulan sistem agroforestry dilakukan penanaman sengon

  menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih luas, meningkatkan

  menggunakan tiga pola penanaman, yaitu pola monokultur

  pendapatkan masyarakat lokal, menumbuhkan rasa saling

  konvensional, pola monokultur intensif dan pola agroforestry.

  memiliki terhadap akses sumber daya alam, menciptakan

  Hasil penelitian menunjukkan Mean Annual Increment

  persepsi positif, menjaga keamanan hutan dan mengurangi laju

  (MAI) tanaman sengon pada sistem agroforestry sebesar 2,88

  degradasi hutan.

  cmth (diameter) dan 2,9 mth (tinggi) yang sama baiknya (tidak berbeda nyata) dengan pola monokultur intensif sebesar 3,02 cmth (diameter) dan 3,2 mth (tinggi), sedangkan pola konvensional (kontrol) hanya memberikan MAI sebesar 1,43 cmth (diameter) dan 1,39 mth (tinggi) yang lebih rendah (berbeda nyata) dibanding kedua perlakuan sebelumnya. Pada sistem agroforestry juga didapatkan hasil panen padi rata-rata cmth (diameter) dan 2,9 mth (tinggi) yang sama baiknya (tidak berbeda nyata) dengan pola monokultur intensif sebesar 3,02 cmth (diameter) dan 3,2 mth (tinggi), sedangkan pola konvensional (kontrol) hanya memberikan MAI sebesar 1,43 cmth (diameter) dan 1,39 mth (tinggi) yang lebih rendah (berbeda nyata) dibanding kedua perlakuan sebelumnya. Pada sistem agroforestry juga didapatkan hasil panen padi rata-rata

  4. Sistem TJTI

  sistem-sistem silvikultur yang berlaku untuk mengelolan hutan di Indonesia bersama-sama dengan sistem TPTI, TPTJ, Tebang

  Sistem silvikultur Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) di

  Rumpang, THPB dan THPA berdasarkan Peraturan Menteri

  susun berdasarkan hasil-hasil penelitian yang dilakukan pada

  Kehutanan Nomor P.65Menhut-II2014 tanggal 12 September

  hutan alam monokultur, seperti yang terdapat di lereng Gunung

  Tambora, Pulau Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat.

  Sistem TJTI menghendaki penebangan tegakan hutan

  Hutan alam di daerah ini didominasi jenis binuang (Duabanga

  secara menyeluruh (clear cutting) pada jalur tebang selebar

  moluccana) yang tumbuh secara alami sesudah meletusnya

  maksimal 140 m dan menyisakan jalur tegakan hutan sebagai

  Gunung Tambora tahun 1815. Secara umum, sistem TJTI

  jalur antara selebar maksimal 35 m. Jalur tebang selanjutnya

  dapat digunakan pada semua hutan klimak (atau hutan alam) di

  ditanami menggunakan jenis asal, yaitu duabanga (Duabanga

  seluruh kawasan hutan di Indonesia.

  moluccana), sehingga areal ini disebut jalur tanam. Setelah kegiatan penjarangan pertama (misalnya 5 tahun) selesai dilakukan, maka jalur antara dilakukan penebangan secara menyeluruh (clear cutting) pula. Dengan demikian, dalam hamparan areal pengelolaan, terdapat 2 (dua) tegakan yang dicirikan berdasarkan kelas umur dengan jenis yang sama.

  Duabanga merupakan jenis intoleran, maka penerapan daur teknis tanaman dapat ditetapkan selama 15 tahun atau 20 tahun atau 25 tahun, sesuai dengan kajian ekonomis perusahaan. Mengingat silvikultur adalah seni dalam membudidayakan hutan, maka penerapan teknik-teknik silvikultur hendaknya lebih leluasa, fleksibel dan kreatif sesuai

  kondisi pasar, social ekonomi masyarakat serta berwawasan lingkungan.

  DAFTAR PUSTAKA