Seni Tradisional
1.1.1 Seni Tradisional
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata tradisional sebagai “menurut tradisi”, sedangkan kata tradisi diartikan sebagai: 1. adat kebiasaan turun- temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat; 2. penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional: 1543). Dengan mengacu kepada definisi tersebut, maka kesenian tradisional dapat diartikan sebagai kesenian masa lalu yang diciptakan oleh nenek moyang dan sampai sekarang masih dijalankan atau dimainkan oleh masyarakat kontemporer. Sementara itu, Kasim Achmad (dalam Lindsay, 1991: 40) mendefinisikan kesenian tradisional sebagai suatu bentuk seni yang bersumber dan berakar serta telah dirasakan sebagai milik sendiri oleh masyarakat lingkungannya dan pengolahannya didasarkan atas cita-cita masyarakat pendukungnya. Hasil kesenian tradisional tersebut biasanya diterima sebagai tradisi, pewarisan yang dilimpahkan turun temurun dari angkatan tua kepada angkatan muda.
Kesenian di Kemiren sebagian besar merupakan bentuk ekspresi seni masyarakat Using yang agraris. Sejarah masyarakat Using yang menjadi wilayah lintasan berbagai kebudayaan – Jawa, Bali, Madura, Melayu, Cina, Mandar, Bugis, Belanda dan Inggris – menjadikan kesenian masyarakat Using sedikit banyak menyerap berbagai unsur seni dan budaya lain tersebut. Wilayah dengan latar belakang daerah agraris yang bergunung- gunung, namun dekat dengan wilayah pesisir serta letaknya yang lebih dekat dengan Bali daripada pusat Jawa (Mataram) menjadikan gaya kesenian masyarakat Using cenderung rancak dan enerjik.
Berdasarkan definisi tersebut di atas maka bisa diidentifikasi jenis-jenis kesenian tradisional di Kemiren yang keberadaannya masih bertahan hingga saat ini, yaitu Gandrung, Barong, Kuntulan, Angklung, Gedhogan, Burdah, Jaran Kencak dan Mocoan Lontar Yusuf.
1.1.1.1 Gandrung
Gambar 14. Para penari Jejer Gandrung (Sumber gambar: www. banyuwangitourism.com)
Gandrung merupakan salah satu seni tari tradisional masyarakat Using Banyuwangi. John Scholte dalam Sejati (2012: 97) menjelaskan makna Gandrung yang berarti tontonan atau yang melihat kepadanya atau jatuh cinta dan terpikat . Makna Gandrung yang lain diungkapkan oleh Haryadi BS (1985) sebagai edan/ kedanan atau tergila-gila oleh sesuatu yang merangsang karena setiap ada pertunjukan gandrung pasti banyak kaum laki-laki yang tergila-gila atau ngGandrungi penarinya. Sementara menurut Sardjono (1981) kata gandrung memiliki makna terpesona , yang dimaksud sebagai terpesonanya masyarakat Blambangan, yang umumnya hidup sebagai masyarakat agraris, terhadap anugerah Dewi Sri, yaitu Dewi Padi, atau terpesonanya masyarakat daerah Blambangan terhadap kesuburan yang diharapkan serta membawa kesejahteraan kehidupan masyarakat Blambangan itu sendiri.
Gandrung adalah sebuah seni pertunjukan Using yang di dalamnya terdapat tarian dan nyanyian yang melibatkan seorang penari perempuan yang menari bersama- sama tamu (terutama pria) dengan iringan instrumen musik khas perpaduan Jawa-Bali. Pigeaud dalam Sejati (2012: 97) menjelaskan bahwa tari Gandrung di Banyuwangi Gandrung adalah sebuah seni pertunjukan Using yang di dalamnya terdapat tarian dan nyanyian yang melibatkan seorang penari perempuan yang menari bersama- sama tamu (terutama pria) dengan iringan instrumen musik khas perpaduan Jawa-Bali. Pigeaud dalam Sejati (2012: 97) menjelaskan bahwa tari Gandrung di Banyuwangi
Gambar 15. Rombongan penari gandrung pada tahun 1910 (Sumber gambar: Koleksi Tropenmuseum of The Royal Tropical Institute Netherland )
Gandrung merupakan seni tertua di Banyuwangi yang lahir dan muncul pertama kali pada waktu orang-orang Blambangan membabat hutan untuk dijadikan kota baru yang kelak menjadi Banyuwangi, tidak lama setelah Mas Alit dilantik oleh Belanda menjadi bupati pertama pada tahun 1773 (Anoegrajekti, 2011: 26). Lebih lanjut Anoegrajekti (2011: 27) mengungkapkan bahwa Gandrung saat itu, selain untuk menghibur para pembabat hutan, juga untuk mengiringi upacara meminta selamat berkaitan dengan pembabatan hutan yang dikenal wingit .
Gandrung sangat populer di wilayah Banyuwangi dan telah menjadi maskot utama dari wilayah tersebut sehingga Banyuwangi sangat identik dengan Gandrung dan sering dijuluki sebagai Kota Gandrung. Julukan tersebut dikuatkan dengan Surat
Keputusan Bupati Banyuwangi nomor 173 tahun 2002 tentang penetapan kesenian ini sebagai simbol pariwisata Banyuwangi. Sejak itulah, patung-patung penari Gandrung bisa ditemukan di berbagai sudut wilayah Banyuwangi.
Tari Gandrung dalam pementasannya didukung oleh berbagai unsur, yaitu penari, pemusik, alat musik, nyanyian, gerak tari, dan arena atau panggung. Masing- masing unsur mempunyai tugas dan peranannya sendiri-sendiri. Penari Gandrung biasanya juga diikuti oleh seorang pemain kluncing atau pengudang yang berperan memberikan lawakan-lawakan yang terkait dengan tarian yang dibawakan oleh penari Gandrung. Selain itu dalam pementasan Gandrung juga terdapat pemaju, yaitu penonton yang menari bersama penari Gandrung.
Gandrung pada masa kini tentu saja berbeda dengan gandrung pada masa awalnya. Perkembangan zaman telah membuat seni ini mengalami transformasi. Jika pada masa lalu Gandrung hanya dimainkan pada malam hari hingga menjelang pagi atau biasa disebut Gandrung Terop , pada masa kini Gandrung juga bisa tampil setiap saat dalam waktu yang lebih singkat, yang kemudian disebut sebagai Jejer Gandrung. Penari Gandrung pada awalnya adalah laki-laki, namun kini tarian ini hanya dimainkan oleh perempuan. Meskipun demikian, tari Gandrung juga biasa dilakukan oleh para waria atau transgender , seperti yang terjadi pada pertunjukan drama tari Barong Kemiren . Perubahan atau perkembangan terdapat juga dalam busana penarinya. Pada mulanya busana yang dipakai sangat sederhana. Kini pakaian penari Gandrung sudah sangat berbeda, seluruh bagiannya dibuat seindah mungkin dengan menggunakan manik-manik ( monte ) yang mengkilat.
Peranan Tari Gandrung sebagai tari pergaulan pada masa kini digunakan dalam berbagai kesempatan; seperti perkawinan, khitanan, tujuh belasan, penyambutan tamu dan acara-acara resmi maupun tak resmi lainnya di Banyuwangi. Di Kemiren, Tari Gandrung sering dipentaskan sebagai sajian hiburan utama. Kesenian ini juga biasa ditampilkan bagi penyambutan para wisatawan yang mengunjungi Kemiren, terutama para wisatawan yang berkunjung secara berkelompok atau rombongan.
Kemiren, sebagai salah satu wilayah bermukim masyarakat Using, memiliki beberapa penari Gandrung. Temu Misti atau lebih dikenal dengan sebutan Gandrung
Temu adalah penari Gandrung dari Kemiren yang dianggap sebagai legenda hidup seni Gandrung dewasa ini. Kepiawaiannya dalam Seni Gandrung membuatnya layak disebut sebagai sang maestro seni Gandrung. Maka tak heran jika ia diundang menarikan Gandrung di acara-acara lokal maupun nasional dan mendapatkan berbagai penghargaan atas dedikasinya pada kesenian Gandrung.
Sebagai penari Gandrung yang telah lama menekuni kesenian tersebut, Temu Misti juga berusaha mewariskan kepiawaiannya dalam olah seni Gandrung kepada generasi yang lebih muda dengan mendirikan Sanggar Seni Gandrung Sopo Ngiro. Lewat sanggar yang ia pimpin tersebut ia melatih generasi baru Gandrung sekaligus membentuk kelompok Gandrung yang siap diundang ke berbagai acara. Kelompok Gandrung pimpinan Gandrung Temu tidak hanya beranggotakan para pemain Gandrung dan penggamel dari Kemiren, namun juga dari berbagai wilayah lain di Banyuwangi.
Gambar 16. Rumah sekaligus Sanggar Seni Gandrung Sopo Ngiro pimpinan Temu Misti di Desa Kemiren. (Sumber gambar: dok. pribadi 2013)
Tokoh Gandrung lain yang cukup disegani dari Kemiren adalah Mudaiyah, usianya lebih muda dari Temu Misti, yang juga tersohor di kalangan para penikmat Gandrung di Banyuwangi. Apabila Temu Misti tersohor karena olah suaranya, maka Mudaiyah terkenal karena olah geraknya. Selain dua tokoh Gandrung tersebut, di Kemiren terdapat juga penari-penari Gandrung dari generasi yang lebih muda.
Keberlangsungan seni Gandrung di Kemiren saat ini tak bisa dilepaskan dari adanya sanggar-sanggar tari yang ada di sana; yaitu Sanggar Seni Gandrung Sopo Ngiro pimpinan Temu Misti, Sanggar Tari Pelangi Sutera pimpinan Uripno, dan Sanggar Tari Laroswangi pimpinan Samsul. Sebagai wadah pelestarian seni tradisi, keberadaan sanggar-sanggar tari di Kemiren tersebut amat penting untuk mendapatkan dukungan dari pemerintah, masyarakat dan lembaga-lembaga terkait agar tetap bisa berperan maksimal sebagai penjaga seni tradisi.
1.1.1.2 Barong
Barong merupakan nama untuk menyebut binatang mitologis atau binatang keramat yang dijumpai dalam masyarakat Jawa dan Bali. Binatang tersebut keberadaannya diyakini memiliki kekuatan magis dan dianggap suci oleh masyarakat yang mempercayainya. R.M. Soedarsono dalam Rahayu (2008: 27) mengungkapkan bahwa Barong merupakan perwujudan makhluk keramat yang hanya ada pada cerita mitologi saja berdasarkan kepercayaan masyarakat dan menjadi makhluk pelindung yang berfungsi sebagai pengenyah makhluk-makhluk jahat, penyembuh penyakit, penawar magi hitam dan sebagai manifestasi kebaikan. Sementara Pigeaud dalam Rahayu (2008: 27) menyebut Barong (Jawa: Barongan ) dengan istilah „penyamaran‟, yaitu pertunjukan yang menggambarkan binatang, hantu atau makhluk dari alam lain.
Barong Using merupakan salah satu ikon seni tradisi yang cukup menonjol di Banyuwangi. Barong Using disebut juga Barong Kemiren, Barong Prejeng atau Barong Blambangan. Barong Using tumbuh dan berkembang di desa Kemiren sejak tahun 1830- an (Sutarto, 2010: 32). Hingga saat ini pertunjukan Barong baik dalam bentuk drama tari, arak-arakan maupun atraksi tari masih sangat diminati oleh masyarakat di Banyuwangi.
Gambar 17. Barong Kemiren, makhluk buas bersayap dan bermahkota dengan mata melotot dan taring besar yang mencuat keluar (Sumber gambar: dok. Pribadi 2013)
Barong Using di Kemiren merupakan perwujudan seni barong yang berbeda dari Barong Jawa, Bali atau barong dalam tradisi Cina. Meskipun demikian, unsur-unsur serapan dari berbagai budaya lain tersebut cukup nampak dan memperkaya kesenian ini. Secara fisik wujud Barong Kemiren sangat mudah dibedakan dengan Barong lain. Barong Kemiren berwujud hewan raksasa bersayap dan bermahkota dengan mata besar melotot serta taring mencuat keluar. Mahkota ( mekutha atau tropong ) yang dipakai oleh Barong Kemiren dikombinasikan dengan jamang dan gelung supit urang . Mekutha atau tropong adalah penutup kepala berbentuk kerucut (Jawa: kuluk ) yang biasa digunakan sebagai atribut tata busana wayang, sedangkan jamang adalah hiasan pelengkap dari mekutha dan gelung supit urang adalah motif atau model dandanan rambut berbentuk seperti udang (Soedarsono, 1997: 289). Barong Kemiren memiliki empat sayap dengan dua sayap di masing-masing bagian kanan dan kiri tubuhnya. Prototipe Barong Kemiren Barong Using di Kemiren merupakan perwujudan seni barong yang berbeda dari Barong Jawa, Bali atau barong dalam tradisi Cina. Meskipun demikian, unsur-unsur serapan dari berbagai budaya lain tersebut cukup nampak dan memperkaya kesenian ini. Secara fisik wujud Barong Kemiren sangat mudah dibedakan dengan Barong lain. Barong Kemiren berwujud hewan raksasa bersayap dan bermahkota dengan mata besar melotot serta taring mencuat keluar. Mahkota ( mekutha atau tropong ) yang dipakai oleh Barong Kemiren dikombinasikan dengan jamang dan gelung supit urang . Mekutha atau tropong adalah penutup kepala berbentuk kerucut (Jawa: kuluk ) yang biasa digunakan sebagai atribut tata busana wayang, sedangkan jamang adalah hiasan pelengkap dari mekutha dan gelung supit urang adalah motif atau model dandanan rambut berbentuk seperti udang (Soedarsono, 1997: 289). Barong Kemiren memiliki empat sayap dengan dua sayap di masing-masing bagian kanan dan kiri tubuhnya. Prototipe Barong Kemiren
Di Desa Kemiren, Barong selain berfungsi secara sakral (berhubungan dengan ritual) juga berfungsi secara profan sebagai pertunjukan kesenian rakyat. Fungsi secara sakral, Barong merupakan unsur terpenting dalam ritual selametan Ider Bumi , upacara tolak bala (penolak penyakit, bencana, dsb.) yang diadakan setiap tanggal 2 Syawal dalam kalender Hijriah, sehingga ritual tersebut dikenal sebagai Barong Ider Bumi . Pada ritual ini, Barong dan arak-arakan yang mengikutinya berkeliling kampung untuk menjauhkan para penduduk dari pagebluk (bencana) sebagaimana diperintahkan oleh Buyut Cili, Sang Danyang Desa, dan sebagai wujud syukur masyarakat desa atas berkah yang melimpah selama setahun. Di samping itu, Barong juga digunakan pada ritual Tumpeng Sewu pada setiap bulan haji (bulan Dzulhijah dalam kalender Islam) berupa arak-arakan Barong keliling desa Kemiren. Sedangkan secara profan, Barong Kemiren merupakan sarana hiburan rakyat pada acara hajatan pernikahan, khitanan dan acara- acara lainnya. Pada konteks profan inilah Barong bertransformasi menjadi hiburan baik dalam bentuk teater tradisional berupa drama tari maupun arak-arakan dan atraksi tari Barong, meskipun unsur spiritual magis masih berperan dalam pertunjukannya.
Sebagai seni pertunjukan tradisi, Barong Kemiren menampilkan drama tari seperti pada umumnya teater rakyat lain; yaitu ketoprak, ludruk atau janger. Pertunjukan drama tari Barong Kemiren terbagi menjadi empat judul atau lakon yaitu Ja‟ripah, Panji Sumirah, Suwarti dan Singa Lodaya . Seluruh lakon tersebut telah disusun secara baku dan telah menjadi pakem yang ditampilkan dalam empat babak secara berurutan dalam waktu semalam suntuk. Sebagaimana halnya Gandrung, lakon yang terdapat dalam Barong Kemiren juga merupakan ekspresi seni yang erat kaitannya dengan masyarakat agraris. Secara garis besar pertujukan Barong Kemiren adalah kisah perjuangan penduduk desa dalam membuka hutan untuk areal persawahan dan upaya mereka dalam menghadapi makhluk-makhluk halus yang ada di hutan tersebut.
Gambar 18. Barong Ider Bumi adalah prosesi upacara tolak bala yang ada dalam masyarakat Using di Kemiren. Ritual perayaan ini diselenggarakan setiap hari kedua bulan Syawal dengan mengarak Barong keliling desa. (Sumber gambar: Dok. pribadi, 2013)
Gambar 19. Sebuah pentas drama tari Barong Kemiren yang sedang memainkan lakon Ja ‟ripah pada sebuah acara khitanan salah satu warga di Kemiren (Sumber gambar: Dok. pribadi, 2013)
Di Kemiren terdapat tiga kelompok kesenian Barong yang aktif melakukan pentas, baik dalam bentuk pertunjukan drama tari, arak-arakan maupun atraksi tarian Barong. Kelompok Barong utama di Kemiren adalah kelompok Barong Tuwek yang dikenal juga dengan nama Kelompok Seni Barong Tresno Budoyo. Kelompok Barong yang beranggotakan 25 orang ini dipimpin oleh ahli waris Barong Kemiren generasi ke lima, yaitu Mbah Sapi‟i dan Mbah Saki. Seperti diungkapkan oleh Rahayu (2008: 53) bahwa Barong Using diciptakan pertama kali di Kemiren oleh Buyut Sanimah yang kemudian disempurnakan oleh Buyut Tampa. Sebagai pewaris cikal bakal Barong Kemiren maka kelompok Barong Tuwek yang berlatih pada setiap rabu malam ini
merupakan kelompok Barong yang memegang peran utama dalam ritual adat di Kemiren seperti dalam arak-arakan Barong Ider Bumi dan Tumpeng Sewu. Dalam hal pertunjukan drama tari, kelompok Barong Tuwek ini memegang teguh pakem lakon Barong dan tidak memainkan lakon-lakon lain. Kelompok Barong yang kedua adalah kelompok Barong Sapu Jagad pimpinan Bapak Sucipto yang dikenal juga dengan kelompok Barong Lancing. Kelompok Barong yang beranggotakan 35 orang ini dalam pertunjukannnya menampilkan lakon-lakon bukan pakem dan merupakan kisah-kisah rekaan hasil kreatifitas dari pimpinan kelompok tersebut, di antaranya lakon Geger Cilacap, Sarjulo Kamandoko, Pendekar Alas Purwo, Alap-alap Bojonegoro, Satrio Alas Sembulungan, dan Lahirnya Maeso Anggoro. Selain itu mereka juga sering diundang untuk arak-arakan maupun atraksi tari Barong dalam hajatan maupun acara-acara lain. Meskipun kelompok Barong yang berlatih pada setiap minggu malam ini secara umum lebih banyak memiliki fungsi profan sebagai seni pertunjukan rakyat dibandingkan dengan Barong Tuwek, namun sakralitas dan hal-hal yang bersifat magis tetap melekat juga pada kelompok Barong ini. Pembentukan kelompok Barong Sapu Jagad merupakan titah (perintah) langsung dari Buyut Cili lewat Mbah Saki dalam kondisi kerasukan ( trance ) serta munculnya ndaru (semacam cahaya mistis) di rumah Bapak Sucipto (Wawancara dengan Bapak Sucipto pada tanggal 1 Juni 2013 pukul 12.30-15.00 WIB di rumah informan). Anggota Kelompok Barong Sapu Jagad sebagian besar sebenarnya juga anggota Barong Tuwek Tresno Budoyo. Keberadaan Barong Sapu Jagad, pada beberapa hal, bisa dilihat sebagai media pewarisan tradisi seni Barong kepada generasi yang lebih muda. Kelompok Barong yang ketiga adalah Kelompok Barong Cilik Sawung Alit yang dipimpin oleh Pak Saperi. Para pemainnya terdiri dari 32 anak-anak Kemiren usia SD hingga SMP. Sebagaimana halnya Kelompok Barong Sapu Jagad, Kelompok Barong Cilik yang berlatih pada setiap hari libur sekolah ini juga merupakan media pewarisan dan regenerasi seni Barong Kemiren pada generasi yang paling dini.
Ketiga kelompok Barong Using Kemiren tersebut, dalam pagelaran seni pertunjukan rakyat, memiliki penggemarnya masing-masing tergantung keinginan dan kebutuhan para penanggap. Dalam ritual adat Ider Bumi dan Tumpeng Sewu di Kemiren, ketiga kelompok Barong tersebut ikut berperan aktif dalam arak-arakan Ketiga kelompok Barong Using Kemiren tersebut, dalam pagelaran seni pertunjukan rakyat, memiliki penggemarnya masing-masing tergantung keinginan dan kebutuhan para penanggap. Dalam ritual adat Ider Bumi dan Tumpeng Sewu di Kemiren, ketiga kelompok Barong tersebut ikut berperan aktif dalam arak-arakan
Gambar 20. Kelompok Barong Cilik yang beranggotakan anak-anak di Kemiren nampak sedang turut serta dalam prosesi arak-arakan Tumpeng Sewu. Proses regenerasi pemain seni Barong di Kemiren berjalan dengan baik sejak mulai anak-anak (Sumber gambar Dok. pribadi, 2013)
Dalam pementasan drama tari Barong Kemiren, tata panggung yang dipakai menggunakan dekorasi gapura berlukiskan tokoh Barong di masing-masing sisinya. Untuk mendukung alur cerita juga digunakan latar lukisan yang disesuaikan dengan alur cerita yang dibawakan. Perangkat musik yang mengiringi pertunjukan Barong yaitu gambang, bonang, slenthem, gong dan kendang, serta kecrek sebagai unsur tambahan yang menjadi ciri khas iringan musik Barong. Seluruh pemain Barong biasanya adalah laki-laki. Tokoh perempuan pada pertunjukannya juga diperankan oleh laki-laki yang berdandan selayaknya perempuan. Pada saat penelitian ini dilakukan, pemeran tokoh perempuan dalam pertunjukan Barong dimainkan oleh para waria.
Unsur magis sangat kuat melekat pada kesenian Barong Kemiren. Unsur magis berupa adegan kesurupan ( trance ) menjadi salah satu ciri khas kesenian dan ritual adat yang berkembang di masyarakat Using. Menurut keyakinan masyarakat Kemiren, Buyut Cili berperan dalam setiap pertunjukan Barong. Barong yang dikembangkan oleh Buyut Tampa dipercayai sebagai gagasan leluhur masyarakat Kemiren, Mbah Buyut Cili. Sosok yang sangat dihormati oleh masyarakat ini dipercaya sebagai dhanyang (roh penjaga desa) Kemiren. Menurut kepercayaan masyarakat Kemiren, Buyut Cili keluar Unsur magis sangat kuat melekat pada kesenian Barong Kemiren. Unsur magis berupa adegan kesurupan ( trance ) menjadi salah satu ciri khas kesenian dan ritual adat yang berkembang di masyarakat Using. Menurut keyakinan masyarakat Kemiren, Buyut Cili berperan dalam setiap pertunjukan Barong. Barong yang dikembangkan oleh Buyut Tampa dipercayai sebagai gagasan leluhur masyarakat Kemiren, Mbah Buyut Cili. Sosok yang sangat dihormati oleh masyarakat ini dipercaya sebagai dhanyang (roh penjaga desa) Kemiren. Menurut kepercayaan masyarakat Kemiren, Buyut Cili keluar
1.1.1.3 Angklung
Sebagaimana musik angklung di daerah Indonesia yang lain, Angklung di Banyuwangi merupakan jenis musik ideophone yang peralatannya terbuat dari bilah- bilah bambu. Perbedaan ukuran pada bilah-bilah bambu tersebut bisa menghasilkan suatu sistem nada yang kemudian disusun dalam rangkaian sesuai dengan susunan tangga nada yang secara umum bernada pelog dan slendro.
Cara memainkan angklung dilakukan dengan menabuh atau memukul bilah-bilah bambu tersebut dengan menggunakan dua alat pemukul. Meskipun alat musik dari bambu merupakan instrumen utama, namun dalam pertunjukannya beberapa ragam Angklung Banyuwangi kadang-kadang juga dilengkapi dengan alat musik lain seperti gong, kenong dan gendang.
Menurut Sutarto dalam Kamus Budaya dan Religi Using , Angklung Banyuwangi terdiri dari 6 ragam yaitu Angklung Caruk, Angklung Blambangan, Angklung Daerah, Angklung Thethek, Angklung Dwi Laras dan Angklung Paglak (2010: 15-18). Di Kemiren terdapat 3 jenis kesenian angklung yang digemari oleh masyarakat; yaitu Angklung Caruk, Angklung Daerah, dan Angklung Paglak.
A. Angklung Caruk
Kata "caruk" mengacu kepada perlombaan, pertandingan , atau pertarungan . Dalam pergelaran Angklung Caruk para pemain angklung dari masing-masing grup berusaha untuk bermain lebih baik dan lebih hebat dari lawan mainnya. Penonton biasanya terdiri dari tiga kelompok, yakni dua di antaranya merupakan kelompok yang Kata "caruk" mengacu kepada perlombaan, pertandingan , atau pertarungan . Dalam pergelaran Angklung Caruk para pemain angklung dari masing-masing grup berusaha untuk bermain lebih baik dan lebih hebat dari lawan mainnya. Penonton biasanya terdiri dari tiga kelompok, yakni dua di antaranya merupakan kelompok yang
Kecepatan irama angklung dan lagu-lagu yang dibawakan sangat dipengaruhi oleh nuansa angklung Bali. Namun dalam pergelaran Angklung Caruk juga terdapat perpaduan dengan gamelan slendro dari Jawa. Dalam pertunjukan Angklung Caruk juga ditampilkan beberapa tarian, antara lain tari jangeran, tari gandrungan, cakilan, kuntulan dan tari daerah Blambangan. Instrumen Angklung Caruk terdiri atas angklung, gendang, slenthem, saron, peking, kethuk dan gong.
Di Kemiren terdapat satu grup Angklung Caruk; yaitu yang dipimpin oleh Pak Ribut dan beranggotakan 13 orang yang rutin berlatih pada rabu dan sabtu malam. Selain di Kemiren, grup Angklung Caruk juga terdapat di Desa Banje (Kecamatan Rogojampi), Desa Alasmalang (Kecamatan Singojuruh), Desa Sumberwangi (Kecamatan Srono) dan Desa Cluring (Kecamatan Cluring).
B. Angklung Daerah
Istilah Angklung Daerah merujuk kepada beberapa jenis angklung hasil kreativitas masyarakat Banyuwangi. Pada awalnya musik ini bertumbuh dari tradisi masyarakat Banyuwangi atau Using yang agraris, yakni memukul bambu dengan alat pemukul berupa tongkat pendek yang dimaksudkan untuk mengusir burung-burung di sawah pada saat padi menguning. Dalam perkembangannya, para seniman angklung di Banyuwangi melakukan penyempurnaan dan penambahan instrumen dan akhirnya muncul apa yang disebut Angklung Daerah yang biasa digunakan untuk mengiringi lagu dan tari. Lagu yang biasa dibawakan dalam Angklung daerah antara lain “Jaran Ucul”, “Gelang Alit”, “Mak Ucuk”, “Sing Duwe Rupa”, “Congeatang”, “Ulan Andhung- andhung” dan “Padhang Ulan”.
Angklung Daerah dimainkan paling tidak oleh 10 orang pemain yang berperan sebagai pemain alat musik, penari dan satu pendamping. Pada umumnya dalam satu Angklung Daerah dimainkan paling tidak oleh 10 orang pemain yang berperan sebagai pemain alat musik, penari dan satu pendamping. Pada umumnya dalam satu
Di Kemiren ada banyak warga (baik dewasa maupun anak-anak) yang mampu memainkan Angklung Daerah, tetapi tidak bergabung dalam kelompok kesenian tertentu karena mereka berkesenian pada awalnya memang untuk kesenangan saja. Jadi sifat kelompoknya sangat longgar. Siapa pun bebas bergabung dengan kelompok manapun asal ada kecocokan. Namun demikian, bisa menjadi catatan bahwa kelompok kesenian yang solid dalam memainkan Angklung Daerah adalah Sanggar Pelangi Sutera pimpinan Bapak Uripno.
C. Angklung Paglak
Paglak adalah sebuah bangunan sederhana yang didirikan di tengah sawah atau dekat perkampungan dibuat menjulang tinggi. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat untuk mengusir burung-burung yang hendak makan padi. Para petani Using menjaga sawahnya dari serangan burung-burung sambil memainkan angklung. Karena dimainkan di atas paglak, maka jenis angklung yang dimainkan tersebut dinamakan Angklung Paglak.
Angklung Paglak terdiri atas angklung lanang (angklung jantan) dan angklung wadon (angklung betina). Masing-masing terdiri dari 13 bilah bambu berlaras slendro dan dua buah gendang yang juga disebut sebagai kendhang lanang (gendang jantan) dan kendhang wadon (gendang betina). Pada perkembangannya, ditambahkan pula alat musik kenthulitan yang dimainkan tidak di atas paglak, tetapi di bagian bawah paglak.
Di Kemiren, sebagaimana telah disebutkan, terdapat banyak sekali orang yang mampu menabuh angklung. Namun demikian, selama penelitian berlangsung, kelompok yang paling menonjol kemunculannya dalam memainkan Angklung Paglak, maksudnya sering diminta untuk tampil pada acara-acara besar kampung, adalah kelompok Pak Rayis. Perlu diketahui bahwa Pak Rayis dan kelompoknya merupakan penggamel pada kelompok Barong Tuwek juga. Jadi sudah biasa bagi mereka untuk tidak tidur Di Kemiren, sebagaimana telah disebutkan, terdapat banyak sekali orang yang mampu menabuh angklung. Namun demikian, selama penelitian berlangsung, kelompok yang paling menonjol kemunculannya dalam memainkan Angklung Paglak, maksudnya sering diminta untuk tampil pada acara-acara besar kampung, adalah kelompok Pak Rayis. Perlu diketahui bahwa Pak Rayis dan kelompoknya merupakan penggamel pada kelompok Barong Tuwek juga. Jadi sudah biasa bagi mereka untuk tidak tidur
Gambar 21. Laki-laki di Kemiren sedang bermain angklung paglak pada saat panen di salah satu area persawahan warga (Sumber gambar: Dok. pribadi, 2013).
1.1.1.4 Kuntulan
Hadrah Kuntulan yang juga disebut Terbang Kuntul, merupakan salah satu dari sekian seni tradisi yang masih bertahan hingga kini di Banyuwangi, termasuk di Kemiren. Seni bernuansa Arab-Islam ini pada mulanya hanya dimainkan oleh laki-laki.
Pada perkembangannya sekarang ini, kesenian kuntulan juga melibatkan pemain perempuan sebagai penari.
Gambar 22. Para pemusik kesenian Kuntulan yang sedang tampil dalam salah satu acara di desa Kemiren (Sumber gambar: Dok. pribadi, 2013)
Kesenian Kuntulan pada mulanya lahir dari lingkungan pondok pesantren, sebuah perguruan Islam tempat mendidik para santri untuk memperdalam ilmu agama dan dakwah Islam. Menurut Sahuni dalam Susanti (2011: 8-9) Kuntulan diperkirakan sudah ada sejak akhir abad XIX, sekitar tahun 1890-an, berupa seni vokal puji-pujian oleh seorang rodat (penyanyi yang menyanyikan lagu Arab) dan diiringi oleh permainan ritmis terbang (rebana) berjumlah 5 buah. Kesenian ini dimanfaatkan oleh para santri sebagai seni pertunjukan pada hari-hari besar Islam, seperti Maulid Nabi, Tahun Baru Islam (Muharram, Isra‟ Mi‟raj dan lain sebagainya).
Kuntulan berasal dari sebuah kata kuntul yang mendapat akhiran an. Kuntul artinya burung yang memiliki bulu berwarna putih dan sering dijumpai di area persawahan. Pada awalnya seluruh pemain Kuntulan baik pemusik maupun penari Kuntulan berasal dari sebuah kata kuntul yang mendapat akhiran an. Kuntul artinya burung yang memiliki bulu berwarna putih dan sering dijumpai di area persawahan. Pada awalnya seluruh pemain Kuntulan baik pemusik maupun penari
Gambar 23. Para penari Kuntulan yang semuanya perempuan sedang tampil menggunakan kostum yang meriah tak lagi putih-putih namun tetap menggunakan kaus kaki dan kaus tangan sebagai salah satu ciri penari kuntulan (Sumber gambar: Dok. pribadi, 2013)
Pertemuannya dengan kesenian Gandrung, Damarwulan, dan Rengganis serta tarian lainnya merubah seni Kuntulan menjadi kesenian yang unik dan khas. Tidak hanya gerakan tarinya, musik dan tembang-tembang yang dibawakan pun merupakan kolaborasi unik antara kesenian tradisi daerah Banyuwangi dan kesenian Timur Tengah. Kehadirannya juga menambah perbendaharaan dan warna kesenian tradisional di tanah air. Kesenian bernafaskan Islam ini merupakan jenis kesenian yang dalam penyajiannya sarat akan nilai-nilai keagamaan. Selain identik membawakan lagu-Iagu Islami, alat musik sebagai sarana iringannya menggunakan unsur alat musik perkusi yang biasa disebut terbang atau rebana dan jedor. Kesenian ini tidak jauh dengan kesenian Burdah, namun dalam perkembangannya jumlah alat musik yang digunakan pada kuntulan lebih Pertemuannya dengan kesenian Gandrung, Damarwulan, dan Rengganis serta tarian lainnya merubah seni Kuntulan menjadi kesenian yang unik dan khas. Tidak hanya gerakan tarinya, musik dan tembang-tembang yang dibawakan pun merupakan kolaborasi unik antara kesenian tradisi daerah Banyuwangi dan kesenian Timur Tengah. Kehadirannya juga menambah perbendaharaan dan warna kesenian tradisional di tanah air. Kesenian bernafaskan Islam ini merupakan jenis kesenian yang dalam penyajiannya sarat akan nilai-nilai keagamaan. Selain identik membawakan lagu-Iagu Islami, alat musik sebagai sarana iringannya menggunakan unsur alat musik perkusi yang biasa disebut terbang atau rebana dan jedor. Kesenian ini tidak jauh dengan kesenian Burdah, namun dalam perkembangannya jumlah alat musik yang digunakan pada kuntulan lebih
Kesenian Kuntulan merupakan perkembangan dari seni hadrah yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat Using dan dalam penyajiannya menitikberatkan pada gerak dan lagu. Lagu-Iagu yang dibawakan berbahasa Arab dengan gaya cengkok lagu Banyuwangian. Dalam pertunjukannya kesenian Kuntulan sering berpasangan atau biasa disebut caruk yaitu artinya bertemu dengan group Kuntulan yang lain, sehingga setiap penyajiannya masing-masing grup Kuntulan memiliki variasi pukulan terbang tersendiri serta gerakan dan lagu-lagu yang berbeda agar memiliki perbedaan dengan penampilan lawan mainnya.
Di Desa Kemiren sendiri terdapat 4 (empat) kelompok seni Kuntulan yang biasa tampil dalam acara-acara hajatan khitanan, perkawinan dan acara-acara lainnya.
Gambar 24. Salah satu sanggar Seni Kuntulan yang ada di desa Kemiren (Sumber gambar: Dok. pribadi, 2013)
1.1.1.5 Burdah
Banyuwangi juga mempunyai kesenian lain dengan ciri khas tersendiri yaitu Burdah (Gembrung) yang, seperti halnya Kuntulan, merupakan seni musik bernuansa Arab-Islam. Peralatannya mirip terbang (rebana) tetapi berukuran besar. Semua peralatannya 8 burdah besar dan 2 burdah kecil (gembrung), tetapi sesuai perkembangan Banyuwangi juga mempunyai kesenian lain dengan ciri khas tersendiri yaitu Burdah (Gembrung) yang, seperti halnya Kuntulan, merupakan seni musik bernuansa Arab-Islam. Peralatannya mirip terbang (rebana) tetapi berukuran besar. Semua peralatannya 8 burdah besar dan 2 burdah kecil (gembrung), tetapi sesuai perkembangan
Di Kemiren terdapat 2 (dua) kelompok Burdah yang biasanya berlatih di musholla dan tampil dalam acara hajatan warga, prosesi arak-arakan Ider Bumi dan acara-acara lainnya.
Gambar 25. Kelompok seni Burdah Desa Kemiren tampak sedang mengikuti prosesi arak-arakan Barong Ider Bumi (Sumber gambar: Dok. pribadi, 2013)
1.1.1.6 Gedhogan
Kesenian gedhogan pada mulanya digunakan untuk hiburan setelah selesai menumbuk beras pada acara hajatan. Para perempuan ramai – ramai membunyikan peralatan penumbuk beras, separti, alu, lesung dan lumping, sehingga menimbulkan suara yang enak untuk didengar. Mereka menyanyi sambil menabuh lesung tersebut.
Gedhogan adalah satu seni tradisional kuno masyarakat Using yang hidup dan berkembang di pedesaan dan banyak dimainkan oleh para petani. Di tengah arus deras modernisasi ini Gedhogan bisa disebut sebagai tradisi masyarakat agraris yang mulai pudar dimakan zaman. Gedhogan tak dapat dipisahkan dengan kegiatan para petani menumbuk padi yang pada awalnya merupakan kegiatan santai sekadar untuk bersenandung di saat-saat jeda menumbuk padi. Kreativitas tersebut terus berkembang Gedhogan adalah satu seni tradisional kuno masyarakat Using yang hidup dan berkembang di pedesaan dan banyak dimainkan oleh para petani. Di tengah arus deras modernisasi ini Gedhogan bisa disebut sebagai tradisi masyarakat agraris yang mulai pudar dimakan zaman. Gedhogan tak dapat dipisahkan dengan kegiatan para petani menumbuk padi yang pada awalnya merupakan kegiatan santai sekadar untuk bersenandung di saat-saat jeda menumbuk padi. Kreativitas tersebut terus berkembang
Dahulu lesung digunakan sebagai alat penumbuk padi, untuk memisahkan gabah dan bulir padi. Disamping itu, lesung juga bisa difungsikan sebagai alat musik tradisional yang unik dan menarik. Seiring hadirnya teknologi yang menggantikan tenaga manusia untuk menumbuk padi, mesin penggilingan padi mulai merambah desa. lesung pun kini perlahan-lahan mulai terpinggirkan.
Kini Gedhogan lebih banyak digunakan oleh masyarakat Kemiren sebagai salah satu sajian musik untuk menyambut tamu atau pengunjung penting yang ingin mendengarkan kembali alunan musik lesung. Musik Gedhogan sendiri kini di Kemiren hanya bisa dijumpai dan ditampilkan di Sanggar Genjah Arum milik Bapak Setiawan Subekti (Pak Iwan) pada saat-saat tertentu jika ada tamu luar Kemiren yang berkunjung ke sana atau pada saat latihan di rumah Bapak Purwadi di Dusun Kedaleman. Kelompok Gedhogan Pak Iwan terdiri dari 7 nenek-nenek yang sudah tua (mbah-mbah), sementara itu kelompok Gedhogan Pak Purwadi beranggotakan ibu-ibu yang lebih muda.
Gambar 26. Seni Gedhogan yang sedang dimainkan oleh para perempuan di Desa Kemiren (Sumber gambar: www.banyuwangitourism.com)
1.1.1.7 Jaran Kencak
Kesenian Jaran Kencak sebenarnya adalah kesenian yang dibawa masyarakat Madura yang didatangkan oleh Belanda secara besar-besaran ke Banyuwangi seusai perang Puputan Bayu. Proses akulturasi yang terjadi antara masyarakat pendatang, dalam hal ini orang-orang Madura, dengan orang Banyuwangi membuat kesenian Jaran Kencak ini mulai dikenal dan berkembang di masyarakat Using Banyuwangi.
Kesenian Jaran Kencak merupakan salah satu ragam dari seni Jaranan yang berkembang di Jawa dan sangat dikenal luas di wilayah Jawa Timur. Menurut Trisakti (2013: 378) seni Jaranan hampir dimiliki oleh setiap daerah di Jawa Timur, dari 38 kabupaten/kota, hanya 4 kabupaten/kota saja yang tidak/belum memiliki kesenian Jaranan.
Gambar 27. Jaran Kencak yang terdapat di Desa Kemiren sedang bersiap-siap dalam arak-arakan Barong Ider Bumi (Sumber gambar: Dok. pribadi, 2013)
Kesenian Jaranan sendiri berbeda-beda di masing-masing daerah. Berdasarkan properti yang digunakan dalam pertunjukannya, kesenian Jaranan terbagi atas dua kelompok yaitu kesenian Jaranan yang menggunakan properti menyerupai jaran (kuda) dan kesenian Jaranan yang menggunakan kuda asli (hidup). Jaran Kencak merupakan kesenian Jaranan yang termasuk dalam kelompok kedua.
Jaran Kencak sendiri berarti kuda yang lincah menari mengikuti lagu. Dalam pertunjukannya seni Jaran Kencak adalah pertunjukan yang menampilkan kuda yang mahir menari mengikuti alunan musik yang mengiringinya. Kuda sebagai aktor pertunjukan ini menggunakan kostum yang berwarna mencolok dan meriah. Kostum kuda yang dipakai biasanya menggunakan selimut pelana berwarna-warni dengan motif bunga dan manik-manik, mahkota bercorak bunga berwarna terang, kalung pada dada dan dan hiasan selendang berumbai keemasan di sepanjang punggung kuda.
Di Kemiren terdapat 5 (lima) kelompok kesenian Jaran Kencak. Kesenian ini biasa digunakan untuk mengarak anak sunatan berkeliling desa. Pada perkembangannya seni Jaran Kencak ini juga biasa digabungkan dengan Tari Gandrung.
1.1.1.8 Mocoan Lontar Yusuf
Mocoan Lontar Yusuf adalah tradisi pembacaan karya sastra keagamaan lama di kawasan Banyuwangi. Seni Mocoan Lontar Yusuf berisi riwayat Nabi Yusuf dari sejak kecil hingga dewasa menjadi raja. Mocoan biasanya digelar masyarakat Using sebagai bagian dari acara tujuh bulanan, kelahiran, khitanan atau pernikahan. Pembacaannya berlangsung semalam suntuk hingga lontar Yusuf itu dikhatamkan.
Mocoan Lontar Yusuf, seperti banyak tradisi tutur lainnya di Nusantara, merupakan produk dari proses akulturasi atau silang budaya antara Islam dan kepercayaan serta kebudayaan lokal, dalam hal ini kebudayaan masyarakat Using. Persilangan budaya ini bisa dilihat dari wujud karya sastra yang dibaca, isi, bentuk, tembang, cara melagukan, bahasa yang dipakai, dan fungsinya dalam masyarakat.
Lontar Yusuf pada dasarnya adalah sebuah kitab beraksara Arab pegon dalam bahasa Jawa. Kendati demikian, di dalamnya juga ditemukan banyak kosakata bahasa Using. Kitab ini disalin dan diturunkan dari generasi ke generasi.
Sebutan “lontar” jelas mengingatkan pada lembaran daun lontar atau kulit ari pohon, media yang dulu digunakan untuk menerakan karya-karya sastra lama. Meskipun saat ini media penulisannya telah berganti dari lontar menjadi kertas, sebutan “lontar” ini tetap lekat.
Gambar 28. Suasana Mocoan Lontar Yusuf yang dilakukan di salah satu rumah warga Kemiren (Sumber gambar: Dok. pribadi, 2013)
Mocoan Lontar Yusuf merupakan suatu ikhtiar dan harapan untuk mengambil barakah dari kemuliaan Nabi Yusuf. Masyarakat Using meyakini bahwa dengan pembacaan ini, harapan dan keinginan bisa terkabulkan. Meski pada umumnya mereka tidak mengerti arti bahasa lontar Yusuf ini, kesakralannya tetap diyakini. Oleh karena itu, para pendengar mocoan kerap menitipkan benda-benda yang terkait dengan hajat mereka untuk diletakkan di bawah lontar yang akan dibaca, misalnya bedak dan sisir, ketika mereka ingin memiliki rupa yang menarik dan memesona serta sifat-sifat terpuji sebagaimana yang dimiliki Nabi Yusuf.
Di Kemiren terdapat dua kelompok yang membacakan lontar Yusuf, yaitu kelompok tua (kelompok reboan) dan kelompok muda (kelompok kemisan). Pada awalnya hanya ada satu kelompok mocoan saja, yaitu kelompok tua. Melihat bahwa seni tradisi ini mulai terancam keberadaannya, Pak Purwadi merintis pembentukan kelompok Di Kemiren terdapat dua kelompok yang membacakan lontar Yusuf, yaitu kelompok tua (kelompok reboan) dan kelompok muda (kelompok kemisan). Pada awalnya hanya ada satu kelompok mocoan saja, yaitu kelompok tua. Melihat bahwa seni tradisi ini mulai terancam keberadaannya, Pak Purwadi merintis pembentukan kelompok
Di antara kedelapan seni tradisi yang dimiliki oleh Kemiren, Barong dan Gandrung merupakan bentuk seni pertunjukan rakyat yang paling popular dan memiliki nilai jual paling tinggi. Hal ini bisa dilihat dari volume tanggapan yang diterima oleh dua pelaku seni tradisi tersebut dibandingkan dengan yang lainnya. Gandrung sendiri merupakan ikon budaya dan wisata yang penting di Banyuwangi, sementara Barong merupakan ikon utama Desa Kemiren sebagai tempat lahir dan tumbuhnya seni tradisi tersebut.
Meskipun dua jenis seni tradisi tersebut memiliki nilai jual paling tinggi, namun kehidupan ekonomi para pelaku seni tradisi ini tidak serta merta meningkat. Sebagaimana lazimnya pelaku seni tradisi di tempat lain, para pelaku seni tradisi di Kemiren tidak bisa menyandarkan kehidupan ekonomi mereka dari berkesenian semata. Hal ini tentu menjadi ironi tersendiri di tengah upaya bangsa ini untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya nasional.