Partisipasi Pasif

1. Partisipasi Pasif

Jenis atau bentuk partisipasi ini, seperti digambarkan oleh namanya, merupakan bentuk partisipasi pada level yang paling rendah karena masyarakat terbatas pada diberitahu mengenai apa yang akan terjadi. Pada kasus Kemiren, masyarakat hanya diberitahu saja tentang keberadaan Anjungan Wisata Using (atau biasa disingkat menjadi WO atau ADW) dan tidak dilibatkan sama sekali dalam tahap perencanaan, pengelolaan, hingga pemeliharaannya. Oleh karena itulah sebagian besar informan, kalau tidak bisa dikatakan semuanya, menyatakan bahwa ada atau tidak adanya WO tidak ada pengaruhnya bagi kesejahteraan masyarakat Kemiren:

Sementara kontribusi ke desa juga tidak ada. Ya paling ada 1 atau 2 orang pekerja yg melibatkan masyarakat Kemiren. Jadi dampak yang luas tidak ada. Tidak dirasakan masyarakat. Ada tidaknya anjungan tidak ada bedanya menurut saya (Haidy, wawancara 5 Juni 2013).

Keterangan yang serupa diberikan oleh salah satu informan: Pada saat ADW dipegang pemerintah, desa masih sering mendapatkan bagian,

tapi setelah diserahkan pada pengembang swasta masyarakat tidak dilibatkan sama sekali. Yang boleh berjualan dikenakan tarif tinggi sehingga sekarang yang berjualan di sana adalah keluarga pihak pengembang sendiri. Oleh karena itulah sekarang masyarakat tidak peduli pada keberadaan ADW tersebut.Pada zamannya Lurah Sutris, masyarakat dikumpulkan diberitahu bahwa warga yang tanahnya dibebaskan untuk pembangunan ADW anak cucunya boleh bekerja di ADW, tapi kenyataannya lain (Niptah, wawancara 11 Juni 2013).

Ciri kedua dari jenis partisipasi ini adalah tanggapan masyarakat tidak digubris. Pada kasus WO, walaupun muncul kritikan dari masyarakat berkenaan dengan berubahnya fungsi WO dan dilanggarnya janji-janji yang diberikan pada warga yang tanahnya dibebaskan, pihak pengelola atau pemerintah daerah tidak memberikan respon balik.

Awal-awalnyanya perjanjiannya gitu dulu, waktu pelepasan tanah bahwa pengelolanya orang Kemiren, nanti pekerjanya orang Kemiren, masyarakat Kemiren kalau masuk tidak bayar. Kenyataannya setelah berjalan itu semua kan hanya tulisan saja, pelaksanaannya a nol. Semua orang luar.

Orang luar yang kerja di situ. Padahal orang luar kan gak peduli entah ada tamu atau gak tidak ada hubungannya dengan mereka (Tahrim, Wawancara 19 Juni 2013).

Iya masyarakat tidak dilibatkan di situ. Bahkan sekarang mulai banyak keluhan. Dari airnya yang dulu bersih sekarang tidak, yang dulu banyak dimanfaatkan masyarakat sumbernya sekarang dimanfaatkan oleh wisata (Tahrim, wawancara

19 Juni 2013).

Dengan demikian jelas bahwa masyarakat, pun Pemerintah Desa Kemiren tidak pernah dilibatkan dalam pengelolaan dan pemeliharaan WO. Pemerintah desa hanya dimintai tolong di awal untuk membujuk warga yang tanahnya bakal terkena pembebasan dan untuk mensosialisasikan pencanangan Kemiren sebagai desa wisata adat using sebagaimana diceritakan oleh Pak Timbul:

Yo diweni weruh. Wong-wong dikumpulaken kabeh. Hang duwe tanah trus diwawancarai ki kanggo wisata. Wong cungking yo ono. Ono mbok Muh, H Bus, Pak Dasyim, Pak Ali, Pak Pur, Mbok Pur. Kiro2 ono sak hektar. Hang duwe tanah dikumpulaken kabeh. Wong-wong kesengsem ning kene ki kepingin maju. Kemiren gedigi baen hadung sing ono wisata hing gelem maju. Dadi ambekeno ning esore rego pasaran hing paren-paren. Umpomo rego tanah sak metere iku

200 diregani 50. Dadi wong-wong iku dalam keadaan sadar. Iklas untuk kemajuan Kemiren.

(Ya diberitahu. Orang-orang semuanya dikumpulkan. Selanjutnya yang punya tanah diwawancarai dan diberitahu bahwa semuanya itu bakalan untuk wisata. Penduduk Cungking juga ada. Ada Mbak Muh, H. Bus, Pak Dasyim, Pak Ali, Pak Pur, Mbak Pur. Kira-kira luasnya satu hektar. Yang punya tanah dikumpulkan semua. Orang-orang pada terbujuk karena ingin Kemiren lebih maju. Karena Kemiren akan tetap seperti ini kalau tidak ada wisata. Jadi meskipun harga tanah yang ditawarkan di bawah harga pasar gak apa-apa. Semisal harga tanah 200 dibeli dengan harga 50. Jadi orang-orang itu dalam kondisi sadar. Iklas untuk kemajuan Kemiren) (Timbul, wawancara 21 Juni 2013).

Ciri ketiga dari tipe partisipasi ini adalah dikuasainya informasi oleh segelintir orang. Pada kasus Kemiren, informasi mengenai program-program atau hal-hal yang berhubungan dengan pengembangan wisata, seni, dan tradisi tidak bisa diakses semua orang karena tidak adanya media informasi khusus yang terbuka untuk semua pihak. Yang semacam ini tentu rawan monopoli dan penyalahgunaan. Contoh kasus adalah penggunaan dana kesmas dari DPRD dan pemberian bantuan 6 toilet berstandar internasional dari pemerintah daerah. Terjadi kesalahpahaman antara warga masyarakat yang tahu bahwa kelompok barong mendapatkan dana sebanyak 30 juta tahun lalu. Sebagian warga, yang tidak tahu pasti info yang benar, mengira bahwa proposal yang berhasil mendapatkan dana 30 juta itu adalah proposal tumpeng sewu sehingga mereka merasa seharusnya dana tersebut dibagi rata di antara semua warga yang menampilkan keseniannya pada acara tersebut. Padahal, proposal yang diterima itu merupakan proposal pemanfaatan dana kesmas dari DPRD.

Ketiadaan informasi yang memadai dan akuntabilitas juga terjadi dalam pelaksanaan program bantuan pembangunan toilet. Menurut perangkat desa, pertimbangan yang dipakai untuk memilih siapa saja yang berhak mendapatkan bantuan tersebut adalah sering tidaknya rumah yang bersangkutan menjadi tempat menginap tamu dari luar ( homestay) atau menjadi tempat yang sering dikunjungi tamu dari luar Kemiren. Namun begitu, kenyataannya tidaklah demikian. Ada toilet yang dibangun tidak pada tempatnya sehingga pihak yang merasa berhak dan sebelumnya dijanjikan Ketiadaan informasi yang memadai dan akuntabilitas juga terjadi dalam pelaksanaan program bantuan pembangunan toilet. Menurut perangkat desa, pertimbangan yang dipakai untuk memilih siapa saja yang berhak mendapatkan bantuan tersebut adalah sering tidaknya rumah yang bersangkutan menjadi tempat menginap tamu dari luar ( homestay) atau menjadi tempat yang sering dikunjungi tamu dari luar Kemiren. Namun begitu, kenyataannya tidaklah demikian. Ada toilet yang dibangun tidak pada tempatnya sehingga pihak yang merasa berhak dan sebelumnya dijanjikan

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65