c. Depresi tanpa penyebab: perasaan tanpa harapan dan ketidakberdayaan, pikiran
dan pernyataan-pernyataan ingin bunuh diri. d.
Ketakutan berlebihan: kecemasan, hilangnya kepercayaan terhadap orang lain. e.
Keterbatasan perasaan: tidak dapat mencintai, tidak riang seperti sebelumnya atau sebagaimana dialami oleh teman sebanya.
4. Tanda-tanda fisik
a. Perasaan sakit yang tidak jelas: mengeluh sakit kepala, sakit perut, tenggorokan
tanpa penyebab jelas, menurunnya berat badan secara drastis, tidak ada kenaikan berat badan secara memadai, muntah-muntah.
b. Luka-luka pada alat kelamin atau mengidap penyakit kelamin: pada vagina, penis
atau anus yang ditandai dengan pendarahan, lecet, nyeri, atau gatal-gatal di seputar alat kelamin.
c. Hamil Zastrow, dalam Huraerah, 2012: 73.
2.3.6 Faktor-Faktor Terjadinya Kekerasan Seksual
Terjadinya kekerasan seksual pada anak disebabkan oleh berbagai faktor yang memengaruhinya. Faktor-faktor yang memengaruhinya demikian kompleks, kekerasan
terhadap anak umumnya disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari anak sendiri
maupun faktor eksternal yang berasal dari lingkungan anak, yaitu:
1. Rendahnya pengalaman dan penghayatan terhadap norma-norma keagamaan yang
terjadi di tengah masyarakat. Nilai-nilai keagamaan yang semakin terkikis di masyarakat atau pola relasi horizontal yang cenderung makin meniadakan peran
agama adalah sangat potensial untuk mendorong seseorang berbuat jahat dan merugikan orang lain.
Universitas Sumatera Utara
2. Tingkat kontrol masyarakat social control yang rendah, artinya berbagai perilaku
yang diduga sebagai penyimpangan, melanggar hukuman dan norma keagamaan kurang mendapatkan responsi dan pengawasan dari unsur-unsur masyarakat.
3. Kondisi perekonomian juga dapat merupakan satu penyebab seseorang melakukan
kejahatan tindak kekerasan seksual. Keadaan ekonomi yang sulit akan membawa orang kepada pendidikan yang rendah dan pada tahap selanjutnya membawa dampak
kepada baik atau tidaknya pekerjaan yang diperoleh. Keadaan yang demikan menyebabkan seseorang dapat kehilangan kepercayaan diri dan menimbulkan jiwa
yang apatis, frustasi serta hilangnya respek atas norma-norma yang ada di sekitarnya. 4.
Putusan hakim yang terasa tidak adil, seperti putusan yang cukup ringan yang dijatuhkan pada pelaku. Hal ini dimungkinkan dapat mendorong anggota-anggota
masyarakat lainnya untuk berbuat keji dan jahat. Artinya mereka yang hendak berbuat jahat tidak meresa takut lagi dengan sanksi hukuman yang akan diterimanya.
5. Ketidak mampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu seksualnya. Nafsu
seksualnya dibiarkan mengembara dan menuntutnya untuk dicarikan kompensasi pemuasnya.
6. Keinginan pelaku untuk melakukan melampiaskan balas dendam terhadap sikap,
ucapan keputusan dan perilaku korban yang dianggap menyakiti dan merugikannya. 7.
Pengaruh perkembangan sosial budaya yang semakin tidak menghargai etika berpakaian yang menutup aurat, yang dapat meransang pihak lain untuk berbuat tidak
senonoh dan jahat. 8.
Gaya hidup atau metode pergaulan di antara laki-laki dengan perempuan yang semakin bebas, tidak atau kurang bisa lagi membedakan antara yang seharusnya boleh
dikerjakan dengan yang dilarang dalam hubungannya dengan kaedah akhlak mengenai hubungan laki-laki dengan perempuan Wahid Irfan, 2001: 72 .
Universitas Sumatera Utara
Pendapat lain dari sebuah model yang disebut “The Abusive Environment Model”,Ismail menjelaskan bahwa faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak-anak
sesungguhnya dapat ditinjau dari segi aspek, yaitu: aspek kondisi sang anak sendiri, orang tua, dan lingkungan sosial.
1. Faktor anak itu sendiri
a. Penderita gangguan perkembangan, menderita penyakit kronis disebabkan
ketergantungan anak kepada lingkungannya. b.
Perilaku menyimpang pada anak. 2.
Faktor orang tua Faktor orang tua memegang peranan penting terjadinya kekerasan seksual pada anak.
Faktor-faktor yang menyebabkan orang tua melakukan kekerasan seksual pada anak diantaranya :
a. Praktik-praktik budaya yang merugikan anak seperti kepatuhan anak kepada orang
tua, hubungan asimetris. b.
Anak dibesarkan dalam penganiayaan. c.
Gangguan mental. d.
Orang tua yang belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial terutama mereka yang mempunyai anak sebelum berumur 20 tahun.
e. Orang tua yang longgar terhadap perilaku seks bebas.
f. Kurangnya pendidikan seks dalam keluarga.
g. Orang tua pecandu minuman keras dan obat.
3. Faktor lingkungan sosialkomunitas
Kondisi lingkungan sosial juga dapat menjadi pencetus terjadinya kekerasan seksual pada anak. Faktor lingkungan sosial yang dapat menyebabkan kekerasan seksual dan
penelantaran pada anak yaitu :
Universitas Sumatera Utara
a.
Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materilistis.
b.
Kondisi sosial-ekonomi yang rendah .
c.
Adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri.
d.
Status wanita yang dipandang rendah.
e.
Sistem keluarga patriarkal.
f.
Nilai masyarakat yang terlalu individualistis Suyanto, 2010: 35. Sementara itu Richard J. Gelles juga mengemukakan bahwa kekerasan terhadap anak
terjadi akibat kombinasi dari berbagai faktor: personal, sosial, dan kultural. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan ke dalam empat katagori utama, yaitu:
1. Pewaris kekerasan antar generasi
Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orangtuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa mereka melakukan tindak kekerasan kepada anaknya. Dengan demikian,
perilaku kekerasan diwariskan transmitted dari generasi ke generasi. Anak-anak yang mengalami perlakuan salah dan kekerasan mungkin menerima perilaku ini
sebagai model perilaku mereka sendiri sebagai orangtua. Tetapi, sebagian besar anak- anak yang diperlakukan dengan kekerasan tidak menjadi orang dewasa yang
memperlakukan kekerasan kepada anak-anaknya. Beberapa ahli yakin bahwa peramal tentang tindakan kekerasan di masa depan adalah apakah anak menyadari bahwa
perilaku tersebut salah. Anak yang yakin bahwa perilaku buruk dan layak mendapatkan tindakan kekerasan akan lebih sering menjadi orangtua yang
memperlakukan anaknya secara salah, dibandingkan anak-anak yang yakin bahwa orangtua mereka salah untuk memperlakukan mereka dengan tindak kekerasan.
2. Stres sosial
Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Sebagian besar kasus dilaporkan tentang tindakan
Universitas Sumatera Utara
kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Tindak kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas menengah dan kaya, tetapi
tindakan yang dilaporkan lebih banyak di antara keluarga miskin karena beberapa alasan. Keluarga-keluarga yang lebih kaya memiliki waktu yang lebih mudah untuk
menyembunyikan tindak kekerasan karena memiliki hubungan yang kurang dengan lembaga-lembaga sosial dibandingkan dengan keluarga miskin. Selain itu, pekerja
sosial, dokter, dan sebagainya yang melaporkan tindakan kekerasan secara subjektif lebih sering memberikan label kepada anak keluarga miskin sebagai korban tindakan
kekerasan dibandingkan dengan anak dari keluarga kaya. Penggunaan alkohol dan narkoba di antara orangtua yang melakukan tindakan
kekerasan mungkin memperbesar stres dan meransang perilaku kekerasan. Karakteristik tertentu dari anak-anak, seperti: kelemehan mental, atau kecacatan
perkembangan atau fisik juga meningkatkan stres dari orangtua dan meningkatkan risiko tindak kekerasan.
3. Isolasi sosial dan Leterlibatan masyarakat bawah
Orangtua dan pengganti orangtua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Faktor-faktor kultural sering menentukan jumlah
dukungan masyarakat yang akan diterima suatu keluarga. Pada budaya dengan tingkat tindakan kekerasan terhadap anak yang rendah, perawatan anak biasanya dianggap
sebagai tanggungjawab masyarakat, yaitu: tentangga, kerabat, dan teman-teman membantu perawatan anak apabila orangtua tidak bersedia atau tidak sanggup. Di
Amerika Serikat, orangtua sering memikul tuntutan perawatan anak oleh mereka sendiri yang mungkin berakibat pada resiko stres dan tindakan kekerasan kepada anak
yang lebih tinggi. 4.
Struktur keluarga
Universitas Sumatera Utara
Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orangtua tunggal lebih
memungkinkan melakukan tindakan kekeraan terhadap anak dibandingkan dengan orangtua utuh. Karena keluarga dengan orangtua tunggal biasanya berpendapatan
lebih kecil dibandingkan keluarga lain, sehingga hal tersebut dapat dikatakan sebagai penyebab meningkatnya kekerasan terhadap anak. Keluarga-keluarga yang sering
bertengkar secara kronis atau istri yang diperlakukan salah mempunyai tingkat tindakan kekerasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang
tanpa salah. Selain, itu keluarga-keluarga dimana baik suami atau istri mendominasi di dalam membuat keputusan penting, seperti: di mana bertempat tinggal, pekerjaan
apa yang mau diambil, bila mempunyai anak, dan berapa banyak uang yang dibelanjakan untuk makanan dan perumahan mempunyai tingkat kekerasan terhadapa
anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang suami-istri sama- sama bertanggung jawab atas keputusan-keputusan tersebut Richard, dalam
Huraerah, 2012: 53. Multifaktor diyakini oleh banyak ahli dalam memandang penyebab terjadinya
kekerasan seksual pada anak. Posisi anak sebagai pihak yang lemah dan tidak berdaya, moralitas masyarakat khususnya pelaku kekerasan seksual yang rendah,
kontrol dan kesadaran orangtua dalam mengantisipasi tindak kejahatan pada anak, kurangnya program edukasi dari
pihak pemerintah yang bisa diakses oleh masyarakat, dan masih banyak lagi faktor lain.
2.4 Pendidikan Seks 2.4.1 Perlunya Pendidikan Seks