bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara kepadatan hunian responden terhadap kejadian penyakit TB Paru BTA Positif di Kecamatan Genteng dengan nilai
p = 0,592 0,05. Namun, didapatkan hasil yang berbeda dengan hasil penelitian Putra 2011, tentang hubungan perilaku dan kondisi sanitasi rumah dengan kejadian
TB paru di Kota Solok menunjukkan bahwa responden yang memiliki kondisi kepadatan hunian rumah yang kurang beresiko 5,95 kali tertular TB Paru
dibandingkan responden yang mempuyai kondisi kepadatan hunian yang baik OR = 5.95.
5.6 Hubungan Ventilasi Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ventilasi rumah responden memiliki hubungan dengan penyakit TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi
Kota Padangsidimpuan. Pada kelompok kasus ventilasi rumah sebagian besar tidak memenuhi syarat yaitu sebesar 77,6 sedangkan pada kelompok kontrol ventilasi
rumah responden sebagaian besar memenuhi syarat yaitu sebesar 73,5. Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian TB paru
nilai p-velue 0,000 0,05 dengan OR 0,105, artinya responden penderita TB paru berisiko 0,105 kali lebih besar berasal dari rumah dengan ventilasi tidak memenuhi
syarat dibandingkan responden bukan penderita TB paru yang berasal dari rumah dengan ventilasi memenuhi syarat.
Ventilasi rumah pada kelompok kasus sebagian besar tidak memenuhi syarat, hal ini disebabkan karena ventilasi rumah responden pada kelompok kasus kurang
dari 10 luas lantai terutama ventilasi pada ruang tidur. Menurut Keputusan Menteri
Universitas Sumatera Utara
Kesehatan Republik Indonesia No. 829MenkesSKVII1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan, luas ventilasi alamiah yang permanen minimal 10 dari luas
lantai. Dari responden yang dijumpai ada beberapa rumah penderita TB Paru yang
jendela ruang tidur tidak pernah dibuka, dikarenakan rumah yang terlalu rapat, sehingga jendela rumah khususnya kamar tidur tidak dibuka. Umumnya rumah yang
ditempati responden tidak memenuhi syarat rumah sehat, sehingga sinar matahari tidak dapat masuk kedalam ruangan secara merata. Ada juga beberapa responden
yang memang kesadaran untuk membuka jendelaventilasi ruang tamu dan ruang tidur masih kurang, sehingga menyebabkan kurangnya sirkulasi udara dalam rumah
terutama kamar tidur, disamping itu sinar matahari yang tidak dapat masuk kedalam rumah terutama dalam kamar tidur juga dapat meningkatkan kelembaban dalam
rumah yang akan menjadi tempat pertumbuhan dan perkembangan Mycobacterium tuberculosis.
Pada kelompok kontrol ventilasi rumah telah memenuhi syarat, dikarenakan ventilasi rumah responden 10 dari luas lantai, hal ini sesuai dengan Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 829MenkesSKVII1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan, luas ventilasi alamiah yang permanen minimal
10 dari luas lantai. Dari responden yang dijumpai pada kelompok kasus tampak ventilasijendela rumah dibuka, sinar matahari juga dapat masuk secara merata
sehingga ruangan dalam rumah tidak lembab. Ada beberapa responden yang memiliki ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat dan tidak membuka jendela ruang tidur,
dikarenakan jarak rumah yang di tempati dengan rumah yang lain sangat rapat
Universitas Sumatera Utara
sehingga jendela ruang tidur tidak dapat dibuka, tetapi dalam keadaan seperti ini responden memiliki ventilasi buatan seperti kipas angin dan AC sehingga sirkulasi
udara dalam ruangan tidak pengap. Hal ini sesuai dengan pendapat Mubarak dan Chayatin 2009, ada dua
macam ventilasi yaitu ventilasi alamiah dan ventilasi buatan. Aliran udara dalam ruangan pada ventilasi alamiah terjadi secara alami melalui jendela, pintu, lubang-
lubang dinding, angina-angin, dan sebagainya. Sedangkan pada ventilasi buatan aliran udara terjadi karena adanya alat-alat khusus untuk mengalirkan udara seperti
mesin penghisap AC dan kipas angin. Menurut Mukono 2005, pengaruh buruk berkurangnya ventilasi adalah berkurangnya kadar oksigen, bertambahnya kadar gas
CO2, adanya bau pengap, suhu udara ruangan naik, dan kelembapan udara ruangan bertambah
Hasil penelitian yang sama didapatkan pada penelitian Firdiansyah 2012, tentang pengaruh faktor sanitasi dan sosial ekonomi terhadap kejadian penyakit TB
paru BTA positif di Kecamatan Genteng Kota Surabaya menunjukkan bahwa responden yang memiliki ventilasi buruk kemungkinan untuk sakit TB Paru BTA
Positif sebesar 3,12 kali lebih besar daripada responden yang memiliki ventilasi baik OR = 3,12.
5.7 Hubungan Lantai Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja