tubuh responden dan mudah untuk terinfeksi penyakit TB paru. Sedangkan pada kelompok kontrol umumnya responden memiliki penghasilan lebih dari UMR,
sehingga mampu dalam memenuhi kebutuhan gizi dan juga dapat memilih makanan yang bergizi untuk keluarga.
Hasil penelitian yang sama didapatkan pada penelitian Supriyo 2011, tentang pengaruh perilaku dan status gizi terhadap kejadian TB paru di Kota
Pekalongan menunjukkan bahwa seseorang dengan status gizi kurang mempunyai risiko meningkatkan kejadian tuberkulosis paru sebanyak 7,583 kali lebih besar
dibanding dengan status gizi baik OR = 7,583. Menurut Achmadi 2010, status gizi merupakan variabel yang sangat berperan dalam timbulnya kejadian TB Paru. Kuman
TB Paru merupakan kuman yang suka “tidur” hingga bertahun-tahun, apabila memiliki ke
sempatan untuk “bangun” dan menimbulkan penyakit, maka timbullah kejadian penyakit TB Paru. Oleh sebab itu salah satu kekuatan daya tangkal adalah
status gizi yang baik.
5.4 Hubungan Pekerjaan dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerjaan responden tidak berhubungan dengan kejadian TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota
Padangsidimpuan. Pada kelompok kasus sedikit lebih banyak memiliki pekerjaan yang bekerja sebesar 59,2 dan pada kelompok kontrol sebagian besar memiliki
pekerjaan yang bekerja sebesar 67,3. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan pekerjaan responden dengan kejadian TB paru nilai p-value 0,402 0,05
Universitas Sumatera Utara
artinya pekerjaan responden bukan merupakan penyebab kejadian TB Paru di wilayah kerja puskesmas padangmatinggi.
Pekerjaan merupakan kegiatan atau usaha yang dilakukan penderita untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pada kelompok kasus sedikit lebih banyak memiliki
jenis pekerjaan sebagai petani dan lainnya supir angkot, bengkel, berjualan dipasar. Sedangkan pada kelompok kontrol sebagian besar memiliki jenis pekerjaan sebagai
PNS dan wiraswasta. Pekerjaan tidak berhubungan secara signifikan dengan kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota padangsidimpuan.
Hasil penelitian yang sama didapatkan pada penelitian Supriyo 2011, tentang pengaruh perilaku dan status gizi terhadap kejadian TB paru di Kota
Pekalongan menunjukan bahwa berdasarkan jenis pekerjaan, proporsi jenis pekerjaan responden paling banyak adalah buruh batik sebanyak 49 orang terdiri dari kasus 28
orang 40 dan kontrol 21 orang 30, sedangkan pada kelompok kasus yang paling banyak adalah buruh batik yaitu 28 orang 40 dan pada kelompok kontrol
adalah buruh batik juga yaitu 21 orang 30.
5.5 Hubungan Kepadatan Hunian Kamar Tidur dengan Kejadian TB Paru
di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi Kota Padangsidimpuan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan hunian kamar tidur memiliki hubungan dengan Penyakit Tb paru di Wilayah Kerja Puskesmas Padangmatinggi
Kota Padangsidimpuan. Pada kelompok kasus sebagian besar memenuhi syarat yaitu sebesar 67,3 dan pada kelompok kontrol umumnya memiliki kepadatan hunian
kamar tidur yang memenuhi syarat yaitu sebesar 83,7 nilai p-value 0,060 p
Universitas Sumatera Utara
0,05, artinya kepadatan hunian kamar tidur bukan merupakan penyebab kejadian TB
Paru di wilayah kerja puskesmas padangmatinggi.
Dari hasil wawancara sebagian besar kelompok kasus yang memenuhi syarat, hal ini dapat dilihat bahwa responden pada setiap kamar tidur dihuni oleh 2 orang.
Sehingga tidak mengurangi jumlah oksigen yang dibutuhkan saat tidur. Kepadatan hunian dapat dikaitkan dengan pengetahuan, walaupun responden pada kelompok
kasus mengetahui tentang penyakit TB paru, namun ada beberapa responden yang masih tidur dengan orang yang sehat. Dikarenakan responden tidak setuju jika harus
tidur terpisah dengan keluarganya. Pada kelompok kontrol umumnya kepadatan hunian kamar tidur responden
memenuhi syarat, hal ini dapat dilihat bahwa responden pada setiap kamar hanya dihuni 2 orang kecuali responden memiliki anak dibawah umur 5 tahun. Sehingga
kebutuhan oksigen saat tidur tercukupi. Menurut Notoatmodjo 2003, Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal
akan memberikan pengaruh bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyababkan overcrowded. Hal ini tidak sehat
karena di samping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga menderita suatu penyakit infeksi terutama TB paru akan mudah
menular kepada anggota keluarga yang lain, karena seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada dua sampai tiga orang di dalam rumahnya.
Hasil penelitian yang sama didapatkan pada penelitian Firdiansyah 2012, tentang pengaruh faktor sanitasi rumah dan sosial ekonomi terhadap kejadian
penyakit TB Paru BTA positif di kecamatan genteng kota surabaya menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara kepadatan hunian responden terhadap kejadian penyakit TB Paru BTA Positif di Kecamatan Genteng dengan nilai
p = 0,592 0,05. Namun, didapatkan hasil yang berbeda dengan hasil penelitian Putra 2011, tentang hubungan perilaku dan kondisi sanitasi rumah dengan kejadian
TB paru di Kota Solok menunjukkan bahwa responden yang memiliki kondisi kepadatan hunian rumah yang kurang beresiko 5,95 kali tertular TB Paru
dibandingkan responden yang mempuyai kondisi kepadatan hunian yang baik OR = 5.95.
5.6 Hubungan Ventilasi Rumah dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja