Hasil penelitian Firdiansyah 2012, tentang pengaruh faktor sanitasi dan sosial ekonomi terhadap kejadian penyakit TB paru BTA positif di Kecamatan
Genteng Kota Surabaya menunjukkan bahwa responden yang memiliki ventilasi buruk kemungkinan untuk sakit TB Paru BTA Positif sebesar 3,12 kali lebih besar
daripada responden yang memiliki ventilasi baik OR = 3,12.
2.3.7 Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak terlalu banyak Achmadi, 2008. Menurut Notoatmodjo 2003, kurangnya cahaya
yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan
berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya didalam rumah akan menyebabkan silau, dan akhirnya dapat merusakan mata.
Menurut Notoatmodjo 2011, cahaya dapat dibedakan menjadi 2, yakni : a.
Cahaya alamiah, yakni matahari. Cahaya ini sangat penting, karena dapat menbunuh bakteri-bakteri patogen
dalam rumah, misalnya baksil TB paru. Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Jalan masuk cahaya jendela luasnya
sekurang-kurangnya 15 sampai 20 dari luas lantai yang terdapat dalam ruangan rumah. Perlu diperhatikan dalam membuat jendela diusahakan agar sinar matahari
dapat langsung masuk kedalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela disini, di samping sebagai ventilasi, juga sebagai jalan masuknya cahaya.
Lokasi penempatan jendela pun harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lama menyinari lantai bukan menyinari dinding. Maka sebaiknya jendela
Universitas Sumatera Utara
itu harus ditengah-tengah tinggi dinding tembok. Jalan masuknya cahaya alamiah juga diusahakan dengan genteng kaca. Genteng kaca pun dapat dibuat secara
sederhana, yakni dengan melubangi genteng biasa pada waktu pembuatannya, kemudian menutupnya dengan pecahan kaca.
b. Cahaya buatan, yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti
lampu minyak tanah, listrik, dan sebagainya. Rumah dengan pencahayaan yang buruk sangat berpengaruh terhadap
kejadian penyakit TB paru. Bakteri Mycobacterium tuberculosis dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab dan gelap tanpa sinar matahari bertahun-tahun
lamanya, dan mati bila terkena sinar matahari, lisol, sabun, karbon dan kapas api, bakteri ini akan mati dalam waktu dua jam.
Menurut Keputusan
Menteri Kesehatan
Republik Indonesia
No. 829MenkesSK VII1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, pencahayaan
alami dan atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan tidak menyilaukan mata.
Hasil penelitian Putra 2011, tentang hubungan perilaku dan kondisi sanitasi rumah dengan kejadian TB paru di Kota Solok menunjukkan bahwa responden yang
memiliki kondisi pencahayaan yang kurang beresiko 5,95 kali tertular TB Paru dibandingkan responden yang mempuyai pencahayaan yang baik OR = 5,95.
2.4 Pengaruh Perilaku terhadap Penyakit Tuberkulosis Paru