produktivitas di masa mendatang. Fenomena ini mewajibkan adanya peningkatan kesadaran seluruh lapisan masyarakat untuk bersama-sama mencegah epidemi sifilis
dan HIV lebih lanjut. Di Indonesia secara umum penularan HIV adalah secara seksual di mana
kelompok umur yang terbanyak adalah usia 20-29 tahun. Diserangnya usia produktif ini suatu tantangan yang perlu segera diatasi mengingat usia produktif adalah aset
pembangunan bangsa Muninjaya, 1998. Remaja Indonesia saat ini sedang mengalami perubahan sosial yang cepat dari
masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, yang juga mengubah norma- norma, nilai-nilai dan gaya hidup mereka. Remaja yang dahulu terjaga secara kuat
oleh sistem keluarga, adat budaya serta nilai-nilai tradisional yang ada, telah mengalami pengikisan yang disebabkan oleh urbanisasi dan industrialisasi yang
cepat. Hal ini diikuti pula oleh adanya revolusi media yang terbuka bagi keragaman gaya hidup dan pilihan karir Suprapto, 2006. Hal-hal ini membuktikan bahwa
kelompok umur remaja memang harus menjadi perhatian dalam program penanggulangan HIV di Indonesia.
5.1.2. Pendidikan
Berdasarkan uji statistik terdapat tidak ada hubungan secara signifikan antara pendidikan dengan ranah perilaku p=0,967 pengetahuan, sikap p=0,129 dan
tindakan 0,498. Pada umumnya responden telah menamatkan pendidikan dasar hal serupa terjadi pada penelitian yang dilakukan Herowati di Parangkusumo Kretek
Bantul Yogyakarta bertingkat pendidikan mayoritas SMP, artinya pada umumnya
Universitas Sumatera Utara
mereka adalah generasi penerus bangsa http:72.14.235.132search?q=cache: aZjF9smaTvQJ:puspasca.ugm.ac.idfiles1744-H-2004.pdf+penelitian+HIVPerilaku
+PSKcd=1hl=idct=clnkgl=id. Logikanya pendidikan dapat mempunyai hubungan pengetahuan, dan sikap
tetapi dari hasil penelitian tidak demikian. Hal ini dapat disebabkan pendidikan kesehatan reproduksi dan juga penyakit menular seksual masih dirasakan kurang
diajarkan pada pendidikan formal, hanya merupa materi sisipan untuk topik mata pelajaran Biologi. Padahal pendidikan ini penting dalam membentuk pola pikir,
pengetahuan, sikap dan tindakan siswa. Remaja adalah masa peralihan, masa di mana peran lingkungan sangat besar dalam membentuk karakter seseorang, karena dalam
masa ini perlu adanya pendidikan. Dalam hal ini, PSK dengan tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung mampu
bersikap lebih hati-hati dalam melakukan hubungan seksual dan tindakan pencegahan penularan sifilis dan infeksi HIV. Hal ini terlihat dari hasil wawancara kepada PSK
yang berhasil tamat SMU, bahwa mereka selalu menggunakan kondom pada waktu berhubungan seksual dan bersikap selektif dalam memilih tamu.
Maka dari itu pentingnya pengelolaan HIV yang cepat, terpadu, dan komprehensif. Bahkan pendidikan perilaku sehat sudah waktunya dilakukan di semua
lini termasuk dunia kerja. Berdasarkan survei yang dilakukan Pusat Penelitian AIDS dan Penyakit Seks
Menular, Universitas Washington, Seattle, Amerika Serikat AS, pendidikan seks secara komprehensif di sekolah efektif menghindari kehamilan dini pada remaja.
Universitas Sumatera Utara
Survei yang dilakukan secara nasional sejak 2002 melibatkan 1.700 remaja berusia 15–19 tahun yang belum menikah. Hasilnya, sebanyak 60 remaja yang menerima
pendidikan seks komprehensif di sekolah terhindar dari kehamilan dini atau tak ingin hamil dibandingkan remaja yang tak pernah mendapatkan pendidikan seks. Selain itu,
remaja yang mendapatkan pendidikan seks komprehensif mampu mengurangi aktivitas hubungan seks remaja di luar nikah. Hanya, dalam penelitian ini tak
diketahui seberapa efektif pendidikan seks menghindari remaja dari ancaman penyakit kelamin menular. Penularan itu melibatkan berbagai faktor luar, selain
adanya aktivitas seks yang tidak benar. Pendidikan seks komprehensif di sekolah mampu mencegah kehamilan yang tak dikehendaki remaja. Hal itu berdampak untuk
menekan angka kelahiran yang tinggi’’, papar Pamela K Kohler dari Pusat Penelitian AIDS dan Penyakit Seks Menular, Universitas Washington http:aids-
ina.orgmodules.php?name=AvantGofile=printsid=674.
5.1.3. Masa Kerja