69
BAB IV KONSEP
MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN A.
Makna dan Ruang Lingkup Mau’izhah Hasanah
Berdasarkan 6 surat dan ayat yang penulis kutip mengenai makna mau‟izah hasanah dalam al-Qur‟an, baik dalam bentuk kata al-ma‟izhatu yang
terdapat dalam surat an-Nahl: 125, al-Baqarah: 66, an-Nur: 34, maupun dalam bentuk kata
wa‟aza atau yu‟izhu yang terdapat dalam surat an-Nisa: 63, al- Baqarah 232, al-
A‟raf: 164 dan luqman: 13, semua bentuk kata itu, menurut seluruh mufassir sepakat mendefinisikan kata-kata
mau‟izhah hasanah dengan kata-kata yang mengandung nasihat yang bagus, tidak menyakiti dan
menakut-nakuti. Akan tetapi Imam As-suyuti dalam tafsirnya jalalain menafsirkan
mau‟izhah hasanah lebih menekankan kepada nasihat atau perkataan yang halus.
1
Sementara At-Thabari lebih menekankan kepada peringatanpelajaran yang indah, yang Allah jadikan hujah atas mereka di
dalam kitab-Nya dan Allah telah mengingatkan mereka dengan hujah tersebut tentang apa yang diturunkan-Nya. Sebagaimana yang banyak tersebar dalam
surat ini, dan Allah mengingatkan mereka dalam ayat dan surat tersebut tentang berbagai kenikmatan-Nya.
2
Sedangkan menurut Quraish Shihab, Kata-kata al- mau‟izhatu dalam
Tafsirnya mengatakan, al- Mau‟izhatu terambil dari kata wa‟azha yang berarti
Nasihat. Mau‟izhah adalah uraian yang menyentuh hati yang mengantar
kepada kebaikan. Demikian dikemukakan oleh banyak ulama. adapun
1
Muhammad bin Ahmad, Abdurrahman bin Abi Bakr al-Mahalli, As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Kairo: Dar ul-Hadîts, Kairo, tt, h, 363
2
Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid Ath Thabari, Jami‟ul Bayan Fi Ta‟wil Al-
Qur‟an, Mesir: Muassatur Risalah, 1420 H, jilid 17, h.321
Mau‟izhah, maka ia baru dapat mengena hati sasaran
bila ucapan yang disampaikan itu disertai dengan pengamalan dan keteladanan dari yang
menyampaikannya. Nah, inilah yang bersifat hasanah.
Kalau tidak, ia adalah yang buruk, yang seharusnya dihindari. Di sisi lain, karena
mau‟izhah biasanya bertujuan mencegah sasaran dari sesuatu yang kurang baik, dan ini dapat
mengundang emosi baik dari yang menyampaikan, lebih-lebih yang menerimanya, maka
mau‟izhah adalah sangat perlu untuk mengingatkan kebaikannya itu.
3
Sementara Quthub dalam tafsirnya bahwa nasihat yang baik atau mau‟izhah hasanah yakni lebih menekankan kepada dakwah yang bisa
menembus hati manusia dengan lembut dan diserap oleh hati nurani dengan halus. Bukan dengan bentakan dan kekerasan tanpa ada maksud yang jelas.
Begitu pula tidak dengan cara membeberkan kesalahan-kesalahan yang kadang terjadi tanpa disadari atau lantaran ingin bermaksud baik. Karena
kelembutan dalam memberikan nasihat akan lebih banyak menunjukkan hati yang bingung, menjinakkan hati yang membenci, dan memberikan banyak
kebaikan ketimbang bentakan, gertakan, dan celaan.
4
Dalam sebuah nasihat yang baik mau‟izhah hasanah, dikatakan bahwa
seorang juru dakwah harus berbuat dan beramal sesuai dengan apa yang diucapkannya;
3
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, pesan, kesan dan keserasian al- Qur‟an, Jakarta:
Lentera Hati, 2002, volume 7, h. 392-393
4
Sayyid Quthub, Tafsir Fi zhilalil Qur‟an, Jakarta: Gema Insani Press, 2005, cet ke 2,
jilid-7, h. 224