Konsep mau’izhah hasanah dalam Al-Qur’an

(1)

(Analisa Tafsir dengan Metode Tematik)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan llmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memproleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.kom I)

Oleh:

MUHAMMAD HIZBULLAH NIM: 1111051000171

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

i 1111051000171

Konsep Maúizhah Hasanah Dalam Al-Qur’an

Al-Mau’izhah hasanah merupakan cara berdakwah atau bertabligh yang disenangi; mendekatkan manusia kepadanya dan tidak menjeratkan mereka; memudahkan dan tidak menyulitkan. Singkatnya, ia adalah suatu metode yang mengesankan sasaran dakwah bahwa peranan juru dakwah adalah sebagai teman dekat yang menyayanginya, dan sebagai yang mencari segala hal yang bermanfaat baginya dan membahagiakannya.

Berdasarkan konteks diatas, bagaimana konsep mau’izhah hasanah dalam al-Qur‟an? Apakah kriteria da‟i mau’izhah hasanah? Siapakah mad‟u mau’izhah hasanah? Sejauh mana dampak dan keuntungan menggunakan konsep mau’izhah hasanah?

Mau’izhah hasanah maksudnya adalah petunjuk-petunjuk ke arah kebaikan dengan bahasa yang baik, dapat diterima, berkenan di hati, menyentuh perasaan, lurus pikiran, menghindari sikap kasar dan tidak mencari atau menyebut kesalahan audiens. Pesan yang disampaikan dengan santun dan dialog, memanusiakan manusia sesuai dengan fitrahnya yang suci agar mau berbuat baik.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian library research (penelitian kepustakaan), yaitu sebuah penelitian yang menggunakan buku-buku, tafsir, dokumen, majalah, dan surat kabar sebagai bahan acuan. Sedangkan metode pembahasan yang digunakan, adalah metode deskritptif dan tafsir mawdhu’i.

Metode deskriptif dipakai untuk menghimpun data dan fakta sehingga tergambar unsur-unsur yang membentuk konsep mau’izhah hasanah dalam

al-Qur‟an. Sedangkan metode mawdu’i digunakan untuk mencari nash-nash

al-Qur‟an terkait sehingga diproleh sebuah kesimpulan yang terang bagaimana mau’izhah hasanah terbentuk.

Konsep mau’izhah hasanah dalam al-Qur‟an adalah konsep dakwah yang bisa menembus hati manusia dengan lembut dan diserap oleh hati nurani dengan halus. Tidak memaksa, tidak menyakiti, bukan dengan bentakan dan kekerasan

tanpa ada maksud yang jelas. seorang da‟i mau’izhah hasanah harus berbuat dan beramal sesuai dengan apa yang diucapkannya; ceramah harus dilakukan dengan cara yang ramah, kasih sayang di samping itu juga seorang penasihat (da‟i) harus usianya lebih dewasa dengan objek dakwah dan memiliki kapasitas hikmah (ilmu) yang memadai. Sementar Mad‟u mau’izhah hasanah adalah dari kalangan awam atau orang kebanyakan, tetapi masih mempunyai fitrah yang lurus. Kelembutan dalam memberikan nasihat akan lebih banyak menunjukkan hati yang bingung, menjinakkan hati yang membenci, dan memberikan banyak kebaikan.

Jadi mau’izhah hasanah adalah konsep berdakwah dengan penuh

kelembutan, ketenangan, dan penuh kasih sayang. Begitu juga da‟i yang menggunakan mau’izhah hasanah harus berbekal ilmu, penyayang dan santun. sedangkan mad‟unya dari kalangan awam atau tidak secanggih golongan yang diseru dengan hikmah. Dengan itu, Sehingga pesan dakwah dan kebaikan akan lebih cepat tersampaikan dan membangkitkan perasaan ketuhanan dalam jiwa sehingga menimbulkan rasa takut dan tunduk.


(6)

ii

Segala puja dan puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt. Yang senantiasa memberikan nikmat iman, islam, serta nikmat sehat, kesempatan, yang tiada henti kepada penulis. Dengan nikmat tersebut, penulis mendapatkan kemudahan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini yang merupakan syarat untuk meraih gelar sarjana dalam bidang ilmu komunikasi dan penyiaran islam (KPI). Meski penulis dalam prosesnya, menyadari banyak kendala yang dihadapi. Namun atas berkat dan izin Allah SWT, penulis mampu menyelesaikannya dengan penuh rasa syukur yang amat mendalam.

Shalawat serta salam tidak lupa pula terucap kepada baginda Nabi Muhammad Saw, yang menjadi panutan umat, dengannya ilmu pengetahuan terungkap. Nabi yang telah menerangi jalan kehidupan dari kegelapan menuju jalan penuh terang benderang. Seorang da‟i dan tokoh orator sejati yang visi dan misinya tetap dikenang hingga akhirat nanti. Semoga shalawat selalu tercurah

kepada beliau, para sahabat, tabi‟iin dan para pengikutnya hingga hari akhir nanti.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan dengan mendapatkan bimbingan, bantuan, dan dorongan semangat dari semua pihak yang telah membantu guna penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis pada kesempatan ini ingin mengucapkan beribu terima kasih yang sebesar-besanya, semoga Allah membalas budi baik bapak, ibu, dan saudara Amiin. Kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA., selaku Rektor yang mendapat amanah Ilmiah dari Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

iii

Bidang Akademik, Bapak Dr. Jumrani, M.Si. Selaku pembantu Dekan Bidang Administrasi dan keuangan, dan juga Bapak Drs. Wahidin Saputra, MA. Selaku Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan.

3. Bapak Drs. Rahmat Baihaky, MA. selaku ketua jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, dan ibu Dra. Umi Musyarofah, M.A selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.

4. Bapak Dr. Ahmad Ilyas Ismail, M.A selaku dosen pembimbing yang tak kenal lelah serta senantiasa sabar meluangkan waktunya untuk membantu, menempa dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Kepada seluruh dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan

Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu, pengalaman, serta keteladanan dalam menajalani dan memaknai kehidupan ini.

6. Segenap karyawan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Penyiaran Islam, dan karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kemudahan kepada penulis untuk mencari referensi dalam penyelesain skripsi ini.

7. Kepada ayahanda dan ibunda tercinta, yang kasih sayang, doa, cinta serta motivasinya yang tiada henti penulis terima, hingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan penuh semangat dan untuk terus menuntut ilmu sampai nanti.


(8)

iv

mendoakan penulis untuk terus berkarya, memberi mamfaat, belajar dan mencari jati diri dalam mencapai kesuksesan dunia akhirat.

9. Teman-teman seperjuangan KPI E 2011, dan seluruh KPI semester akhir yang selalu membantu dan saling menasihati dan tetap menjaga kekompakan.

Penulis mendoakan semoga bantuan, dukungan, bimbingan dan perhatian yang telah diberikan oleh semua pihak akan mendapatkan keridhaan, balasan yang terbaik di sisi Allah Swt. Dengan pahala yang berlipat ganda serta limpahan rahmat, hidayah, serta berkahny-Nya. Amiin Ya Rabbal Alamin.

Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sepenuhnya dapat menenteramkan kegelisahan intelektual serta menyirami dahaga ilmiah, untuk itu penulis sangat berlapang dada menerima masukan-masukan dan kritik yang sipatnya membangun guna menuju kesempurnaan. Semoga skripsi ini menjadi menjadi Khazanah /tolls serta dapat memberikan kontribusi positif, memperluas wawasan keilmuan serta menambah Khazanah perpustakaan.


(9)

v

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ...10

D. Tinjauan Pustaka ...11

E. Metode Penelitian ...12

F. Sistematika Penulisan ...15

BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Mau’izhah Hasanah ...18

1. Pengertian Nasihat ...26

2. Kriteria-Kriteria Seorang Penasihat ...27

B. Mau’izhah Hasanah dalam Bentuk Tabsyir ...28

C. Mau’izhah Hasanah dalam Bentuk Tandzir ...34

D. Pendekatan Dakwah dalam Bentuk Mau’izhah Hasanah....39

BAB III DESKRIPSI TENTANG AYAT-AYAT MAU’IZHAH A. Ayat-ayat Tentang Mau‟izhah hasanah ...44

1. Ayat dalam Bentuk Al-mau’izhah ...45

2. Ayat dalam Bentuk Wa’azha & Yu’izhu...47


(10)

vi

C. Pengelompokan Makiyah Madaniah Ayat Mau’izah...52

D. Asbabu An-Nuzul ...53

BAB 1V KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN A. Makna dan Ruang Lingkup Mau’izhah Hasanah ...58

B. Kriteria Da’i Mau’izhah Hasanah ...64

C. Siapakah Mad’u Mauizah Hasanah? ...69

D. Manfaat dan Keuntungan Menggunakan Mau’izhah ...73

BAB V. PENUTUP A.Simpulan ...77

B.Saran-Saran ...80 DAFTAR PUSTAKA


(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Al-Mau‟izhah hasanah merupakan cara berdakwah atau bertabligh yang disenangi; mendekatkan manusia kepadanya dan tidak menjeratkan mereka; memudahkan dan tidak menyulitkan. Singkatnya, ia adalah suatu metode yang mengesankan sasaran dakwah bahwa peranan juru dakwah adalah sebagai teman dekat yang menyayanginya, dan sebagai yang mencari segala hal yang bermanfaat baginya dan membahagiakannya. 1

Menurut Abd. Hamid al-Bilali al-Mau‟izhah al-Hasanah merupakan salah satu manhaj (metode) dalam dakwah untuk mengajak ke jalan Allah dengan memberikan nasihat atau membimbing dengan lemah lembut agar mereka mau berbuat baik.2

Mau‟izhah hasanah dapatlah diartikan sebagai ungkapan yang mengandung unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah, berita gembira, peringatan, pesan-pesan positif (wasiyat) yang bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan agar mendapatkan keselamatan dunia akhirat.3

Ibnu Taimiyah menyebutkan beberapa sifat yang harus dimiliki oleh

seorang da‟i yang mengajak kepada perbuatan ma‟ruf dan melarang orang lain berbuat munkar haruslah memiliki ilmu tentang hal yang ma‟ruf dan yang

mungkar dan dapat membedakan antara keduanya dan harus memiliki ilmu tentang keadaan orang yang diperintah dan yang dilarang.dan yang dimaksud

1

Muhammad Husain Fadlullah, Metodologi Dakwah dalam Al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera, 1997), h. 48

2

Abdul Hamid al-Bilali, Fiqh al-Dakwah Fi ingkar al-Mungkar (Kuwait: Dar al-Dakwah, 1989), h.260

3


(12)

dengan ilmu adalah apa-apa yang dibawa Rasulullah dari apa-apa yang Allah utuskan kepadanya.jadi, berdakwah tanpa didasari ilmu menyalahi praktik Nabi Saw.4

Sebagaimana firman Allah:



























Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik". (QS Yusuf :102)

Di antara cara mentarbiah yang ada di dalam Al-Qur‟an adalah: tarbiah dengan talqin (dikte), cerita, teladan yang baik, pengilmuan, praktikum, pembiasaan, amal nyata, logika, penyadaran hati, menggugah rasa, bercermin dari peristiwa masa lalu, bukti yang mematahkan argumen pembantah (mukjizat), dialog, permisalan, penggunaan hikmah, pengakuan realitas, penggunaan alat indra, pikiran dan analisis, saling

berwasiat dengan benar dan sabar, amar ma‟ruf nahi mungkar, siraman

ruhiah, pembersihan hati, ikhlas, cinta, harap dan cemas, Qishas (balasan setimpal), ta‟zir (hukuman berdasarkan ijtihad hakim), tobat, ampunan, amal shalih, kesucian dan kemuliaan, dan seterusnya.- di riwayatkan dari al-Irbadh bin Sariyah RA yang berkata “Rasulullah Saw menasihati kami

dengan nasihat yang dalam dan menggetarkan hati. Kami bertanya, “ya

Rasullah sepertinya ini nasihat orang yang hendak berpisah maka berilah

kami wasiat.” Nabi bersabda, “aku berwasiat, hendaklah kalian bertakwa

4


(13)

kepada Allah, mendengar dan taat meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak habsy. Sesungguhnya, siapa diantara kalian yang hidup (berumur panjang) maka akan melihat banyak perselisihan. Karena itulah berpegang teguhlah terhadap sunnahku dan sunnah para khalifah ar-Ryasidin yang ditunjuk sesudahku, pertahankanlah dengan gigi taringmu (bersungguh-sungguh), dan berhati-hatilah terhadap hal-hal baru karena

semua bid‟ah sesat.” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).5















































“demi masa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati

supaya menetapi kesabaran.” (QS Al-ashr :1-3)

Kata Tawashauw terambil dari kata washa, washiah yang secara umum diartikan menyuruh secara baik. Beberapa pakar bahasa lebih jauh menyatakan bahwa kata ini berasal dari ardhun waashiah, yang berarti tanah yang dipenuhi tumbuhan. Hatta mereka lebih jauh menasihati adalah tampil kepada orang lain dengan kata-kata halus agar yang bersangkutan bersedia melakukan sesuatu pekerjaan yang diharapkan darinya secara berkesinambungan. Dalam ayat ini ada dua hal yang diminta untuk diwasiatkan yaitu (al-haqq dan Ashabr).

Al-haq dari segi bahasa berarti sesuatu yang mantap tidak berubah apapun yang terjadi. Allah adalah al-haqq karena tidak mengalami perubahan. Nilai-nilai agama juga al-haqq. Seperti Nabi mengatakan:

5


(14)

agama itu adalah nasihat. Allah swt. adalah al-haq karena itu sebagian para pakar tafsir, memahami kata al-haq dalam ayat ini dengan arti yakni bahwa manusia hendaknya saling ingat mengingatkan tentang keberadaan, kekuasaan Allah,keesaan Allah serta sifat-sifat lain-Nya. Hal-hal yang diwasiatkan dalam al-Qur‟an antara lain adalah:

a. Pelaksanaan agama, bersatu padu, tidak bercerai berai. b. Bertakwa kepada-Nya. (QS An-Nisa:13)

c. Berbuat baik kepada orang tua khususnya kepada ibu. (QS. Lukman:14)

d. Beberapa perincian ajaran agama seperti: pembagian harta warisan (QS An-Nisa:11), shalat dan zakat.

e. Sepuluh hal yang disebutkan dalam surat al-An‟am ayat 151 -153 yaitu: 1. Jangan memepersekutukan-Nya, 2. Berbuat baik kepada ibu bapak, 3. Jangan membunuh anak, 4. Jangan mendekati zina, 5. Jangan membunuh kecuali dengan cara yang sah dan dibenarkan, 6. Jangan menyalahkan harta anak yatim, 7-8. Menyempurnakan timbangan dan takaran, 9. Percakapan atau sikap hendaklah secara benar dan adil, 10. Memenuhi perjanjian yang dikuatkan atas nama Allah.

Dalam surah ini pada urutan yang terakhir terdapat kata-kata watawa shau bishabr dan saling menasihati dalam kesabaran. Menurut Imam Al-Ghazali lebih dari 70 kali Allah menguraikan masalah sabar dalam Al-Qur‟an.6

6


(15)

Nasihat yang baik, lanjut Quthub, adalah nasihat yang diberikan dengan penuh kasih sayang, seperti nasihat luqman kepada anaknya (Q.S. Luqman:13). Nasihat luqman adalah nasihat yang bebas dari celaan, karena pelakunya adalah orang yang mendapat hikmah. Nasihat luqman juga tulus dan terlepas dari unsur subjektivitas, karena ia merupakan nasihat orang tua kepada anaknya. Nasihat yang baik kelihatannya ada kaitannya dengan sifat hikmah. Bila nasihat luqman dijadikan sebagai contoh, maka nasihat yang baik itu kelihatannya hanya dapat dilakukan oleh orang yang arif dan bijaksana (orang yang mendapat hikmah).7

Prinsip-prinsip metode ini diarahkan terhadap mad‟u yang kapasitas intelektual dan pemikiran serta pengalaman spiritualnya tergolong kelompok awam. Dalam hal ini peranan juru dakwah, adalah sebagai pembimbing, teman dekat yang setia, menyayangi dan memberikan segala hal yang bermanfaat, serta membahagiakan mad‟u -nya. Cara berdakwah model ini memang lebih spesifik ditujukan kepada manusia jenis kedua, yaitu keumuman manusia. Mereka adalah orang-orang yang tidak mencapai taraf kemampuan manusia jenis pertama. Secara potensial, mereka memiliki fitrah terhadap kebenaran, tetapi mereka selalu ragu-ragu antara mengikuti kebatilan yang selama ini tumbuh di sekelilingnya atau mengikuti kebenaran yang disampaikan kepada mereka.8 Menurut Muhammad Husain Yusuf9:

7

A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub, Rekonstruksi Pemikiran Dakwah

Harakah, ( Jakarta: Penamadani, 2008).h. 250

8

Asep Muhiddin, Dakwah Dalam Perspektif Al-Qur‟an, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), h. 166

9


(16)

mereka membutuhkan pelajaran yang baik (al-mau‟izhah al -hasanah), ucapan yang mengena (qaul baligh), serta penjelasan yang berguna , berupa sugesti (targhib) untuk mengikuti kebenaran, penjelasan tentang kebaikan mengikuti kebenaran, serta ancaman (tarhib) mengikuti kebatilan, serta penjelasan atas dosa dan nista yang terdapat dalam kebatilan. Begitu pula seterusnya sampai benar-benar jelas kepada mereka jalan yang lurus dan cahaya yang terang , serta dapat menghilangkan keraguan mereka untuk masuk ke dalam barisan orang-

orang mukmin di bawah panji Nabi dan rasul yang paling mulia.”

Dengan demikian, dakwah dengan pendekatan mau‟izah hasanah ini, perlu memperhatikan faktor-faktor berikut:

1. Tutur kata lembut sehingga akan terkesan di hati. 2. Menghindari sikap sinis dan kasar.

3. Tidak menyebut-nyebut kesalahan atau bersikap menghakimi orang yang diajak bicara (mukhatab).10

Komunikasi yang efektif dalam dakwah, menurut Ahmad Mubarok apabila dilihat dari sudut psikologi dakwah, maka dakwah yang efektif itu memiliki lima ciri yaitu:

1. jika dakwah memberikan pengertian kepada masyarakat

(mad‟u) tentang apa yang didakwahkan.

2. Jika masyarakat (mad‟u) merasa terhibur oleh dakwah yang diterima.

3. Jika dakwah berhasil meningkatkan hubungan baik antara da‟i dan masyarakat mad‟u.

4. Jika dakwah dapat mengubah masyarakat mad‟u.

5. Jika dakwah berhasil memancing respons masyarakat berupa tindakan.

10

Asep Muhiddin, Dakwah Dalam Perspektif Al-Qur‟an, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), h.167


(17)

Komunikasi yang efektif hanya jika dan jika hanya (only if) ia menyerap sinar dan ke-Maha Muliaan dan ke-Mahatauan Allah Swt. Dalam dirinya. Dalam teori komunikasi modern sifat mulia itu disebut trusttworthiness dan sifat tahu itu disebut expertness. Terkait dengan hal tersebut, berbagai penelitian membuktikan bahwa orang cenderung mengikuti pendapat atau keyakinan orang yang dianggapnya jujur (percaya dan meiliki keahlian). Orang yang berakhlak rendah, yang tidak memiliki integritas pribadi, sulit untuk menjadi komunikator yang berpengaruh. Begitu pula orang yang jahil yang tidak memiliki gairah terhadap ilmu, yang pengetahuannya lebih di bawah rata-rata orang yang banyak, sukar untuk mengubah atau mengarahkan perilaku orang lain.11

























“mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan Katakanlah kepada mereka Perkataan

yang berbekas pada jiwa mereka.” (QS. An-Nisa:63)

Bertolak dari pandangan bahwa khalayak itu aktif dan memiliki potensi mengingkari fitrah dan kehanifannya, maka khalayak itu harus diajak agar kembali kepada fitrahnya, yaitu al-khayr, amar ma‟ruf, dan nahy munkar, dengan beriman, berilmu dan beramal saleh. Telah dijelaskan bahwa pesan dakwah harus menarik perhatian dan memenuhi kebutuhan dan kepentingan khalayak sebagai manusia atau sebagai makhluk monodualis (individu dan sosial), maka pesan harus direncanakan.- dalam perencanaan pesan dan metode dakwah, para pakar

11


(18)

selalu mengambil rujukan utama kepada firman Tuhan (QS, An-Nahl:125 yang artinya:

“serulah(manusia) kejalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu. Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dijalan-Nya dan Dialah yang mengetahui orang-orang yang mendapat

petunjuk”.

Dalam ayat tersebut, dikandung makna perlunya memerhatikan kondisi dan situasi mad‟u atau khalayak, sehingga mereka merasa tidak dipaksa. Demikian juga pesan disampaikan dengan santun dan berdialog dengan cara yang baik. Suasana dialogis harus bersifat manusiawi. Pada prinsifnya dakwah itu harus memanusiakan manusia, sesuai dengan fitrahnya yang suci. Hal ini wajib menjadi pegangan dalam merumuskan pesan dan menetapkan metode dakwah.12

Lebih daripada itu, sesungguhnya kelemah-lembutan, pelan-pelan, dan sikap penuh kasih dan sayang dalam hargai manusia konteks dakwah dapat membuat seorang merasa dihargai kemanusiaanya dan membangkitkan perasaan seperti itu pula dalam dirinya. Ia akan sangat tersentuh, karena rasa cinta dan sayang yang diperlihatkan juru dakwah dapat membangkitkan semangatnya untuk menjadi mukmin baik.13

Seperti yang telah disinggung di depan dakwah dengan mau‟izah hasanah adalah dakwah dengan penuh kelambutan tutur kata yang sopan,

tidak memaksa dan menyentuh hati mad‟u. Dengan itu fungsi dakwah akan cepat tersampaikan kepada mad‟u.

12

Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer sebuah studi Komunikasi, (Yogyakarta: Graha Ilmu,2011), h. 246-247

13

Muhammad Husain Fadhlullah, Metodologi Dakwah Dalam Al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera, 1997), h. 49


(19)

Efektifitas suatu kegiatan dakwah memang berhubungan dengan bagaimana mengkomunikasikan pesan dakwah itu kepada mad‟u, persuasif atau tidak. Dakwah persuasif adalah proses mempengaruhi

mad‟u dengan pendekatan psikologis, sehingga mad‟u mengikuti ajakan

da‟i tetapi merasa sedang melakukan sesuatu atas kehendak sendiri. Konsep itu telah ada dalam mau‟izhah hasanah dengan itu fungsinya akan

cepat meyakinkan mad‟u.

Keberhasilan suatu dakwah dimungkin oleh berbagai hal:

1. Kemungkinan pertama karena pesan dakwah yang disampaikan oleh da‟i memang relevan dengan kebutuhan masyarakat, yang merupakan suatu keniscayaan yang tak mungkin ditolak, sehingga mereka menerima pesan dakwah itu dengan antusias. 2. Kemungkinan kedua karena faktor pesona da‟i, yakni da‟i

tersebut memiliki daya tarik personal yang menyebabkan masyarakat mudah menerima pesan dakwahnya, meski kualitas dakwahnya boleh jadi sederhana saja.

3. Kemungkinan ketiga karena kondisi psikologis masyarakat yang sedang haus siraman rohani, dan mereka terlanjur

memeliki persepsi positif kepada setiap da‟i, sehingga pesan dakwah yang sebenarnya kurang jelas ditafsirkan sendiri oleh masyarakat dengan penafsiran yang jelas.

4. Kemungkinan keempat, adalah karena kemasan yang menarik. Masyarakat yang semula acuh tak acuh terhadap agama dan


(20)

kemasan lain (misalnya kesenian, stimulasi, atau dalam program-progam pengembangan masyarakat) maka paket dakwah itu berhasil menjadi stimulasi yang mengglitik persepsi masyarakat, dan akhirnya mereka merespon secara positif.14 Mengingat pentingnya penelitian ini, maka penulis merasa perlu meneliti bagaimana konsep mau‟izhah hasanah dalam al-Qur‟an. Karena dakwah diera modern ini mutlak dibutuhkan, sebagaimana kata Quthub, yang dikutip oleh A.Ilyas Ismail dalam bukunya Paradigma Dakwah Sayyid Quthub, mengatakan, Semua manusia tegas Quthub membutuhkan dakwah disadari maupun tidak. Ini disebabkan oleh kenyataan bahwa manusia moderen tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang medasar baik sebagai individu, keluarga, maupun masyarakat. Peradaban modern menurut Quthub, terbukti tidak sanggup memenuhi kebutuhan-kebutuhan fundamental di atas. Bahkan pohon peradaban moderen kini mulai gonjang-ganjing. Keberadaannya sama dengan keadaan menjelang diutusnya Nabi Muhammad saw yang kemudian berhasil membangun dan menyatukan peradaban umat manusia. Jika demikian, maka betapa besar kebutuhan manusia kepada risalah ini (risalah islam) untuk sekali lagi membebaskan dan menyelamatkan manusia dari kehancuran. Jika demikian, maka dakwah menurut sayyid Quthub bukan hanya menjadi kebutuhan umat islam, tetapi merupakan kebutuhan kemanusiaan.15

14

Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 1999), h. 161-162 15

Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub: Rekonstruksi Pemikiran Dakwah


(21)

Atas dasar itu dakwah yang menyentuh, mendidik tidak memaksa adalah merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan dewasa ini dengan konsep metode mau‟izhah hasanah.

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah

Masalah mau‟izhah hasanah atau nasihat yang baik merupakan masalah yang cukup luas dan penting dalam kehidupan bermasyarakat untuk menunjang eksistensi dakwah islam, dan di dalam al-Qur‟an banyak sekali yang menjelaskan mengenai mau‟izhah hasanah dalam berbagai bentuk dan derivasi. Agar pembahasan dalam skripsi ini tidak meluas dan tidak berujung, maka penulis perlu membatasi permasalahan skripsi ini, yakni dengan mengambil sebagian surat yang ada dalam al-Qur‟an. dari kata-kata mau‟izhah terdapat dalam:

1. Surat al-Baqarah: 66, 2. An-Nahl: 125, 3. An-Nur: 32

Sedangkan dari kata wa‟aza terdapat dalam: 1. Surat, al-Baqarah: 232,

2. An-Nisa: 63, 66,

kemudian dari ya‟izhuhu terdapat dalam: 1. Surat luqman: 13,

2. An-Nur: 17 dan 3. Al-A‟raf: 164

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah melalui surat dan ayat ini akan diproleh:


(22)

1. Siapakah da‟imau‟izhah hasanah? 2. Siapakah mad‟unya?

3. Bagaimana konsep mau‟izhah hasanah dalam al-Qur‟an? 4. Bagaimanakah dampak keuntungan menggunakan mau‟izhah? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Secara umum

1. Untuk mengetahui konsep dakwah yang baik dan benar serta menyentuh hati menurut al-Qur‟an.

2. Untuk mengetahui bagaimana menyesuaikan antara da‟i dan mad‟u menurut konsep dakwah mau‟izah hasanah.supaya pesan dakwah bisa menyentuh dan tersampaikan ke masyarakat.

b. Secara khusus

1. Mengetahui korelasi antara konsep mau‟izah hasanah dalam

al-Qur‟an dengan dakwah yang dibutuhkan.

2. Memberikan wawasan kepada publik tentang pentingnya konsep

mau‟izah hasanah dalam berdakwah.

3. Untuk meyakinkan publik bahwa konsep dakwah yang menyentuh hati, tidak memaksa dan mengumbar aib-aib sangat menjadi prioritas utama dalam berdakwah.

Manfaat Penelitian a. Segi teoritis

1. Penelitian ini dapat memberikan sumbangsih keilmuan dan wawasan bagi dunia dakwah, khususnya pagi para aktivis


(23)

dakwah, bagaimana konsep dakwah yang diterapkan dan bagaimana orientasi dakwah yang sebenarnya? berorientasi kepada sasaran khalayak dan ummah (to client or market oriented) dengan pendekatan “bil mauizah hasanah”

2. Dapat mengetahui Konsep dan metodologi dakwah mau‟izhah hasanah yaitu dakwah yang menyentuh hati, tidak memaksa, dan nasihat yang baik penuh kasih sayang, serta jauh dari caci maki menurut konsep al-Qur‟an

b. Segi praktis

1. Penelitian ini berguna bagi penelitian selanjutnya, terutama menjadi rujukan dan pegangan bagi siapapun yang ingin mengkaji tentang dunia dakwah.

2. Para da‟i dapat menerapkan konsep dakwah yang sesungguhnya, yang menyentuh hati, tidak memaksa, dan

menjadikan mad‟u sebagai teman yang harus dinasihati.

D. Tinjauan Pustaka

Sebagai bahan telaah dari penelitian ini, penulis merujuk pada beberapa buku dan tulisan, serta skripsi yang telah ditulis para ahli yang kompeten di bidang komunikasi dan masalah keagamaan, seperti berikut ini:

1. Wawasan al-Qur‟an: Tafsir maudu‟i atas pelbagai Persoalan umat. Yang membahas tentang segala permasalahan umat dengan menyajikannya dalam bentuk-bentuk topik, tema biar mudah di baca oleh masyarakat sesuai seleranya serta


(24)

mengambil kadar yang dinginkan dari meja yang telah ditata dalam buku itu. Penulis Quraish Shihab.

2. Paradigma Dakwah Sayyid Quthub, Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah yang membahas tentang Sayyid Quthub sebagai tokoh Dakwah harakah yang mampu merubah dunia dakwah islam di kancah dunia international. Penulis DR A.Ilyas Ismail,MA.

3. Dakwah Kolaboratif Tarmidzi Taher, yang membahas tentang dakwah-dakwah yang dikembang tarmidzi taher melalui metodenya yang multidimensi, sangat menghargai pluralism, dengan pendekatan dialog antar agama, toleran, bersahabat, harmonis dan berkepribadian. Sebagaimana yang ditulis oleh Nurul Badruttamam.

Dengan begitu, penulis hendak merangkum gagasan-gagasan yang terserak tentang dakwah dalam sebuah skripsi secara utuh dan konfeherensif dengan judul konsep mau‟izhah hasanah dalam al-Qur‟an (Analisa Tafsir dengan Metode Tematik), saya rasa skripsi yang membahas tentang dakwah sudah banyak dalam berbagai bentuk, baik metodologi, maupun macam-macam dakwah, namun sedikit sekali yang membahas tentang tafsir dakwah, konsep dakwah dalam metode tematik. Yakni dakwah dengan menghadirkan tema-tema yang aktual dalam al-Qur‟an seputar dakwah dan yang berkaitan dengannya, bagaimana da‟i, mad‟u dan konsep yang menyentuh hati (


(25)

“Di skripsi penulis itulah yang akan dibahas khususnya tentang konsep mauidzah hasanah bahwa konsep mauizah hasanah adalah konsep berdakwah yang menyentuh hati, jauh dari sikap egois, agitasi emosional, dan apologi menurut al-Quran serta para pakar tafsir.

E. Metode Penelitian

Dalam mengupaya menghimpun data, lazimnya karya akademik, penulis menggunakan jenis penelitian library research (penelitian kepustakaan), yaitu sebuah penelitian yang menggunakan buku-buku, dokumen, majalah, dan surat kabar sebagai bahan acuan. Sedangkan metode pembahasan yang penulis gunakan, adalah metode deskritptif16dan tafsir mawdhu‟i. Metode deskriptif dipakai untuk menghimpun data dan fakta sehingga tergambar unsur-unsur yang membentuk konsep mau‟izhah hasanah dalam al-Qur‟an. Sedangkan metode mawdu‟i digunakan untuk mencari nash-nash al-Qur‟an terkait sehingga diproleh sebuah kesimpulan yang terang bagaimana mau‟izhah hasanah terbentuk. Adapun langkah atau cara kerja tafsir mawdu‟i adalah sebagai berikut:17

1. Membahas atau menetapkan masalah dalam al-Qur‟an yang akan dikaji secara mawdu‟i. Namun karena keterbatasan waktu dan kemampuan penulis, maka penulis mencari garis besarnya saja yang mengenai konsep

mau‟izhah hasanah.

2. Mengumpulkan ayat-ayat al-Qur‟an yang terkait

16

Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999). Cet-3, h. 35

17

Al-Hayy al-Farmawy, metode tafsir Mawdhu‟iy, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), cet-2, h. 48


(26)

3. Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut dimasing-masing suratnya.

4. Menyusun tema bahasannya dalam kerangka yang pas dan sistematis. 5. Melengkapi pembahasan dengan hadits bila dipandang perlu, sehingga

pembahasan menjadi semakin sempurna dan jelas.

6. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara.

Tahap-tahap penelitian yang akan dilalui penulis dalam memplajari dan menghasilkan konsep mau‟izhah hasanah dalam al-Qur‟an adalah sebagai berikut:

1. Menetapkan masalah tentang konsep mau‟izhah hasanah

2. Menghimpun ayat-ayat al-Qur‟an yang membicarakan masalah

mau‟izhah hasanah atau kata yang serupa dengannya.

3. Mengkaji sebab latar belakang turunnya ayat-ayat al-Qur‟an yang berkaitan dengan etika komunikasi lisan karena dengan memahami asbabunnuzul suatu ayat akan sangat membantu penulis untuk memahami makna yang tersembunyi dibaliknya.

4. Menyusun pembahasan dengan kerangka yang sempurna.

5. Melengkapi pembahasan ini akan dilengkapi dengan hadits-hadits Nabi yang bersangkutan. Dari hasil penelitian tersebut dapat ditemukan pandangan al-Qur‟an terhadap konsep mau‟izhah hasanah. Tafsir mawdu‟i menurut pengertian istilah para ulama adalah:


(27)

sama. Setelah itu kalau mungkin disusun berdasarkan kronologis turunnya dengan memperhatikan sebab-sebab turunnya. Langkah selanjutnya adalah menguraikannya dengan menjelajahi seluruh aspek yang dapat digali. Hasilnya diukur dengan timbangan teori-teori akurat sehingga si mufassir dapat menyajikan tema secara utuh dan akurat. Bersamaan dengan itu, dikemukakan pula tujuannya yang menyeluruh dengan ungkapan yang mudah dipahami sehingga bagian-bagian yang terdalam sekalipun dapat

diselami.”18

Dalam buku Baqir Hakim, Allamah Baqir Shadr mengemukakan bahwa ada tiga arti dari kata Maudhu‟iy:

1. Objektivitas, adalah sikap amanah dan konsistensi serta sikap berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan ilmiah yang berlandaskan kepada realitas peristiwa dalam membahas setiap perkara dan kejadian yang sama, tanpa terpengaruh sedikitpun dengan perasaan dan pendirian peribadinya, serta tidak memihak dalam menentukan hukum-hukum serta hasil-hasil yang diperoleh dari pembahasannya.

2. Memiliki makna memulai pembahasan dari tema yang merupakan peristiwa nyata yang dikembalikan kepada ayat-ayat Al-Quran, untuk mengetahui pendirian (Mawqif) dari peristiwa nyata tersebut. Karena itulah, seorang mufassir yang menggunakan Metode Tafsir Maudhu‟iy (Tematik) harus memusatkan perhatiannya pada tema-tema yang berkaitan dengan kehidupan, akidah, sosial dan fenomena-fenomena alam, di samping ia juga harus menguasai permasalahan-permaslahan seputar tema-tema tersebut

18

Al-Hayy al-Farmawy, metode tafsir Mawdhu‟iy, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), cet-2,h. 43-44


(28)

yang di dapatkan melalui pemikiran manusia, mengetahui solusi permasalahan tersebut yang disambungkan oleh pemikiran manusia, serta mengetahui apa-apa yang tercatat dalam sejarah sebagai pertanyaan dan poin-poin yang belum dijabarkan. Setelah itu barulah seorang mufassir memulai Tanya jawabnya dengan Quran, saat mufassir bertanya dan Al-Quran menjawab. Dengan demikian diharapkan mufassir dapat mengetahui sikap Al-Quran terhadap tema yang ditanyakan.

3. Terkadang istilah Maudhu‟iy dimaksudkan untuk menyebutkan apa-apa yang dinisbatkan kepada suatu tema. Saat seorang mufassir memilih tema tertentu, kemudian mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan tema tersebut dan menafsirkannya, serta berusaha menyimpulkan pandangan Al-Quran dari ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tersebut.19 Metode Tafsir Maudu`iy (Tematik) merupakan salah satu cara menafsirkan Al-Quran dengan menggunakan metode mengumpulkan atau menyusun ayat-ayat Al-Quran menjadi sebuah tema atau judul. Pencetus metode tafsir ini adalah Syeikh Mahmud Syaltut (Grand Syeikh Al-Azhar). Pada Januari 1960, beliau menyusun kitab tafsir Al-Quran Al-Karim. Dalam tafsir tersebut, beliau membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut.20

Ada dua jenis data dalam pembuatan skripsi ini, yaitu data primer dan skunder. Data primer adalah sumber kepustakaan yang berasal dari sumber utama yang digunakan dalam pembahasan ini, yaitu al-Qur‟an al-Karim dan

19

M. Baqir Hakim, Ulumul Quran, (Jakarta: Al-Huda, 2006), hal. 508-509 20


(29)

hadits jika dibutuhkan. Sedangkan data skunder adalah data pendukung berupa buku-buku, kitab-kitab tafsir, artikel-artikel, makalah dan lain-lain yang berkaitan dengan pembahasan ini.

Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku “pedoman penulisan skripsi Fakultas dakwah dan Ilmu Komuniksai ” yang disusun oleh tim fak dakwah dan komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.21

F. Sistematika Penulisan

Untuk memproleh gambaran yang utuh dan dalam rangka mempermudah pemahaman, skripsi ini penulis bagi kedalam bab-bab sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan nencakup latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan mamfaat penelitian, metodologi penelitian, serta tinjauan pustaka dan sistematika penulisan, yang dijelaskan dalam point perpoint.

BAB II GAMBARAN UMUM / TINJAUAN TEORITIS

Membahas tentang gambaran umum tentang mau‟izhah hasanah

meliputi: Pengertian Maui‟zhah hasanah baik secara bahasa maupun

istilah, pengertian nasihat dan kriteria seorang penasihat, menjelaskan

makna mau‟izhah hasanah dalam bentuk Tabsyir dan Tandzir, dan pendekatan dakwah mau‟izhah hasanah.

BAB III SEKITAR DESKRIPSI TENTANG AYAT-AYAT MAU’IZHAH HASANAH

21

Lihat panduan penulisan skripsi Fak Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang disusun oleh Dr. Arief Subhan, MA, Dra. Lili.L. Prihatini, Msi, dan Drs. Jumroni, Msi. Tahun 2011


(30)

Membahas masalah konsep mau‟izhah hasanah dalam al-Qur‟an meliputi:

a. Ayat-Ayat Tentang Mau‟izhah Hasanah 1. Ayat dalam Bentuk Al-Mau‟izhah

2. Ayat dalam Bentuk Kata Wa‟azha dan Yu‟izhu b. Klasifikasi Ayat

1. Ayat-Ayat Makiyah 2. Ayat-Ayat Madaniyah c. Asbab An-Nuzul

BAB IV KONSEP MAU’IZHAH HASANAH DALAM AL-QUR’AN A. Makna dan ruang lingkup mau‟izhah hasanah dalam al-Qur‟an B. Kriteria Da‟iMau‟izhah Hasanah

C. Siapakah Mad‟u Mau‟izhah Hasanah

D. Manfaat dan Keuntungan Menggunakan Mau‟izhah Hasanah BAB V PENUTUP

Terdiri dari kesimpulan yang didasarkan pada keseluruhan uraian dan pembahasan yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, dan juga memuat saran-saran yang diperlukan. Bab ini berusaha menjawab pertanyaan yang dibuat pada perumusan masalah sehingga para pembaca dapat mengetahui jawaban dari masalah tersebut. Selain itu juga, bab ini memberikan saran kepada para pembaca agar mereka mempunyai motivasi untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pembahasan ini.


(31)

Berisi tentang buku-buku, artikel, media online yang menjadi sumber rujukan dalam menyempurnakan skripsi ini.


(32)

22

A. Pengertian Mau’izhah Hasanah

Terminologi mau‟izah hasanah dalam perspektif dakwah sangat populer, bahkan dalam acara-acara seremonial keagamaan (baca dakwah atau tabligh)

seperti Maulid Nabi dan isra‟ Mi‟raj, istilah mau‟izah hasanah mendapat porsi

khusus dengan sebutan “acara yang ditunggu-tunggu” yang merupakan inti acara dan biasanya menjadi salah satu target keberhasilan sebuah acara. Namun demikian agar tidak menjadi kesalah pahaman, maka akan dijelaskan

pengertian mau‟izah hasanah.

Secara bahasa, mau‟izah hasanah terdiri dari dua kata, yaitu mau‟izah dan hasanah. Kata mau‟izah berasal dari kata wa‟adza ya‟idzu-wa‟dzan-idzatan yang berarti; nasihat, bimbingan, pendidikan dan peringatan, sementara hasanah merupakan kebalikan dari sayyi‟ah yang artinya kebaikan lawannya kejelekan.1

Sebagian ahli tafsir seperti yang diungkapkan oleh Fadhlullah Muhammad Husaen mengatakan, bahwa al-wa‟zat al-hasanat ialah berpaling dari yang jelek atau perbuatan buruk – melalui anjuran (targhib) dan larangan (tarhib).1 Menurut at-Tabataba‟i yang dimaksud dengan metode al-Mau‟idzat adalah suatu penjelasan atau keterangan yang dapat melunakkan jiwa dan menggetarkan hati.2

1

M.Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 15

2

Fadhlullah Muhammad Husayn, uslub ad-Da‟wat fi al-Qur‟an, alih bahasa oleh tarmana Ahmad Qasim dengan judul metodologi Dakwah dalam Al-Qur‟an, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1997), h. 48

3

Al-„Allamah as-Sayyed Muhammad Husyain at-Tabataba‟i, al-mazan fi tafsir al-Qur‟an, ( Beirut: Muassasah al-A‟lami li al-Matbu‟at, 1972), h. 371


(33)

Adapun pengertian secara istilah, ada beberapa pendapat antara lain; 1. Menurut Imam Abdullah bin Ahmad an-Nasafi yang dikutip oleh

hasanuddin adalah sebagai berikut:

“al-Mau‟izah hasanah adalah (perkataan-perkataan) yang tidak tersembunyi bagi mereka, bahwa engkau memberikan nasihat dan menghendaki manfaat kepada mereka atau dengan Qur‟an.”3

2. Menurut Abd. Hamid al-Bilali al-Mau‟izhah al-Hasanah merupakan salah satu manhaj (metode) dalam dakwah untuk mengajak ke jalan Allah dengan memberikan nasihat atau membimbing dengan lemah lembut agar mereka mau berbuat baik.4

Menurut beberapa komentar ahli bahasa dan pakar tafsir,5 beberapa deskripsi pengertian Al-Mau‟izhah hasanah, adalah sebagai berikut.

1. Pelajaran dan nasihat yang baik, berpaling dari hal perbuatan melalui tarhib dan targhib (dorongan dan motivasi); penjelasan, keterangan, gaya bahasa. Peringatan, petutur, teladan, pengarahan, dan pencegahan dengan cara halus.

2. Bi al-mau‟izhah al-hasanah adalah melalui pelajaran, keterangan, petutur, peringatan, pengarahan dengan gaya bahasa yang mengesankan atau menyentuh dan terpatri dalam nurani.

3. Dengan bahasa dan makna simbol, alamat, tanda, janji, penuntun, petunjuk, dan dalil-dalil yang memuaskan melalui al-qaul al-rafiq (ucapan lembut dengan penuh kasih sayang);

4

Hasanuddin, Hukum Dakwah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 37 5

Abdul Hamid al-Bilali, Fiqh al-Dakwah Fi ingkar al-Mungkar, (Kuwait: Dar al-Dakwah, 1989), h.260

6

Dalam kitab-kitab tafsir, antara lain: tafsir Al-Maraghi, At-Tafsir Al-Munir karya muhammad nawawi, tafsir Al-Munir karya wahbah Al-juhaili, dan jalalain. Lihat pula Muhammad Husain Fadhlullah dalam Uslub Ad-Da‟wah fi Al-Qur‟an (metode dakwah) dalam Al-Qur‟an.


(34)

4. Dengan kelembutan hati menyentuh jiwa dan memperbaiki peningkatan amal;

5. Melalui suatu nasihat, bimbingan dan arahan untuk kemaslahatan. Dilakukan dengan baik dan penuh tanggung jawab, akrab dan komunikatif, mudah dicerna, dan terkesan di hati sanubari mad‟u; 6. Suatu ungkapan dengan penuh kasih sayang yang dapat terpatri dalam

kalbu, penuh kelembutan sehingga terkesan dalam jiwa, tidak melalui cara pelarangan dan pencegahan, mengejek, melecehkan, menyudutkan atau menyalahkan, dapat meluluhkan hati yang keras menjinakkan kalbu yang liar;

7. Dengan tutur kata yang lembut, pelan-pelan bertahap, dan sikap kasih sayang- dalam konteks dakwah-, dapat membuat seseorang merasa dihargai rasa kemanusiaanya sehingga akan mendapat respon positif

dari mad‟u.

Mau‟izhah hasanah dapatlah diartikan sebagai ungkapan yang mengandung unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah, berita gembira, peringatan, pesan-pesan positif (wasiyat) yang bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan agar mendapatkan keselamatan dunia akhirat.6

Mau‟izhah hasanah atau nasihat yang baik, maksudnya adalah memberikan nasihat kepada orang lain dengan cara yang baik, yaitu petunjuk-petunjuk ke arah kebaikan dengan bahasa yang baik, dapat diterima, berkenan di hati, menyentuh perasaan, lurus pikiran, menghindari sikap kasar dan tidak mencari atau menyebut kesalahan

7


(35)

audiens sehingga pihak objek dakwah dengan rela hati dan atas kesadarannya dapat mengikuti ajaran yang disampaikan oleh pihak subjek dakwah. Jadi, dakwah bukan propaganda.7

Manurut Ali Musthafa Yakub, sebagaimana yang dikutip oleh Samsul

Munir Amin menyatakan, bahwa “mau‟izah hasanah adalah ucapan yang

berisi nasihat-nasihat baik dan bermanfaat bagi orang yang mendengarkannya, atau argumen-argumen yang memuaskan sehingga pihak audiensi dapat membenarkan apa yang disampaikan oleh subjek

dakwah.” Seorang da‟i sebagai subjek dakwah harus mampu

menyesuaikan pesan dakwahnya sesuai dengan tingkat berpikir dan lingkup pengalaman dari objek dakwahnya, agar tujuan dakwah sebagai ikhtiar untuk mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran islam ke dalam kehidupan pribadi atau masyarakat dapat terwujud.8

Dari beberapa definisi diatas, mau‟izah hasanah tersebut bisa di klasifikasikan dalam beberapa bentuk:

a. Nasihat atau petuah9

b. Bimbingan, pengajaran (pendidikan) c. Kisah-kisah

d. Kabar gembira dan peringatan ( al-Basyir dan al-Nadzir) e. Wasiat (pesan-pesan positif)

8

Siti Muriah, Metode Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta:Mitra Pustaka, 2000), h. 43-44 9

Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 100 10

Nasihat biasanya dilakukan oleh orang yang levelnya lebih tinggi kepada yang lebih rendah, baik tingkatan umur, maupun pengaruh, misalnya nasihat orang tua kepada anaknya,

perhatikan QS. Lukman(13):13 yang artinya” dan (ingatlah) ketika lukman berkata kepada anaknya, yaitu memberikan mau‟izhah atau nasihat kepadanya; hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kezhaliman yang amat


(36)

Menurut K.H. Mahfudz kata tersebut mengandung arti:

1. Di dengar orang, lebih banyak lebih baik suara panggilannya. 2. Diturut orang, lebih banyak lebih baik maksud tujuannya

sehingga menjadi lebih besar kuantitas manusia yang kembali ke jalan Tuhannya, yaitu jalan Allah Swt.

Sedangkan menurut pendapat Imam Abdullah bin Ahmad an-Nashafi , kata tersebut mengandung arti:

Al-Mau‟izhatul hasanah yaitu perkataan yang tidak tersembunyi bagi mereka, bahwa engkau memberikan nasihat dan mengehendaki manfaat kepada mereka atau dengan al-Qur‟an.

Jadi kalau kita telusuri kesimpulan dari mau‟izhah hasanah, akan

mengandung arti kata-kata yang masuk kedalam qalbu dengan penuh kasih sayang dan kedalam perasaan dengan penuh kelembutan; tidak membongkar atau membeberkan kesalahan orang lain sebab kelemah lembutan dalam menasihati seringkali dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan qalbu yang liar, ia lebih mudah melahirkan kebaikan daripada larangan dan ancaman.10

Menurut pakar bahasa, nasehat (al-wa‟zh atau mau‟izhah) mengandung arti teguran atau peringatan. Ashfahani, dengan mengutip pendapat Imam Khalil, menyatakan bahwa nasihat adalah memberikan peringatan (al-tadzkir) dengan kebaikan yang dapat menyentuh hati. Jadi

11


(37)

makna terpenting dari nasihat adalah mengingatkan (tadzkir) dan membuat peringatan (dzikra) kepada umat manusia.

Sesuai dengan makna nasihat diatas, maka nasihat yang baik menurut Quthub, adalah nasehat yang dapat masuk ke dalam jiwa manusia serta dapat menyejukkan hati, bukan nasihat yang dapat memerahkan telinga karena penuh kecaman dan caci maki yang tidak pada tempatnya. Nasihat yang baik lanjut Quthub, bukan pula dengan membuka dan membeberkan aib dan kesalahan-kesalahan orang lain yang terjadi karena tidak mengerti atau karena motif yang tidak baik. Nasihat yang baik adalah nasihat yang lemah lembut yang dapat melunakkan hati yang keras dan menyejukkan hati yang gersang. Nasihat seperti ini, menurut Quthub, jauh lebih baik dibanding caci-maki, celaan dan hujatan.11

Cara mau‟izhah hasanah sebagaimana kata Quthub dalam Tafsirnya Fizhilalilqur‟an, ketika menafsirkan surat an-Nahl ayat 125, mengatakan:

“Cara Mau‟izhah hasanah „nasihat yang baik‟ harus bisa

menembus hati manusia dengan lembut dan diserap oleh hati nurani dengan halus. Bukan dengan bentakan dan kekerasan tanpa ada maksud yang jelas. Begitu pula tidak dengan cara membeberkan kesalahan-kesalahan yang kadang terjadi tanpa disadari atau lantaran ingin bermaksud baik. Karena kelembutan dalam memberikan nasihat akan lebih banyak menunjukkan hati yang bingung, menjinakkan hati yang

12

A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub, Rekonstruksi Pemikiran Dakwah


(38)

membenci, dan memberikan banyak kebaikan ketimbang bentakan,

gertakan, dan celaan.”12

Mau‟izhah hasanah, baru dapat mengena hati sasaran bila ucapan yang disampaikan itu disertai dengan pengamalan dan keteladanan dari yang menyampaikannya. Nah, inilah yang bersifat hasanah, kalau tidak, ia adalah yang buruk, yang seharusnya dihindari. Di sisi lain, karena

mau‟izhah biasanya bertujuan mencegah sasaran dari sesuatu yang kurang baik, dan ini dapat mengundang emosi baik dari yang menyampaikan, lebih-lebih yang menerimanya, maka mau‟izhah adalah sangat perlu untuk mengingatkan kebaikannya itu.13

Cara mau‟izhah hasanah memiliki keitimewaan dan kelebihan yang banyak diantaranya:

1. Ungkapan dan lafalnya adalah lembut serta sesuai dengan keadaan.

Karena itu, mau‟izhah hasanah harus dengan ungkapan yang lembut

dan sesuai kondisi (keadaan).

2. Banyak dan macam-macam bentuknya sehingga para da‟i dapat memilih bentuk yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya.

3. Besar pengaruhnya terhadap jiwa orang-orang yang diseru dan hal ini tampak dalam perkara sebagai berikut:

a. Biasanya, orang-orang menerima nasihat dan cepat menyambutnya.

13Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilalil Qur‟an, dibawah naungan al-Qur‟a, (Jakarta: Gema

Insani, 2003), cet ke-1, jilid 7,h. 224 14

Quraih Shibab, TafsirAl-Misbah, pesan, dan Kesan Keserasian Al-Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet ke-VII, vol 7, h. 392-393


(39)

b. Menanamkan rasa cinta dan kasih sayang dihati orang-orang yang diseru.

c. Membatasi (menahan) kemungkaran dan memutus penyebarannya, dimana orang-orang merasa malu apabila tidak menyambut dari orang yang menasihati dengan nasihat yang baik, maka minimalnya mereka tidak menampakkan keingkarannya.14

Syekh Muhammad Abduh, mengatakan bahwa umat yang dihadapi seorang pendakwah secara garis besar membagi 3 golongan yang masing-masing harus dihadapi dengan cara yang berbeda-beda pula:

1. Golongan cerdik cendikiawan yang cinta kebenaran dan dapat berpikir secara kritis, cepat dapat menangkap arti persoalan. Mereka harus dipanggil atau diseru diberi nasihat dengan hikmah, yaitu dengan alasan-alasan, dengan dalil-dalil dan hujjah yang dapat diterima oleh kekuatan doa mereka.

2. Ada golongan awam, orang kebanyakan yang belum dapat berpikir secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian yang tinggi-tinggi, mereka ini diseru/ diberi nasihat dengan cara “mau‟izhah

hasanah” dengan anjuran dan didikan yang baik-baik dengan ajaran-ajaran yang mudah dipahami.

3. Ada golongan yang tingkat kecerdasannya diantara kedua golongan tersebut, belum dapat dicapai dengan hikmah, akan tetapi tidak sesuai juga bila dinasihati seperti golongan orang awam, mereka suka membahas sesuatu, tetapi tidak hanya dalam batas tertentu, tidak

14

Syekh Muhammad Abu Al-Fath Al-bayanuniy, Ilmu Dakwah Prinsip dan Kode Etik,

Berdakwah Menurut Al-Qur‟an dan As-Sunnah, (Jakarta Timur: Akademika Pressindo, 2010), h. 331-332


(40)

sanggup mendalam benar. Mereka ini diseru/ dinasihati dengan cara

“mujadalah billati hia ahsan” yakni dengan cara bertukar pikiran, guna

mendorong supaya berpikir secara sehat satu dan lainnya dengan cara yang lebih baik. Kesemuanya disimpulkan dalam kalimat.15

Perkataan (Qaulan) sebagai simbol komunikasi penyejuk hati dan penumbuhan kesadaran jiwa dalam Al-Qur‟an ditemukan sebanyak 11 variasi dalam berbagai ayat antara lain:

1. Qaulan ma‟rufan terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 235, An-Nisa‟ ayat 5 dan 8 serta surat Al-ahzab ayat 32

2. Qaulan sadidan, terdapat dalam surat An-Nisa‟ ayat 9 dan Al-Ahzab ayat 70

3. Qaulan Balighan, terdapat dalam surat An-Nisa‟ ayat 63 4. Qaulan karimah, terdapat dalam surat Al-Isra‟ ayat 23 5. Qaulan maysuran, terdapat dalam surat Al-Isra‟ ayat 28 6. Qaulan Azhiman, terdapat dalam surat Al-Isra‟ ayat 40 7. Qaulan Layyinan, terdapat dalam surat Thaha ayat 44 8. Qaulan min abbin rahim, terdapat dalam surat Yasin ayat 58 9. Qaulan Tsaqilan, terdapat dalam surat al-Munzammil ayat 5

10.Qaulan Ahsan (ahsan Qaula), terdapat dalam surat Lukman ayat 33 11.Qaulan Salaman, terdapat dalam surat Alfurqan ayat 63

15


(41)

Semua bentuk perkataan tersebut terpakai dan digunakan dalam kegiatan dakwah termasuk dakwah dengan menerapkan prinsip metode mauziah al-hasanah.16

An-Nisaburi menafsirkan mau‟izhah hasanah sebagai dalil-dalil yang memuaskan (ad-dalâ‟il al-iqna‟iyyah), yang tersusun untuk mewujudkan pembenaran (tashdîq) berdasarkan premis-premis yang telah diterima. Al-Baidhawi dan Al-Alusi menafsirkan mau‟izhah hasanah sebagai seruan-seruan yang memuaskan/meyakinkan (al-khithâbât al-muqni„ah) dan ungkapan-ungkapan yang bermanfaat (al-„ibâr al-nâafi„ah). An-Nawawi al-Jawi menafsirkannya sebagai tanda-tanda yang bersifat zhanni (al-amârât azh-zhanniyah) dan dalil-dalil yang memuaskan. Al-Khazin menafsirkan

mau‟izhah hasanah dengan targhîb (memberi dorongan untuk menjalankan ketaatan) dan tarhîb (memberikan ancaman/peringatan agar meninggalkan kemaksiatan).

Dari berbagai tafsir itu, karakter nasihat yang tergolong mau‟izhah hasanah ada dua: Pertama, menggunakan ungkapan yang tertuju pada akal. Ini terbukti dengan ungkapan yang digunakan para mufasir, seperti an-Nisaburi, al-Baidhawi, dan al-Alusi, yakni kata dalâ‟il (bukti-bukti), muqaddimah (premis), dan khithâb (seruan). Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi akal untuk memahami. Kedua, menggunakan ungkapan yang tertuju pada hati/perasaan. Terbukti, para mufasir menyifati dalil itu dengan aspek kepuasan hati atau keyakinan. An-Nisaburi, misalnya, mengunakan kata

16

Itdafriyenny, “Metode Dakwah“Mau‟izhah Hasanah dan Turunannya dalam Al-Qur‟an dan Hadits” diakses tanggal 28 nopember 2013 dari


(42)

dalâ‟il iqnâ„iyyah (dalil yang menimbulkan kepuasan). Al-Baidhawi dan al-Alusi menggunakan ungkapan al-khithâbât al-muqni„ah (ungkapan-ungkapan yang memuaskan). Adanya kepuasan dan keyakinan (iqnâ„) jelas tidak akan terwujud tanpa proses pembenaran dan kecondongan hati. Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi hati untuk meyakini atau puas terhadap sesuatu dalil. Di antara upaya untuk menyentuh perasaan adalah menyampaikan targhîb dan tarhîb, sebagaimana ditunjukkan oleh Al-Khazin.17

Dari makna di atas mau‟izhah hasanah mengandung beberapa hal: 1. Nasihat

Kata nasihat berasal dari bahasa arab, dari kata kerja “Nashaha” yang

berarti khalasa yaitu murni dan bersih dari segala kotoran, juga berarti

“khata” yaitu menjahit. Dan dikatakan bahwa kata nasihat berasal dari kata ه بو ثهل جراحص ن (orang itu menjahit pakaiannya) apabila dia menjahitnya, maka mereka mengumpamakan perbuatan penasihat yang selalu menginginkan kebaikan orang yang dinasihatinya dengan jalan memperbaiki pakaiannya yang robek.

Sebagian ahli ilmu berkata tutur Munir dalam bukunya metode dakwah mengatakan:

“Nasihat adalah perhatian hati terhadap yang dinasihati siapapun dia.

Nasihat adalah salah satu cara dari al-mau‟izhah al-Hasanah yang bertujuan mengingatkan bahwa segala perbuatan pasti ada sangsi dan akibat. Al-Asfahani memberikan pemahaman terhadap term tersebut dengan makna al-mau‟izhah merupakan tindakan mengingatkan seseorang

17

Ivanmarzamaya, “Tafsir Surat an-Nahl ayat 125” diakses tanggal 29 Nov. 13 dari http://ivanmirazaarmaya.blogspot.com/2013/01/kajian-tafsir-surat-nahl-ayat-125.html


(43)

dengan baik dan lemah lembut agar dapat melunakkan hatinya. Dan apabila ditarik suatu pemahaman bahwa al-Mau‟izhah hasanah merupakan salah satu manhaj dalam dakwah untuk mengajak ke jalan

Allah dengan cara memberikan nasihat.”

Secara terminologi nasihat adalah memerintah atau melarang atau menganjurkan yang dibarengi dengan motivasi dan ancaman. Pengertian nasihat dalam kamus bahasa indonesia balai pustaka adalah memberikan petunjuk kepada jalan yang benar. Juga berarti mengatakan sesuatu yang benar dengan cara melunakkan hati. Nasihat harus berkesan dalam jiwa atau mengikat jiwa dengan keimanan dan petunjuk.18











“Dan Sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. dan Sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan

lebih menguatkan (iman mereka),” (QS. an-Nisa:66)

18


(44)

2. Kriteria Seorang Penasihat

Da‟i yang menghendaki mau‟izhah hasanah yang tepat sasaran, kata al-Qahtany, harus memerhatikan lima hal ini. Pertama, memerhatikan dengan seksama jenis kemungkaran yang berkembang sesuai dengan konteks waktu dan tempat. Kedua, mengukur skala prioritas kemungkaran yang mesti lebih dahulu ditangani sesuai derajat kerusakannya di masyarakat. Ketiga, memikirkan efek yang ditimbulkan lebih jauh oleh kemungkaran ini dari segi psikis, sosial, kesehatan hingga finansial. Keempat, menghadirkan argumentasi agama terkait dengan efek kemungkaran tersebut, bisa dari ayat al-Qur‟an, hadis Nabi, perkataan sahabat atau nasihat ulama. Kelima, jika mau, nasihat-nasihat ini dapat didokumentasikan dalam bentuk tulisan bertema yang mengupas bahaya suatu kemungkaran dalam hidup manusia serta memotivasi mereka untuk bertobat. Adapun jika mau‟izhah hasanah tersebut dimaksudkan untuk memotivasi amal shaleh, maka langkah-langkahnya berikut ini. Pertama, merenungkan secara mendalam keistimewaan dan efek kebaikan amalan tersebut dalam kehidupan sosial. Kedua, menghadirkan argumentasi yang berisi amal shaleh tersebut. Ketiga, jika mau dibuat dokumentasi bertema seperti diatas.19

B. Mau’izhah Hasanah dalam Bentuk Tabsyir

Tabsyir secara bahasa berasal dari kata basyara yang mempunyai arti memperhatikan, merasa senang. Menurut Quraish Shihab basyara

19

A.Ilyas Ismail & Prio Hotman, Filsafat Dakwah, Rekayasa Membangun Agama dan


(45)

berarti penampakan dengan baik dan indah. Maka basyar dalam bahasa Arab sering diartikan kulit, karena kulitlah yang membuat keliatan indah , demikian pula tabsyir diterjemahkan dengan berita gembira karena disebut basyar, karena bagian yang terbesar yang bisa dilihat adalah kulitnya serta yang bisa membuat kelihatan indah.

Adapun Tabsyir dalam istilah dakwah adalah penyampaian dakwah yang berisi kabar-kabar yang menggembirakan bagi orang yang mengikuti dakwah.20

Hemat penulis dakwah tabsyir mutlak dibutuhkan, dakwah dengan penuh kesantunan dan membawa pesan bahagia, gambaran syurga dan buah kenikmatan janji Tuhannya, akan lebih menyentuh relung hati

sanubari mad‟u. Ia merasa dipihakkan dan dinomorkan dalam pesan dakwah yang disampaikan da‟i, hingga ia mempunyai motivasi yang tinggi

dan tanpa lelah untuk selalu mencari beribadah dan beramal shaleh serta meraih ridha Tuhannya Dzat pemberi kebahagiaan. Dengan itu sosialisasi dakwah akan cepat sampai tanpa paksaan dan bujukan.

Di dalam Al-Qur‟an, kata tabsyir banyak disebutkan menurut

Muhammad Abdul Baqi‟ kata-kata tabsyir atau mubasyir disebutkan

sebanyak 18 kali. Dari sekian banyak kata tabsyir diartikan dengan “kabar

gembira atau berita pahala, hanya saja bentuk kabar gembiranya beragam, antara lain kabar gembira dengan syariat islam, kabar gembira dengan kedatangan rasul, kabar gembira tentang akan turunnya Al-Qur‟an dan kabar gembira tentang syurga. Dalam kontek dakwah, sesungguhnya

20


(46)

bentuk kabar gembira tidak harus menggunakan kata tabsyir, tetapi apa saja yang bisa membawa rasa gembira bagi orang yang mendengarnya sehingga bisa dijadikan motivasi untuk meningkatkan motivasi dan beramal shaleh.21

Basyira atau kabar gembira adalah informasi mengenai pahala, imbalan, berkah, manfaat, faidah, kebaikan atau yang menjalankan ajaran islam (perintah Allah swt). Simbol utama pahala bagi pelaku kebaikan itu adalah syurga sebuah tempat di alam akhirat yang digambarkan penuh kenikmatan dan kesenangan. Informasi berupa reward tersebut berpungsi sebagai dorongan rangsangan (stimulus), atau motivasi agar komunikan

(mad‟u) untuk melaksanakannya. 22

Contoh kabar baik itu sebagaimana Firman Allah swt.



















Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah Sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS al-Bayyinah: 7-8)













21

M. Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 257 22

Asep Syamsul M.Romli, Komunikasi Dakwah, Pendekatan Praktis, (T.tp.: T. Pn., 2013), h. 15


(47)

Katakanlah: "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. al-Baqarah: 97)









Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungan jawab) tentang

penghuni-penghuni neraka.” (QS. al-Baqarah: 119)

Itulah sekian contoh kalimat tabsyir dalam al-Qur‟an, sebagai

pemberi semangat dan motivasi bagi mad‟u, untuk lebih meningkatkan

ibadah dan kedekatannya kepada Tuhan.

Contohnya dalam surat al-Baqarah ayat 119 di atas Rasulullah sebagai juru dakwah sebagai pemberi kabar gembira. Sebagaimana kata

Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Ibnu „Abbas, dari Nabi SAW.

Sebagaimana yang dikutip ibnu Katsir dalam tafsirnya, berkata:

“Telah diturunkan kepadaku ayat: sesungguhnya kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran, sebagai pembawa berita

gembira dan pemberi peringatan.” Beliau Saw bersabda: (yaitu) berita gembira berupa surga dan peringatan dari api neraka.”23

Kegiatan dakwah sesungguhnya mempunyai orientasi yang jelas, yaitu mengajak, mengarahkan orang untuk mengikuti jalan yang benar, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Karena target yang amat panjang ini akan selalu mendapatkan kesulitan-kesulitan yang bisa

23

Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh; penerjemah, M.


(48)

menimbulkan sifat psimis dan keputus asaan, maka konsep tabsyir ini diharapkan bisa membantu menghilangkan sifat-sifat di atas. Adapun tujuan-tujuan tabsyir antara lain.

a. Menguatkan atau memperkokoh keimanan b. Memberikan harapan

c. Menumbuhkan semangat untuk beramal d. Menghilangkan sifat keragu-raguan

Tujuan-tujuan di atas diharapkan menjadi sebuah motivasi di dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama.24

Dan untuk mengaplikasikan metode tabsyir ini, setiap juru dakwah bebas memiliki karakter mereka masing-masing, sehingga metode dalam penyampaian dakwah pun akan berbeda-beda, yang perlu ditekankan adalah bentuk tabsyir yang dilakukan tidak boleh menyimpang dari hal-hal

yang telah di tetapkan oleh syari‟at, atau terlalu berlebihan sehingga tujuan

penyampaian materi tidak tercapai, semisal membuat lawak yang terlalu berlebihan, sehingga para penyimak hanya mengingat kelucuannya saja dan mengabaikan isi ceramahnya.

Dakwah sejatinya memberi motivasi kepada mad‟u seperti dengan

metode tabsyir ini, supaya pesan dakwah lebih cepat diserap di jadikan pegangan dalam kehidupannya. Adapun motivasi tersebut oleh Sa‟id bin Ali al-Qahtani25 dibagi menjadi dua:

Pertama, pemberian motivasi dengan janji, kedua, pemberian motivasi dengan menyebutkan bermacam-macam ketaatan.

24

M. Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), cet ke-2, h. 259 25

Said bin Ali al-Qahtani, Dakwah Islam Dakwah Bijak, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 362


(1)

97

melaksanakan dan mengamalkan konsep berdakwah ini dengan penuh semangat dan taat, insya Allah bermamfaat dan meraih berkah dunia akhirat. Aminn

3. Ayat-ayat yang penulis bahas mengenai mau’izhah juga tidak lepas dari unsur da’i dan mad’u , untuk itu seorang da’i hendaklah menyampaikan sesuai dengan kadar kemampuan para mad’u, begitu juga dengan mad’u hendaklah menggunakan akal sehat dan hati nurani untuk mencerna dan menghayati pesan-pesan Allah melalui wakil-Nya di atas muka bumi ini, dengan itu perpaduan antara da’i dan mad’u insya Allah akan membentuk komunitas dakwah IlaAllah dan membumikan dakwah Allah di atas jagat bumi ini, hingga tercapailah kedamaian, ketentraman dalam hidup. 4. Semoga dengan adanya pembahasan mengenai konsep tata cara berdakwah mau’izhah hasanah menurut al-Qur’an ini, bisa lebih membuka hati para da’i dan mad’u untuk lebih memfokuskan makna dakwah dan cara berdakwah sebenarnya. Serta semoga semakin banyak kajian dakwah yang lebih mengkhususkan kepada penafsiran, karena terbukti sedikit sekali buku yang membahas tentang tafsir dakwah, bagaimana berdakwah menurut al-Qur’an dan pandangan para ulama-ulama salaf dan khalaf serta kontemporer. Supaya lebih merata pesan dakwah dan kebajikan yang tersampaikan.


(2)

98

Terakhir, penulis berharap semoga penelitian ini mampu menjadi setitik sumber pengetahuan yang bermamfaat, khusus bagi penulis sendiri, dan umumnya kepada kaum muslimin.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Bilali, Abdul Hamid. Fiqh Dakwah Fi ingkar Mungkar. Kuwait: Dar al-Dakwah. 1989.

Al-Farmawy, Al-Hayy. metode tafsir Mawdhu’iy, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1996.

Al-Wa’iy, Taufik. Dakwah Ke Jalan Allah. Jakarta: Rabbani Press, 2010.

Arifin, Arifin. Dakwah Kontemporer sebuah studi Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.2011.

Amin, Samsul Munir. Ilmu Dakwah. Jakarta: Amzah. 2009.

At-Tabataba’i, Al-‘Allamah as-Sayyed Muhammad Husyain. mazan fi tafsir al-Qur’an. Beirut: Muassasah al-A’lami li al-Matbu’at, 1972.

Al-bayanuniy, Syekh Muhammad Abu Al-Fath. Ilmu Dakwah prinsip dan kode etik, berdakwah menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jakarta Timur: Akademika Pressindo. 2010.

Alu Syaikh; Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin ishak. Tafsir Ibnu Katsir. Penerjemah. M. ‘Abdul Ghoffar. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i. 2009.

Al-Qahtani, Said bin Ali. Dakwah Islam Dakwah Bijak. Jakarta: Gema Insani Press. 1994.

Al-Shabuni, Muhammad Ali. rawa’iul bayan tafsir al-Ayat al-Hakam. Beirut: da fikri. Tt.

Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir At-Thabari. Penerjemah Ahsan Askan. besus hidayat ed. Jakarta: Pustaka Azzam. 2008.

Al-Qaththan, Syaikh Manna. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Penerjemah Aunur Rafiq El-Mazni,Lc. Editor: Abduh Zulfidar Akaha. Muhammad Ihsan. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2012, cet. Ke- 13.

Al-Wahidi, Al Wajid fi Tafsir Kitab Al Ajizi. Mesir: Mawaqi’ At-Tafasir, tt

Ibn Umar Ibn Katsir, Abu Al-Fida, Tafsir Al-Qur’an Al –Adzim. Tahqiq oleh Samy bin Muhammad Salamah. Madinah: Dar at-Thoyyibah Linasyri Wa Tawji’,1420 H, jilid iv.

Al-Qurthubi, Syaikh Imam,Tafsir Al-Qurtubi. Penerjemah, Asmuni; editor, Mukhlis B. Mukti. Jakarta: Pustaka Azzam. 2008.


(4)

As-Suyuthi, Muhammad bin Ahmad, Abdurrahman bin Abi Bakr al-Mahalli, Tafsir Jalalain. Kairo: Dar ul-Hadîts, Kairo. Tt.

Ath Thabari, Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Khalid. Jami’ul Bayan Fi Ta’wil Al-Qur’an. Mesir: Muassatur Risalah. 1420 H.

Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Penerjemah Syihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press. 2000.s Abdul Aziz, Jum’ah Amin. Fiqh Dakwah. Solo: Era Inter Media. 2000.

Al-Futuh, Muhammad Abu. Al-Madkhal ila Ilm ad-Da’wat. Beirut: Muassasah al-Risalah. 1991.

As-Suhaimi, Fawwaz bin Hulayyil bin Rabah. Penerjemah, Beni Sarbeni;, Begini seharusnya Berdakwah: Kunci Sukses Dakwah Salaf. Jakarta: Darul Haq, 2008.

Abdul Baqi’, Muhammad Fuad. al-Mu’jam al-Mufahras li al-Qur’an al-Karim. Qahirah: Dar al-Hadis. 1998.

Baqir Hakim, M. Ulumul Quran. Jakarta: Al-Huda. 2006.

Fadlullah, Muhammad Husain. Metodologi Dakwah dalam Al-Qur’an. Jakarta: Lentera, 1997.

Faqih Imani, Allamah Kamal, dan Tim utama. Tafsir Nurul Qur’an, Sebuah Tafsir Sederhana Menuju Cahaya Al-Qur’an. Jakarta: Al-Huda, 2008.

Faizah, konsep Dakwah Dalam Mencegah Konflik. Tesis Pasca Sarjana. Jakarta: Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah. 2004.

Fadhlullah, Muhammad Husain. Metodologi Dakwah Dalam Al-Qur’an. Jakarta: Lentera. 1997.

Husayn, Fadhlullah Muhammad. uslub ad-Da’wat fi al-Qur’an. alih bahasa oleh tarmana Ahmad Qasim dengan judul metodologi Dakwah dalam Al-Qur’an. Jakarta: PT Lentera Basritama, 1997.

Hasanuddin, Hukum Dakwah. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1996. Hafidhuddin, Didin. Dakwah Aktual. Jakarta: Gema Insani. 1998.

Ismail, Ahmad Ilyas. Paradigma Dakwah Sayyid Quthub, Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah. Jakarta: Penamadani, 2008.


(5)

Ibrahim, Ibnu. Dakwah; Jalan Terbaik dalam berfikir, dan Menyikapi Hidup. Jakarta: Republika. 2011.

Ismail, Ahmad Ilyas & Hotman, Prio. Filsafat Dakwah, Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam. Jakarta: Kencana. 2011.

Ibrahim, Ibnu. Dakwah; Jalan Terbaik dalam berfikir, dan Menyikapi Hidup. Jakarta: Republika. 2011.

Luthfi, Athabik. Tafsir Da’awi, tadabbur ayat-ayat dakwah untuk para da’i, Jakarta: al-I’thisam. 2011.

Munir, M. Metode Dakwah. Jakarta: Kencana, 2006.

Muhiddin, Asep. Dakwah Dalam Perspektif Al-Qur’an. Bandung: CV Pustaka Setia. 2002.

Mubarok, Achmad. Psikologi Dakwah. Jakarta: Pustaka Pirdaus, 1999.

Muriah, Siti. Metode Dakwah Kontemporer. Yogyakarta:Mitra Pustaka. 2000. Masyhur, Syaikh Musthafa. Fiqh Dakwah. Jakarta: Al-I’tisham Cahaya Umat.

2012.

Machfoed, A. Ilmu Dakwah dan Penerapannya. Jakarta: Bulan Bintang. 1975. Nizhan, Abu. Buku Pintar Al-Quran. Cianjur: Qultum Media. 2008.

Quthub, Sayyid. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an. dibawah naungan al-Qur’a. Jakarta: Gema Insani. 2003.

Romli, Asep Syamsul M. Komunikasi Dakwah, Pendekatan Praktis. (T.tp.: T. Pn., 2013.

Soehartono, Irawan. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999.

Shihab, Quraish. TafsirAal-Misbah, pesan, dan Kesan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. 2007, cet ke-VII, vol 7.

Suma, Muhammad Amin. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 3. Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2004.

Syadali, Ahmad & Rofi’i Ahmad. Ulumul Qur’an 1, untuk Fakultas Tarbiyah komponen MKDK. Bandung: CV Pustaka Setia. 1997.


(6)

Salmadanis, Metode Dakwah dalam Perspektif Al-Qur’an. Disertasi Doktor, Pasca sarjana UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta: Perpustakaan Utama UIN Jakarta. 2002.

Yaqub, Ali Mustafa. Sejarah dan Metoda Dakwah Nabi. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus. 1997.

Zakaria, Ahmad bin Faris bin. Mu’zam al-maqayis fi al-Lughah. Beirut:dar fikr. 1994.

Sumber Internet

http://itdafriyenny.wordpress.com/2012/11/09/metode-dakwah-mauizhan-al-hasanah-dan-turunannya-dalam-perspektif-al-quran-dan-hadis/

http://ivanmirazaarmaya.blogspot.com/2013/01/kajian-tafsir-surat-nahl-ayat-125.html