Mahar dalam Institusi Keluarga Perempuan Suku Aceh

Islam mengajarkan kita agar tidak membiarkan pintu kemaksiatan terbuka, bahkan Islam memerintahkan kita untuk menutupi potensi semua pintu kemaksiatan yang bisa ditimbulkan. Maka dari itu, diperlukan keberanian dari kedua mempelai dan keluarganya untuk mendobrak adat mas kawin tersebut tanpa ada perasaan takut dengan hukuman adat yang akan menerpanya. Misalnya; malu sama tetangga atau teman-teman, atau contoh hukuman adat yang lain seperti minimnya perolehan dukungan dari keluarga dan kerabat disebabkan patokan jumlah mas kawin yang bisa atau mudah dijangkau oleh pihak mempelai laki-laki meskipun dia berasal dari masyarakat kalangan ekonomi kelas bawah sekalipun.

4.3.4. Mahar dalam Institusi Keluarga Perempuan Suku Aceh

Keluarga bukan saja sebagai tempat hubungan antara suami dan istri atau anak- anak dan orang tua, tetapi sebagai suatu rangkaian tali hubungan antara jaringan sosial anggota-anggota keluarga, dan jaringan yang lebih besar yaitu masyarakat, oleh karena itu dalam memandang pemilihan jodoh dapat dilihat bahwa masyarakat luas menaruh perhatian akan hasilnya. Selalu kedua jaringan yang akan menikah dihubungkan karenanya dan oleh karena itu juga jaringan-jaringan lain yang lebih jauh tersangkut. Kedua keluarga ini mempunyai semacam kedudukan dalam sistem lapisan, yang keseimbangannya sebagian juga tergantung kepada siapa menikah dengan siapa. Perkawinan antara keduanya adalah petunjuk yang terbaik bahwa garis keluarga yang satu memandang yang lainnya kira-kira sama secara sosial dan ekonomis. Universitas Sumatera Utara Suatu budaya Patriarkhi yang menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga sangat tertanam kuat dalam pemikiran masyarakat khususnya masyarakat Aceh yang berada di Krueng Mane. Hal ini terbukti dari keterangan-keterangan para informan yang bahwasanya para istri harus berbakti pada suami serta mengikuti apa yang diperintah oleh suami, serta merta itu masih dalam batas kewajaran bagi istri. Adat istiadat yang menganggap bahwa garis keturunan dari laki-laki adalah pelanjut keturunan untuk sebuah keluarga yang mendatang. Dan hal ini mengakibatkan penghargaan bagi keluarga yang mempunyai keturunan anak laki-laki. Bukti yang sering kita lihat khususnya dimasyarakat aceh pada umumnya, anak laki-lakilah yang mewarisi sebagian penuh atas harta yang di tinggalkan, dan sebagiannya lagi dibagikan kepada anak perempuan. Dan serta merta apabila pembagian itu sama maka, itu atas dasar dari kesepakatan dan persetujuan dari keluarga itu sendiri. Di karenakan pula kentalnya agama yang ada pada diri masyarakat Aceh. Seperti yang ungkapkan oleh informan; “Dalam rumah tangga memang benar laki-laki suami yang lebih dominan untuk mengatur segala-galanya. Apalagi dalam hal memperoleh warisan, yang paling banyak mendapat warisan tersebut adalah pihak laki-laki anak laki-laki. Karena apabila kita mempunyai anak laki-laki, maka harta-harta yang terdapat dalam keluarga kita tidak akan jatuh ketangan orang lain. Namun pada masyarakat Aceh umumnya bila mendapat seorang anak laki-laki atau lebih dari satu suatu penghargaan serta anugrah terbesar dalam keluarga tersebut”. Sumber : Umi Faridha, perempuan 67 tahun, wawancara Maret 2010 Seperti yang di ungkapkan juga oleh informan lainnya yaitu ; “Pihak laki-laki sangat berperan dalam kelangsungan baik di dalam rumah tangga maupun dilingkungan luar. Laki-laki merupakan tokoh penanggung jawab yang besar kewajibannya untuk dipenuhi. Laki-laki juga sebagai pewaris dari peninggalan. Pada masyarakat Aceh, laki-laki sangat dijunjung karena laki-laki merupakan sandaran bagi perempuan. Oleh karenanya, laki-laki sangat dihormati dalam setiap-tiap keluarga”. Sumber : Nurmala Sari, perempuan 58 tahun, wawancara Maret 2010 Universitas Sumatera Utara Dalam hal ini sering kali anak perempuan diharuskan untuk mengalah, tidak mempertahankan apa yang menjadi hak miliknya serta tidak bisa menuntut apa yang menjadi kewajibannya bagi seorang perempuan, dan semua itu dilakukan oleh masyarakat terdahulu yang hanya mementingkan garis dari keturunan laki-laki saja. Oleh karenanya, apabila sekarang banyak anak perempuan mempunyai pendidikan yang sama dengan laki-laki, maka itu sudah terjadi perubahan pada diri masyarakat. Menurut keterangan informan, ketika perempuan dan laki-laki bisa seimbang dalam pendidikan dan dalam pekerjaan maka, kaum laki-laki tidak menganggap remeh terhadap perempuan tersebut, hal tersebut juga untuk menunjang ketinggian untuk memperoleh mahar. Jumlah mahar yang diberikan pada perempuan Aceh dipengaruhi oleh status keluarga, pendidikan perempuan dan pekerjaan perempuan tersebut. Ketika perempuan tersebut mempunyai pekerjaan yang lebih bagus, maka makin tinggi mahar yang diberikan serta makin disanjung pula yang memberi mahar tersebut. Dalam ini keluargalah yang berperan penting dalam kelangsungan pemberian mahar tersebut, hal ini agar anak-anak mereka kelak mendapat kedudukan dalam keluarga barunya, dihargai baik kedua belah pihak antar mertua. Jumlah mahar yang besar merupakan adat istiadat yang berlaku pada masyarakat Aceh, yang dikarenakan jumlah yang besar yaitu untuk persiapan masa mendatang serta biaya pada saat pernikahan. Jumlah mahar yang besar juga merupakan bentuk dari status yang dimiliki oleh setiap keluarga, baik itu keluarga perempuan yang menetapkan serta keluarga laki-laki yang menyetujuinya. Menurut penuturan ibu Zuraini dalam penentuan besar kecilnya mahar yaitu ; Universitas Sumatera Utara “Apabila suatu ketetapan sudah ditentukan, maka besar kecilnya tidak dipersoalkan lagi, karena sudah ditentukan oleh keluarga yang bersangkutan, jadi berapapun yang diminta harus dipenuhi dan diserahkan dengan tunai, dan itu atas dasar sudah persetujuan dari kedua belah pihak keluarga yang bersangkutan”. Sumber : Syukriah, perempuan 30 tahun, wawancara Maret 2010 Tapi kalau dilihat dari status yang dimiliki untuk melihat besar kecilnya suatu pemberian mahar maka kebanyakan melihat dari sisi keberadaan keluarga juga, terutama keluarga yang akan memberikan sejumlah mahar, yaitu pihak si laki-laki. Maka kebanyakan yang dilihat seperti ungkapan yang dilontarkan oleh informan ; “yang menentukan besar kecilnya mahar yaitu menurut kemampuan masing- masing, tapi ada juga dilihat dari keluarga mana ia berada, berpendidikan tinggi tidak ia, punya jabatan tidak ia, serta lainya dan itu semua masing-masing dari keluarga. Tapi pada dasarnya semua orang yang mau menikah, mahar yang diberikan cukup lumanyan banyak.ada yang sampai 50 manyam”. Sumber : Zuraini, perempuan 54 tahun, wawancara Maret 2010 Dengan demikian makna dari mahar tersebut berdasarkan hasil wawancara dengan perempuan Aceh merupakan sebuah nilai yang terkandung dalam unsur yang membentuk sebuah harga diri seseorang dan itu juga merupakan simbol kepemilikan status yang disandang oleh setiap orang. Dimana setiap status yang dimiliki dapat diukur berdasar tinggi rendah mahar yang diberikan atas dasar dari penentuan keluarga perempuan. Universitas Sumatera Utara

4.3.5. Makna Mahar dalam Penghargaan Keluarga Istri Pada Sistem Perkawinan Suku Aceh di Krueng Mane