Makna Mahar dalam Penghargaan Keluarga Istri Pada Sistem Perkawinan Suku Aceh di Krueng Mane

4.3.5. Makna Mahar dalam Penghargaan Keluarga Istri Pada Sistem Perkawinan Suku Aceh di Krueng Mane

Seperti yang telah di jelaskan diatas secara umum pengertian mahar adalah keseluruhan prosedur penyerahan yang oleh adat telah ditetapkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan sesuai dengan lapisan dan kedudukan sosial masing-masing sebelum seorang laki-laki secara resmi mengambil seorang perempuan, Hans Daeng dalam Mendrofa, 2007 : 72. Jumlah mahar jinamee dalam masyarakat Aceh sangat variatif antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini di sesuaikan dengan tradisi dalam keluarga besar perempuan dan kemampuan laki-laki. Jinamee ini tidak boleh dikurangi dari ketentuan adat yang berlaku sebab ia dapat menjadi aib bagi keluarga tersebut Muhammad Umar, 2006 : 159. Jumlah mahar yang besar juga merupakan bentuk dari status yang dimiliki oleh setiap keluarga, baik itu keluarga perempuan yang menetapkan serta keluarga laki-laki yang menyetujuinya, seperti ungkapan informan, Menurut penuturan ibu Zuraini dalam penentuan besar kecilnya mahar yaitu ; “Apabila suatu ketetapan sudah ditentukan, maka besar kecilnya tidak dipersoalkan lagi, tidak ada tawar-menawar, karena sudah ditentukan oleh keluarga yang bersangkutan, jadi berapapun yang diminta harus dipenuhi dan diserahkan dengan tunai, dan itu atas dasar sudah persetujuan dari kedua belah pihak keluarga yang bersangkutan”. Sumber : Syukriah, perempuan 30 tahun, wawancara Maret 2010 Dengan demikian di mana setiap status yang di miliki oleh keluarga mana pun dapat di ukur berdasar tinggi rendah mahar yang diberikan atas dasar dari penentuan keluarga perempuan dan keluarga dari pihak laki-laki hanya menyetujuinya saja. Universitas Sumatera Utara Hukum itu mungkin juga menentukan semacam pemberian imbalan. Tentu saja para pelaku dalam proses ini tidak berpendapat bahwa mereka itu melakukan “tawar menawar”. Orang tua mungkin menganggap bahwa mereka “mencari sesuatu yang terbaik bagi anak-anak mereka” William J.Goode, 1991 : 63-65. Dalam masyarakat seperti masyarakat Aceh dalam adatnya Mahar merupakan penghormatan pemberian kepada seseorang yang telah melakukan perbuatan baik tanpa ada imbalan jasa. Namun, dalam praktek pelaksanaannya, dalam adat istiadat perkawinan di suku Aceh Makna dari Mas kawin berubah menjadi sebuah harga diri hareuga bak sidroe ureung. Dikatakan demikian karena dalam proses pelaksanaan pernikahan yang lebih menentukan adalah jumlah mas kawin yang harus dibayar. Dengan demikian Mahar merupakan sebuah harga diri yang dimiliki oleh perempuan yang diberikan oleh mempelai laki-laki untuk mempelai perempuan pada masyarakat Aceh. Mahar jeulame mempunyai makna tersendiri bagi kaum perempuan itu perempuan Aceh, sehingga dalam menentukan mahar jeulame semua pihak yang bersangkutan keluarga besar pihak perempuan harus ikut andil dalam mengambil keputusan mengambil jalan tengah secara bijak. Dalam masyarakat Aceh, mahar yang harus dibayar oleh laki-laki kepada perempuan biasanya berkisar dari 15, 30, sampai 50 mayam 1 mayam = 3,3 gram. Di Aceh Pidie, jinamee yang harus dibayar laki-laki kepada perempuan lebih dari 20 mayam. Universitas Sumatera Utara Besarnya mahar itu di tentukan oleh keluarga besar itu sendiri keluarga mempelai perempuan yaitu dalam musyawarah keluarga, baik dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan yang disebut dengan “neuduk pakat”. Namun dalam hal ini keluarga perempuan biasanya menyediakan rumah untuk mereka setelah menikah, memberi modal untuk perbekalan dalam menjalankan rumah tangga diusia yang masih muda, serta memberikan status yang sama pula dengan yang dimiliki oleh mempelai perempuan untuk mempelai laki-laki, dikarenakan suatu pemberian hadiah sanjungan penghargaan yang diberikan untuk mempelai laki-laki oleh orang tua dari mempelai perempuan. Sedangkan di Aceh selatan umumnya dibawah 10 mayam, tetapi ditambah dengan “peng hangoh” uang tunai. Pihak perempuan tidak menyediakan rumah. Bahkan ada dibeberapa daerah Aceh lainnya hanya 1-2 mayam saja, tanpa tambahan “peng hangoh” uang tunai.

4.3.6. Perubahan Adat Istiadat Perkawinan pada Suku Aceh