Besarnya mahar itu di tentukan oleh keluarga besar itu sendiri keluarga mempelai perempuan yaitu dalam musyawarah keluarga, baik dari pihak laki-laki maupun pihak
perempuan yang disebut dengan “neuduk pakat”. Namun dalam hal ini keluarga perempuan biasanya menyediakan rumah untuk
mereka setelah menikah, memberi modal untuk perbekalan dalam menjalankan rumah tangga diusia yang masih muda, serta memberikan status yang sama pula dengan yang
dimiliki oleh mempelai perempuan untuk mempelai laki-laki, dikarenakan suatu pemberian hadiah sanjungan penghargaan yang diberikan untuk mempelai laki-laki
oleh orang tua dari mempelai perempuan. Sedangkan di Aceh selatan umumnya dibawah 10 mayam, tetapi ditambah dengan “peng hangoh” uang tunai. Pihak perempuan tidak
menyediakan rumah. Bahkan ada dibeberapa daerah Aceh lainnya hanya 1-2 mayam saja, tanpa tambahan “peng hangoh” uang tunai.
4.3.6. Perubahan Adat Istiadat Perkawinan pada Suku Aceh
Hukum perkawinan adat istiadat tidak berarti bahwa apa yang seharusnya terjadi atau berlaku di kalangan adat yang bersangkutan di karenakan sifatnya bisa berubah-ubah
seiring dengan penyesuaian dan perkembangan zaman. Oleh karena zaman berkembang terus menerus dan bertambah majunya kehidupan
dan pergaulan masyarakat, maka masih harus dibedakan antara kehidupan adat yang dulu dengan adat yang sekarang.
Dalam melihat suatu perubahan sosial adat suatu budaya, ada beberapa konsep yang harus diperhatikan agar dapat melihat perubahan sosial budaya sebagai
komprehensif, dimana masyarakat yang bersangkutan mengalami proses belajar dalam
Universitas Sumatera Utara
masyarakat sendiri, misalnya, internalisasi, sosialisasi dan elkulturasi. koentjaraninggrat, 1990 : 277.
Perkembangan kebudayaan yang terjadi di kalangan umat masyarakat atau pun pada masyarakat Aceh umumnya berkembang melalui tahap yang amat sederhana, hingga
membentuk tahap yang semakin kompleks, yaitu evaluasi kebudayaan cultural evolution.
Dalam tahap proses penyebaran kebudayaan-kebudayaan secara geografis, terbawa oleh perpindahan bangsa-bangsa dari muka bumi yaitu biasa di sebut proses
difusi. Sedangkan proses lain dalam masyarakat adalah proses belajar dari unsur-unsur kebudayaan asing oleh warga dalam suatu masyarakat, yaitu proses akulturasi dan
asimilasi. Sedangkan proses yang terakhir adalah proses pembauran atau inovasi yang erat sangkut pautnya dengan penemuan-penemuan yang baru.
Terjadi perubahan adat secara umum disebabkan oleh adanya dua faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Yang dimaksud secara eksternal merupakan
perubahan yang didorong oleh terjadinya akulturasi budaya lokal dengan budaya luar. Semakin luasnya mobilitas maka masyarakat secara tidak langsung akan memproses
terjadinya interaksi antar individu dengan latar budaya yang berbeda. Dan selanjutnya akan menghasilkan individu yang berpikiran moderat dalam
melihat suatu aturan-aturan adat, termasuk dalam melihat dalam adat perkawinan untuk menentukan mahar jeulame. Sedangkan secara internal, perubahan ini lebih didorong
oleh semakin tingginya tingkat pendidikan masyarakat yang membawa kesadaran baru dalam menyikapi hukum adat yang berlaku serta dapat dipatuhi oleh masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Gultom DJ dalam Sibarani, 2005 : 6 mengemukakan bahwa perkembangan zaman mempengaruhi terjadinya perubahan dalam setiap bagian baik dalam pemberian
mahar jeulame atau dalam adat istiadat perkawinan, perubahan-perubahan yang dimaksudkan yaitu berarti menambah atau mengurangi kewajiban-kewajiban tertentu
dalam adat upacara perkawinan tersebut. Baik upacaranya, unsur upacara maupun hakekat yang terkandung didalam setiap upacara yang mengalami perubahan dan
pembaharuan. Dari semua sikap atau tindakan adalah itu merupakan penyesuaian yang terdapat
dalam nilai ataupun makna tersendiri yang suatu keharusan bagi setiap kehidupan bersama akan terikat pada keteraturan sikap yang tidaklah bersifat statis. Penyesuaian di
sini adalah kesedian individu untuk menyesuaikan dirinya atau pun berubah secara alami sesuai dengan perubahan menurut waktu serta zaman.
Berdasarkan keterangan informan dalam penelitian di Krueng Mane, kebanyakan orang-orang Aceh menjalankan adat bukan lagi sesuai dengan adat yang sebelumnya
zaman dulu, tetapi sudah banyak penambahan atau pengurangan yang dilakukan dalam adat yang dilakukan oleh masyarakat sebelumnya, dikarenakan perubahan zaman yang
semakin modern serta kebanyakan masyarakat tidak mau rumit dalam pelaksanaannya. Jumlah mahar jeulame yang berlaku di Aceh sangat tinggi patokannya.
Suatu mahar yang tinggi patokannya, itu bukan dari adapt tapi dari keluarga itu sendiri yang menentukan, dikarenakan pula apabila mahar itu ditentukan oleh adapt maka
nantinya antara seorang yang masih gadis dan yang sudah janda disama ratakan oleh adapt maka seperti yang di ungkapkan oleh informan ;
“ketentuan adat untuk penentuan mahar tidak ada, penentuan mahar hanya dilakukan dan disetujui oleh keluarga yang bersangkutan. Kalau untuk meratakan
Universitas Sumatera Utara
jumlah mahar antara yang masih gadis dengan yang sudah janda, antara kalangan atas, menengah dan bawah, itu juga tergantung dari kemauan masing-masing
keluarga tanpa ikut campur tangan dari luar atau pun adapt; dan pada intinya keluarglah yang berperan penting, baik pada kelancaran adapt perkawinan atau
pun penentuan mahar”. Sumber : Syukriah, 30 tahun, wawancara Maret 2010
Banyak informan perempuan mengatakan mahar jeulame bagi mereka adalah suatu pemberian wajib yang di berikan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai
perempuan , tanpa adanya mahar jeulame suatu jalinan hubungan tidak lengkap. Dalam adat istiadat pun sekarang ini tidak lagi berbelit-belit, hanya berupa akat nikah serta pesta.
Itu pun bagi yang mampu.
4.3.7. Aktifitas Budaya Sosial Pada Suku Aceh